Perjuangan Lingkungan di Kenya: Gerakan Hijau Wangari Maathai

Perjuangan Lingkungan di Kenya: Gerakan Hijau Wangari Maathai

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 314.37 KB
Jurusan Ilmu Lingkungan atau Studi Pembangunan Berkelanjutan
Jenis dokumen Makalah atau Esai
  • Lingkungan Hidup
  • Gerakan Hijau
  • Wangari Maathai

Ringkasan

I.Latar Belakang Krisis Lingkungan dan Pergerakan Global

Dunia menghadapi tantangan lingkungan yang semakin mendesak. Meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap alam mendorong pergerakan menuju praktik ramah lingkungan dan berkelanjutan, baik di tingkat negara, perusahaan, maupun individu. Isu-isu lingkungan seperti pemanasan global telah menjadi kajian internasional dan mendorong kerja sama global. Krisis lingkungan merupakan isu global yang bersifat implikatif, memicu reaksi berantai dan membutuhkan penanganan segera. Pelestarian lingkungan menjadi fokus utama dalam upaya menuju pembangunan berkelanjutan.

1. Pergeseran Global Menuju Kelestarian Lingkungan

Bagian ini menjelaskan pergeseran global menuju praktik ramah lingkungan dan berkelanjutan. Bukan hanya negara-negara, tetapi juga perusahaan dan individu turut serta dalam gerakan ini. Dorongan utama berasal dari meningkatnya tantangan lingkungan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian alam. Aspek lingkungan hidup, yang pemahamannya berakar dari ilmu alam hayati, telah menjadi isu internasional yang dibahas dalam berbagai forum dan kajian kerjasama internasional. Hal ini menunjukkan pentingnya kolaborasi global dalam menghadapi masalah-masalah lingkungan.

2. Isu Lingkungan sebagai Komoditas Isu Internasional

Isu lingkungan hidup diklasifikasikan sebagai kajian yang mendorong keterlibatan aktor dan unit internasional lainnya. Sifatnya yang implikatif, memicu reaksi berantai terhadap pihak lain, menjadikan isu lingkungan sebagai hal yang sangat urgen. Tingkat urgensi yang tinggi ini telah mendorong banyak pihak untuk mengangkat isu lingkungan sebagai komoditas isu hangat dalam setiap pertemuan forum internasional. Ini menunjukkan betapa seriusnya dampak dari masalah lingkungan dan perlunya penanganan secara global dan terintegrasi.

3. Tantangan Lingkungan di Kenya

Afrika, sebagai benua termiskin di dunia, menghadapi berbagai masalah kompleks, termasuk masalah lingkungan. Kenya, sebagai salah satu negara di Afrika, juga berjuang menghadapi permasalahan ini. Pemerintah Kenya memiliki tantangan dalam menekan angka pengangguran, kriminalitas, dan kemiskinan yang tinggi. Kekeringan juga mengancam jutaan penduduk Kenya. Kondisi ini menggambarkan kompleksitas masalah yang dihadapi Kenya, yang mencakup aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan kesehatan. Masalah lingkungan menjadi salah satu isu global utama, selain demokrasi dan HAM, yang dihadapi oleh negara-negara maju maupun berkembang. Sumber utama masalah lingkungan ini berakar pada kegiatan pembangunan yang memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Konteks ini menunjukkan hubungan erat antara pembangunan, pemanfaatan sumber daya alam, dan dampaknya terhadap lingkungan di Kenya.

II.Visi Wangari Maathai dan Gerakan Green Belt Movement

Di Kenya, negara Afrika yang menghadapi masalah kemiskinan, kriminalitas, dan kekeringan, Wangari Maathai muncul sebagai tokoh kunci dalam upaya mengatasi krisis lingkungan. Pada tahun 1977, ia mendirikan Green Belt Movement, sebuah organisasi yang fokus pada penanaman pohon, pelestarian lingkungan, peningkatan kualitas hidup, dan pembelaan hak-hak perempuan. Melalui gerakan ini, Maathai memimpin kampanye untuk menyelamatkan lingkungan Kenya, melibatkan perempuan sebagai aktor utama. Keberhasilannya membawanya pada posisi Asisten Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Kenya, serta penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 2004 atas dedikasinya pada konservasi lingkungan dan hak-hak perempuan.

1. Wangari Maathai dan Lahirnya Green Belt Movement

Di tengah berbagai permasalahan kompleks di Kenya, termasuk krisis lingkungan, muncul Wangari Maathai sebagai sosok penting. Tergerak oleh kondisi lingkungan di negaranya, Maathai mendirikan Green Belt Movement pada tahun 1977. Tujuan utama gerakan ini adalah menanggapi perubahan iklim dari akar rumput, dengan fokus pada penanaman pohon, pelestarian lingkungan, peningkatan kualitas hidup, dan pembelaan hak-hak perempuan. Maathai memulai perjuangannya dengan kegiatan menanam pohon, menunjukkan komitmennya untuk mengatasi krisis lingkungan di Kenya melalui pendekatan yang berakar pada masyarakat.

2. Strategi dan Peran Perempuan dalam Green Belt Movement

Green Belt Movement, di bawah kepemimpinan Wangari Maathai, berupaya keras untuk menyelesaikan krisis lingkungan di Kenya. Strategi kunci yang dijalankan adalah dengan menjadikan perempuan sebagai aktor utama. Pilihan ini didasarkan pada pemahaman bahwa perempuan memiliki peran penting dalam keluarga dan kesejahteraan rumah tangga. Dengan melibatkan perempuan dalam penanaman pohon, diharapkan mereka dapat meningkatkan perekonomian keluarga dan sekaligus berkontribusi dalam pelestarian lingkungan. Keberhasilan Green Belt Movement juga merupakan keberhasilan perempuan Kenya, yang turut bangga dan menyadari dampak positif upaya mereka bagi komunitas.

3. Pencapaian Tantangan dan Pengaruh Wangari Maathai

Green Belt Movement, meskipun telah mencapai banyak hal dalam pelestarian lingkungan, juga menghadapi berbagai kendala, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun internal organisasi. Perlawanan dari pemerintah bukan karena kegiatan penanaman pohon, tetapi karena gerakan ini dianggap sebagai bentuk pengorganisasian diri yang menentang salah urus lingkungan. Keberhasilan Green Belt Movement tidak terlepas dari peran sentral Wangari Maathai. Dengan latar belakang pendidikan luar negeri, ia mampu menjalin komunikasi dan kerjasama internasional untuk mendukung perjuangannya. Puncaknya, perjuangan panjang Maathai dan Green Belt Movement membawanya pada posisi Asisten Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Kenya dan penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 2004, menunjukkan pengakuan internasional atas dedikasinya pada konservasi lingkungan, hak-hak perempuan, dan transparansi pemerintahan.

III.Kerangka Teori Ekofeminisme dan Environmentalisme

Penelitian ini menggunakan kerangka teori Ekofeminisme, yang menekankan hubungan erat antara opresi terhadap perempuan dan kerusakan lingkungan. Pandangan ini sejalan dengan Green Movement, sebuah kesadaran akan dampak buruk peradaban manusia terhadap lingkungan. Environmentalisme, sebagai gerakan sosial, menggunakan berbagai cara untuk melindungi alam, menangani isu-isu seperti pencemaran dan perubahan iklim. Penelitian ini menghubungkan visi Wangari Maathai dengan konsep-konsep Ekofeminisme dan Environmentalisme, menunjukkan bagaimana gerakan Green Belt Movement mewujudkan pelestarian lingkungan melalui keterlibatan perempuan.

1. Ekofeminisme Kaitan Opsi Perempuan dan Kerusakan Lingkungan

Bagian ini membahas teori ekofeminisme, sebuah teori yang memandang individu secara komprehensif sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya. Teori ini melihat adanya hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; pembebasan satu tidak dapat terjadi tanpa pembebasan yang lain. Ekofeminisme muncul pada tahun 1974 dan kemudian diperjelas oleh Karen J. Warren. Dalam konteks penelitian ini, ekofeminisme digunakan untuk menjelaskan visi Wangari Maathai yang melibatkan perempuan sebagai aktor utama dalam Green Belt Movement, didasarkan pada keyakinan akan keterikatan intrinsik perempuan dengan alam. Penggunaan perempuan sebagai aktor utama ini juga diyakini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga melalui keuntungan dari penanaman pohon.

2. Environmentalisme Gerakan Sosial untuk Pelestarian Lingkungan

Bagian ini menjelaskan tentang environmentalisme, sebuah gerakan sosial yang bertujuan melindungi kekayaan alam dan ekosistem. Gerakan ini dilakukan tanpa kekerasan, melalui berbagai cara seperti aksi jalanan, lobi politik, dan pendidikan publik. Kaum environmentalis peduli pada isu pencemaran air dan udara, kepunahan spesies, gaya hidup boros energi, perubahan iklim, dan rekayasa genetika pada makanan. Environmentalisme didasari oleh kesadaran akan dampak buruk peradaban manusia terhadap lingkungan, seperti pemanasan global, deforestasi, dan limbah nuklir. Pendekatan yang digunakan oleh kaum environmentalis adalah pendekatan liberal-institusional, mempercayai bahwa institusi internasional dapat memberikan solusi terhadap masalah lingkungan. Protokol Kyoto dan UNFCCC merupakan contoh konkret dari kebijakan institusi tersebut. Dalam penelitian ini, visi Wangari Maathai untuk menyelamatkan Kenya dari krisis lingkungan melalui Green Belt Movement, yang fokus pada penanaman pohon, dianggap sejalan dengan ciri-ciri gerakan environmentalisme.

IV.Analisis Green Belt Movement dan Hasilnya

Green Belt Movement menghadapi berbagai tantangan dari pemerintah dan masyarakat. Namun, gerakan ini berhasil mencapai sejumlah pencapaian dalam pelestarian lingkungan di Kenya. Wangari Maathai, dengan latar belakang pendidikan yang kuat, berhasil menjalin kerjasama internasional untuk mendukung perjuangannya. Penelitian ini menganalisis visi Wangari Maathai dan dampaknya pada krisis lingkungan Kenya, menunjukkan bagaimana strategi Green Belt Movement berkontribusi pada konservasi lingkungan dan pemberdayaan perempuan.

1. Pencapaian Green Belt Movement

Green Belt Movement, meskipun menghadapi tantangan dari pemerintah dan masyarakat, telah mencapai berbagai hal. Gerakan ini ditentang bukan karena menanam pohon, tetapi karena upaya pengorganisasian dan perlawanan terhadap salah urus lingkungan. Keberhasilannya tak lepas dari peran sentral Wangari Maathai yang dengan latar belakang pendidikannya mampu menjalin komunikasi dan kerjasama internasional untuk mendukung perjuangan Green Belt Movement di Kenya. Keberhasilan ini bahkan membawa Maathai menjadi Asisten Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Kenya dan meraih penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 2004 atas jasanya dalam kampanye konservasi lingkungan, hak-hak perempuan, dan transparansi pemerintahan. Keberhasilan Green Belt Movement juga merupakan keberhasilan perempuan Kenya, yang meskipun kurang mendapat pengakuan, bangga atas usaha mereka untuk kebaikan komunitas.

2. Perbandingan dengan Gerakan Lingkungan Lain

Penelitian ini membandingkan fokus Green Belt Movement dengan gerakan lingkungan lainnya, seperti Greenpeace di Indonesia. Greenpeace lebih berfokus pada perubahan kebijakan pemerintah, sementara Green Belt Movement menekankan penanaman pohon, pelestarian lingkungan, peningkatan kualitas hidup, dan pembelaan hak-hak perempuan. Perbedaan fokus ini menunjukkan beragam strategi yang dapat diterapkan oleh organisasi lingkungan dalam mengatasi krisis lingkungan, disesuaikan dengan konteks dan permasalahan spesifik di wilayah kerjanya. Peran perempuan sebagai aktor utama dalam Green Belt Movement menjadi pembeda yang signifikan, menunjukkan pendekatan yang holistik dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.

3. Peran Perempuan dalam Konteks Ekofeminisme

Penelitian ini juga membahas peran sentral perempuan dalam pengelolaan lingkungan, sesuai dengan perspektif ekofeminisme. Berbeda dengan penelitian lain yang menyorot perempuan sebagai aktor utama pengrusakan lingkungan, penelitian ini menekankan tanggung jawab moral perempuan dalam menjaga dan merawat lingkungan. Pendekatan ini relevan dengan konteks Green Belt Movement, dimana perempuan dilibatkan secara aktif dalam penanaman pohon dan pelestarian lingkungan. Wangari Maathai sendiri menyadari pentingnya peran perempuan dalam keluarga di Kenya sebagai pencari nafkah utama. Krisis lingkungan mengancam keberlangsungan hidup keluarga, sehingga pemberdayaan perempuan menjadi krusial dalam upaya mengatasi krisis tersebut.

Referensi dokumen