
Pengaruh Orientasi Panggilan Terhadap Kesejahteraan Pemimpin Kegiatan Pelayanan Rohani di Universitas Sumatera Utara
Informasi dokumen
Penulis | Grace Sihotang |
Sekolah | Universitas Sumatera Utara (USU) |
Jurusan | Psikologi |
Jenis dokumen | Skripsi |
Tempat | Medan |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 4.96 MB |
- orientasi panggilan
- kesejahteraan
- pelayanan rohani
Ringkasan
I.Pengaruh Orientasi Panggilan Calling Orientation terhadap Sejahtera Well being pada Pemimpin Kelompok Kecil PKK
Penelitian ini menyelidiki pengaruh orientasi panggilan terhadap eudaimonic well-being dan hedonic well-being pada 124 Pemimpin Kelompok Kecil (PKK) di Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa Kristen Universitas Sumatera Utara (UKM KMK USU). Studi ini menggunakan Skala Panggilan Multidimensi (MCM) dari Hagmaier dan Abele untuk mengukur orientasi panggilan, dan Kuesioner Aktivitas Ekspresi Diri (PEAQ) dari Waterman untuk mengukur well-being. Analisis regresi linear sederhana menunjukkan pengaruh signifikan dari orientasi panggilan terhadap baik eudaimonic well-being (r² = 0,357, p = 0,000) maupun hedonic well-being (r² = 0,257, p = 0,000). Hasil ini menyarankan agar PKK di UKM KMK USU menjaga atau meningkatkan orientasi panggilan mereka untuk mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan mereka.
1. Latar Belakang Penelitian
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh temuan bahwa well-being berkorelasi positif dengan aktivitas religius, seperti pelayanan rohani (Ellison dkk., 2006). Orang dengan religiusitas tinggi cenderung memiliki well-being yang tinggi (Diener, 2008; Chamberlain & Zika, 1992; Hill & Pargament, 2003; Ivtzan dkk., 2009). Penelitian ini berfokus pada pelayanan rohani Kristen di kampus Universitas Sumatera Utara (USU), khususnya pada peran Pemimpin Kelompok Kecil (PKK) di UKM KMK USU. Kampus dianggap sebagai tempat strategis untuk membina mahasiswa secara mental dan karakter (Chua Wee Hian, dalam Our Heritage, 2006), mempersiapkan mereka menjadi pemimpin bangsa (Tadius Gunadi, KMRSU VIII). PKK, sebagai peran sukarela tanpa imbalan finansial atau peningkatan karir, dianggap sebagai contoh orientasi panggilan (calling orientation) sesuai dengan definisi Weber (dalam Wrzesniewsky, 2007) dan Dobrow (2010).
2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini melibatkan 124 PKK di UKM KMK USU. Data dikumpulkan menggunakan Multidimensionality Calling Scale (MCM) dari Hagmaier dan Abele untuk mengukur calling orientation, dan Personally Expressive Activity Questionnaire (PEAQ) dari Waterman untuk mengukur eudaimonic dan hedonic well-being. Analisis data menggunakan uji regresi linear sederhana. Metode pengumpulan data menggunakan self-report methods berupa kuesioner tertulis (rating scale) yang memiliki kelebihan berupa reliabilitas dan efisiensi biaya dan waktu, namun juga kekurangan seperti kemungkinan adanya bias jawaban dan perbedaan interpretasi subjek (Cohen & Morrison, 2007).
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Analisis data menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari calling orientation terhadap eudaimonic well-being (r² = 0,357, p = 0,000) dan hedonic well-being (r² = 0,257, p = 0,000). Hasil ini mendukung teori yang menyatakan bahwa calling orientation berkorelasi positif dengan well-being (Diener, 2008). Meskipun penelitian ini tidak secara khusus meneliti pengaruh religiusitas terhadap well-being, hasil menunjukkan rata-rata subjek melaporkan calling orientation, eudaimonic well-being, dan hedonic well-being yang tinggi. Penelitian ini tidak menemukan perbedaan signifikan dalam calling orientation dan well-being berdasarkan jenis kelamin, meskipun penelitian sebelumnya menunjukkan perbedaan tersebut (Ryff, 1989; Jaramillo, 2011). Perbedaan beban kerja (jumlah kelompok kecil yang dipimpin) dan keberadaan pekerjaan lain di luar UKM KMK USU juga tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap well-being.
4. Kesimpulan dan Saran
Penelitian ini menyimpulkan bahwa calling orientation memiliki pengaruh signifikan terhadap eudaimonic dan hedonic well-being pada PKK di UKM KMK USU. Diusulkan agar PKK mempertahankan atau meningkatkan calling orientation mereka untuk menjaga atau meningkatkan well-being. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi hubungan antara calling orientation dan well-being, termasuk tingkat religiusitas dan pengaruh variabel-variabel seperti beban kerja dan keberadaan pekerjaan lain. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan perbedaan well-being berdasarkan jenis kelamin juga perlu diteliti lebih lanjut.
II.Definisi dan Pengukuran Well being
Penelitian ini mengadopsi definisi well-being dari Waterman (1993), yang membagi well-being menjadi dua: eudaimonic well-being (kepuasan dari memaksimalkan potensi diri) dan hedonic well-being (kepuasan dari menikmati aktivitas). Well-being diukur menggunakan PEAQ-S (Personally Expressive Activity Questionnaire – Standardized). Studi ini juga menyinggung faktor-faktor lain yang mempengaruhi well-being, seperti jenis kelamin, usia, hubungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan, tetapi fokus utamanya tetap pada hubungan antara orientasi panggilan dan well-being.
1. Definisi Well being
Penelitian ini mengadopsi model Waterman (1993) yang membedakan well-being menjadi dua jenis: eudaimonic well-being dan hedonic well-being. Eudaimonic well-being didefinisikan sebagai kepuasan yang diperoleh dari aktivitas yang memaksimalkan potensi diri seseorang, memberikan rasa makna dan tujuan hidup. Sedangkan hedonic well-being diartikan sebagai kepuasan yang didapat dari menikmati aktivitas itu sendiri, terlepas dari apakah aktivitas tersebut mengembangkan potensi diri atau tidak. Waterman (2007) lebih lanjut menjelaskan bahwa well-being mengacu pada kualitas keberfungsian seseorang, baik dari pengalaman subjektif emosional maupun pengalaman langsung dari aktivitas yang dilakukan. Konsep eudaimonic well-being berkaitan dengan pemikiran Aristoteles tentang eudaimonia, yaitu menjalani hidup penuh perenungan dan kebaikan sesuai sifat seseorang (Norton, dalam Henderson & Knight, 2012), sementara hedonic well-being sering dikaitkan dengan happiness atau subjective well-being yang berfokus pada sensasi menyenangkan (Diener & Lucas, dalam Ryan & Deci, 2001). Istilah eudaimonia dan hedonia berasal dari bahasa Yunani dan dikembangkan oleh filsuf-filsuf Yunani (Delle dalam Henderson & Knight, 2012).
2. Faktor faktor yang Mempengaruhi Well being
Selain definisi inti well-being, dokumen juga menyinggung beberapa faktor yang memengaruhinya, meskipun fokus utama tetap pada hubungan antara calling orientation dan well-being. Faktor-faktor tersebut mencakup jenis kelamin (Diener dkk., dalam Diener, 2008; Ryff, 1989; Jaramillo, 2011), usia (Ryff, 1989), hubungan sosial (Helliwell dkk., dalam Diener, 2008), pendidikan (Furnham & Petrides; Schutte dkk., dalam Diener, 2008), kepuasan diri personal (Ryff, 1989), temperamen atau kepribadian (Diener dkk., dalam Diener & Ryan, 2009), dan pekerjaan (Wrzesniewski, dalam Diener, 2009; Boyd, 2010). Penelitian Bowling & Hammond (dalam Jaramillo, 2011) menunjukkan kepuasan kerja berpengaruh pada well-being, sementara Kwok dkk. (2013) menemukan hubungan antara motivasi pekerja sukarela dan well-being. Seniati (2006) juga mencatat pengaruh masa kerja terhadap kepuasan kerja, yang pada akhirnya memengaruhi well-being. Wrzesniewski (dalam Diener, 2009) menekankan peran calling orientation dalam meningkatkan well-being di tempat kerja, terlepas dari adanya upah atau tidak.
3. Pengukuran Well being dalam Penelitian
Untuk mengukur well-being, penelitian ini menggunakan Personally Expressive Activity Questionnaire – Standardized (PEAQ-S) yang dikembangkan oleh Waterman, dan telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia melalui metode back-translation. PEAQ-S berfokus pada feelings of personal expressiveness, yaitu pengalaman subjektif seseorang terkait aktivitas yang dilakukan, terutama perasaan ‘being’ pada diri individu. Kuesioner ini dinilai telah cukup memuaskan (Azwar, Reliabilitas & Validitas, 2004). Uji coba instrumen dilakukan pada 75 PKK di Psikologi USU yang telah memimpin kelompok kecil minimal 6 bulan. Analisis data menggunakan SPSS for Windows versi 19.0 untuk melihat daya diskriminasi item (r ≥ 0,227). Selain itu, penelitian juga melakukan kategorisasi skor hedonic well-being dan calling orientation berdasarkan model distribusi normal dengan kategori jenjang (Azwar, Penyusunan Skala Psikologi, 2013) untuk mengelompokkan subjek penelitian.
III.Definisi dan Peran Pemimpin Kelompok Kecil PKK di UKM KMK USU
PKK di UKM KMK USU berperan sebagai pemimpin sukarela dalam kegiatan pelayanan rohani Kristen di Universitas Sumatera Utara (USU). Peran mereka mencakup membina dan memperlengkapi anggota kelompok kecil, sesuai dengan konsep kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Penelitian ini mengasumsikan bahwa peran PKK mencerminkan orientasi panggilan karena sifatnya yang sukarela dan berfokus pada pelayanan.
1. Definisi Pemimpin Kelompok Kecil PKK
Dalam konteks Kekristenan, peran pemimpin berbeda dari pengertian umum. Seringkali, pemimpin diidentifikasikan dengan mereka yang berada di pemerintahan, perusahaan besar, atau jabatan tinggi dalam suatu institusi (Sendjaya, 2012). Mereka seringkali diasosiasikan dengan penggunaan posisi untuk keuntungan pribadi dan kekuasaan (Barker, 2000). Namun, perspektif Kristen memandang pemimpin sebagai hamba (Barker, 2000). Dalam kelompok kecil, kepemimpinan diartikan sebagai tindakan untuk membantu kelompok mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan anggotanya (Barker, 2010). Pemimpin melayani kelompok melalui berbagai cara, seperti mengajukan usul, menginisiasi aktivitas untuk mempererat hubungan anggota, mendorong anggota untuk memimpin dan menggunakan kemampuan mereka, dan menentukan harapan kelompok (Barker, 2010). Secara ideal, PKK di UKM KMK USU menyadari bahwa peran mereka adalah bentuk pelayanan (ibadah).
2. Peran PKK di UKM KMK USU
Di UKM KMK USU, PKK berperan sebagai pemimpin kelompok kecil dalam kegiatan pelayanan rohani Kristen di Universitas Sumatera Utara (USU). Mereka bertanggung jawab untuk membina dan mengarahkan anggota kelompok kecil (AKK) dengan cara memperlengkapi, memampukan, dan memperkuat mereka (Whallon, dalam Our Heritage, 2006). Hal ini sesuai dengan konsep servant leadership (Gosling dkk., 2003). Standar PKK yang ditetapkan UKM KMK USU pada periode 2014 meliputi: melakukan ritual religius, memastikan kontinuitas pertemuan kelompok kecil, menjadi teladan hidup, dan mendampingi AKK. Selain itu, PKK juga diharapkan memiliki kualitas pribadi yang tinggi untuk menjalankan perannya efektif. Seorang pemimpin rohani yang baik, menurut Tuckey (dalam dokumen), memiliki kualitas tinggi dan mampu memperlengkapi, memampukan, dan memperkuat orang yang dipimpinnya. Karena sifatnya yang sukarela tanpa imbalan finansial atau peningkatan karir, peran PKK dikategorikan sebagai calling orientation, sesuai dengan tiga orientasi kerja yang dikemukakan Wrzesniewski (dalam Diener, 2008).
IV. Orientasi Panggilan Calling Orientation Perspektif Teoritis
Orientasi panggilan didefinisikan sebagai perasaan “terpanggil” untuk melakukan pekerjaan seseorang. Konsep ini awalnya berakar pada teologi Kristen, namun penelitian modern memperluasnya ke berbagai jenis pekerjaan. Individu dengan orientasi panggilan tinggi cenderung menikmati pekerjaan mereka secara intrinsik, melihat pekerjaan sebagai bagian penting dari identitas diri, dan percaya bahwa pekerjaan mereka berkontribusi positif pada dunia. Meskipun ada kepuasan, orientasi panggilan tinggi juga mungkin berarti komitmen waktu dan energi yang besar.
1. Pandangan Tradisional dan Modern tentang Calling Orientation
Secara tradisional, konsep 'calling' berakar pada teologi Kristen, di mana individu merasa 'dipanggil' oleh Tuhan untuk melakukan pekerjaan tertentu demi melayani Tuhan dan komunitas (Wrzesniewski, Dekas, & Rosso, 2009). Luther dan Calvin berpendapat bahwa Tuhan menunjukkan panggilan ini melalui bakat dan keadaan lingkungan individu (Wrzesniewski, Dekas, & Rosso, 2009; Hagmaier & Abele, 2012). Namun, pandangan modern telah memperluas konsep ini melampaui konteks religius, dengan asumsi bahwa calling berlaku untuk semua jenis pekerjaan, bukan hanya yang dianggap 'layak' oleh orang lain (Wrzesniewski, Dekas, & Rosso, 2009). Individu dengan calling orientation merasakan panggilan untuk memenuhi tuntutan pekerjaan mereka, menikmati dan memaknai pekerjaan secara intrinsik, dan melihat pekerjaan sebagai pusat identitas mereka (Wrzesniewski, dalam Duffy, 2013; Wrzesniewski, McCauley, Rozin, & Schwartz, 1997).
2. Karakteristik dan Konsekuensi Calling Orientation
Individu yang bekerja dengan calling orientation mengalami kepuasan dan kebahagiaan yang lebih besar (Wrzesniewski, McCauley, Rozin, & Schwartz, 1997). Mereka cenderung terlibat dalam 'job crafting,' yaitu melakukan tugas tambahan, membantu rekan kerja, dan meningkatkan efisiensi (Wrzesniewski, dalam Diener, 2008). Namun, komitmen tinggi ini memiliki konsekuensi. Individu mungkin menghabiskan lebih banyak waktu di tempat kerja dan mengabaikan aspek kehidupan lainnya (Wrzesniewski, McCauley, Rozin, & Schwartz, 1997). Penelitian Boyd (2010) menunjukkan hubungan antara calling orientation dengan tingkat burnout yang lebih rendah dan kepuasan kerja yang lebih tinggi, bahkan ketika dihadapkan pada beban kerja (workload) dan kompleksitas pekerjaan (work complexity) yang tinggi. Wrzesniewski (dalam Diener, 2008) juga mencatat bahwa individu dengan orientasi calling cenderung terlibat intensif dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk pekerjaan mereka.
3. Calling Orientation sebagai Kontinum
Konsep calling orientation bukanlah hal yang bersifat dikotomis (ada atau tidak ada), melainkan sebuah kontinum (Dobrow, 2010). Artinya, tingkat calling orientation bervariasi antar individu, dengan beberapa orang memiliki tingkat calling yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain. Weber (dalam Wrzesniewsky, 2007) menjelaskan bahwa istilah 'calling' pada awalnya digunakan dalam konteks religius, di mana individu menyadari bahwa mereka 'dipanggil' oleh Tuhan untuk melakukan pekerjaan yang berdampak signifikan pada moral dan sosial. Persepsi mengenai makna bekerja ditentukan oleh individu, meskipun dipengaruhi oleh lingkungan dan konteks sosial (Wrzesniewski dkk., 2003). Kebermaknaan pekerjaan mengacu pada jumlah hal yang signifikan bagi seseorang (Pratt & Ashforth, dalam Rosso, 2010), dan persepsi ini sangat individual.