
Penerimaan Diri pada Individu yang Mengalami Kekerasan Emosi
Informasi dokumen
Penulis | Clara Clearesta |
Sekolah | Universitas Sumatera Utara |
Jurusan | Psikologi |
Tempat | Medan |
Jenis dokumen | Skripsi |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 4.06 MB |
- penerimaan diri
- kekerasan emosi
- psikologi
Ringkasan
I.Dampak Kekerasan Emosi pada Perkembangan Psikologis
Dokumen ini membahas kekerasan emosi, yang didefinisikan sebagai perilaku tanpa kontak fisik yang bertujuan untuk mengontrol, mengintimidasi, atau merendahkan orang lain. Studi ini meneliti dampaknya terhadap kesehatan psikologis dan pengembangan diri. Kekerasan emosi dapat menyebabkan perasaan tidak berharga, takut, malu, isolasi sosial, bahkan upaya bunuh diri. Pengalaman masa kanak-kanak dengan kekerasan emosi memiliki hubungan signifikan dengan perasaan hampa dan perilaku menyakiti diri sendiri di masa dewasa. Pola asuh orang tua yang otoriter dan menuntut kesempurnaan berkontribusi terhadap munculnya kekerasan emosi dalam keluarga. Mencapai penerimaan diri setelah mengalami kekerasan emosi membutuhkan proses panjang dan melibatkan berbagai faktor, termasuk pemahaman diri dan lingkungan sosial.
1. Definisi dan Manifestasi Kekerasan Emosi
Bagian ini mendefinisikan kekerasan emosi sebagai tindakan sengaja tanpa kontak fisik untuk mengontrol, mengintimidasi, atau merendahkan orang lain. Ini mencakup berbagai perilaku seperti pengabaian, penolakan, penghinaan, dan pemberian hukuman yang tidak sebanding dengan kesalahan. Kekerasan emosi dapat bermula dari ketidakpedulian yang konsisten dan berkembang menjadi sikap meremehkan orang lain secara terus-menerus (Hunt, 2013). Dokumen ini juga menjelaskan bagaimana kekerasan emosi dapat memanifestasikan diri dalam berbagai bentuk perilaku, misalnya membiarkan seseorang merasa kesepian, tidak memberikan dukungan emosional, mendiamkan individu dalam kehidupan sosial, dan lain sebagainya. Dampaknya bisa berupa rasa takut, malu, pengerusakan diri, dan isolasi sosial. Contoh-contoh kutipan wawancara memperlihatkan bagaimana kekerasan emosi dialami dan dirasakan oleh individu, mulai dari ketakutan anak kecil akan penolakan orang tua hingga konflik pasangan suami istri yang melibatkan penghinaan dan perendahan.
2. Dampak Kekerasan Emosi terhadap Kesehatan Psikologis dan Pengembangan Diri
Kekerasan emosi berdampak signifikan pada kesehatan psikologis dan perkembangan diri korbannya. Korban sering merasa tidak berharga, tidak berguna, dan tidak dicintai, yang dalam beberapa kasus dapat mengarah pada upaya bunuh diri (Daniels-Lake, 2010). Lachkar (2004) menjelaskan dampaknya berupa perasaan hampa, kebingungan, dan hilangnya hubungan dengan kenyataan. Beberapa individu bahkan mengalami kondisi psikosomatis, yaitu ketidaknyamanan fisik tanpa penjelasan medis. Kekerasan emosi merusak citra diri dan harga diri, sehingga menyulitkan pengembangan diri (Gunawan, 2009; Sturge-Apple, Skibo, & Davies, 2012). Kehilangan hubungan dengan realita dan kesenjangan antara tuntutan yang diberikan dengan kemampuan diri menyebabkan kebingungan dan ketidakpahaman terhadap diri sendiri (Lachkar, 2004). Kutipan wawancara menggambarkan dampaknya, mulai dari keinginan untuk kuliah yang dihambat oleh orang tua hingga usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pasangan, meskipun hal itu menyakitkan.
3. Keterkaitan Kekerasan Emosi dengan Pola Asuh dan Lingkungan Sosial
Dokumen ini menghubungkan kekerasan emosi dengan pola asuh dan lingkungan sosial. Perbedaan persepsi antara anak dan orang tua, di mana orang tua berharap didikan mereka membawa kesuksesan, sementara anak merasakan beban tuntutan yang diberikan, menciptakan kesenjangan (Setyono, 2007). Keterbatasan pemikiran anak membuat mereka tidak memahami makna tersirat di balik perilaku orang tua. Lingkungan sosial, terutama yang kental dengan nilai patriarki atau matriarki, juga menciptakan hierarki dan tekanan sosial yang dapat memicu kekerasan emosi. Status sosial, seperti yang dijelaskan oleh Henslin (2007), berfungsi sebagai panduan perilaku dan dapat menyebabkan kekerasan emosi dilakukan oleh individu dengan status lebih tinggi tanpa disadari oleh korbannya (Semium, 2010). Dokumen ini menunjukan bagaimana nilai-nilai budaya dan struktur sosial dapat memperkuat dan melanggengkan kekerasan emosi. Penerimaan diri dalam lingkungan sosial juga didiskusikan, di mana individu dapat mengadopsi nilai-nilai lingkungan meskipun tidak sesuai dengan diri pribadi mereka (Widyarini, 2009).
4. Dampak Jangka Panjang Kekerasan Emosi dan Proses Penerimaan Diri
Kekerasan emosi memiliki dampak sepanjang perkembangan kehidupan. Pengalaman ini dapat membuat individu merasa selalu bersalah, tidak berguna, dan tidak dicintai, hingga mengarah pada keinginan mengakhiri hidup (Daniels-Lake, 2010). Penelitian Rallis, Deming, Glenn, dan Nock (2012) menunjukkan hubungan signifikan antara kekerasan emosi di masa kanak-kanak dengan perasaan hampa dan perilaku menyakiti diri sendiri di masa dewasa. Tahapan penerimaan diri yang dijalani menentukan bagaimana individu memproses pengalaman kekerasan emosi. Penerimaan diri yang dicapai tanpa kecemasan memungkinkan individu mengamati pengalaman secara objektif, berpikir logis, dan mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan dalam diri mereka (Maslow dalam Semiun, 2006). Namun, pandangan subjektif tentang lingkungan dapat menghambat interaksi sosial dan penanggulangan konflik. Motivasi terkuat manusia adalah kebutuhan akan hidup yang bermakna dan berharga (Bastaman, 1996; Abidin, 2002), dan hal ini memengaruhi proses penerimaan diri setelah kekerasan emosi.
II.Studi Kasus Kekerasan Emosi Responden RR RG dan RS
Penelitian ini menganalisis tiga studi kasus (RR, RG, dan RS) untuk mengkaji dampak dan proses penerimaan diri setelah mengalami kekerasan emosi. RR, seorang pria berusia 23 tahun, mengalami kekerasan emosi dari ayahnya dan berhasil mencapai penerimaan diri melalui pemahaman latar belakang keluarganya dan dukungan dari ibunya. RG, juga seorang pria, mengalami kekerasan emosi di sekolah dan keluarga, lebih memilih menghindari konflik dan mencapai suatu bentuk penerimaan diri dengan fokus pada aktivitas individual. RS, pria lain yang juga diteliti, berfokus pada keyakinan agamanya untuk menghadapi kekerasan emosi dari keluarga dan tempat kerja, menemukan penerimaan diri melalui pemahaman dan penerimaan akan dirinya. Ketiga studi kasus ini menunjukkan berbagai strategi penyesuaian dan jalan menuju penerimaan diri setelah trauma emosional akibat kekerasan emosi.
1. Studi Kasus Responden RR Kekerasan Emosi Keluarga dan Jalan Menuju Penerimaan Diri
Responden RR, pria berusia 23 tahun, mahasiswa di Sumatera Utara, berbagi pengalaman kekerasan emosi dari ayahnya. Meskipun berasal dari keluarga Batak Toba, ia besar di Batam dan saat kuliah tinggal di Medan. RR memiliki hubungan dekat dengan ibunya, sering bercerita di dapur. Ia mengalami kekerasan emosi berupa pengucilan dan tekanan untuk memilih jurusan ekonomi, padahal ia menginginkan hukum. Konflik dengan orang tua berlangsung selama dua bulan. Namun, dengan bantuan abangnya, ia akhirnya mendapat izin kuliah di jurusan hukum. Pengalaman tersebut diproses melalui pemahaman latar belakang keluarga, terutama dari cerita ayahnya tentang pola asuh yang diterimanya. Ia juga mendapat dukungan dari ibunya dan teman-temannya. Akhirnya, RR mampu memaklumi kekerasan emosi yang dialaminya, melihatnya sebagai upaya ayahnya untuk memperkuat mentalnya, dan mencapai penerimaan diri yang tinggi (Petranto, 2005; Germer, 2009).
2. Studi Kasus Responden RG Kekerasan Emosi di Sekolah dan Keluarga serta Strategi Penyesuaian Individualistis
Responden RG, seorang pria, menceritakan pengalaman kekerasan emosi dari orang tua dan teman-teman sekolah. Didikan orang tuanya yang ketat dan disiplin menimbulkan tekanan, terutama terkait waktu dan prestasi akademik. Di sekolah, RG diejek dan dipermalukan karena perbedaannya, membuat dia merasa bersalah dan malu. Ia memiliki sifat individualistis dan cenderung menghindari konflik. Meskipun menyadari penyebab kekerasan yang dialaminya, ia memilih tidak melawan karena menganggap itu sebagai norma pergaulan di lingkungannya. Ia memproses pengalaman traumatis ini dengan cara menjauhi teman-teman yang melakukan kekerasan dan mengalihkan fokus ke kegiatan individual seperti membaca dan menonton film. RG juga menyadari kelemahannya dalam memulai hubungan dengan orang lain yang berkontribusi terhadap perundungan yang dialaminya. Ia mencapai penerimaan diri melalui pemahaman dan penerimaan terhadap karakteristik individualistisnya dan kemampuannya menahan perasaan tidak menyenangkan (Hurlock, 1974).
3. Studi Kasus Responden RS Menghadapi Kekerasan Emosi dengan Keyakinan Agama dan Koreksi Diri
Responden RS, seorang pria, mengalami kekerasan emosi dari keluarga dan tempat kerja. Ia tinggal bersama orang tua dan bekerja di sebuah lembaga di Johor. RS tidak mendapat pertolongan dari orang lain, tetapi keyakinan agamanya membantunya bertahan. Ia memaklumi tindakan orang tua dan atasannya sebagai dorongan untuk menjadi lebih baik. Perlakuan tidak adil dari atasannya dalam seleksi pendidikan lanjutan membuat RS introspeksi diri dan mencari tahu alasan di balik tindakan tersebut. RS juga menghadapi isolasi sosial dari teman-teman karena perbedaan gaya hidup yang berpegang teguh pada ajaran agamanya. Ia melihat sisi positif dari kekerasan yang dialaminya, melihatnya sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri dan mencapai tujuan hidupnya. Kepercayaan agama dan tekad untuk berusaha menjadi lebih baik membantunya mengatasi kekerasan emosi dan tetap melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. RS mencapai penerimaan diri dengan tetap berpegang teguh pada keyakinan dan nilai-nilai agamanya (Widyarini, 2009).
III.Proses Menuju Penerimaan Diri Setelah Kekerasan Emosi
Proses menuju penerimaan diri setelah mengalami kekerasan emosi sangat individual. Beberapa individu mampu melakukan rasionalisasi dan melihat makna positif dari pengalaman tersebut, sementara yang lain kesulitan. Aktualisasi diri, seperti yang dijelaskan oleh Maslow, menjadi tujuan utama, tetapi terhambat oleh tekanan sosial dan tuntutan lingkungan. Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif, mengakui kelebihan dan kekurangan, serta mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan (termasuk ekonomi dan hubungan sosial) menjadi kunci. Keyakinan agama dan dukungan sosial juga berperan penting dalam proses mencapai penerimaan diri setelah kekerasan emosi.
1. Faktor Faktor yang Memengaruhi Proses Penerimaan Diri
Proses menuju penerimaan diri setelah mengalami kekerasan emosi bersifat individual dan dipengaruhi berbagai faktor. Kemampuan untuk melihat pengalaman secara objektif dan berpikir logis sangat penting. Individu yang mampu melakukan hal ini dapat lebih mudah menghasilkan kesimpulan yang tepat mengenai kondisi kekerasan emosi yang dialaminya, melihat kekurangan dan kelebihan dalam diri, dan mengembangkannya secara optimal (Maslow dalam Semiun, 2006). Sebaliknya, pandangan subjektif tentang lingkungan dapat menghambat interaksi sosial dan kemampuan individu untuk mengatasi konflik. Kemampuan untuk merasionalisasi kekerasan emosi yang dialami dari berbagai aspek kehidupan juga bervariasi antar individu. Makna yang diberikan individu pada pengalaman tersebut bersifat unik dan personal (Semiun, 2006), sehingga mempengaruhi proses penerimaan diri. Dukungan sosial, keyakinan agama, serta pemahaman latar belakang pelaku kekerasan juga berperan penting dalam proses ini.
2. Tahapan Penerimaan Diri dan Aktualisasi Diri
Mencapai penerimaan diri setelah trauma akibat kekerasan emosi melibatkan tahapan yang kompleks. Kemampuan untuk melewati tahapan penerimaan diri tanpa kecemasan memungkinkan individu untuk mengamati pengalaman secara objektif dan berpikir logis untuk menghasilkan kesimpulan yang tepat (Maslow dalam Semiun, 2006). Individu yang mampu mengaktualisasikan diri dapat menemukan penipuan dan kejujuran dengan cepat, serta tidak memiliki prasangka terhadap orang lain (Maslow dalam Semiun, 2006). Namun, untuk mencapai aktualisasi diri, individu harus memenuhi kebutuhan dasar lainnya terlebih dahulu (Maslow dalam Semiun, 2006). Tekanan sosial dan tuntutan lingkungan dapat menghambat proses aktualisasi diri karena tujuan hidup setiap individu berbeda. Individu yang sudah mengetahui tujuan hidupnya akan memiliki keyakinan untuk mewujudkannya tanpa mempedulikan keraguan atau opini orang lain (Vujicic, 2010). Motivasi terkuat yang mengarahkan manusia adalah kebutuhan akan hidup yang bermakna dan berharga (Bastaman, 1996; Abidin, 2002).
3. Strategi Penyesuaian dan Mekanisme Koping
Studi kasus menunjukkan beragam strategi penyesuaian dan mekanisme koping yang digunakan individu untuk menghadapi dan mengatasi kekerasan emosi. Beberapa individu melakukan penghindaran (aversion) dengan menahan perasaan tidak menyenangkan, seperti menangis dan pergi meninggalkan tempat kejadian (Germer, 2009). Namun, pemahaman dari orang tua, keluarga, atau teman-teman dapat membantu mengurangi perasaan tersebut dan membuat individu mampu menerima, meskipun tidak sepenuhnya, tindakan kekerasan yang dialaminya. Strategi lain termasuk mengoptimalkan fungsi diri dengan mengejar tujuan hidup, meskipun ada batasan dari lingkungan sosial. Beberapa individu memilih untuk mengabaikan kekerasan emosi dan fokus pada pencapaian pribadi (tolerance). Proses kognitif, seperti mengamati lingkungan dan interaksi sosial, digunakan untuk mengumpulkan informasi dan mengubah pandangan terhadap kekerasan emosi. Pemahaman terhadap lingkungan dan diri sendiri mendukung penerimaan diri dan kemampuan untuk bertahan menghadapi situasi sulit (Hurlock, 1974).