
Pencitraan Presiden dalam Karya Fotografi: Analisis Semiotik Foto Presiden SBY dan Megawati
Informasi dokumen
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 652.08 KB |
- Pencitraan Presiden
- Fotografi
- Analisis Semiotik
Ringkasan
I. Analisis Pencitraan Presiden Indonesia melalui Semiotika Roland Barthes
Skripsi ini menganalisis pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarno Putri dalam buku fotografi “Split Second Split Moment” karya Julian Sihombing. Penelitian ini menggunakan analisis semiotik, khususnya teori denotasi dan konotasi dari Roland Barthes, untuk mengungkap makna tersirat dan tersurat dalam 6 foto terpilih (3 foto SBY dan 3 foto Megawati) yang dianggap memiliki efek pencitraan kuat. Tujuannya adalah untuk memahami bagaimana fotografi membentuk dan merepresentasikan pencitraan presiden di mata publik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif-interpretatif.
1.1. Latar Belakang Penelitian
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya pencitraan bagi figur publik, khususnya presiden. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis representasi pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarno Putri dalam karya fotografi. Penelitian difokuskan pada buku “Split Second Split Moment” karya Julian Sihombing yang berisi 205 foto, dengan 14 foto diantaranya menampilkan presiden Indonesia. Dari 14 foto tersebut, peneliti memilih 6 foto (3 foto SBY dan 3 foto Megawati) yang dianggap memiliki efek pencitraan yang kuat untuk dianalisis lebih lanjut. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Roland Barthes, khususnya dikotomi denotasi dan konotasi, untuk mengungkap makna di balik pencitraan presiden dalam foto-foto tersebut. Pencitraan sendiri didefinisikan sebagai kesan, perasaan, dan gambaran diri publik terhadap seseorang atau kelompok. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif-interpretatif dengan analisis semiotik.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarno Putri dalam buku “Split Second Split Moment”. Pertanyaan ini akan dijawab melalui analisis semiotik foto-foto terpilih, dengan fokus pada pemaknaan denotasi dan konotasi gambar sesuai teori Roland Barthes. Dengan demikian, penelitian ini ingin mengungkap bagaimana elemen-elemen visual dalam foto-foto tersebut berkontribusi pada pembentukan citra kedua presiden di mata publik. Analisis yang mendalam akan menghasilkan nilai-nilai pencitraan yang dihasilkan dari foto-foto tersebut, memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang bagaimana citra presiden dikonstruksi dan direpresentasikan.
1.3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-interpretatif dengan analisis semiotik sebagai pendekatan utama. Analisis semiotik dipilih karena dianggap tepat untuk mengungkap makna tersirat dan tersurat dalam gambar. Teori Roland Barthes tentang denotasi dan konotasi akan menjadi kerangka teoritis dalam menganalisis foto-foto yang dipilih. Penelitian ini fokus pada enam foto, tiga foto SBY dan tiga foto Megawati, yang dianggap memiliki dampak kuat terhadap pencitraan masing-masing presiden. Pemilihan foto ini didasarkan pada pertimbangan efek pencitraan yang ditimbulkan. Data yang dianalisis adalah gambar-gambar dalam buku fotografi “Split Second Split Moment”, dan analisis akan difokuskan pada elemen-elemen visual yang membangun pencitraan presiden, sehingga menghasilkan temuan yang terperinci dan mendalam.
1.4. Sumber Data
Sumber data utama penelitian ini adalah buku fotografi “Split Second Split Moment” karya Julian Sihombing. Buku ini berisi 205 foto yang mendokumentasikan berbagai peristiwa sosial, olahraga, perayaan, kerusuhan Mei 1998, kondisi politik Indonesia, dan kegiatan presiden Indonesia. Penelitian ini berfokus pada 14 foto presiden yang terdapat dalam buku tersebut. Dari 14 foto tersebut, peneliti secara khusus memilih enam foto yang dianggap mewakili pencitraan yang kuat, yaitu tiga foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tiga foto Presiden Megawati Soekarno Putri. Pemilihan foto ini menjadi batasan ruang lingkup penelitian dan akan menjadi unit analisis utama dalam mengkaji pencitraan presiden. Buku “Split Second Split Moment” menjadi sumber data visual yang penting untuk memahami konstruksi pencitraan presiden dalam konteks karya fotografi.
II. Metode Penelitian dan Teori Semiotika
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-interpretatif dengan analisis semiotik sebagai metode utamanya. Teori denotasi dan konotasi dari Roland Barthes menjadi landasan analisis untuk mengkaji tanda-tanda visual dalam foto-foto presiden. Analisis mendalam akan mengungkap nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam gambar, berkaitan dengan pencitraan masing-masing presiden. Penelitian juga membahas fungsi fotografi sebagai media komunikasi visual dan bagaimana elemen-elemen visual seperti postur tubuh, ekspresi wajah, dan latar belakang foto berkontribusi pada pembentukan pencitraan presiden.
2.1. Pendekatan Kualitatif Interpretatif dan Analisis Semiotik
Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif-interpretatif, yang menekankan pemahaman mendalam terhadap makna dan interpretasi data. Analisis semiotik dipilih sebagai metode utama karena kemampuannya untuk mengungkap makna di balik tanda-tanda visual dalam foto. Penelitian ini tidak hanya melihat unsur-unsur yang tampak secara langsung (denotasi), tetapi juga makna tersirat dan konteks sosial budaya yang melekat padanya (konotasi). Dengan analisis semiotik, peneliti dapat menggali pesan yang disampaikan oleh foto-foto presiden, serta bagaimana pesan tersebut diinterpretasikan oleh khalayak. Pendekatan kualitatif-interpretatif ini cocok untuk penelitian yang bersifat mendalam dan berfokus pada makna, sehingga memungkinkan peneliti untuk memahami kompleksitas pencitraan presiden dalam konteks sosial dan budaya Indonesia.
2.2. Teori Semiotika Roland Barthes Denotasi dan Konotasi
Teori semiotika Roland Barthes menjadi kerangka analisis utama dalam penelitian ini. Barthes menekankan dikotomi denotasi dan konotasi sebagai kunci untuk mengungkap makna dalam tanda-tanda. Denotasi merujuk pada makna literal atau yang tampak secara langsung pada suatu tanda visual, sedangkan konotasi mencakup makna tersirat, asosiasi, dan nilai-nilai budaya yang melekat pada tanda tersebut. Dalam konteks penelitian ini, denotasi foto presiden dapat mencakup elemen-elemen visual yang tampak seperti ekspresi wajah, pose, dan latar belakang, sementara konotasinya meliputi makna-makna simbolis dan nilai-nilai sosial budaya yang dihubungkan dengan presiden tersebut. Dengan memahami baik denotasi maupun konotasi, peneliti dapat menafsirkan bagaimana foto-foto presiden membentuk pencitraan mereka di mata publik.
2.3. Analisis Elemen Visual dalam Fotografi
Analisis semiotik dalam penelitian ini akan menelaah berbagai elemen visual dalam foto-foto presiden. Unsur-unsur seperti ekspresi wajah, postur tubuh, latar belakang, dan komposisi gambar akan dikaji untuk melihat kontribusinya pada pencitraan. Misalnya, postur tubuh yang tegap dapat dikonotasikan sebagai simbol wibawa dan kepemimpinan, sementara latar belakang yang sederhana dapat mencerminkan kesederhanaan dan kerendahan hati. Analisis juga akan memperhatikan bagaimana pemilihan warna, pencahayaan, dan detail lainnya dalam foto-foto tersebut menciptakan efek tertentu dan membentuk persepsi publik. Dengan demikian, analisis yang komprehensif terhadap elemen-elemen visual ini diharapkan dapat mengungkap secara detail bagaimana foto-foto presiden membentuk dan mempengaruhi pencitraan mereka.
III. Hasil Analisis Pencitraan Presiden SBY dan Megawati
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan pencitraan antara Presiden SBY dan Megawati. Presiden SBY digambarkan dengan pencitraan yang lebih positif, dicirikan oleh atribut-atribut seperti wibawa, ketegasan, dan keramahan. Sebaliknya, pencitraan Megawati cenderung lebih negatif, dikaitkan dengan kurangnya ketegasan dan wibawa. Analisis ini mengkaji bagaimana elemen-elemen visual dalam foto-foto berkontribusi pada pembentukan persepsi publik ini. Penelitian juga menyentuh isu-isu budaya dan gender dalam pembentukan pencitraan presiden di Indonesia.
3.1. Perbandingan Pencitraan Presiden SBY dan Megawati
Berdasarkan analisis semiotik terhadap enam foto terpilih (tiga foto SBY dan tiga foto Megawati) dari buku “Split Second Split Moment”, penelitian ini menemukan perbedaan signifikan dalam pencitraan kedua presiden. Pencitraan Presiden SBY cenderung lebih positif, ditunjukkan melalui pose dan ekspresi yang mencerminkan wibawa, ketegasan, dan keramahan. Unsur-unsur visual dalam foto-foto SBY seringkali menampilkan beliau berinteraksi dengan rakyat, memberikan kesan dekat dan merakyat. Sebaliknya, pencitraan Presiden Megawati, berdasarkan analisis yang sama, lebih banyak memunculkan kesan kurang tegas dan sedikit kurang mampu mengontrol wibawa. Perbedaan ini tidak hanya berdasarkan pengamatan visual langsung (denotasi), tetapi juga makna tersirat (konotasi) yang terbangun dari berbagai elemen visual dalam foto. Analisis menunjukkan bagaimana pemilihan sudut pandang, latar belakang, dan ekspresi wajah turut membentuk persepsi publik yang berbeda terhadap kedua figur presiden tersebut.
3.2. Pengaruh Elemen Visual terhadap Pencitraan
Penelitian ini mendalami bagaimana elemen-elemen visual dalam foto berkontribusi pada pembentukan pencitraan. Misalnya, penggunaan warna, komposisi gambar, dan ekspresi wajah Presiden SBY sering kali menciptakan suasana positif dan menumbuhkan rasa kepercayaan. Sedangkan pada foto-foto Presiden Megawati, analisis menunjukkan bagaimana elemen-elemen visual tertentu mungkin menciptakan interpretasi yang kurang positif. Analisis tidak hanya terbatas pada aspek denotatif, tetapi juga menggali konotasi yang melekat pada setiap elemen visual. Hal ini penting karena konotasi berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan sosial yang dianut masyarakat Indonesia, sehingga mempengaruhi bagaimana foto-foto tersebut diinterpretasikan dan membentuk pencitraan presiden yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya detail visual dalam membentuk persepsi publik terhadap figur publik seperti presiden.
3.3. Interpretasi dan Makna Simbolik
Analisis semiotik dalam penelitian ini menekankan pada interpretasi dan makna simbolik yang terkandung dalam foto-foto presiden. Melalui analisis denotasi dan konotasi, peneliti mengungkap bagaimana elemen-elemen visual dalam foto tidak hanya menampilkan kenyataan yang terlihat, tetapi juga membawa makna dan pesan tersirat. Interpretasi ini dipengaruhi oleh konvensi sosial dan budaya Indonesia, sehingga pemahaman tentang konteks budaya sangat penting dalam menganalisis pencitraan presiden. Contohnya, suatu pose tertentu dapat diartikan secara berbeda tergantung konteks budaya. Penelitian menunjukkan bahwa pencitraan presiden tidak hanya ditentukan oleh fakta visual yang tampak, tetapi juga oleh interpretasi dan makna simbolik yang melekat pada elemen-elemen visual tersebut, dan bagaimana interpretasi ini dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budaya.
IV. Kesimpulan dan Implikasi
Skripsi ini menyimpulkan bahwa fotografi berperan signifikan dalam membentuk pencitraan presiden di Indonesia. Analisis semiotik membantu mengungkap makna tersirat di balik foto-foto presiden, menunjukkan bagaimana elemen visual berkontribusi pada persepsi publik. Perbedaan pencitraan antara SBY dan Megawati ditelaah, menunjukkan kompleksitas faktor yang membentuk pencitraan figur publik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu komunikasi, khususnya dalam pemahaman tentang pencitraan dan penggunaan fotografi sebagai alat komunikasi politik.
4.1. Kesimpulan Penelitian
Penelitian ini menyimpulkan bahwa analisis semiotik, khususnya menggunakan teori denotasi dan konotasi Roland Barthes, efektif dalam mengungkap pencitraan Presiden SBY dan Megawati Soekarno Putri dalam karya fotografi “Split Second Split Moment”. Hasil analisis menunjukkan perbedaan signifikan dalam pencitraan kedua presiden. Presiden SBY cenderung memiliki pencitraan yang lebih positif, ditandai dengan atribut-atribut seperti wibawa dan keramahan yang tercermin dalam elemen-elemen visual foto. Sebaliknya, pencitraan Presiden Megawati lebih banyak dihubungkan dengan kurangnya ketegasan dan wibawa. Penelitian ini menegaskan peran penting elemen-elemen visual dalam membentuk persepsi publik dan menunjukkan bagaimana konotasi budaya dan sosial mempengaruhi interpretasi terhadap gambar-gambar tersebut. Kesimpulan ini didasarkan pada analisis mendalam terhadap enam foto terpilih yang telah dikaji secara seksama.
4.2. Implikasi Penelitian
Penelitian ini memberikan implikasi penting bagi pemahaman tentang pencitraan presiden dan penggunaan fotografi sebagai alat komunikasi politik. Hasil penelitian dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya yang tertarik pada bidang yang sama. Analisis semiotik yang digunakan dalam penelitian ini memberikan kerangka kerja yang bermanfaat untuk mengkaji pencitraan figur publik lainnya, bukan hanya presiden. Lebih luas lagi, penelitian ini berkontribusi pada pengembangan ilmu komunikasi, khususnya dalam memahami bagaimana elemen visual dalam fotografi dapat membentuk persepsi publik dan mempengaruhi opini. Penelitian ini juga menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam menghasilkan dan mengkonsumsi citra publik, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap persepsi masyarakat. Penelitian ini membuka jalan untuk studi lebih lanjut tentang konstruksi sosial pencitraan dalam konteks budaya Indonesia dan politik.