Hubungan Harga Diri dan Resiliensi pada Anak Multietnis Batak-Tionghoa

Hubungan Harga Diri dan Resiliensi pada Anak Multietnis Batak-Tionghoa

Informasi dokumen

Penulis

Cynthia Halim

Sekolah

Universitas [Nama Universitas Tidak Tersebut dalam Teks]

Jurusan Psikologi
Jenis dokumen Skripsi
Tahun terbit [Tahun Tidak Tersebut dalam Teks]
Tempat [Kota Tidak Tersebut dalam Teks]
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 4.33 MB
  • harga diri
  • resiliensi
  • anak multietnis

Ringkasan

I.Latar Belakang Penelitian Hubungan Resiliensi dan Harga Diri pada Anak Multietnis Batak Tionghoa

Penelitian korelasi ini meneliti hubungan antara resiliensi dan harga diri pada 81 anak multietnis Batak-Tionghoa berusia 17-25 tahun di Indonesia. Studi ini penting karena anak-anak multietnis sering menghadapi tantangan unik terkait identitas budaya dan potensi diskriminasi, yang dapat berdampak pada kesehatan psikologis mereka. Memahami hubungan antara resiliensi dan harga diri dalam konteks ini memberikan wawasan penting untuk mendukung kesejahteraan mereka. Penelitian ini menggunakan Multiracial Challenges and Resilience Scale (MCRS) oleh Salahuddin (2008) dan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) oleh Rosenberg (1965) sebagai alat ukur.

1. Konteks Multietnis di Indonesia dan Tantangan Identitas Anak Batak Tionghoa

Indonesia memiliki keberagaman etnis yang tinggi, dengan lebih dari 1340 suku bangsa (Badan Pusat Statistik, 2014). Globalisasi meningkatkan interaksi antar etnis, termasuk perkawinan campuran. Anak-anak multietnis, khususnya Batak-Tionghoa, sering menghadapi kebingungan identitas (Astaman, 2011). Mereka harus memilih antara identitas Batak atau Tionghoa, namun seringkali menghadapi stereotipe, prasangka, dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia (Susetyo, 2002). Hal ini menyebabkan anak multietnis Batak-Tionghoa menjadi korban diskriminasi dan kesulitan dalam berinteraksi sosial, seperti yang dijelaskan oleh Astaman (2011) dalam bukunya "Excuse Moi". Etnosentrisme dalam masyarakat, baik dari etnis Tionghoa maupun etnis lain (Yudohusodo, 1985), semakin memperumit situasi ini. Contohnya, etnis Tionghoa Medan seringkali menjaga budaya dan bahasa Tionghoa secara eksklusif, bahkan dengan sikap arogan dan eksklusif (Susetyo, 2002). Etnosentrisme ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengalaman pribadi, budaya, dan media massa (Azwar, 2011; Hariyono, 1993). Rasisme dan invalidasi sosial menjadi faktor risiko yang signifikan terhadap kesehatan psikologis anak multietnis (Salahuddin & O'Brien, 2011), terutama karena stigma non-pribumi yang masih melekat pada etnis Tionghoa (Susetyo, 2002).

2. Resiliensi dan Harga Diri sebagai Mekanisme Penyesuaian

Anak-anak multietnis Batak-Tionghoa menghadapi tantangan berulang yang menuntut kekuatan emosional dan psikologis. Resiliensi, didefinisikan sebagai pola adaptasi positif terhadap risiko atau kemalangan (Masten, 2001), menjadi kunci penyesuaian. Kemampuan mengatasi tantangan dan mencapai hasil yang diinginkan, seperti kebanggaan ras dan harga diri, menunjukkan resiliensi tinggi (Masten, 2001). Keberhasilan ini memengaruhi harga diri, yang merupakan evaluasi diri mengenai kemampuan, kepentinga, dan nilai diri (Coopersmith, 1981). Dukungan sosial dari keluarga, sekolah, dan lingkungan sangat penting dalam membangun resiliensi dan harga diri (Grotberg, 1999; Felker, 1974). Sense of belonging, atau perasaan diterima dalam kelompok, berpengaruh kuat terhadap penilaian diri dan harga diri. Resiliensi melibatkan kemampuan mengatasi perubahan hidup, menjaga kesehatan di bawah tekanan, bangkit dari keterpurukan, dan menghadapi masalah tanpa kekerasan (Siebert, 2005). Resiliensi juga mencakup kemampuan pulih, bahagia, dan berkembang menjadi individu yang lebih kuat (Greef, 2005). Anak-anak yang resilien mampu mengelola stres dengan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan mengontrol kehidupan mereka sendiri (Reivich & Shatte, 2002). Mereka memiliki kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi untuk mengatasi kesulitan (Grotberg, 1999).

3. Peran Budaya Batak dan Tionghoa dalam Membentuk Resiliensi dan Harga Diri

Meskipun nilai kedaerahan kuat, suku Batak dikenal terbuka dan menghargai budaya lain (Sgn, 2012). Mereka berani menghadapi tantangan dan tidak mudah menyerah. Sebaliknya, etnis Tionghoa, khususnya di Medan, seringkali mempertahankan budaya dan bahasa Tionghoa secara ketat (Susetyo, 2002), dengan potensi etnosentrisme dan sikap eksklusif. Perbedaan budaya ini mungkin berpengaruh pada bagaimana anak-anak multietnis Batak-Tionghoa mengembangkan resiliensi dan harga diri. Etnis Tionghoa memiliki struktur keluarga patriarkal dan tradisi budaya yang berbeda dari masyarakat Indonesia umumnya (Sharley, 2009; Suparlan, 1984; Koentjaraningrat, 2007). Anak-anak birasial sering menghadapi tekanan untuk memilih identitas ras, dipengaruhi oleh tekanan sosial dan keluarga (Coleman & Carter, 2007; Miville et al., 2005). Rasisme budaya, yang mendevaluasi budaya tertentu, juga menjadi faktor penting yang dapat berdampak pada stres, kepuasan hidup, dan harga diri (Utsey & Ponterotto, 1996; Krieger & Sidney, 1996; Jackson et al., 1995; Fernando, 1984). Penerimaan dan validasi sosial sangat penting bagi perkembangan identitas individu multiracial (Rockquemore & Laszolffy, 2003; Root, 1994). Interaksi positif menghasilkan persepsi positif terhadap identitas diri.

II.Metodologi Penelitian Pengukuran Resiliensi dan Harga Diri

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Resiliensi diukur menggunakan MCRS, yang mengukur apresiasi terhadap perbedaan manusia dan kebanggaan multiras. Harga diri diukur menggunakan RSES. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan korelasi positif signifikan (r=0,513) antara resiliensi dan harga diri. Temuan tambahan menunjukkan bahwa 100% anak memiliki tingkat resiliensi tinggi, sementara 14,8% memiliki harga diri sedang dan 85,2% memiliki harga diri tinggi.

1. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini melibatkan 81 anak multietnis Batak-Tionghoa berusia 17-25 tahun. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Kriteria sampel difokuskan pada anak-anak multietnis Batak-Tionghoa yang berada dalam rentang usia tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling, yang berarti sampel diambil berdasarkan ketersediaan dan kemudahan akses terhadap partisipan. Meskipun teknik ini memiliki keterbatasan dalam generalisasi hasil, namun tetap relevan untuk penelitian eksploratif seperti ini, khususnya dalam konteks populasi spesifik seperti anak-anak multietnis Batak-Tionghoa. Ukuran sampel yang relatif kecil juga perlu dipertimbangkan ketika menginterpretasikan hasil penelitian ini. Perlu diingat bahwa generalisasi temuan harus dilakukan dengan hati-hati karena keterbatasan teknik accidental sampling dan ukuran sampel yang terbatas. Studi-studi lanjutan dengan sampel yang lebih besar dan teknik pengambilan sampel yang lebih representatif disarankan untuk menguatkan temuan penelitian ini.

2. Alat Ukur Resiliensi dan Harga Diri

Resiliensi diukur menggunakan Multiracial Challenges and Resilience Scale (MCRS) yang dikembangkan oleh Salahuddin (2008). MCRS merupakan instrumen yang telah teruji dan dirancang khusus untuk mengukur resiliensi pada individu multiras. Instrumen ini terdiri dari beberapa item yang mengukur aspek-aspek penting resiliensi dalam konteks multietnis. Sementara itu, harga diri diukur menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) karya Rosenberg (1965). RSES merupakan skala yang sudah terstandar dan diakui secara luas dalam mengukur harga diri. Penggunaan kedua skala ini memastikan pengukuran yang valid dan reliabel untuk variabel dependen dan independen dalam penelitian ini. Penting untuk mencatat bahwa validitas dan reliabilitas kedua alat ukur ini dalam konteks anak multietnis Batak-Tionghoa perlu diperiksa secara menyeluruh. Penggunaan skala terjemahan dari bahasa Inggris ke Indonesia juga membutuhkan pengecekan kesetaraan makna untuk memastikan akurasi pengukuran.

3. Hasil Pengujian Hipotesis dan Temuan Tambahan

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan adanya hubungan positif antara resiliensi dan harga diri, dengan nilai koefisien korelasi r = 0,513. Nilai r ini menunjukkan adanya korelasi yang cukup kuat antara kedua variabel. Temuan ini mendukung hipotesis penelitian yang diajukan, yaitu bahwa terdapat hubungan positif antara resiliensi dan harga diri pada anak multietnis Batak-Tionghoa. Selain itu, terdapat temuan tambahan yang menunjukkan bahwa 100% responden memiliki tingkat resiliensi tinggi, sedangkan untuk harga diri, 14,8% berada pada kategori sedang dan 85,2% berada pada kategori tinggi. Perbedaan proporsi antara resiliensi dan harga diri ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Perlu dipertimbangkan faktor-faktor lain yang mungkin berkontribusi terhadap perbedaan ini dalam analisis selanjutnya.

III.Hasil Penelitian Korelasi Positif antara Resiliensi dan Harga Diri

Analisis data menunjukkan hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dan harga diri pada anak multietnis Batak-Tionghoa (r=0,513). Tingkat resiliensi yang tinggi di kalangan peserta penelitian dikaitkan dengan dukungan sosial yang kuat dari keluarga dan lingkungan sekitar, serta kemampuan beradaptasi dan penerimaan diri yang positif. Hasil ini mendukung hipotesis penelitian dan menyoroti pentingnya resiliensi sebagai faktor pelindung bagi harga diri dalam konteks multietnis.

1. Korelasi antara Resiliensi dan Harga Diri

Analisis data mengungkapkan korelasi positif signifikan antara resiliensi dan harga diri pada sampel anak multietnis Batak-Tionghoa, dengan nilai r = 0,513. Temuan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat resiliensi, semakin tinggi pula tingkat harga diri pada kelompok ini. Korelasi positif yang signifikan ini menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat antara kedua variabel tersebut. Temuan ini mendukung hipotesis penelitian yang menyatakan adanya hubungan positif antara resiliensi dan harga diri pada populasi yang diteliti. Hasil ini memberikan implikasi penting dalam memahami bagaimana resiliensi berperan dalam mendukung harga diri anak-anak multietnis yang mungkin menghadapi tantangan unik terkait identitas dan lingkungan sosial. Penelitian selanjutnya dapat menyelidiki lebih dalam mekanisme yang mendasari hubungan ini dan faktor-faktor yang memoderasi atau memediasi hubungan tersebut.

2. Tingkat Resiliensi dan Harga Diri pada Sampel

Hasil penelitian menunjukkan temuan menarik mengenai tingkat resiliensi dan harga diri pada sampel. Menariknya, 100% dari anak multietnis Batak-Tionghoa dalam penelitian ini dikategorikan memiliki tingkat resiliensi yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa kelompok ini memiliki kemampuan adaptasi dan mengatasi tantangan yang luar biasa. Namun, distribusi harga diri menunjukkan pola yang berbeda. Meskipun sebagian besar (85,2%) memiliki harga diri tinggi, masih ada proporsi (14,8%) yang berada dalam kategori sedang. Perbedaan antara distribusi resiliensi dan harga diri ini menunjukkan bahwa resiliensi yang tinggi tidak selalu menjamin harga diri yang tinggi. Faktor-faktor lain, yang mungkin tidak diukur dalam penelitian ini, bisa berperan dalam memengaruhi tingkat harga diri. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor tersebut dan memahami bagaimana resiliensi berinteraksi dengan faktor-faktor lain dalam membentuk harga diri.

3. Faktor faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Tinggi

Tingginya tingkat resiliensi pada anak multietnis Batak-Tionghoa dalam penelitian ini dapat dikaitkan dengan beberapa faktor. Dukungan sosial yang kuat dari keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekitar memainkan peran penting. Pengalaman hidup, proses belajar, dan pengasuhan keluarga yang hangat berkontribusi terhadap pembentukan resiliensi yang positif. Kemampuan bersikap fleksibel terhadap perbedaan, terbuka terhadap perubahan, serta penerimaan diri secara positif juga merupakan faktor kunci. Anak-anak ini cenderung berpikir positif, mencari hikmah dari setiap masalah, dan selalu fleksibel dalam berbagai situasi (Holaday dalam Southwick, P.C. 2001). Kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya internal untuk mengatasi masalah tanpa merasa terbebani atau bersikap negatif (steering through, Reivich & Shatte, 2002) juga berkontribusi pada resiliensi yang tinggi. Anak-anak ini mampu melewati tantangan dengan baik dan tidak terpuruk oleh masalah yang dihadapi. Temuan ini memberikan gambaran penting mengenai faktor-faktor pelindung yang berkontribusi pada resiliensi pada anak-anak dalam konteks multietnis.

IV.Kesimpulan dan Saran Mempertahankan Harga Diri dan Membangun Resiliensi

Penelitian ini menyimpulkan adanya hubungan positif antara resiliensi dan harga diri pada anak multietnis Batak-Tionghoa. Saran praktis untuk mempertahankan harga diri yang tinggi meliputi mengekspresikan diri dengan baik, percaya diri, dan memiliki kemampuan beradaptasi yang baik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki faktor-faktor lain yang mempengaruhi resiliensi dan harga diri pada populasi ini, serta untuk mengembangkan intervensi yang efektif untuk mendukung kesejahteraan anak-anak multietnis di Indonesia.

1. Kesimpulan Penelitian

Penelitian ini berhasil menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara resiliensi dan harga diri pada anak-anak multietnis Batak-Tionghoa. Temuan ini dikonfirmasi oleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,513. Hasil ini menunjukkan bahwa resiliensi berperan penting dalam membentuk dan mempertahankan harga diri yang positif pada kelompok ini. Meskipun 100% responden menunjukkan tingkat resiliensi tinggi, terdapat variasi dalam tingkat harga diri, dengan 14,8% berada di kategori sedang dan 85,2% di kategori tinggi. Ini menunjukkan bahwa resiliensi tinggi merupakan faktor penting, tetapi bukan satu-satunya penentu harga diri. Faktor-faktor lain, seperti dukungan sosial, pengalaman hidup, dan adaptasi budaya, kemungkinan juga berperan. Temuan ini memberikan kontribusi berharga pada pemahaman tentang dinamika psikologis anak-anak multietnis dan implikasinya terhadap intervensi yang tepat sasaran untuk peningkatan kesejahteraan mereka.

2. Saran Praktis untuk Mempertahankan Harga Diri dan Membangun Resiliensi

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar anak-anak multietnis Batak-Tionghoa diberikan dukungan untuk mempertahankan harga diri yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong mereka untuk aktif mengekspresikan diri, percaya pada persepsi dan reaksi mereka sendiri, serta membangun keyakinan diri yang kuat. Penting untuk membantu mereka agar tidak terpaku pada kesulitan dan tidak mudah terpengaruh oleh penilaian orang lain. Pengembangan kemampuan adaptasi dengan menciptakan suasana yang menyenangkan dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan ketahanan diri yang seimbang. Intervensi yang berfokus pada peningkatan kemampuan mengatasi tantangan dan membangun dukungan sosial dapat menjadi strategi yang efektif untuk memperkuat resiliensi dan harga diri. Penelitian lebih lanjut dengan desain yang lebih komprehensif dan sampel yang lebih besar sangat disarankan untuk mengkaji faktor-faktor yang memediasi dan memoderasi hubungan antara resiliensi dan harga diri pada populasi ini.

3. Saran untuk Penelitian Lanjutan

Penelitian ini membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam. Studi selanjutnya dapat menyelidiki faktor-faktor lain yang mungkin memengaruhi hubungan antara resiliensi dan harga diri, seperti peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial. Penggunaan metode kualitatif, seperti wawancara mendalam, dapat memberikan wawasan lebih kaya mengenai pengalaman hidup anak-anak multietnis dan strategi penyesuaian mereka. Penelitian longitudinal juga diperlukan untuk mengamati perkembangan resiliensi dan harga diri dari waktu ke waktu. Dengan memahami faktor-faktor yang berperan secara lebih rinci, intervensi yang lebih efektif dan tertarget dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis anak multietnis Batak-Tionghoa dan anak-anak multietnis lainnya di Indonesia. Studi pembanding dengan kelompok etnis lain juga dapat dilakukan untuk memperluas pemahaman tentang dinamika resiliensi dan harga diri dalam konteks budaya yang berbeda.