
Analisis Demoralisasi dalam Film Skandal Karya Jose Poernomo
Informasi dokumen
Penulis | Innes Dwi Sagitaningrum |
instructor/editor | Nurudin, M.Si |
school/university | Universitas Muhammadiyah Malang |
subject/major | Ilmu Komunikasi |
Jenis dokumen | Skripsi |
city_where_the_document_was_published | Malang |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 228.55 KB |
- Demoralisasi
- Film
- Analisis Isi
Ringkasan
I.Dampak Film Indonesia terhadap Moralitas Studi Kasus Skandal
Makalah ini menganalisis demoralisasi dalam film Indonesia, khususnya film "Skandal" karya Jose Poernomo. Penelitian ini meneliti bagaimana film-film, termasuk yang bertema seks, kekerasan, dan perselingkuhan, dapat mempengaruhi moralitas penonton, terutama generasi muda. Studi ini menemukan adanya pornografi di film Indonesia yang berpotensi merusak moralitas dan melanggar Undang-Undang Pornografi. Film seperti "Menculik Miyabi" dan "Suster Keramas 2", yang menampilkan artis porno Jepang seperti Miyabi dan Sora Aoi, menjadi contoh kasus yang dikaji. Penelitian juga mengeksplorasi bagaimana film dapat memperkuat atau melemahkan nilai-nilai budaya Indonesia dan dampaknya terhadap generasi muda yang cenderung terpengaruh budaya Barat.
II.Kategori Demoralisasi dalam Film Skandal
Penelitian mengkategorikan demoralisasi dalam film "Skandal" berdasarkan tiga aspek: moralitas perkawinan, moralitas seksual, dan moralitas sosial. Demoralisasi perkawinan meliputi pelanggaran nilai-nilai sakral pernikahan, seperti perselingkuhan dan percumbuan di luar nikah. Demoralisasi seksual menyoroti adegan-adegan yang eksplisit dan promosi seks bebas. Demoralisasi sosial mencakup penyajian perilaku menyimpang seperti penyalahgunaan narkoba dan kekerasan, yang digambarkan tanpa konsekuensi moral yang jelas. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis isi deskriptif kuantitatif dengan analisis distribusi frekuensi untuk menghitung kemunculan masing-masing kategori demoralisasi.
1. Demoralisasi dalam Film Skandal Perspektif Hadiwardoyo
Analisis demoralisasi dalam film "Skandal" mengacu pada kerangka kerja Hadiwardoyo yang membagi moral menjadi tiga kategori: moral perkawinan, moral seksual, dan moral sosial. Studi ini menggunakan kategorisasi ini sebagai dasar untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan berbagai bentuk pelanggaran moral yang ditampilkan dalam film. Konsep demoralisasi dijelaskan sebagai keadaan di mana nilai-nilai moral mengalami pergeseran dari norma-norma yang telah ada. Penulis menekankan pentingnya memahami kompleksitas demoralisasi dalam konteks hubungan antarmanusia seperti yang tergambar dalam film "Skandal". Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji bagaimana film tersebut menampilkan dan mungkin memperkuat atau menantang norma-norma moral yang berlaku di masyarakat Indonesia.
2. Kategori Demoralisasi Perkawinan dalam Film Skandal
Kategori demoralisasi perkawinan menekankan pada perbuatan individu yang telah menikah yang merusak nilai sakral pernikahan. Film "Skandal" dianalisis untuk mengidentifikasi adegan atau perilaku yang menunjukkan pelanggaran norma-norma perkawinan. Indikator yang digunakan mencakup tindakan bercumbu di luar pasangan sah. Definisi bercumbu dalam konteks ini mencakup tindakan fisik dan non-fisik yang dilakukan dengan tujuan membangkitkan birahi. Meskipun bercumbu bisa menjadi bagian dari hubungan romantis, dalam konteks film, tindakan ini dikaji dalam konteks nilai-nilai moral dan norma-norma perkawinan di masyarakat Indonesia. Penelitian ini menitikberatkan pada bagaimana penggambaran tersebut dapat mempengaruhi persepsi dan sikap penonton terhadap institusi pernikahan.
3. Kategori Demoralisasi Seksual dalam Film Skandal
Kategori demoralisasi seksual berfokus pada adegan dan perilaku yang eksplisit secara seksual dalam film "Skandal". Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi seberapa sering dan bagaimana adegan-adegan tersebut ditampilkan dan dampak potensial terhadap penonton. Penting untuk mempertimbangkan bagaimana penggambaran seksualitas yang ditampilkan dalam film dapat mempengaruhi persepsi dan sikap penonton, terutama generasi muda, terhadap seksualitas dan norma-norma sosial di sekitarnya. Penelitian akan memperhatikan aspek-aspek seperti jenis dan intensitas adegan seksual yang ditampilkan dalam film "Skandal" serta konteks di mana adegan tersebut ditampilkan untuk memahami maknanya dalam keseluruhan film. Ini juga dapat mencakup analisis bagaimana adegan-adegan tersebut diframe dan disajikan, serta bagaimana hal itu dapat memengaruhi interpretasi penonton.
4. Kategori Demoralisasi Sosial dalam Film Skandal
Demoralisasi sosial dalam film "Skandal" merujuk pada penggambaran perilaku menyimpang yang melanggar norma-norma sosial, tanpa konsekuensi moral yang jelas. Kategori ini mencakup berbagai tindakan seperti berbohong, yang dijelaskan sebagai pernyataan yang tidak benar dengan maksud untuk menipu orang lain. Konteks berbohong dalam film juga dikaji, termasuk motif dan konsekuensinya bagi karakter yang terlibat. Selain itu, perilaku lain seperti seks bebas dan kekerasan juga termasuk dalam kategori ini. Analisis akan berfokus pada bagaimana film tersebut menyajikan dan mempresentasikan perilaku-perilaku tersebut, dan apakah hal itu bisa dianggap sebagai normalisasi atau bahkan justifikasi dari perilaku yang dianggap melanggar norma sosial di Indonesia. Penelitian ini akan menyelidiki bagaimana hal itu dapat berdampak pada persepsi penonton tentang norma sosial.
5. Metode Analisis Data dan Uji Reliabilitas
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi deskriptif kuantitatif, dengan teknik analisis distribusi frekuensi untuk mengukur frekuensi kemunculan setiap kategori demoralisasi dalam film "Skandal". Data dikategorikan berdasarkan kerangka kerja yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk memastikan reliabilitas data, penelitian menggunakan sistem koding dan melibatkan dua koder tambahan untuk melakukan pengkodean secara independen. Rumus Hostly digunakan untuk mengukur tingkat kesepakatan antar koder. Proses ini bertujuan untuk mengurangi subjektivitas dan memastikan akurasi dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasikan berbagai bentuk demoralisasi yang ada dalam film "Skandal". Penelitian ini juga menjelaskan bahwa tujuan dari analisis adalah untuk memperoleh pemahaman objektif dan sistematis terhadap isi pesan komunikasi yang disampaikan oleh film tersebut.
III.Perkembangan Industri Perfilman Indonesia dan Pengaruhnya terhadap Moralitas
Makalah ini menelusuri perkembangan industri perfilman Indonesia, dari film bisu awal abad ke-20 hingga film-film box office masa kini seperti "Ayat-ayat Cinta". Meskipun film horor, komedi, dan seks masih mendominasi, industri perfilman Indonesia juga menghasilkan film-film berkualitas internasional. Namun, tingginya produksi film, terutama yang bermuatan demoralisasi, menimbulkan kekhawatiran atas dampaknya terhadap moralitas bangsa. Studi ini menyinggung teori tanggung jawab sosial media dan bagaimana hal itu berkaitan dengan peran film dalam membentuk norma dan nilai masyarakat. Penelitian ini juga membahas pentingnya filter budaya dalam mengadopsi tren global untuk mencegah westernisasi yang berlebihan.
1. Sejarah Perkembangan Perfilman Indonesia
Bagian ini menelusuri sejarah perfilman Indonesia, dimulai dari film bisu pertama, Lely Van Java (1926), yang diproduksi di Bandung oleh David. Kemudian, Krueger Corporation memproduksi Eulish Atjih (1927/1928), disusul oleh film-film bisu lainnya seperti Lutung Kasarung, Si Conat, dan Pareh pada tahun 1930-an. Film-film tersebut diproduksi oleh orang Belanda dan Cina. Pada masa kini, industri perfilman Indonesia berkembang pesat, ditandai dengan banyaknya film Indonesia yang diputar di bioskop. Meskipun film horor, komedi, dan bertema seks masih mendominasi, Indonesia juga menghasilkan film-film berkualitas internasional seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Perempuan Berkalung Sorban, Darah Garuda, Sang Pencerah, 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta, Alangkah Lucunya Negeri Ini, dan Serigala Terakhir. Ayat-ayat Cinta, sebagai salah satu film terlaris tahun 2008, menunjukkan peningkatan kualitas dan daya tarik film Indonesia, bahkan mengalahkan jumlah penonton film Titanic dalam tiga bulan pertama penayangannya. Hingga akhir 2008, diperkirakan terdapat sekitar 100 judul film yang diproduksi, menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dan dominasi film Indonesia di pasar domestik dibandingkan film box office Amerika.
2. Kritik Terhadap Film di Masa Lalu dan Teori Tanggung Jawab Sosial
Pada tahun 1920-an, film di Indonesia dianggap membahayakan moral karena penyajian tema seks yang eksplisit, iklan yang merangsang birahi, dan perilaku negatif para bintang film di luar layar. Tekanan kritik ini mendorong industri film untuk membentuk mekanisme pengaturan diri dan mengeluarkan kode etik pertama. Teori tanggung jawab sosial, yang muncul pada abad ke-20 dan dikembangkan oleh Komisi Kebebasan Pers, dibahas dalam konteks ini. Teori ini menekankan tanggung jawab media massa, termasuk film, terhadap masyarakat, majikan, dan pasar. Winarni (2003) menjelaskan prinsip utama teori ini, yaitu hak masyarakat untuk menuntut standar kerja yang tinggi dari media massa (sebagai "Public Good") dan tanggung jawab wartawan dan profesional media lainnya terhadap masyarakat, majikan, dan pasar. Ini menunjukan adanya pergeseran paradigma dalam memandang peran film, dari sekadar hiburan menjadi media yang memiliki tanggung jawab sosial.
IV.Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi deskriptif kuantitatif untuk menganalisis film "Skandal". Analisis distribusi frekuensi digunakan untuk mengukur frekuensi kemunculan masing-masing kategori demoralisasi. Uji reliabilitas dilakukan dengan melibatkan dua koder untuk memastikan ketepatan pengkategorian data. Rumus Hostly digunakan untuk menghitung tingkat kesepakatan antar koder dalam mengidentifikasi adegan-adegan yang mengandung unsur demoralisasi dalam film "Skandal".
1. Jenis Penelitian dan Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, yang berfokus pada pemaparan situasi atau peristiwa yang ada tanpa mencari hubungan sebab-akibat, menguji hipotesis, atau membuat prediksi (Rakhmat, 2005). Metode yang digunakan adalah analisis isi, yaitu teknik untuk mendeskripsikan secara objektif, sistematis, dan kuantitatif isi komunikasi. Analisis isi dipilih karena memungkinkan peneliti untuk memahami berbagai pesan komunikasi yang disampaikan oleh film "Skandal" secara objektif dan sistematis. Tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi dan mengukur tingkat demoralisasi yang terdapat dalam film tersebut. Dengan demikian, pendekatan ini sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian yang difokuskan pada deskripsi dan pengukuran fenomena demoralisasi di dalam film.
2. Teknik Analisis Data Analisis Distribusi Frekuensi
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis distribusi frekuensi. Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mengetahui frekuensi kemunculan masing-masing kategori demoralisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Data berupa isi demoralisasi dari film "Skandal" dimasukkan ke dalam kategorisasi yang telah ditetapkan. Kemudian, data dianalisis menggunakan alat distribusi frekuensi untuk mengetahui seberapa sering setiap kategori tema penelitian muncul. Dengan demikian, teknik ini memberikan gambaran kuantitatif tentang proporsi dan dominasi berbagai bentuk demoralisasi yang ditampilkan dalam film tersebut. Hasil analisis ini kemudian digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian terkait frekuensi dan jenis-jenis demoralisasi yang ada.
3. Uji Reliabilitas dan Validitas Kategorisasi
Untuk memastikan reliabilitas kategorisasi, peneliti menggunakan sistem koding dengan bantuan dua koder tambahan. Sistem koding diperlukan karena analisis scene film membutuhkan pemikiran subjektif, dan pembanding diperlukan untuk menyamakan perspektif. Uji reliabilitas bertujuan untuk mengetahui apakah kategori atau indikator yang digunakan sudah handal atau belum. Kedua koder tersebut diberikan definisi struktur kategori, unit analisis, bahan yang akan dikoding (scene dalam film "Skandal"), dan tabel kerja koding. Untuk mencapai tingkat reliabilitas yang diinginkan, peneliti mendefinisikan batas kategori sedetil mungkin. Rumus Hostly (Dominick, 2003:157) digunakan untuk menghitung tingkat kesepakatan antara peneliti dan koder, memastikan hasil penelitian dapat diandalkan dan konsisten.