Strategi Pemerintah Indonesia dalam Pemberdayaan dan Perlindungan UKM Menghadapi AEC 2015

Strategi Pemerintah Indonesia dalam Pemberdayaan dan Perlindungan UKM Menghadapi AEC 2015

Informasi dokumen

Penulis

Mu’izzuddin Dzulhakim

Sekolah

Universitas Muhammadiyah Malang, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Hubungan Internasional
Jenis dokumen Skripsi
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 384.64 KB
  • Strategi Pemerintah
  • Pemberdayaan UKM
  • Pasar Tunggal ASEAN

Ringkasan

I.Peran UKM Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN AEC 2015

Dokumen ini membahas daya saing UKM Indonesia dalam menghadapi AEC 2015. Meskipun UKM menyumbang signifikan terhadap PDB nasional dan penyerapan tenaga kerja (53,3% PDB dan 19,18% lapangan kerja pada 2006), mereka menghadapi tantangan besar dalam liberalisasi perdagangan. Usaha besar memiliki akses lebih baik terhadap infrastruktur dan pasar internasional, membuat UKM rentan terhadap persaingan dari perusahaan multinasional dan UKM regional. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing UKM dan memberikan proteksi UKM menjadi sangat krusial untuk keberhasilan Indonesia dalam Pasar Tunggal ASEAN.

1. Signifikansi UKM Indonesia dalam Perekonomian Nasional

Sektor UKM Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Data tahun 2006 menunjukkan kontribusi UKM sebesar 53,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap 19,18% dari total lapangan kerja. Angka ini menunjukkan betapa vitalnya peran UKM dalam menopang perekonomian dan stabilitas sosial di Indonesia. Kondisi ini menjadi latar belakang pentingnya pengembangan dan pemberdayaan UKM, khususnya dalam menghadapi liberalisasi perdagangan regional yang akan ditimbulkan oleh ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Ketahanan UKM dalam menghadapi guncangan ekonomi, seperti krisis Asia 1997, juga menjadi bukti kekuatan sektor ini. Pengembangan UKM relatif lebih mudah karena tidak memerlukan modal besar, terutama UKM yang terkait dengan sektor pertanian, sehingga menjadi tulang punggung ekonomi nasional dan daerah.

2. Perbandingan UKM Indonesia dengan Usaha Besar

Meskipun kontribusi UKM sangat signifikan, terdapat perbedaan yang mencolok antara UKM dan usaha besar dalam hal akses terhadap sarana dan prasarana industri. Pada tahun 2005, misalnya, nilai non-migas dari sektor usaha besar mencapai 79,72%, menunjukkan dominasi mereka dalam perdagangan internasional Indonesia. Namun, perlu dicatat bahwa jumlah perusahaan besar di Indonesia hanya 0,01% dari total unit usaha domestik. Sebagian besar unit usaha (99,05%) tergolong usaha kecil dan 0,14% usaha menengah (UKM). Perbedaan akses ini memberikan keunggulan kompetitif bagi usaha besar dalam menghadapi mekanisme Pasar Tunggal ASEAN 2015, sementara UKM menghadapi tantangan yang lebih besar untuk bersaing.

3. Tantangan dan Peluang UKM dalam Pasar Tunggal ASEAN 2015

Rencana penerapan AEC 2015 sebagai single market dan single production base menimbulkan optimisme dan pesimisme di kalangan pelaku usaha Indonesia. Di satu sisi, Pasar Tunggal ASEAN memberikan peluang bagi UKM untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas melalui perusahaan-perusahaan multinasional. UKM dapat berperan tidak hanya sebagai produsen tunggal, tetapi juga sebagai pemasok (supplier) dan mitra kerja bagi perusahaan multinasional, meningkatkan peran mereka sebagai industri padat karya. Namun, di sisi lain, AEC 2015 juga menghadirkan tantangan berupa persaingan yang ketat, bukan hanya dari korporasi asing, tetapi juga dari UKM regional. Sifat produk unggulan di kawasan intra-ASEAN yang cenderung kompetitif, bukan komplementer, semakin memperkuat tantangan ini. Penurunan tarif hingga nol persen dan penghapusan hambatan non-tarif dapat menyebabkan produk impor membanjiri pasar domestik. Jika UKM nasional tidak memiliki daya saing yang cukup, open trade dapat menjadi bumerang bagi keberadaannya, berpotensi menimbulkan gejolak sosial akibat peningkatan kemiskinan dan pengangguran.

4. Peran Pemerintah dalam Menghadapi AEC 2015

Pemerintah memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan arah perekonomian nasional dan mengembangkan sektor UKM. Dalam konteks AEC 2015, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan dan membangun infrastruktur yang mendukung pengembangan industri berbasis UKM. Pasar Tunggal ASEAN harus dilihat sebagai peluang sekaligus tantangan bagi UKM dalam negeri. Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan daya saing UKM agar mampu bersaing di pasar internasional yang semakin terbuka. Upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing UKM sangat bergantung pada kebijakan dan intensif yang dikeluarkan pemerintah, seiring dengan komitmen pemerintah untuk turut serta dalam wacana penerapan Pasar Tunggal ASEAN. Keberadaan UKM sebagai tulang punggung kehidupan masyarakat (menurut Stiglitz) semakin mempertegas perlunya perhatian dan dukungan pemerintah.

II.Hambatan dan Peluang UKM Indonesia di Era AEC 2015

UKM Indonesia menghadapi berbagai hambatan, termasuk akses terbatas pada modal, teknologi, dan informasi. Perbandingan dengan negara lain seperti Thailand, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan Amerika Serikat menunjukkan perbedaan signifikan dalam hal dukungan pemerintah dan pengembangan teknologi. Meskipun demikian, AEC 2015 juga menawarkan peluang besar bagi UKM untuk memasuki pasar yang lebih luas melalui kerjasama dengan perusahaan multinasional. Namun, untuk memanfaatkan peluang ini, UKM harus meningkatkan daya saing mereka melalui peningkatan kualitas produk, harga kompetitif, dan ketepatan pengiriman.

1. Hambatan Akses Sarana dan Prasarana Industri

Salah satu hambatan utama yang dihadapi UKM Indonesia adalah akses terbatas pada sarana dan prasarana industri. Hal ini terlihat dari dominasi usaha besar dalam perdagangan internasional Indonesia. Pada tahun 2005, nilai non-migas dari sektor usaha besar mencapai 79,72%, menunjukkan keunggulan mereka dalam akses pasar global. Sebaliknya, jumlah perusahaan besar di Indonesia hanya 0,01% dari total unit usaha domestik, sementara sebagian besar (99,05%) adalah usaha kecil dan 0,14% usaha menengah. Kesenjangan ini menciptakan hambatan yang signifikan bagi UKM Indonesia untuk bersaing secara setara dengan usaha besar, terutama dalam menghadapi liberalisasi perdagangan di era AEC 2015. Terbatasnya akses modal, teknologi, dan informasi juga memperparah kondisi ini, sehingga UKM kesulitan meningkatkan daya saing dan produktivitas.

2. Persaingan Ketat di Era Pasar Tunggal ASEAN 2015

Penerapan Pasar Tunggal ASEAN 2015, meskipun menawarkan peluang, juga menciptakan tantangan besar bagi UKM Indonesia. Persaingan akan semakin ketat, bukan hanya dari korporasi asing yang lebih besar dan memiliki sumber daya lebih memadai, tetapi juga dari UKM regional lainnya. Produk unggulan di kawasan intra-ASEAN cenderung bersifat kompetitif, bukan komplementer, sehingga persaingan antar-UKM di regional ASEAN akan semakin intens. Dengan penurunan tarif hingga nol persen dan penghapusan hambatan non-tarif, produk impor, baik dari korporasi besar maupun UKM regional, dapat membanjiri pasar domestik. Hal ini menjadi ancaman serius bagi UKM Indonesia yang belum memiliki daya saing dan nilai tambah yang cukup kompetitif. Kegagalan untuk meningkatkan daya saing dapat berakibat fatal, bahkan memicu gejolak sosial karena peningkatan kemiskinan dan pengangguran, mengingat stabilitas sosial ekonomi Indonesia sangat bergantung pada UKM.

3. Peluang Peningkatan Peran UKM melalui Kerjasama

Meskipun menghadapi banyak tantangan, Pasar Tunggal ASEAN 2015 juga membuka peluang bagi UKM Indonesia untuk meningkatkan perannya. Konsep Pasar Tunggal ASEAN sebagai single market dan single production base memungkinkan UKM untuk memperoleh akses pasar yang lebih luas melalui kolaborasi dengan perusahaan multinasional. UKM dapat berperan sebagai produsen (supplier) dan mitra kerja bagi perusahaan-perusahaan besar, meningkatkan peran mereka sebagai industri padat karya. Peluang ini menuntut UKM untuk lebih mandiri dan berorientasi ekspor (outward-looking). Namun, untuk memanfaatkan peluang ini, UKM harus meningkatkan daya saing melalui berbagai faktor, seperti harga yang lebih kompetitif, peningkatan kualitas produk, dan ketepatan waktu pengiriman. Dukungan dan kebijakan pemerintah sangat krusial dalam meningkatkan kapabilitas dan daya saing UKM Indonesia agar mampu memanfaatkan peluang ini secara optimal.

III.Strategi Pemerintah Indonesia dalam Memberdayakan UKM

Dokumen ini menekankan perlunya strategi pemerintah yang efektif untuk melindungi dan memberdayakan UKM Indonesia dalam menghadapi AEC 2015. Salah satu fokusnya adalah bagaimana pemerintah dapat meningkatkan daya saing UKM menghadapi liberalisasi perdagangan. Peran pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan, membangun infrastruktur, dan mengatasi hambatan akses modal dan teknologi menjadi kunci. Diskusi mengenai proteksi UKM, termasuk penerapan tarif dan kebijakan non-tarif, juga diangkat sebagai cara untuk melindungi UKM dari persaingan yang tidak seimbang. Penelitian terdahulu yang dikutip, misalnya oleh Drs. Idup Suhady, M.Si., dan Wira Arjuna, memberikan konteks perbandingan kebijakan UKM di berbagai negara dan persiapan Indonesia menghadapi AEC 2015.

1. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan UKM dan Respon terhadap AEC 2015

Dokumen ini meneliti strategi pemerintah Indonesia dalam memberdayakan dan melindungi UKM nasional dalam menghadapi AEC 2015. Pemerintah berperan penting dalam menentukan arah perekonomian nasional, termasuk mengeluarkan kebijakan dan membangun infrastruktur yang mendukung pengembangan industri berbasis UKM. Menghadapi Pasar Tunggal ASEAN 2015, pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk meningkatkan daya saing UKM agar mampu bersaing di pasar internasional. Hal ini meliputi upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing sektor UKM melalui kebijakan dan intensif yang tepat. Komitmen pemerintah untuk turut serta dalam wacana penerapan Pasar Tunggal ASEAN menjadi faktor penting dalam keberhasilan strategi ini. Penelitian terdahulu, misalnya oleh Drs. Idup Suhady, M.Si., membahas konsep kebijakan pengembangan UKM di berbagai negara, yang dapat menjadi referensi komparatif bagi kebijakan di Indonesia. Perbedaan mendasar terletak pada fokus penelitian, yaitu kebijakan pemerintah dalam merespon AEC 2015 sebagai Pasar Tunggal ASEAN, yang belum dibahas secara mendalam dalam penelitian sebelumnya.

2. Perbandingan Kebijakan UKM Indonesia dengan Negara Lain

Dokumen ini membandingkan kebijakan pengembangan UKM di Indonesia dengan beberapa negara seperti Thailand, Malaysia, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Perbedaan kebijakan terlihat dalam hal pendanaan dan keuangan, pengembangan teknologi untuk meningkatkan kualitas produk, pemasaran dan promosi (Indonesia dan Thailand masih bergantung pada pasar domestik, berbeda dengan negara lain yang lebih berorientasi ekspor), serta pengembangan sumber daya manusia sektor UKM. Salah satu perbedaan paling mendasar adalah adanya institusi khusus yang menangani kebijakan UKM di beberapa negara (misalnya, SMBA di Korea Selatan, SMEA di Taiwan, SBA di Amerika, SMIDEC di Malaysia, dan JASMEC di Jepang), sementara di Indonesia terdapat dualisme kebijakan antara MenegKop, PKM, dan Depperindag yang terkadang tumpang tindih. Penelitian ini fokus pada strategi pemerintah Indonesia dalam melindungi UKM dari liberalisasi perdagangan akibat Pasar Tunggal ASEAN, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang fokus pada Indonesia National Single Windows (INSW).

3. Proteksi UKM melalui Kebijakan Tarif dan Non Tarif

Dalam menghadapi persaingan yang ketat akibat AEC 2015, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan proteksi untuk melindungi UKM domestik. Konsep proteksi, termasuk hambatan tarif (tarif bea masuk) dan non-tarif, dibahas dalam dokumen ini. Kebijakan tarif digunakan untuk melindungi industri dan tenaga kerja dalam negeri dari persaingan produk asing. Sedangkan kebijakan non-tarif, seperti kuota impor, product regulation, subsidi pemerintah, dan anti-dumping, diterapkan sebagai reaksi terhadap maraknya perdagangan bebas. Subsidi, misalnya, dapat diberikan dalam bentuk regulasi pajak, fasilitas kredit, dan subsidi harga produk, bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri dan daya saing industri domestik. Namun, perlu diingat bahwa kebijakan proteksi dapat dianggap sebagai distorsi pasar, sehingga perlu keseimbangan antara peran negara dan mekanisme pasar bebas dalam menentukan kebijakan yang tepat untuk melindungi UKM Indonesia.

IV.Definisi dan Konsep Terkait UKM dan Proteksi

Dokumen ini menjelaskan beragam definisi UKM yang digunakan di Indonesia, menunjukkan perbedaan kriteria antara Kementerian Koperasi dan UKM, BPS, dan UU No. 20 Tahun 2008. Konsep proteksi dan bargaining power juga dibahas, dengan menjelaskan bagaimana pemerintah dapat menggunakan kebijakan tarif dan non-tarif (seperti subsidi, regulasi produk, dan anti-dumping) untuk melindungi UKM Indonesia dan meningkatkan bargaining power negara dalam perdagangan internasional. Konsep Pasar Tunggal (mengacu pada 'The Law of One Price' oleh Peter J. Lloyd) dan Vientienne Action Program (VAP) juga dibahas dalam konteks AEC 2015.

1. Definisi UKM di Indonesia Ketidakseragaman dan Implikasinya

Dokumen ini menyoroti ketidakseragaman definisi UKM di Indonesia. Berbagai lembaga menggunakan kriteria berbeda, termasuk Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), Badan Pusat Statistik (BPS), Keputusan Menteri Keuangan No. 316/KMK.016/1994, dan UU No. 20 Tahun 2008. Menegkop dan UKM mendefinisikan Usaha Kecil (termasuk Usaha Mikro) berdasarkan kekayaan bersih (maksimal Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan) dan penjualan tahunan (maksimal Rp 1.000.000.000). Definisi Usaha Menengah (UM) mencakup entitas usaha dengan kekayaan bersih lebih tinggi. UU No. 20 Tahun 2008 memberikan definisi berbeda, sementara BPS menggunakan jumlah tenaga kerja sebagai kriteria (5-19 orang untuk usaha kecil, 20-99 orang untuk usaha menengah). Ketidakseragaman ini menyulitkan perumusan kebijakan yang terintegrasi dan akurat untuk pengembangan UKM di Indonesia. Kementerian Keuangan juga memiliki definisi sendiri berdasarkan omset atau aset tahunan.

2. Konsep Proteksi dan Bargaining Power Negara

Dokumen ini menjelaskan konsep proteksi dan bargaining power dalam konteks UKM dan perdagangan internasional. Proteksionisme, sebagai kebijakan ekonomi untuk menghambat perdagangan antarnegara, dapat dilakukan melalui berbagai metode, termasuk tarif impor, pembatasan kuota, dan regulasi pemerintah lainnya. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi industri dan perusahaan domestik dari persaingan usaha asing, seringkali dikaitkan dengan anti-globalisasi dan bertentangan dengan perdagangan bebas. Di sisi lain, bargaining power diartikan sebagai posisi tawar suatu pihak dalam kerjasama internasional. Untuk meningkatkan bargaining power, suatu negara, termasuk Indonesia, perlu memberdayakan UKM sebagai alat untuk meningkatkan daya saing ekonomi di kancah regional ASEAN dan global. Indonesia dengan sumber daya alam (SDA) yang melimpah berpotensi untuk meningkatkan bargaining power-nya. Namun, implementasi kebijakan proteksi perlu mempertimbangkan sensitivitas pasar dan potensi distorsi yang dapat terjadi.

3. Mekanisme Proteksi Hambatan Tarif dan Non Tarif

Dokumen ini merinci mekanisme proteksi melalui hambatan tarif dan non-tarif. Hambatan tarif berupa pajak yang dikenakan pada barang impor untuk melindungi industri dan tenaga kerja dalam negeri. Sementara itu, hambatan non-tarif merupakan berbagai peraturan dan kebijakan (selain tarif) yang dapat menghambat perdagangan internasional. Contoh hambatan non-tarif termasuk penerapan sistem kuota, product regulation, subsidi pemerintah, dan praktik dumping. Subsidi pemerintah, yang dapat berupa regulasi pajak, fasilitas kredit, atau subsidi harga produk, bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri dan daya saing produsen domestik. Praktik dumping, yaitu menjual produk ke negara lain dengan harga di bawah harga pasar domestik, juga merupakan bentuk hambatan non-tarif. Dalam konteks Pasar Tunggal ASEAN, penghapusan hambatan tarif dan non-tarif menjadi komitmen utama, namun perlu strategi untuk tetap melindungi UKM domestik.