Strategi Hizbullah dalam Menghadapi Israel pada Perang Lebanon Kedua 2006

Strategi Hizbullah dalam Menghadapi Israel pada Perang Lebanon Kedua 2006

Informasi dokumen

Penulis

Amirul Musyaifudin

Sekolah

Universitas Muhammadiyah Malang

Jurusan Hubungan Internasional
Jenis dokumen Skripsi
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 650.43 KB
  • Strategi Perang
  • Hizbullah
  • Hubungan Internasional

Ringkasan

I.Konflik Hizbullah Israel 2006 Latar Belakang dan Perkembangan

Tesis ini meneliti strategi gerilya Hizbullah selama Perang Lebanon 2006 melawan Israel. Invasi Israel ke Lebanon pada 1982 melahirkan Hizbullah, yang bertujuan mengakhiri pendudukan Israel. Puncak konflik terjadi pada Juli-Agustus 2006, dipicu penculikan tentara Israel oleh Hizbullah. Pernyataan Ammar Mousawy, kepala Biro Hubungan Internasional Hizbullah, menuduh Amerika Serikat terlibat dalam konflik tersebut. Meskipun Israel secara historis menang dalam perang Arab-Israel sebelumnya, banyak pengamat menilai Hizbullah sebagai pemenang perang 34 hari ini, sebuah kesimpulan yang didukung oleh temuan Komite Winograd Israel yang menyatakan perang berakhir tanpa kemenangan militer yang jelas bagi Israel. Tokoh-tokoh kunci yang terlibat meliputi: Ariel Sharon (panglima perang Israel), Hassan Nasrallah (Sekjen Hizbullah), dan Ammar Mousawy (Hizbullah).

1. Invasi Israel ke Lebanon 1982 dan Lahirnya Hizbullah

Pada 6 Juni 1982, Israel menginvasi Lebanon Selatan untuk menghancurkan basis-basis pejuang PLO dan memperluas wilayahnya hingga Sungai Litani. Tujuan ini mencerminkan visi Ariel Sharon, yang kala itu panglima perang tertinggi, dan sejalan dengan visi David Ben Gurion tentang wilayah Israel yang 'natural', membentang dari Sungai Jordan hingga Sungai Litani. Invasi ini memicu pembentukan Hizbullah, sebuah organisasi perlawanan yang bertujuan mengakhiri pendudukan Israel di Lebanon. Sejarawan Yahudi, Dr. Israel Shahak, mencatat ambisi Zionis Maksimalis untuk wilayah Israel Raya yang meliputi Palestina, Sinai, Jordan, Suriah, Lebanon, dan sebagian Turki, yang menunjukkan konteks geopolitik luas dari konflik ini. Keinginan ekspansi teritorial Israel menjadi latar belakang penting konflik tersebut.

2. Kekosongan Kepemimpinan Syiah di Lebanon dan Perpecahan Internal

Hilangnya Musa Al-Shadr di Libya pada 1978 menciptakan kekosongan kepemimpinan di Majelis Tinggi Syiah Lebanon. Abdul Amir Qublan mengambil alih kepemimpinan, sementara tokoh-tokoh Syiah lain merujuk pada Sayyid Muhammad Hussein Fadzlullah. Perpecahan ini memengaruhi Harakatul Amal, sayap militer Majelis Tinggi Syiah. Konflik internal melahirkan tiga kelompok: kelompok Kamil As’ad dan Nabih Berri (Syiah sekuler), kelompok Hussein Al-Hussein dan Muhammad Mahdi Syam Ad-dien, dan kelompok yang menjadi cikal bakal Hizbullah, dipimpin oleh Sayyid Muhammad Hussein Fadzlullah dan Sayyid Hussein Al-Musawi. Kelompok terakhir ini melanjutkan misi Musa Al-Shadr untuk membangun basis Syiah di Lebanon di bawah naungan Revolusi Islam Iran. Perpecahan ini menggambarkan dinamika internal gerakan Syiah di Lebanon dan kontribusi terhadap pembentukan Hizbullah.

3. Hizbullah sebagai Partai Politik dan Kekuatan Militer

Hizbullah, dengan dukungan Iran, semakin kuat secara militer. Pada pemilu Lebanon 1992, Hizbullah menjadi partai politik dan menempatkan 8 wakilnya di parlemen, menunjukkan dukungan rakyat Lebanon. Keberhasilan ini terjadi di tengah trauma akibat agresi militer Israel yang menghancurkan infrastruktur dan menyebabkan ribuan korban sipil. Keberadaan Hizbullah sebagai kekuatan militer dan politik yang signifikan di Lebanon menjadi faktor penting dalam dinamika konflik dengan Israel. Partisipasi Hizbullah dalam politik Lebanon sekaligus mempertahankan kekuatan militernya menunjukkan kemampuan adaptasi dan strategi yang rumit.

4. Puncak Konflik 2006 dan Pernyataan Ammar Mousawy

Puncak konflik Hizbullah-Israel terjadi pada pertengahan 2006, dipicu penculikan dua tentara Israel oleh Hizbullah. Ammar Mousawy, kepala Biro Hubungan Internasional Hizbullah, menyatakan dalam wawancara bahwa tujuan sebenarnya Israel adalah menghancurkan Lebanon, dan Amerika Serikat terlibat langsung dalam memasok persenjataan. Pernyataan ini menunjukkan dugaan keterlibatan kekuatan internasional dalam konflik. Perang 34 hari tersebut, menurut banyak pengamat, menghasilkan kemenangan bagi Hizbullah, meskipun hanya kelompok perjuangan, bukan negara. Kesimpulan ini diperkuat oleh temuan Komite Winograd Israel yang menyatakan perang berakhir tanpa kemenangan militer yang jelas bagi Israel. Keberhasilan Hizbullah dalam menghadapi Israel yang memiliki kekuatan militer yang jauh lebih besar menjadi fokus utama penelitian ini.

5. Perbandingan dengan Perang Arab Israel Sebelumnya dan Perspektif Akademis

Perang Arab-Israel sebelumnya (1948, 1967, 1993) selalu dimenangkan Israel. Namun, konflik 2006 berbeda. Perang Enam Hari 1967, misalnya, menghasilkan pendudukan Israel atas Semenanjung Sinai, Dataran Tinggi Golan, Jalur Gaza, dan Tepi Barat. Konflik 2006, menurut analisis, menunjukkan kegagalan Israel dalam menghancurkan Hizbullah, yang dipandang sebagai kemenangan tak terduga bagi kelompok tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi Hizbullah yang menyebabkan kegagalan operasi militer Israel. Penulis menekankan pentingnya melihat konflik secara objektif dan menghindari interpretasi sempit, seperti pandangan kelompok Islam garis keras yang menganggap konflik sebagai perang antar agama.

II.Strategi Hizbullah dalam Perang 2006

Penelitian ini menganalisis empat aspek utama strategi gerilya Hizbullah: 1) Mobilisasi massa melalui aktivitas keagamaan, layanan sosial, dan pelatihan militer; 2) Strategi defensif yang efektif; 3) Intelijen yang kuat untuk mencegah kebocoran informasi dan peretasan data; dan 4) Perang propaganda dan informasi yang memanfaatkan media massa, termasuk Al-Manar, untuk membentuk opini publik. Hizbullah berhasil memanfaatkan perang informasi untuk menggambarkan Israel sebagai agresor, melemahkan konsensus internasional yang mendukung Israel.

1. Mobilisasi Massa oleh Hizbullah

Salah satu strategi utama Hizbullah dalam menghadapi Israel selama Perang Lebanon 2006 adalah mobilisasi massa. Ini dilakukan melalui serangkaian aktivitas keagamaan, pemberian layanan sosial, dan pelatihan militer kepada warga sipil Lebanon. Tujuannya adalah untuk mendapatkan dukungan luas dari masyarakat Lebanon dan membangun basis dukungan yang kuat bagi perjuangan Hizbullah melawan pendudukan Israel. Dengan menyediakan layanan kesehatan gratis dan membangun kembali rumah-rumah warga yang rusak akibat serangan Israel, Hizbullah berhasil meningkatkan dukungan masyarakat, terutama di wilayah selatan Beirut yang terpinggirkan. Semakin besar serangan Israel dan kerusakan yang ditimbulkan, semakin besar pula dukungan masyarakat Lebanon kepada Hizbullah, yang diposisikan sebagai pelindung rakyat.

2. Strategi Defensif Hizbullah

Selain mobilisasi massa, Hizbullah juga menerapkan strategi defensif yang efektif. Hal ini terlihat dari kemampuan mereka dalam melindungi diri dari serangan Israel yang intensif. Meskipun detail strategi defensif ini tidak dijelaskan secara rinci dalam dokumen ini, keberhasilan Hizbullah dalam menahan serangan Israel selama 34 hari menunjukkan efektivitas strategi pertahanan yang mereka terapkan. Kemampuan mereka untuk bertahan menghadapi serangan militer Israel yang kuat menjadi poin penting yang menunjukkan keahlian dan perencanaan strategis mereka.

3. Peran Intelijen Hizbullah

Peran intelijen Hizbullah sangat krusial dalam keberhasilan strategi mereka. Intelijen Hizbullah berperan dalam mengumpulkan informasi tentang Israel, serta mencegah kebocoran informasi internal Hizbullah. Mereka berupaya menangkal upaya peretasan data dan penyebaran mata-mata Israel di Lebanon. Keberhasilan operasi intelijen ini secara tidak langsung berkontribusi pada keberhasilan strategi Hizbullah secara keseluruhan, karena informasi akurat yang didapat memungkinkan mereka untuk merencanakan strategi yang tepat dan efektif. Meskipun rincian kemampuan intelijen Hizbullah tidak dijelaskan secara mendetail, keberhasilan mereka dalam mengantisipasi dan menghadapi serangan Israel menunjukkan efektifitas peran intelijen mereka.

4. Propaganda dan Perang Informasi Hizbullah

Hizbullah menggunakan propaganda dan perang informasi sebagai senjata penting dalam menghadapi Israel. Mereka menanamkan rasa takut di hati musuh melalui propaganda yang efektif, dan secara bersamaan menggunakan media massa, khususnya Al-Manar, untuk mengarahkan opini publik sesuai dengan kepentingan mereka. Al-Manar, yang disebut sebagai 'stasiun perlawanan', berhasil menampilkan Israel sebagai agresor, dan dengan demikian mengikis dukungan internasional kepada Israel. Penggunaan media massa untuk menyebarkan informasi dan gambar-gambar korban serangan Israel, sekaligus mengungkap kekejaman Israel, menjadi strategi efektif Hizbullah dalam memengaruhi opini publik internasional dan menunjukan kekuatan 'soft power' mereka.

III.Penelitian Terdahulu dan Kerangka Konseptual

Penelitian sebelumnya oleh Iver Gabrielsen, Patrick Devenny, dan Anthony H. Cordesman membahas strategi dan taktik Hizbullah, kemampuan militernya, dan peran Iran dan Suriah. Gabrielsen mencatat evolusi strategi Hizbullah dari serangan bunuh diri awal menjadi pendekatan yang lebih pragmatis. Devenny menekankan kemajuan militer Hizbullah berkat dukungan Iran. Cordesman membahas peran Iran dan Suriah dalam penyediaan persenjataan dan intelijen. Lorenza Fontana menganalisis strategi perang informasi Hizbullah, menekankan peran Al-Manar dalam membentuk persepsi publik. Penelitian ini menggabungkan perspektif-perspektif ini dalam kerangka konseptual yang mengkaji perang gerilya berdasarkan teori-teori Sun Tzu dan Mao Tse-Tung, menekankan pentingnya mobilisasi massa, strategi defensif, intelijen, dan propaganda dalam konteks perang informasi.

1. Tinjauan Penelitian Terdahulu tentang Strategi Hizbullah

Dokumen ini merujuk beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan strategi Hizbullah. Penelitian Iver Gabrielsen, 'Hezbollah's Strategy and Tactics in the Security Zone from 1985 to 2000', mencatat evolusi strategi Hizbullah dari penggunaan taktik bom bunuh diri di awal pembentukannya hingga pendekatan yang lebih pragmatis dan berfokus pada dukungan masyarakat pada tahun 1992, ketika Hizbullah mendeklarasikan diri sebagai partai politik. Penelitian Patrick Devenny, 'Hezbollah's Strategic Threat to Israel', menekankan kemajuan militer Hizbullah yang signifikan berkat dukungan Iran dan Suriah, termasuk kepemilikan roket dan teknologi pesawat tanpa awak. Sementara itu, penelitian Anthony H. Cordesman, 'Preliminary “Lessons” of the Israeli-Hezbollah War', menyoroti peran penting Iran dan Suriah sebagai penyedia persenjataan dan pendiri pusat intelijen Hizbullah-Iran-Suriah di Damaskus. Penelitian Lorenza Fontana, 'Hezbollah vs Israel: Confronting Information Strategies in the 2006 Lebanese War', menganalisis strategi perang informasi Hizbullah, khususnya peran media Al-Manar.

2. Kerangka Konseptual Strategi Gerilya dan Perang Informasi

Kerangka konseptual penelitian ini didasarkan pada pemahaman strategi gerilya, mengacu pada teori-teori Sun Tzu dan Mao Tse-Tung. Sun Tzu menekankan penggunaan seluruh sumber daya untuk mengalahkan musuh yang lebih kuat, sedangkan Mao Tse-Tung memandang perang gerilya sebagai senjata bagi pihak yang lemah dalam hal persenjataan. Penelitian ini juga memasukkan aspek perang informasi atau 'cyberwar' sebagai bagian penting dari strategi gerilya modern. Konsep perang gerilya dalam konteks ini meliputi beberapa tahap: organisasi dan konsolidasi basis regional, mobilisasi penduduk untuk mendapatkan dukungan, ekspansi progresif, dan akhirnya, konfrontasi langsung dengan musuh. Intelijen dan propaganda juga dianggap sebagai faktor krusial dalam strategi gerilya, di mana propaganda bertujuan untuk menggagalkan propaganda musuh dan mengarahkan opini publik.

IV.Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik dokumentasi, mengumpulkan data dari buku, jurnal, artikel, dan laporan media tentang konflik Hizbullah-Israel 2006. Analisis data meliputi pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Fokus penelitian dibatasi pada periode setelah penarikan pasukan Israel dari Lebanon pada tahun 2000 hingga diberlakukannya Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1701 pada 14 Juli 2006.

1. Jenis Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif, dengan data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar, bukan angka-angka. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi, yaitu pengumpulan data dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, artikel, dan laporan media massa yang berkaitan dengan konflik Hizbullah-Israel tahun 2006. Data-data ini akan dianalisis secara mendalam untuk memberikan gambaran akurat tentang strategi Hizbullah. Peneliti akan menganalisis data dalam bentuk aslinya sebisa mungkin, untuk menghindari bias dan interpretasi yang keliru. Metode ini dipilih karena sifat penelitian yang fokus pada analisis kualitatif dari berbagai sumber informasi.

2. Batasan Waktu dan Materi Penelitian

Penelitian ini membatasi ruang lingkup waktu sejak penarikan pasukan Israel dari Lebanon pada tahun 2000 hingga diberlakukannya Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1701 pada 14 Juli 2006, yang menandai berakhirnya perang 34 hari antara Israel dan Hizbullah. Perang 34 hari tersebut diawali dengan penculikan dua tentara Israel oleh Hizbullah pada 12 Juli 2006. Dalam hal materi, penelitian ini memfokuskan pada strategi Hizbullah dalam menghadapi Israel selama Perang Lebanon Kedua tahun 2006, khususnya strategi gerilya yang meliputi mobilisasi masyarakat, strategi defensif, peran intelijen, dan perang propaganda dan informasi melalui media massa. Pembatasan ini bertujuan untuk menghindari ketidakvalidan data yang disebabkan oleh kompleksitas konflik yang melibatkan banyak pihak dan kepentingan.

3. Proses Analisis Data

Proses analisis data dalam penelitian ini mencakup empat tahap utama. Pertama, pengumpulan data dari berbagai sumber. Kedua, reduksi data, yaitu proses penyeleksian, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data yang relevan. Ketiga, sajian data, yang berupa rangkaian argumentasi informasi yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Keempat, penarikan kesimpulan atau verifikasi, yang dilakukan dengan mengkaji reduksi dan sajian data. Jika kesimpulan dirasa kurang kuat, peneliti akan kembali menggali data untuk memperkuat temuan. Proses ini memastikan analisis data yang sistematis dan teliti untuk mencapai kesimpulan yang valid dan akurat terkait strategi Hizbullah selama Perang Lebanon Kedua 2006.