Peran KFOR dan UNMIK dalam Intervensi Kemanusiaan di Kosovo

Peran KFOR dan UNMIK dalam Intervensi Kemanusiaan di Kosovo

Informasi dokumen

Penulis

Vebriant Indra Gunawan

school/university Universitas Muhammadiyah Malang
subject/major Hubungan Internasional
Jenis dokumen Skripsi
city_where_the_document_was_published Malang
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 399.66 KB
  • Intervensi Kemanusiaan
  • KFOR
  • UNMIK

Ringkasan

I.Latar Belakang Konflik Kosovo

Skripsi ini membahas intervensi kemanusiaan di Kosovo pasca konflik etnis antara etnis Albania dan etnis Serbia. Konflik ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk trauma sejarah, kebijakan represif Slobodan Milošević, dan kebangkitan kembali identitas etnis pasca runtuhnya Yugoslavia. Kegagalan dalam pengendalian situasi menyebabkan banyak korban jiwa, termasuk pembantaian yang dilakukan oleh pemimpin Serbia, Slobodan Milošević terhadap etnis Albania di Kosovo. Hal ini memicu intervensi kemanusiaan oleh KFOR dan UNMIK.

1. Hubungan Tidak Harmonis Etnis Albania dan Serbia di Kosovo sebelum 1999

Sejak berdirinya Republik Federal Sosialis Yugoslavia pada tahun 1945, hubungan antara etnis Albania dan Serbia di Kosovo telah diwarnai ketidakharmonisan. Trauma sejarah yang dialami etnis Serbia akibat pembantaian oleh etnis Albania pada masa pendudukan Jerman menjadi salah satu faktor penyebabnya. Pada masa itu, kebijakan Hitler menggabungkan sebagian besar wilayah Kosovo ke dalam negara Albania Raya semakin memperkeruh suasana. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990, identitas etnis kembali muncul, mencapai puncaknya di masa pemerintahan Slobodan Milošević. Pengurangan otonomi negara bagian di bawah kekuasaan Milošević memicu demonstrasi dan konflik di berbagai provinsi Yugoslavia, termasuk Kosovo. Solidaritas etnis Serbia, yang mayoritas di wilayah pusat, untuk mempertahankan Yugoslavia, semakin memperburuk situasi. Pada musim semi 1999, pemerintah pusat mengirimkan pasukan untuk membantu etnis Serbia melawan Tentara Pembebasan Kosovo (UCK). Tekanan dari Jerman dan Austria kepada Uni Eropa untuk mengakui kemerdekaan Slovenia dan Kroasia pada 1991, dan desakan referendum di Kosovo yang ditolak etnis Serbia, semakin memperkeruh konflik antar etnis.

2. Eskalasi Konflik dan Kebutuhan Intervensi Kemanusiaan

Meskipun mendapat dukungan dana dari diaspora Albania untuk mendirikan negara, kekuatan negara pusat (Serbia) yang lebih besar dan profesional menyebabkan banyak korban jiwa di pihak Albania, termasuk warga sipil. Kecaman internasional, terutama dari Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang awalnya percaya pada kemampuan rezim Tito untuk mengendalikan keamanan, diabaikan. Hal ini menyebabkan intervensi kemanusiaan menjadi tindakan yang terpaksa dilakukan. Pada saat itu, Liga Demokrat Kosovo (LDK) bahkan mendirikan negara bayangan dengan sistem administrasi, kepolisian, pendidikan, peradilan, dan kesehatan yang mandiri, didanai oleh sumbangan diaspora Albania di Jerman, Swiss, dan Amerika Serikat. Namun, kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi, termasuk pembantaian yang dilakukan oleh pemimpin Serbia Slobodan Milošević terhadap etnis Albania di Kosovo, menjadi pemicu utama perlunya intervensi kemanusiaan.

3. Perdebatan Hukum Internasional Terkait Intervensi Kemanusiaan

Intervensi kemanusiaan di Kosovo menimbulkan perdebatan sengit dalam hukum internasional. Tindakan ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara, namun sering dilanggar dengan alasan kemanusiaan. Intervensi yang dilakukan KFOR dan UNMIK di Kosovo menjadi contoh nyata dari dilema ini. Skripsi ini akan membahas lebih lanjut tentang perdebatan ini dan bagaimana intervensi kemanusiaan dibenarkan, meskipun melanggar prinsip kedaulatan negara. Aspek ini menjadi kunci untuk memahami konteks dan legitimasi intervensi KFOR dan UNMIK di Kosovo.

II.Peran KFOR dalam Peacekeeping

Pasukan KFOR (Kosovo Force), dibawah pimpinan NATO, berperan penting dalam peacekeeping di Kosovo. Intervensi militer KFOR, termasuk serangan udara selama 78 hari, berhasil menghentikan pertempuran terbuka antara etnis Albania (termasuk Tentara Pembebasan Kosovo atau UCK) dan etnis Serbia. KFOR berfokus pada penghentian kekerasan dan perlindungan warga sipil, sebagai bagian dari proses resolusi konflik.

1. KFOR dan Misi Peacekeeping di Kosovo

Pasukan KFOR (Kosovo Force), di bawah komando NATO, memainkan peran utama dalam misi peacekeeping di Kosovo. Intervensi militer KFOR, yang meliputi serangan udara selama 78 hari, bertujuan untuk menghentikan kekerasan dan konflik bersenjata antara etnis Albania dan Serbia. Aksi militer KFOR berhasil memukul mundur pasukan Serbia dan menciptakan kondisi yang lebih stabil untuk memulai proses perdamaian. KFOR berfokus pada upaya untuk menghentikan pertempuran terbuka, melindungi warga sipil dari kekerasan, dan menciptakan lingkungan yang aman untuk transisi menuju proses perdamaian yang lebih permanen. Peran KFOR sebagai penjaga perdamaian internasional di Kosovo menjadi landasan bagi tahap selanjutnya dari intervensi kemanusiaan, yaitu peacemaking dan peacebuilding yang dilakukan oleh UNMIK.

2. Tujuan dan Strategi KFOR dalam Misi Peacekeeping

Tujuan utama KFOR adalah untuk menciptakan gencatan senjata dan mencegah pecahnya kembali perang terbuka antara pihak-pihak yang bertikai. Dengan mengerahkan pasukan militer di daerah konflik, KFOR mengawasi gencatan senjata dan memastikan keamanan penduduk sipil. Upaya de-eskalasi konflik antara pihak-pihak yang terlibat menjadi bagian integral dari strategi KFOR. Misi peacekeeping KFOR menekankan netralitas dalam menjaga perdamaian. KFOR juga berperan dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk dimulainya negosiasi damai dan upaya rekonsiliasi antara kelompok-kelompok yang bertikai. Setelah keberhasilan dalam menghentikan kekerasan bersenjata, peran KFOR kemudian beralih kepada pemeliharaan keamanan dan stabilitas sementara UNMIK mengambil alih proses membangun perdamaian.

3. Keterbatasan dan Tantangan KFOR dalam Misi Peacekeeping

Meskipun berhasil menghentikan pertempuran besar-besaran, KFOR tetap menghadapi tantangan dalam misi peacekeeping-nya. Dokumen tersebut tidak secara eksplisit menjabarkan keterbatasan dan tantangan yang dihadapi KFOR. Namun, implisit terdapat kemungkinan adanya kendala dalam mengontrol sepenuhnya situasi di lapangan, mengingat kompleksitas konflik etnis dan kemungkinan adanya kelompok-kelompok yang masih berupaya untuk mengganggu stabilitas. Keberhasilan KFOR dalam menciptakan kondisi yang lebih aman menjadi prasyarat bagi UNMIK untuk menjalankan misi peacemaking dan peacebuilding. Oleh karena itu, evaluasi terhadap keberhasilan dan keterbatasan KFOR dalam misi peacekeeping-nya akan menjadi penting untuk memahami keseluruhan proses intervensi kemanusiaan di Kosovo.

III.Peran UNMIK dalam Peacemaking dan Peacebuilding

Setelah KFOR berhasil menstabilkan situasi, UNMIK (United Nations Interim Administration Mission in Kosovo) mengambil alih peran peacemaking dan peacebuilding. UNMIK bertugas membangun pemerintahan lokal otonom, menerapkan desentralisasi, dan mendorong rekonstruksi pasca konflik di Kosovo. Namun, upaya peacebuilding UNMIK menghadapi berbagai tantangan, termasuk kontrol media dan kompleksitas persepsi lokal, yang berdampak pada proses resolusi konflik dan keberhasilan intervensi kemanusiaan jangka panjang. Studi ini juga menelaah kontribusi dari peneliti seperti Tim CDA, Boriz Kanzleiter, dan Jean Narten yang membahas tantangan dalam membangun perdamaian di Kosovo.

1. UNMIK dan Tahap Peacemaking di Kosovo

Setelah KFOR berhasil menciptakan stabilitas keamanan di Kosovo, UNMIK (United Nations Interim Administration Mission in Kosovo) mengambil alih peran dalam proses peacemaking. UNMIK dibentuk pada 10 Juni 1999, dan bertugas untuk membangun pemerintahan lokal yang otonom dan menerapkan politik desentralisasi atau federalisme. Meskipun Kosovo masih berada di bawah kekuasaan Serbia, UNMIK berperan sebagai penengah dan fasilitator dalam membangun pemerintahan lokal yang mandiri. Proses peacemaking UNMIK melibatkan upaya untuk mempertemukan pihak-pihak yang bertikai pada tingkat elit atau kepemimpinan, mencari solusi damai melalui berbagai mekanisme seperti konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. UNMIK berupaya membangun kepercayaan antara kelompok-kelompok etnis yang bertikai dan menciptakan kondisi yang memungkinkan proses perdamaian dapat berlangsung secara efektif. UNMIK juga berupaya membangun kembali institusi-institusi negara yang hancur akibat konflik.

2. UNMIK dan Tahap Peacebuilding di Kosovo

UNMIK juga berperan penting dalam tahap peacebuilding di Kosovo. Peacebuilding melibatkan implementasi rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi di daerah-daerah yang hancur akibat konflik. UNMIK berupaya mengidentifikasi struktur-struktur lokal yang dapat diperkuat untuk memperkokoh perdamaian dan mencegah konflik berulang. Namun, penelitian lain, seperti studi Jean Narten, menunjukkan adanya kesalahan dalam strategi peacebuilding UNMIK yang mengakibatkan korban jiwa. UNMIK, bersama lembaga-lembaga lain seperti KFOR dan OSCE di bawah payung PBB, dinilai gagal memahami kompleksitas multi-dimensi persepsi lokal, yang mempengaruhi proses peacebuilding dari bawah ke atas. Meskipun sudah mencapai tahap peacebuilding, kerusuhan masih terjadi, contohnya tewasnya dua pemuda Albania oleh minoritas Serbia, menunjukkan tantangan dalam upaya UNMIK membangun perdamaian yang berkelanjutan.

3. Tantangan dan Keterbatasan UNMIK dalam Peacemaking dan Peacebuilding

UNMIK menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan peran peacemaking dan peacebuilding. Salah satu tantangan utama adalah mengontrol media yang dapat memicu pertentangan etnis, sebagaimana ditemukan dalam laporan Tim CDA. Studi ini juga akan menganalisis peran UNMIK dalam konteks tiga tahapan intervensi kemanusiaan menurut Stephen Ryan, yaitu peacekeeping, peacemaking, dan peacebuilding. Penelitian ini membandingkan temuannya dengan penelitian sebelumnya, termasuk laporan Tim CDA, penelitian Boriz Kanzleiter tentang kerusuhan yang masih terjadi pasca intervensi kemanusiaan, dan penelitian Jean Narten tentang kesalahan dalam strategi peacebuilding UNMIK. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang peran UNMIK dalam intervensi kemanusiaan di Kosovo dan faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilannya.

IV.Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) dengan menganalisis berbagai sumber, termasuk buku, jurnal, dan dokumen resmi. Analisis data difokuskan pada peran KFOR dan UNMIK dalam tiga tahapan intervensi kemanusiaan:peacekeeping, peacemaking, dan peacebuilding di Kosovo (1999-2008). Konsep intervensi kemanusiaan dan resolusi konflik digunakan sebagai alat analisis utama untuk memahami keberhasilan dan tantangan dalam membangun perdamaian di Kosovo.

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik analisis deskriptif. Peneliti memilih pendekatan ini untuk menjelaskan peran KFOR dan UNMIK dalam intervensi kemanusiaan di Kosovo tanpa mencari hubungan sebab-akibat antara variabel. Metode ini sesuai dengan tujuan penelitian untuk mendeskripsikan peran kedua lembaga tersebut dalam konteks resolusi konflik di Kosovo. Penelitian bersifat deskriptif karena bertujuan untuk menjelaskan peran KFOR sebagai peacekeeper dan UNMIK sebagai peacemaker dan peacebuilder dalam intervensi kemanusiaan di Kosovo. Dengan kata lain, penelitian ini fokus pada pemaparan peran masing-masing lembaga tanpa menganalisis hubungan kausalitas antar variabel.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research). Peneliti mengumpulkan data sekunder dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, surat kabar, dokumen resmi, dan internet. Proses pengumpulan data diawali dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin, kemudian data diseleksi dan dikelompokkan sesuai sistematika penulisan. Penggunaan data sekunder dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran KFOR dan UNMIK berdasarkan literatur dan dokumen yang telah ada, bukan melalui pengumpulan data primer langsung dari lapangan. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data menggunakan teknik kualitatif non-statistik. Data yang berupa teks, uraian, dan interpretasi dari berbagai sumber akan diuraikan dan ditafsirkan ke dalam kalimat dan paragraf. Teknik analisis ini cocok untuk penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan peran KFOR dan UNMIK dalam intervensi kemanusiaan di Kosovo. Konsep intervensi kemanusiaan dan resolusi konflik digunakan sebagai alat analisis utama untuk memahami peran KFOR dan UNMIK dalam konteks peace-keeping, peace-making, dan peace-building. Analisis ini akan fokus pada pemaparan peran, strategi, dan dampak dari intervensi kedua lembaga tersebut terhadap situasi di Kosovo.

4. Batasan Waktu dan Kajian

Untuk menghindari cakupan yang terlalu luas, penelitian ini membatasi kajian pada peran UNMIK dan KFOR dalam intervensi kemanusiaan di Kosovo pasca konflik etnis antara tahun 1999-2008. Penelitian difokuskan pada bentuk-bentuk intervensi kemanusiaan dan resolusi konflik yang terjadi di Kosovo, serta upaya UNMIK dan KFOR dalam memulihkan kondisi pasca konflik etnis. Pembatasan waktu dan kajian ini memastikan fokus penelitian tetap terjaga dan hasil analisis lebih mendalam. Dengan batasan ini, penelitian dapat memberikan gambaran yang jelas dan terarah mengenai peran kedua lembaga tersebut dalam periode waktu tertentu.

V.Kesimpulan

Skripsi ini menyimpulkan peran penting KFOR dan UNMIK dalam intervensi kemanusiaan di Kosovo. KFOR berhasil melakukan peacekeeping, sementara UNMIK berupaya melakukan peacemaking dan peacebuilding. Namun, keberhasilan resolusi konflik di Kosovo menghadapi berbagai kendala dan membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Penelitian ini memberikan wawasan penting tentang intervensi kemanusiaan dalam konteks konflik etnis dan proses membangun perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace) di Kosovo.

1. Peran KFOR dalam Peacekeeping

Kesimpulannya, KFOR, dibawah pimpinan NATO, berhasil melaksanakan misi peacekeeping di Kosovo dengan efektif. Intervensi militer KFOR, termasuk operasi udara selama 78 hari, berhasil menghentikan konflik bersenjata dan menciptakan kondisi yang aman bagi penduduk sipil. Peran KFOR sebagai penjaga perdamaian menciptakan landasan yang penting bagi tahap selanjutnya dari intervensi kemanusiaan, yaitu peacemaking dan peacebuilding yang diemban oleh UNMIK. Meskipun dokumen ini tidak secara eksplisit membahas keterbatasan KFOR, keberhasilannya dalam menstabilkan situasi keamanan di Kosovo menjadi faktor krusial dalam keberhasilan keseluruhan proses intervensi kemanusiaan.

2. Peran UNMIK dalam Peacemaking dan Peacebuilding

UNMIK, setelah KFOR, berperan dalam peacemaking dan peacebuilding di Kosovo. UNMIK berhasil membangun pemerintahan lokal yang otonom dan menerapkan desentralisasi. Namun, upaya peacebuilding UNMIK menghadapi berbagai tantangan. Penelitian lain menunjukkan adanya kelemahan dalam mengelola media dan memahami kompleksitas persepsi lokal, yang menghambat proses perdamaian. Meskipun demikian, UNMIK berhasil menjalankan peran penting dalam membangun kembali institusi-institusi negara dan mendorong rekonsiliasi. Kesimpulannya, keberhasilan UNMIK dalam peacemaking dan peacebuilding masih memerlukan evaluasi yang lebih mendalam mengingat tantangan yang dihadapi.

3. Implikasi dan Rekomendasi

Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan peran penting KFOR dan UNMIK dalam intervensi kemanusiaan di Kosovo. KFOR berhasil menghentikan kekerasan, sementara UNMIK berupaya membangun perdamaian. Namun, tantangan dalam mencapai resolusi konflik yang berkelanjutan tetap ada, menuntut pendekatan yang komprehensif dan memperhatikan berbagai faktor politik, sosial, dan ekonomi. Penelitian ini menyoroti pentingnya memahami kompleksitas konflik etnis dan peran berbagai aktor internasional dalam upaya membangun perdamaian yang berkelanjutan di Kosovo. Kesimpulannya, keberhasilan intervensi kemanusiaan di Kosovo memerlukan kerjasama yang efektif antara aktor internasional dan pemahaman yang mendalam terhadap konteks lokal.