
Isu Perdagangan Manusia di Asia Tenggara dan Dampaknya dalam Hubungan Internasional
Informasi dokumen
Jurusan | Hubungan Internasional |
Jenis dokumen | Tesis/Skripsi |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 293.59 KB |
- Perdagangan Manusia
- Hubungan Internasional
- Keamanan Non-Tradisional
Ringkasan
I.Perdagangan Manusia di Asia Tenggara Fokus pada Peran Indonesia
Dokumen ini membahas permasalahan serius perdagangan manusia (human trafficking) di Asia Tenggara, khususnya peran Indonesia dalam penanganannya. Laporan UNODC (2006) menunjukkan Asia Tenggara sebagai wilayah utama asal dan tujuan trafficking, dengan Indonesia, Thailand, Vietnam, Myanmar, Kamboja, dan Laos terlibat sebagai negara asal, transit, dan tujuan. Trafficking ini melibatkan berbagai korban, termasuk anak-anak dan perempuan, dengan Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Sulawesi, dan Nusa Tenggara sebagai wilayah asal di Indonesia. Angka trafficking sangat mengkhawatirkan, dengan estimasi ratusan ribu korban dari kawasan Asia Tenggara (kecuali Brunei dan Singapura) setiap tahunnya. Kejahatan transnasional ini menghasilkan keuntungan ilegal yang besar, menjadikannya salah satu kejahatan terorganisir terbesar di dunia.
1. Asia Tenggara sebagai Pusat Perdagangan Manusia
Bagian ini menyoroti temuan laporan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2006 yang menempatkan Asia Tenggara sebagai wilayah utama asal dan tujuan perdagangan manusia (human trafficking). Asia Tenggara dikategorikan sebagai negara asal dengan indeks medium dan negara tujuan dengan indeks low. Dokumen ini menekankan bahwa kawasan ini berperan sebagai lumbung perdagangan manusia, melibatkan berbagai negara sebagai negara asal, transit, dan tujuan. Korban perdagangan manusia beragam, meliputi anak-anak, perempuan, dan juga kemungkinan pria dewasa. Di Indonesia, pulau Jawa, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur menjadi wilayah asal yang paling banyak menyumbang kasus. Sementara itu, di Thailand, Bangkok menjadi pusat utama, dan secara geografis Thailand juga berperan sebagai negara transit dan tujuan, demikian pula dengan Myanmar, Kamboja, dan Laos. Vietnam juga mengalami peningkatan kasus perdagangan manusia hingga 60% antara tahun 2001 dan 2006, dengan kasus-kasus yang melibatkan perdagangan perempuan Vietnam ke Taiwan dan Malaysia untuk kerja paksa dan eksploitasi seksual. Data International Organization for Migration (IOM) memperkirakan 200.000-225.000 perempuan dan anak-anak diperdagangkan dari Asia Tenggara (kecuali Brunei Darussalam dan Singapura). Semua negara ASEAN terlibat sebagai negara asal, transit, dan tujuan perdagangan manusia. Kondisi ini menunjukkan potensi peningkatan kasus perdagangan manusia di masa mendatang.
2. Skala Global Perdagangan Manusia dan Dampaknya
Dokumen ini menjelaskan bahwa perdagangan manusia merupakan kejahatan terorganisir terbesar ketiga di dunia berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menghasilkan keuntungan ilegal sekitar 9,5 juta USD atau sekitar Rp 950 triliun. Perdagangan manusia merupakan bisnis kriminal yang sangat menguntungkan, dengan perkiraan 1-2 juta perempuan dan anak diperdagangkan setiap tahunnya di seluruh dunia. Perdagangan manusia merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara internasional, meskipun konvensi perbudakan secara komprehensif baru diadopsi pada tahun 1926. Larangan perbudakan juga tercantum dalam instrumen HAM internasional, seperti Pasal 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 8 Konvenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), dan Pasal 6 (1) Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia. Dalam situasi konflik bersenjata, semua bentuk perbudakan juga merupakan pelanggaran hukum. Kemunduran ekonomi di negara miskin, yang dipengaruhi oleh negara-negara kapitalis maju (Baran, 1957), dianggap sebagai salah satu penyebab utama merebaknya perdagangan manusia.
3. Peran dan Upaya Indonesia dalam Penanggulangan Perdagangan Manusia
Pemerintah Indonesia menunjukkan keprihatinan terhadap perdagangan manusia di Asia Tenggara, yang mendorong pembentukan jaringan anti perdagangan anak, seperti Indonesia Against Child Trafficking. Hal ini menandakan kesadaran Indonesia untuk mengatasi masalah perdagangan manusia lintas negara. Peran Indonesia sangat penting, baik secara geografis maupun politik. Sebagai negara dengan wilayah dan penduduk terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap perdagangan manusia. Di sisi lain, Indonesia juga berperan aktif dalam mengkampanyekan anti perdagangan manusia dan dituntut untuk terlibat dalam pemberantasan masalah kemanusiaan di Asia Tenggara (ASEAN Chairmanship 2011). Situasi ini mendorong Indonesia untuk melakukan upaya konkret dalam memberantas praktik perdagangan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam peran Indonesia dalam menangani perdagangan manusia di Asia Tenggara, yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yang lebih fokus pada aspek domestik. Penelitian ini akan memberikan informasi bagi praktisi perlindungan perempuan dan anak, serta masukan bagi eksekutif dan legislatif dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah terkait pemberantasan perdagangan manusia.
II.Ancaman Keamanan Non Tradisional dan Human Security
Masalah human trafficking diidentifikasi sebagai ancaman keamanan non-tradisional yang serius, mengancam keamanan manusia (human security). Kemiskinan struktural dan kegagalan negara dalam mensejahterakan rakyatnya menjadi faktor pendorong utama. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) memainkan peran penting dalam mensekuritisasi isu ini, mendorong pemerintah untuk merespon dengan kebijakan seperti UU PTPPO No. 21 tahun 2007. Penelitian ini mengkaji human trafficking melalui lensa human security dan kejahatan transnasional, mempertimbangkan pentingnya peran negara dalam melindungi warga negaranya dari eksploitasi dan perdagangan manusia.
1. Perdagangan Manusia sebagai Ancaman Keamanan Non Tradisional
Dokumen ini menjelaskan pergeseran paradigma keamanan pasca Perang Dingin dari keamanan tradisional (perang antar negara) ke keamanan non-tradisional. Ancaman non-tradisional ini mencakup berbagai isu global, termasuk terorisme dan perdagangan manusia (human trafficking). Perdagangan manusia, khususnya perdagangan perempuan dan anak, diidentifikasi sebagai isu ancaman non-tradisional yang signifikan di Indonesia. Hal ini bukan hanya terbatas pada prostitusi paksa atau perdagangan seks, tetapi juga mencakup berbagai bentuk eksploitasi seperti kerja paksa, termasuk kerja domestik, yang banyak menimpa anak-anak. Kegagalan negara dalam menyejahterakan rakyatnya memperparah situasi ini, mengancam keamanan manusia (human security). Perluasan jangkauan studi keamanan mendorong lembaga non-negara untuk berperan dalam bidang keamanan non-tradisional. Kemiskinan struktural yang disebabkan oleh struktur sosial dan negara itu sendiri, juga merupakan ancaman keamanan bagi bangsa (state security), karena keamanan bangsa bergantung pada keamanan warganya. Trafficking perempuan dan anak, awalnya dianggap kurang penting oleh pemerintah, berhasil disekuritisasi oleh LSM melalui berbagai upaya komunikasi dan advokasi, sehingga pemerintah merespon dengan kebijakan seperti UU PTPPO No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
2. Human Security dan Pendekatan Keamanan Manusia
Dokumen ini menjelaskan pentingnya pendekatan keamanan manusia (human security) untuk memahami permasalahan perdagangan manusia. Pasca Perang Dingin, fokus wacana keamanan bergeser dari isu militer dan politik ke isu yang terkait dengan kondisi hidup individu dan masyarakat. Paradigma keamanan yang sebelumnya menekankan aspek teritorial, negara, dan militer, diperluas hingga menyentuh aspek keamanan individu. Human Development Report 1994 (UNDP) mendefinisikan keamanan manusia sebagai keamanan dari ancaman kronis seperti kelaparan, penyakit, dan represi, serta perlindungan atas pola kehidupan sehari-hari dari gangguan yang tiba-tiba dan menyakitkan. Konsep keamanan manusia menekankan empat karakteristik esensial: universal, interdependen, pencegahan dini, dan berbasis pada keamanan manusia. Buzan, Barry, dan Waever (Security: A New Framework for Analysis) menekankan keamanan berkaitan dengan kelangsungan hidup. Ancaman terhadap kelangsungan hidup suatu unit kolektif dipandang sebagai ancaman eksistensial. Perubahan global menuntut negara untuk menata ulang filosofi, sistem, dan mekanisme pengamanannya, memperluas cakupan keamanan hingga mencakup aspek keamanan individu. Negara harus berupaya memajukan keamanan manusia untuk mencegah kejahatan yang membahayakan keamanan individu.
3. Transnational Crime dan Perdagangan Manusia
Dokumen ini membahas perdagangan manusia sebagai kejahatan transnasional (transnational crime). Kejahatan transnasional seperti human trafficking merupakan ancaman serius bagi negara-negara di Asia Tenggara, yang memiliki posisi geografis strategis. Kejahatan transnasional merupakan masalah global yang terus meningkat, diperparah oleh globalisasi. Indonesia, Thailand, dan Malaysia menjadi wilayah yang rawan terhadap kejahatan transnasional, termasuk perdagangan manusia. Human trafficking didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang bertujuan mengeksploitasi perempuan dan anak, meliputi perekrutan, pengangkutan antar daerah dan negara, pemindahan, pemberangkatan, penerimaan, dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, dengan ancaman, kekerasan, penculikan, penipuan, atau jebakan hutang. Eksploitasi mencakup pelacuran, eksploitasi seksual lain, kerja paksa, perbudakan, dan pengambilan organ tubuh. Perdagangan manusia melanggar hak asasi manusia karena menjadikan manusia sebagai komoditas. Peran Indonesia dalam menangani perdagangan manusia dapat dipahami sebagai bentuk kepedulian negara terhadap keamanan manusia, yang sama pentingnya dengan menjaga keamanan negara (state security). Keamanan negara dilihat sebagai prasyarat bagi terciptanya keamanan manusia.
III.Peran Indonesia dalam Penanganan Human Trafficking
Posisi geografis dan demografis Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara meningkatkan kerentanan terhadap perdagangan manusia. Indonesia berperan penting dalam kampanye anti-trafficking di tingkat regional ASEAN. Penelitian ini meneliti peran konkret Indonesia dalam menangani human trafficking lintas negara di Asia Tenggara, berbeda dengan studi sebelumnya yang lebih fokus pada situasi domestik. Upaya-upaya Indonesia meliputi pembentukan jaringan anti trafficking anak seperti Indonesia Against Child Trafficking, serta upaya-upaya sosialisasi dan penegakan hukum. Pentingnya transformasi sistem hukum nasional untuk memberikan keadilan dan perlindungan kepada korban juga ditekankan.
1. Kerentanan Geografis dan Politik Indonesia
Indonesia, sebagai negara dengan wilayah dan populasi terbesar di Asia Tenggara, memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap praktik perdagangan manusia (human trafficking). Posisi geografis Indonesia menjadikannya jalur strategis untuk perdagangan manusia lintas negara. Selain itu, posisi politik Indonesia sebagai negara yang aktif mengkampanyekan anti-perdagangan manusia, ditandai dengan peran Indonesia sebagai ketua ASEAN pada tahun 2011, yang menuntut keterlibatan aktif dalam memberantas masalah kemanusiaan di Asia Tenggara, termasuk human trafficking. Fakta-fakta tersebut mendorong Indonesia untuk melakukan upaya-upaya konkret dalam memberantas praktik perdagangan manusia. Penelitian ini berfokus pada peran Indonesia dalam penanganan perdagangan manusia di tingkat regional, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang lebih berfokus pada kondisi domestik. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan penelusuran mendalam terhadap peran Indonesia dalam menangani perdagangan manusia di Asia Tenggara.
2. Inisiatif dan Respon Pemerintah Indonesia
Keprihatinan pemerintah Indonesia terhadap kasus human trafficking di Asia Tenggara telah mendorong terciptanya jaringan anti perdagangan anak di Indonesia, seperti Indonesia Against Child Trafficking. Ini menunjukkan kesadaran Indonesia untuk segera menyelesaikan persoalan perdagangan manusia lintas negara. Keterlibatan Indonesia dalam pemberantasan perdagangan manusia sangat penting, baik dari aspek geografis maupun politik. Indonesia, dengan wilayah dan penduduknya yang besar, memiliki kerawanan tinggi terhadap praktik perdagangan manusia. Di sisi lain, peran Indonesia sebagai negara yang mengkampanyekan anti perdagangan manusia dan tuntutan dari ketua ASEAN tahun 2011 untuk terlibat dalam memberantas persoalan kemanusiaan di Asia Tenggara, mendorong Indonesia untuk melakukan upaya-upaya konkret dalam memberantas praktik perdagangan manusia. Penelitian ini akan meneliti lebih lanjut upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, termasuk kebijakan dan program yang telah diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut.
3. Kebijakan dan Transformasi Hukum yang Diperlukan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para praktisi di bidang perlindungan perempuan dan anak untuk mengetahui kondisi faktual perlindungan perempuan dan anak di Indonesia, sehingga dapat membantu dalam merumuskan langkah-langkah kongkret dalam penanggulangan human trafficking. Hasil penelitian juga dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi eksekutif dan legislatif, terutama dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan manusia. Agar transformasi hukum yang memberikan keadilan dan perlindungan kepada korban trafficking serta mencegah terjadinya trafficking dapat terwujud, semua komponen dalam sistem hukum nasional harus mengalami transformasi, meliputi substansi hukum, struktur hukum (legislator, pemerintah, dan aparat penegak hukum), budaya hukum, dan moral hukum. Penelitian ini juga akan menganalisis bagaimana peran Indonesia di kawasan dalam menangani permasalahan perdagangan manusia dapat dimaksimalkan melalui kerjasama regional dan nasional.
IV.Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menggambarkan peran Indonesia dalam menangani human trafficking lintas negara di Asia Tenggara periode 2000-2011. Fokus penelitian meliputi peran pemerintah Indonesia dalam penanganan kasus human trafficking di kawasan Asia Tenggara, khususnya melalui jalur perbatasan yang menjadi titik transit. Data dianalisis secara kualitatif, disajikan dalam bentuk naratif sistematis, bukan data kuantitatif.
1. Tipe Penelitian dan Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain, baik yang sudah memiliki hipotesis maupun belum. Dalam konteks penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan peran Indonesia dalam menangani human trafficking lintas negara di kawasan Asia Tenggara. Teknik analisis data yang digunakan bersifat kualitatif. Data yang diperoleh dari berbagai sumber akan dipaparkan dan dilaporkan dalam bentuk kalimat penjelasan secara sistematis dan terstruktur, bukan dalam bentuk angka-angka atau jumlah. Pelaporan disajikan sebagai gambaran peran Indonesia di kawasan dalam menangani permasalahan perdagangan manusia (human trafficking) lintas negara di Asia Tenggara. Penelitian ini tidak menganalisis aspek hukum perlindungan terhadap korban human trafficking seperti yang dibahas dalam buku yang diedit oleh L.M Ghandhi Lapian dan Hetty A. Geru, melainkan berfokus pada human trafficking sebagai kejahatan transnasional dengan menitikberatkan pada keterlibatan negara (Indonesia) dalam perannya menangani permasalahan tersebut.
2. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Untuk membatasi ruang lingkup penelitian, penulis memberikan batasan-batasan tertentu terkait trafficking. Penelitian ini memberikan gambaran tentang peran pemerintah Indonesia dalam penanganan kasus human trafficking di kawasan Asia Tenggara, khususnya melalui daerah perbatasan yang menjadi komoditas transit untuk melakukan perdagangan manusia ke negara tetangga. Periode penelitian dibatasi pada tahun 2000 sampai 2011. Dengan demikian, penelitian ini tidak membahas seluruh aspek terkait human trafficking secara menyeluruh, tetapi lebih terfokus pada peran Indonesia dalam konteks geografis dan temporal tersebut. Fokus utamanya adalah pada peran Indonesia dalam menangani human trafficking sebagai kejahatan transnasional di Asia Tenggara, bukan pada aspek hukum perlindungan korban atau kondisi domestik di Indonesia semata, seperti yang diteliti oleh Halimatussakdiyah. Penelitian ini menggunakan dua konsep utama yaitu human security dan transnational crime untuk mendeskripsikan peran Indonesia dalam penanganan human trafficking di Asia Tenggara.
V.Kesimpulan Kejahatan Transnasional dan Human Trafficking
Human trafficking sebagai bentuk kejahatan transnasional merupakan ancaman serius bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Penelitian ini menekankan pentingnya pendekatan human security dalam memahami dan mengatasi permasalahan ini. Peran Indonesia dalam penanganan perdagangan manusia lintas negara di Asia Tenggara membutuhkan kerjasama regional dan transformasi sistem hukum nasional untuk melindungi hak asasi manusia dan menciptakan keamanan bagi seluruh warganya.
1. Ancaman Serius Kejahatan Transnasional
Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan kejahatan transnasional (transnational crime) yang menjadi ancaman serius bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Posisi geografis yang strategis di kawasan ini menjadikannya lahan subur bagi pertumbuhan berbagai jenis kejahatan lintas batas, termasuk penyelundupan senjata dan terorisme. Kejahatan transnasional merupakan masalah global yang terus meningkat dan diperburuk oleh globalisasi. Oleh karena itu, upaya melawan dan mengatasi ancaman yang ditimbulkan oleh kejahatan transnasional, khususnya perdagangan manusia, menjadi sangat krusial bagi negara-negara di Asia Tenggara. Penelitian ini menekankan perlunya tindakan pencegahan dan penanggulangan human trafficking secara simultan, dari tingkat nasional hingga komunitas terkecil, melalui sosialisasi dan langkah-langkah tegas. Penting juga untuk memperhatikan keamanan manusia (human security) secara intensif dan melindungi kepentingan masyarakat serta negara dari tindakan tercela yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dalam kejahatan perdagangan manusia.
2. Pentingnya Pendekatan Human Security
Perdagangan manusia mengindikasikan bahwa manusia tidak lagi diposisikan sebagai makhluk dengan derajat yang sama, melainkan sebagai komoditas. Mereka yang kurang bermodal dibeli oleh pihak-pihak yang bermodal, baik sebagai pekerja maupun untuk pemuas kebutuhan biologis, yang sering berujung pada kematian. Fenomena ini terjadi di seluruh dunia, termasuk di Asia Tenggara. Oleh karena itu, berdasarkan konsep human security, peran Indonesia di kawasan untuk menangani persoalan perdagangan manusia menjadi sebuah keharusan sebagai bagian dari tuntutan masyarakat global. Hal ini merupakan implikasi dari pergeseran paradigma keamanan dari tradisional ke non-tradisional. Keamanan tidak hanya dimaknai sebagai ancaman terhadap negara, tetapi juga sebagai ancaman terhadap keberlangsungan hidup ras manusia. Ancaman tersebut dapat berupa program nuklir dan perdagangan manusia (human trafficking).
3. Kesimpulan Umum dan Relevansi Penelitian
Penelitian ini menggunakan konsep human security dan transnational crime untuk mendeskripsikan peran Indonesia dalam menangani human trafficking lintas negara di Asia Tenggara. Kedua konsep ini relevan karena human trafficking merupakan persoalan lintas negara yang terkait dengan kedaulatan antar negara. Penelitian ini berbeda secara signifikan dengan studi terdahulu. Penelitian sebelumnya oleh Halimatussakdiyah lebih fokus pada analisis perdagangan perempuan dan anak sebagai ancaman non-tradisional di Indonesia (domestik). Penelitian ini lebih menekankan peran Indonesia di kawasan dalam menangani human trafficking sebagai kejahatan transnasional di Asia Tenggara secara lebih luas. Penelitian ini tidak mengkaji aspek hukum perlindungan korban human trafficking, seperti yang dilakukan dalam buku yang diedit oleh L.M Ghandhi Lapian dan Hetty A. Geru, melainkan fokus pada human trafficking sebagai kejahatan transnasional dengan menitikberatkan pada keterlibatan Indonesia dalam perannya menangani permasalahan tersebut.