
Respon Negara Terhadap Isu Terorisme Global di Asia Tenggara
Informasi dokumen
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 698.36 KB |
Jurusan | Hubungan Internasional atau Ilmu Politik |
Jenis dokumen | Tesis atau Skripsi |
- terorisme
- kebijakan luar negeri
- kerjasama internasional
Ringkasan
I.Latar Belakang Isu Terorisme dan Respon Kebijakan Luar Negeri Indonesia dan Filipina
Dokumen ini membahas kebijakan luar negeri Indonesia dan Filipina sebagai respon terhadap isu terorisme global, khususnya pasca peristiwa 11 September 2001. Peristiwa 9/11 memicu kebijakan anti-terorisme global Amerika Serikat, yang berdampak signifikan pada negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Filipina, karena anggapan bahwa kelompok ekstrimis Islam di kawasan ini terlibat. Kedua negara, di bawah kepemimpinan Presiden Megawati (Indonesia) dan Presiden Arroyo (Filipina), menjalankan kebijakan luar negeri yang menekankan kerja sama internasional, terutama dengan Amerika Serikat dan melalui organisasi regional seperti ASEAN, untuk mengatasi ancaman terorisme. Kerjasama ini mencakup program seperti IMET dan FMS dengan AS, serta upaya bersama dalam melawan kelompok-kelompok seperti Jamaah Islamiyah (Indonesia) dan Abu Sayyaf (Filipina).
1. Munculnya Isu Terorisme Global Pasca 9 11
Bagian ini menjelaskan bagaimana peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat menjadi titik balik penting dalam isu terorisme global. Seruan anti-terorisme oleh Presiden George W. Bush menandai dimulainya sebuah era baru dalam kebijakan internasional terkait terorisme. Tuduhan internasional terhadap kelompok-kelompok ekstrimis Islam sebagai dalang peristiwa tersebut mempengaruhi negara-negara di Asia Tenggara, mengingat mayoritas penduduk di kawasan ini beragama Islam. Hal ini memicu kekhawatiran dan mendorong negara-negara di Asia Tenggara untuk mengambil langkah-langkah dalam menanggapi ancaman terorisme yang semakin meluas. Secara khusus, dokumen ini fokus pada respons Indonesia dan Filipina terhadap isu ini, mengingat posisi geografis dan demografis kedua negara di Asia Tenggara yang membuatnya rentan terhadap ancaman terorisme.
2. Respon Kebijakan Luar Negeri Indonesia dan Filipina
Menanggapi kebijakan anti-terorisme global Amerika Serikat dan ancaman terorisme yang semakin nyata, Indonesia dan Filipina mengembangkan kebijakan luar negeri yang menekankan kerja sama internasional. Kerja sama ini dilakukan baik dengan negara-negara lain, terutama Amerika Serikat, maupun dengan organisasi regional seperti ASEAN. Dokumen tersebut mencatat beberapa bentuk kerja sama yang dilakukan Indonesia dan Filipina dengan Amerika Serikat. Di Indonesia, kerja sama dengan AS meliputi partisipasi dalam program Military Education and Training (IMET) dan pengaktifan kembali penjualan senjata non-lethal melalui Foreign Military Sales (FMS), serta pembatasan Foreign Military Financing (FMF). Hal ini disebabkan karena AS melihat peran Indonesia dalam pemberantasan terorisme global, khususnya terkait dengan jaringan Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Sementara itu di Filipina, pemerintah Amerika Serikat mendukung upaya pemerintah Filipina dalam menekan kelompok teroris Abu Sayyaf dan berupaya mencari penyelesaian yang dinegosiasikan dengan MILF. Dukungan ini bahkan termasuk penempatan 1.300 pasukan AS di Filipina Selatan pada tahun 2002 untuk membantu operasi melawan Abu Sayyaf di Pulau Basilan dan Mindanao.
3. Persamaan dan Perbedaan Kedua Negara dalam Menghadapi Terorisme
Dokumen ini juga mencatat persamaan dan perbedaan antara Indonesia dan Filipina dalam menghadapi terorisme. Kedua negara merupakan negara berkembang di Asia Tenggara, dan pada saat munculnya isu ini, keduanya dipimpin oleh pemimpin perempuan, yaitu Megawati Soekarnoputri (Indonesia) dan Gloria Macapagal Arroyo (Filipina). Keduanya memandang terorisme sebagai ancaman serius terhadap keamanan nasional dan regional, dan meningkatnya aksi terorisme pasca 9/11 semakin memperkuat pandangan tersebut. Respon langsung terhadap kebijakan anti-terorisme global AS dilakukan dengan berbagai kerja sama untuk mengatasi masalah terorisme. Kerja sama di tingkat regional juga serupa, mengingat kedua negara merupakan anggota ASEAN. Namun, meskipun tujuannya sama, perbedaan dalam karakteristik kepemimpinan, struktur pemerintahan, dan pengaruh media massa pada akhirnya akan membentuk perbedaan dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri kedua negara.
II.Perbandingan Proses Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Indonesia dan Filipina
Penelitian ini membandingkan proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia dan Filipina dalam merespon isu terorisme. Meskipun kedua negara sama-sama negara berkembang di Asia Tenggara yang menganggap terorisme sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, proses pembuatan kebijakan luar negeri mereka dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kepemimpinan nasional (Megawati dan Arroyo), struktur pemerintahan (eksekutif dan legislatif), dan peran media massa. Studi ini menganalisis bagaimana perbedaan faktor-faktor internal ini berdampak pada implementasi kebijakan luar negeri kedua negara dalam konteks kerja sama internasional untuk melawan terorisme.
1. Indikator Perbandingan Kebijakan Luar Negeri
Bagian ini menjelaskan bahwa untuk membandingkan kebijakan luar negeri Indonesia dan Filipina dalam menanggapi terorisme, peneliti menggunakan beberapa indikator. Indikator pertama adalah kesamaan kedua negara sebagai negara berkembang di Asia Tenggara yang dipimpin oleh pemimpin perempuan (Megawati Soekarnoputri dan Gloria Macapagal Arroyo) pada saat peristiwa tersebut. Kedua negara sama-sama menganggap terorisme sebagai ancaman bagi keamanan nasional dan regional, dan meningkatnya aksi terorisme pasca 9/11 semakin memperkuat persepsi tersebut. Respon terhadap kebijakan terorisme global AS dilakukan melalui kerjasama internasional, baik dengan negara lain maupun dengan ASEAN. Indikator selanjutnya adalah lembaga pemerintahan (eksekutif dan legislatif) beserta rezim yang berkuasa, di mana karakteristik kepemimpinan dan sudut pandang para pemimpin dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri. Indikator ketiga adalah media massa, yang turut mempengaruhi proses pengambilan keputusan karena pemimpin negara mempertimbangkan respons publik terhadap kebijakan yang diambil.
2. Peran Aktor Internal dalam Proses Pembuatan Kebijakan
Analisis perbandingan kebijakan luar negeri kedua negara difokuskan pada proses pembuatannya. Dokumen menjelaskan bahwa proses ini melibatkan berbagai aktor internal yang berperan sebagai faktor penentu. Meskipun kedua negara merespon isu terorisme global dengan cara yang mirip, terlihat bahwa perbedaan dalam aktor internal, seperti karakteristik kepemimpinan, struktur pemerintahan, dan pengaruh media massa, mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri masing-masing negara. Studi ini bertujuan untuk membandingkan bagaimana faktor-faktor internal ini membentuk respons Indonesia dan Filipina terhadap terorisme global, dan bagaimana hal tersebut berdampak pada kerja sama internasional mereka.
III.Kerja Sama Indonesia dan Filipina dengan Amerika Serikat dalam Penanggulangan Terorisme
Sebagai respon terhadap kebijakan anti-terorisme global AS, baik Indonesia maupun Filipina menjalin kerja sama yang intensif dengan Amerika Serikat. Indonesia berpartisipasi dalam program IMET (Military Education and Training) dan FMS (Foreign Military Sales) pasca 2005, sementara Filipina menerima dukungan militer AS dalam operasi melawan Abu Sayyaf di Mindanao, termasuk penempatan pasukan AS pada tahun 2002. Kerjasama ini mencerminkan upaya bersama dalam melawan terorisme dan menunjukkan pentingnya peran Amerika Serikat dalam membentuk kebijakan luar negeri Indonesia dan Filipina terkait isu ini. Namun, tantangan seperti perbedaan ideologi dan opini publik juga menjadi faktor penting dalam dinamika hubungan tersebut.
1. Kerja Sama Indonesia AS dalam Penanggulangan Terorisme
Kerja sama Indonesia dengan Amerika Serikat dalam menanggulangi terorisme pasca 9/11 difokuskan pada beberapa program. Salah satunya adalah partisipasi Indonesia dalam program Military Education and Training (IMET) yang disetujui oleh Presiden George W. Bush pada tahun 2005. Hal ini didorong oleh pandangan Amerika Serikat bahwa Indonesia berperan penting dalam pemberantasan terorisme global, mengingat keberadaan jaringan Al-Qaeda, khususnya Jamaah Islamiyah, yang melakukan berbagai aksi terorisme di Indonesia. Selain IMET, kerja sama juga mencakup pengaktifan kembali penjualan senjata non-lethal melalui Foreign Military Sales (FMS) pada Mei 2005. Namun, pada November 2005, pendanaan militer asing (Foreign Military Financing/FMF) dibatasi oleh AS karena kekhawatiran keamanan nasional. Kerja sama ini menunjukkan komitmen AS dalam mendukung upaya Indonesia dalam memerangi terorisme, meskipun terdapat pertimbangan-pertimbangan keamanan dan politik yang memengaruhi bentuk dan skala kerja sama tersebut.
2. Kerja Sama Filipina AS dalam Penanggulangan Terorisme
Pemerintahan Bush juga mendukung kebijakan Filipina dalam menggunakan kekuatan militer untuk menekan kelompok teroris Abu Sayyaf, serta berupaya mencapai penyelesaian yang dinegosiasikan dengan MILF. Dukungan Amerika Serikat terhadap Filipina terlihat nyata pada tahun 2002 dengan penempatan 1.300 pasukan AS di Filipina Selatan untuk membantu operasi melawan Abu Sayyaf di Pulau Basilan dan Mindanao. Hal ini menunjukkan skala kerja sama militer yang signifikan antara Filipina dan AS dalam menghadapi ancaman terorisme. Dukungan AS terhadap Filipina dalam hal ini menggambarkan komitmen Amerika Serikat dalam membantu negara-negara sekutunya di Asia Tenggara untuk mengatasi ancaman terorisme, meskipun pendekatan yang diterapkan mungkin berbeda dengan pendekatan yang dilakukan di Indonesia.
3. Kerja Sama sebagai Respon Terhadap Isu Terorisme Global
Kerja sama Indonesia dan Filipina dengan negara lain, khususnya Amerika Serikat, merupakan bentuk respons terhadap isu terorisme global. Namun, proses pembuatan kebijakan luar negeri kedua negara tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti tekanan dari AS, tetapi juga oleh aktor-aktor internal dalam masing-masing negara. Penelitian ini ingin membandingkan proses pembuatan kebijakan luar negeri tersebut untuk melihat pengaruh faktor-faktor internal dalam membentuk respons kedua negara terhadap isu terorisme. Meskipun kedua negara menjalankan kerja sama bilateral dengan AS, terdapat perbedaan signifikan dalam jenis kerja sama dan tingkat keterlibatan AS, mencerminkan konteks politik dan keamanan yang berbeda di kedua negara.
IV.Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, berdasarkan data sekunder dari studi pustaka, artikel, dan sumber online. Analisisnya berfokus pada perbandingan proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia dan Filipina dalam menanggapi isu terorisme, dengan mempertimbangkan peran berbagai aktor dan faktor internal. Penelitian membatasi cakupan pada periode 2001-2004 dan menganalisis bagaimana isu terorisme mendorong kebijakan luar negeri kedua negara.
1. Jenis Penelitian dan Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menjelaskan permasalahan yang dibahas. Tujuannya adalah untuk menjabarkan dan mendeskripsikan secara detail kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Indonesia dan Filipina serta membandingkan proses pengambilan kebijakan luar negeri kedua negara. Metode pengumpulan data yang digunakan bersifat kualitatif, berupa data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Data sekunder ini meliputi literatur, majalah, artikel, sumber internet, dan karya ilmiah yang relevan dengan permasalahan yang diangkat. Setelah data dikumpulkan, data tersebut kemudian diseleksi dan dikelompokkan ke dalam bab-bab pembahasan sesuai dengan sistematika penulisan. Dengan kata lain, penelitian ini bergantung pada analisis data sekunder yang telah ada, bukan pada pengumpulan data primer melalui survei lapangan atau wawancara.
2. Teknik Analisis Data dan Unit Analisis
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis ini bertujuan untuk menggambarkan persoalan secara sederhana dan sistematis dengan menggunakan teori dan konsep yang relevan. Variabel dependen yang menjadi unit analisis adalah perbandingan proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia dan Filipina. Negara berperan sebagai aktor yang akan dianalisis responsnya dalam menghasilkan kebijakan terkait isu terorisme global. Penelitian akan melihat persoalan yang terjadi, menggambarkannya secara sederhana, dan kemudian menganalisisnya dengan konsep kebijakan luar negeri dan menggunakan pendekatan aktor rasional pada tingkat negara. Dengan demikian, analisis berfokus pada bagaimana faktor-faktor internal di Indonesia dan Filipina mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi kebijakan luar negeri mereka dalam konteks respons terhadap terorisme global.
3. Batasan Materi Penelitian
Untuk membatasi ruang lingkup pembahasan, penelitian ini memberikan batasan materi. Penelitian ini memberikan gambaran tentang isu terorisme, respons kedua negara terhadap isu tersebut dalam bentuk kebijakan luar negeri, dan faktor-faktor yang melatarbelakangi dikeluarkannya kebijakan tersebut. Kemudian, penelitian membandingkan kedua proses pembuatan kebijakan tersebut. Dengan batasan ini, penelitian fokus pada analisis komparatif proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia dan Filipina sebagai respons terhadap terorisme global, bukan pada aspek-aspek lain yang lebih luas terkait terorisme atau kebijakan luar negeri secara umum. Periode penelitian juga dibatasi untuk memberikan fokus yang lebih spesifik pada analisis.