Skripsi tentang Internasionalisasi Kasus Kekerasan di Suriah

Skripsi tentang Internasionalisasi Kasus Kekerasan di Suriah

Informasi dokumen

Penulis

Mohammad Nailur Rochman

instructor Gonda Yumitro, MA
Sekolah

Universitas Muhammadiyah Malang

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Jenis dokumen Skripsi
Tempat Malang
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 505.21 KB
  • Internasionalisasi
  • Kekerasan di Suriah
  • Hubungan Internasional

Ringkasan

I.Rezim Otoriter Suriah dan Pembatasan Kebebasan

Skripsi ini meneliti internasionalisasi kekerasan di Suriah, khususnya bagaimana konflik internal negara tersebut meningkat menjadi isu global. Dibawah kepemimpinan Hafez al-Assad (sejak 1970) dan kemudian putranya, Bashar al-Assad (sejak 2000), Suriah menerapkan pemerintahan otoriter yang represif. Ciri-cirinya meliputi sistem satu partai (Ba'ath), undang-undang darurat, dan kontrol ketat terhadap ekonomi dan politik. Kebebasan pers dan kebebasan informasi sangat dibatasi; situs-situs seperti Facebook dan YouTube diblokir, dan media lokal diawasi ketat. Meskipun Bashar al-Assad awalnya menunjukkan kecenderungan lebih liberal, represi tetap berlangsung, ditandai dengan penahanan aktivis dan sensor berita. Ini menciptakan 'kingdom of silence' (Lynch) dan membatasi ruang gerak HAM di Suriah.

1. Pemerintahan Otoriter di Bawah Hafez al Assad

Sejak tahun 1970, di bawah kepemimpinan Hafez al-Assad, Suriah menerapkan sistem pemerintahan otoriter yang represif. Sistem ini ditandai dengan pemberlakuan sistem satu partai, yaitu Partai Ba'ath; penerapan undang-undang darurat; dan pengaturan terpusat (central-planned) atas kehidupan rakyat, baik secara politis maupun ekonomis. Represi politik begitu terasa dengan penahanan ratusan aktivis oposisi sebagai tahanan politik. Pembatasan kebebasan pers, baik lokal maupun internasional, sangat ketat. Filterisasi berita dan akses informasi dilakukan secara sistematis. Siaran televisi dan radio lokal dilarang menayangkan unsur-unsur politis, dan situs internet seperti Facebook dan YouTube yang dianggap mengancam kekuasaan rezim diblokir. Secara keseluruhan, era Hafez al-Assad menandai periode penindasan kebebasan sipil dan politik yang signifikan di Suriah.

2. Era Bashar al Assad Kelonggaran Terbatas dan Kontrol yang Berlanjut

Pada awal kepemimpinan Bashar al-Assad tahun 2000, terdapat kecenderungan menuju kebijakan yang lebih liberal, ditunjukkan dengan pembebasan ratusan tahanan politik yang ditahan di masa pemerintahan ayahnya. Terdapat peningkatan akses informasi dengan menjamurnya warung internet (warnet). Namun, ini tidak berarti pelemahan peran negara; pemerintah tetap mengontrol perkembangan informasi melalui penyaringan berita dan pemblokiran situs-situs tertentu. Sekitar 200 situs, termasuk Wikipedia, YouTube, dan Facebook, pernah diblokir. Pada tahun 2007, aturan baru mewajibkan semua warnet untuk merekam semua percakapan dan diskusi online. Meskipun pemblokiran terhadap YouTube dan Facebook dicabut pada tahun 2010, kontrol pemerintah tetap ketat. Sebuah contohnya adalah hukuman 5 tahun penjara terhadap seorang gadis remaja karena puisi bermuatan politis di blog pribadinya. Meskipun ada sedikit kelonggaran, Suriah tetap negara represif yang membatasi kebebasan politik dan sipil, seperti yang dicatat oleh Freedom House.

3. Keamanan dan Stabilitas Pandangan Pemerintah dan Dampaknya pada Kebebasan

Pemerintah Suriah sering membenarkan pembatasan kebebasan individu dan politik dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan negara. Beberapa pihak, termasuk Duta Besar RI untuk Suriah periode 2006-2010, berpendapat bahwa Suriah tetap stabil dibandingkan negara tetangganya (Irak, Lebanon, Palestina) yang telah terdampak intervensi Barat. Namun, realitasnya, kebebasan pers tetap sangat terbatas. Hampir tidak ada media independen yang beroperasi di Suriah, kondisi yang digambarkan sebagai 'kingdom of silence' oleh Lynch. Masyarakat hidup dalam ketakutan di bawah pengawasan ketat aparat keamanan. Situasi ini menunjukkan bagaimana prioritas keamanan negara, seperti yang diklaim pemerintah, berdampak langsung pada penindasan kebebasan fundamental dan hak asasi manusia di Suriah.

II.Awal Mula Kekerasan dan Demonstrasi di Suriah

Konflik Suriah bermula dari protes kecil di Daraa, sebuah kota kecil di selatan Suriah, pada Maret 2011. Tulisan grafiti "As-Shaab/Yoreed/Eskaat el nizam" (Rakyat ingin menyingkirkan rezim!) yang ditulis oleh anak-anak sekolah memicu penangkapan dan penyiksaan mereka. Hal ini memicu kemarahan warga dan demonstrasi yang meluas ke seluruh negeri, terinspirasi oleh Musim Semi Arab. Protes damai kemudian berubah menjadi kekerasan yang meluas, dengan pemerintah Suriah menggunakan kekuatan militer dan milisi Shabiha untuk membendung perlawanan. Jumlah korban jiwa meningkat drastis, mencapai lebih dari 100.000 jiwa pada tahun 2013, dengan jutaan pengungsi Suriah mengungsi ke negara tetangga. Pemerintah Suriah juga membatasi akses media internasional untuk meliput kekerasan tersebut.

1. Grafiti di Daraa sebagai Pemicu Awal

Konflik di Suriah bermula dari sebuah peristiwa kecil di Daraa, sebuah kota di selatan Suriah yang berbatasan dengan Yordania. Pada tanggal 6 Maret 2011, sekelompok anak sekolah menulis grafiti di dinding sekolah mereka dengan slogan "As-Shaab/Yoreed/Eskaat el nizam" (Rakyat ingin menyingkirkan rezim!). Slogan ini, yang sebelumnya muncul dalam protes di Kairo dan Tunisia, menginspirasi perlawanan terhadap rezim Bashar al-Assad. Namun, tindakan tersebut berujung pada penangkapan, penahanan, dan penyiksaan ke-15 anak sekolah tersebut. Kejadian ini menjadi pemicu utama yang memicu kemarahan keluarga dan suku mereka, yang kemudian menyebar luas dan memicu demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di Suriah. Insiden ini dianggap sebagai titik awal eskalasi kekerasan di Suriah, menunjukkan bagaimana tindakan represif pemerintah justru memperburuk situasi dan memicu gelombang protes.

2. Eskalasi Kekerasan dan Respon Pemerintah

Penangkapan dan penyiksaan terhadap anak-anak sekolah di Daraa membangkitkan kesadaran di kalangan masyarakat Suriah tentang penindasan kebebasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Protes yang awalnya damai dihadapi dengan kekerasan oleh pemerintah. Penahanan, penyiksaan, pembunuhan, dan pengasingan dilakukan secara meluas terhadap para demonstran. Protes damai beralih menjadi perlawanan bersenjata antara pemberontak dan pemerintah. Pemerintah Suriah menggunakan kekuatan militer dan milisi pendukungnya, yang dikenal sebagai Shabiha, untuk menekan demonstrasi. Kekejaman militer dan milisi tersebut jauh melampaui batas-batas normal, menyebabkan korban jiwa yang sangat besar. PBB melaporkan bahwa dalam satu tahun pertama konflik (2011), 8.000 nyawa telah melayang akibat aksi anti-pemerintah, dan hingga tahun 2013 jumlah korban mencapai 100.000 jiwa, termasuk perempuan dan anak-anak. Pembunuhan massal di daerah seperti Baba Amr, Dar'a, dan Homs juga dilaporkan. Pemerintah Suriah secara sistematis membatasi akses media asing untuk meliput kekerasan ini, dengan pemadaman listrik dan serangan terhadap jurnalis.

3. Dari Isu Lokal Menjadi Isu Global

Kekerasan yang bermula dari kota kecil Daraa menyebar dengan cepat ke seluruh Suriah, dan kemudian menjadi perhatian dunia internasional. Kekejaman yang dilakukan pemerintah Suriah, yang menewaskan lebih dari 100.000 jiwa dan menyebabkan 4,2 juta penduduk Suriah kehilangan tempat tinggal, menjadikan konflik Suriah sebagai isu global yang mendapat perhatian luas. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana sebuah isu lokal, yang dipicu oleh tindakan represif pemerintah, dapat bereskalasi menjadi konflik berskala besar dan menjadi perhatian internasional. Penyebaran informasi, meskipun dihambat oleh pemerintah, berperan penting dalam internasionalisasi konflik. Konflik Suriah kemudian menjadi contoh nyata bagaimana kekerasan internal dapat bertransformasi menjadi krisis kemanusiaan dan geopolitik global, menarik intervensi dari berbagai pihak, termasuk PBB dan ICRC.

III.Peran Media Sosial dan Internasionalisasi Konflik

Skripsi ini menganalisis internasionalisasi konflik Suriah, mempertimbangkan peran media sosial dalam penyebaran informasi mengenai kekerasan di Suriah. Meskipun pemerintah melakukan sensor dan kontrol ketat, media sosial membantu menyebarkan informasi mengenai demonstrasi dan kekejaman pemerintah, menjadikan konflik Suriah sebagai isu global. Penelitian ini merujuk pada beberapa studi, termasuk penelitian mengenai peran media sosial dalam Revolusi Mesir (Eltantawy & Wiest), pengaruh jejaring sosial (Mirkooshesh), dan dampak media sosial terhadap ruang publik (Khoury). Meningkatnya liputan internasional atas kekerasan di Suriah mengarah pada intervensi internasional, termasuk melalui PBB (Kofi Annan) dan ICRC.

1. Penyebaran Informasi dan Peran Media

Meskipun pemerintah Suriah berupaya keras mengendalikan informasi dan melakukan sensor ketat terhadap media, penyebaran berita mengenai kekerasan di Suriah melalui berbagai media, termasuk media sosial, memainkan peran krusial dalam internasionalisasi konflik. Berita mengenai demonstrasi dan kekerasan yang dilakukan pemerintah, meskipun disensor, berhasil tersebar luas. Teks menyebutkan bahwa berita kecil di daerah terpencil berhasil dipublikasikan dan menjadi isu internasional, menunjukkan kemampuan media untuk menerobos kontrol pemerintah. Hal ini kemudian memicu tekanan dari publik internasional dan menjadi salah satu faktor penting yang mendorong internasionalisasi konflik. Penelitian ini mencatat peran penting media dalam mengubah konflik lokal menjadi isu global, yang selanjutnya menarik perhatian dan intervensi dari komunitas internasional.

2. Studi Kasus dan Teori Relevan

Untuk menganalisis peran media sosial dalam internasionalisasi konflik, skripsi ini merujuk pada beberapa penelitian terkait. Penelitian Nahed Eltantawy dan Julie B. Wiest mengenai peran media sosial, khususnya Twitter, dalam Revolusi Mesir 2011, dijadikan sebagai referensi. Studi ini menekankan kecepatan dan interaktivitas media sosial dalam penggalangan aksi kolektif. Penelitian Amir Hooshang Mirkooshesh mengenai peran jejaring sosial dalam pergolakan di Timur Tengah dan Afrika Utara juga dibahas. Selain itu, penelitian Doreen Khoury tentang bagaimana media sosial menghidupkan kembali ruang publik Arab dan digitalisasi aktivisme juga relevan. Penelitian-penelitian tersebut memberikan kerangka teoritis untuk memahami bagaimana media sosial dapat mempengaruhi gerakan sosial dan internasionalisasi konflik, termasuk dalam konteks Suriah.

3. Intervensi Internasional sebagai Akibat Internasionalisasi

Eskalasi kekerasan dan penyebaran informasi melalui berbagai media mengakibatkan konflik Suriah menjadi perhatian internasional. Tekanan dari publik internasional kemudian mendorong intervensi dari komunitas internasional. Organisasi internasional seperti PBB, dengan keterlibatan Kofi Annan, dan lembaga non-pemerintah seperti Palang Merah Internasional (ICRC), berperan dalam upaya penyelesaian konflik. Intervensi ini berupa pengiriman pasukan penjaga perdamaian PBB untuk memantau situasi kekerasan di Suriah. Proses internasionalisasi konflik, yang difasilitasi oleh media, berujung pada keterlibatan berbagai aktor internasional dalam upaya untuk mengakhiri kekerasan dan menyelesaikan krisis di Suriah. Hal ini menunjukkan efektivitas penyebaran informasi dalam menarik perhatian dan intervensi internasional dalam konflik internal suatu negara.

IV.Tipologi Kekerasan dan Metode Penelitian

Kekerasan dalam konflik Suriah dikategorikan sebagai kekerasan kolektif, melibatkan bentrokan antara militer pemerintah dan warga sipil. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif, menganalisis internasionalisasi kekerasan di Suriah sebagai unit analisis dan kasus kekerasan di Suriah sebagai unit eksplanasi. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, menggunakan berbagai sumber seperti buku, jurnal, artikel, dan laporan. Penelitian ini berfokus pada proses internasionalisasi konflik Suriah dan dampaknya terhadap situasi di Suriah.

1. Tipologi Kekerasan dalam Konflik Suriah

Skripsi ini mengklasifikasikan kekerasan dalam konflik Suriah sebagai kekerasan kolektif. Ini merujuk pada bentrokan antara militer pemerintah dan masyarakat sipil yang menciptakan krisis multi-dimensi, meliputi dampak sosial, politik, dan ekonomi. Definisi kekerasan itu sendiri dijelaskan sebagai konsep multitafsir dan multidimensi, mencakup perilaku fisik dan emosi, serta situasi dan hubungan antara pelaku dan korban. Kekerasan dapat berupa fisik (penyerangan, penyalahgunaan kekuatan), verbal (ancaman, penghinaan), atau tersirat. Penulis membedakan tiga tipe kekerasan: kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri (self-directed violence), kekerasan antar individu (interpersonal violence), dan kekerasan kolektif. Konflik Suriah, dengan bentrokan antara militer dan warga sipil yang menghasilkan krisis multidimensi, dikategorikan sebagai kekerasan kolektif.

2. Metode Penelitian Pendekatan Deskriptif

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk menyajikan fenomena internasionalisasi kekerasan di Suriah secara holistik. Data dikumpulkan berdasarkan fakta empiris dan dianalisis untuk kemudian disimpulkan. Penelitian ini bukan bertujuan menguji atau membuktikan konsep atau teori tertentu secara deduktif, melainkan untuk mengkonseptualisasikan kerangka berpikir peneliti. Unit analisis dalam penelitian ini adalah internasionalisasi kekerasan, sedangkan unit eksplanasinya adalah kasus kekerasan di Suriah. Menurut Mohtar Mas’oed, karena unit eksplanasi lebih rendah daripada unit analisis, perspektif yang digunakan adalah reduksionis. Tingkat analisis penelitian ini adalah tingkat sistem internasional. Teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka dengan sumber data tertulis seperti buku, jurnal, artikel, laporan, gambar, video, dan email. Fokus penelitian diarahkan pada proses internasionalisasi kekerasan di Suriah.

3. Ruang Lingkup Penelitian Internasionalisasi Kekerasan di Suriah

Penelitian ini membatasi fokusnya pada proses internasionalisasi kekerasan di Suriah, mengingat kompleksitas dinamika peran internet dalam konflik tersebut. Dengan membatasi ruang lingkup, penelitian ini dapat memberikan analisis yang lebih tajam dan fokus. Penulis menjelaskan bahwa internasionalisasi diartikan sebagai pengangkatan fenomena internal suatu negara ke tingkat global untuk mendapatkan perhatian masyarakat internasional, yang bertujuan untuk mengakhiri konflik atau peperangan. Internasionalisasi dapat berupa intervensi internasional, baik sipil maupun militer, untuk menyelesaikan kekerasan HAM, mempromosikan demokrasi, dan mengubah rezim. Munculnya internasionalisasi dipengaruhi oleh globalisasi yang mengubah porsi kedaulatan negara-bangsa. Dengan demikian, penelitian ini secara spesifik mengeksplorasi bagaimana kekerasan di Suriah menjadi perhatian internasional dan bagaimana hal tersebut memicu intervensi dari berbagai aktor internasional.