Perbandingan Kebijakan Proteksi Pemerintah Indonesia dalam Merespon Perjanjian ACFTA dan AKFTA

Perbandingan Kebijakan Proteksi Pemerintah Indonesia dalam Merespon Perjanjian ACFTA dan AKFTA

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 681.69 KB
  • Perdagangan Bebas
  • Kebijakan Proteksi
  • Hubungan Internasional

Ringkasan

I.Latar Belakang Masalah Dampak Perdagangan Bebas ACFTA dan AKFTA terhadap Indonesia

Skripsi ini meneliti dampak Perdagangan Bebas khususnya ACFTA (China-ASEAN Free Trade Area) dan AKFTA (ASEAN-Korea Free Trade Area) terhadap ekonomi Indonesia. Penelitian ini akan membandingkan kebijakan proteksi yang diterapkan pemerintah Indonesia dalam merespon kedua perjanjian tersebut. Indonesia menghadapi dilema: Perdagangan Bebas menawarkan perluasan pasar ekspor dan investasi asing (FDI), namun juga berisiko menggerus industri dalam negeri. Studi ini bertujuan menganalisis bagaimana Indonesia menyeimbangkan manfaat dan kerugian dari Perdagangan Bebas melalui strategi proteksi.

1. Fenomena Global Perjanjian Perdagangan Bebas FTA

Implementasi Free Trade Agreement (FTA) sebagai upaya pembentukan kawasan perdagangan bebas telah menjadi fenomena global. World Trade Organization (WTO) mencatat sekitar 250 skema FTA, baik bilateral maupun multilateral. Keikutsertaan Indonesia dalam blok-blok perdagangan bebas disebut sebagai 'pisau bermata dua'. Di satu sisi, FTA menjanjikan perluasan pasar ekspor dan peningkatan Foreign Direct Investment (FDI). Namun, di sisi lain, terdapat kekhawatiran terhadap daya saing industri nasional yang mungkin tergerus oleh produk impor. Hal ini menjadi latar belakang pentingnya penelitian mengenai dampak ACFTA dan AKFTA terhadap Indonesia, khususnya mengenai strategi proteksi yang dijalankan pemerintah.

2. ACFTA Kesepakatan dan Dampaknya terhadap Indonesia

China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA/ACFTA), ditargetkan rampung pada 2010 dan ditandatangani di Vientiane, Laos tahun 2001, melibatkan tiga tahap penurunan dan penghapusan tarif: Early Harvest Program (EHP) sejak Januari 2004, Normal Track sejak Juli 2005, dan Sensitive/Highly Sensitive Track pada 2012 dan 2015. Awalnya, ACFTA menguntungkan Indonesia dengan surplus perdagangan yang signifikan (USD 0,504 juta pada 2004, meningkat menjadi USD 1,1118 juta pada 2007). Namun, peningkatan impor produk manufaktur China yang murah menyebabkan defisit besar (USD 3,631 juta pada 2008 dan USD 4,732 juta pada 2010). Hal ini menunjukkan perlunya analisis lebih lanjut terhadap strategi proteksi yang diambil Indonesia dalam menghadapi persaingan pasar bebas ini.

3. AKFTA Kerjasama dan Dampak Positifnya bagi Indonesia

ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA), dibentuk melalui kesepakatan pada November 2004 di Vientiane dan ditandatangani di Kuala Lumpur Desember 2005, yang kemudian diratifikasi Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007. AKFTA memiliki dua kategori penurunan tarif: Normal Track (NT) dan kategori yang lebih sensitif. Korea berkomitmen menurunkan tarif lebih cepat, menargetkan 95% penurunan pada Januari 2008 dan penghapusan seluruhnya pada Januari 2010. Berbeda dengan ACFTA, neraca perdagangan Indonesia-Korea menunjukkan surplus yang konsisten, terutama karena ekspor migas. Meskipun impor non-migas dari Korea meningkat, surplus perdagangan tetap terjaga. Tren ini menunjukkan kontribusi positif AKFTA terhadap perekonomian Indonesia, menjadikannya studi kasus yang menarik untuk dibandingkan dengan dampak ACFTA.

4. Perbedaan Kebijakan Proteksi Indonesia dalam ACFTA dan AKFTA

Perbedaan dampak ACFTA dan AKFTA pada Indonesia mengindikasikan perbedaan strategi proteksi yang dijalankan pemerintah. Studi ini akan menganalisis perbedaan regulasi dan implementasi kebijakan proteksi Indonesia untuk kedua perjanjian tersebut. Pemerintah Indonesia cenderung lebih fokus pada reschedule tarif dalam ACFTA, mengusulkan penundaan penurunan tarif untuk 228 pos tarif (termasuk 146 pos tarif Normal Track 1 menjadi Normal Track 2, 60 pos tarif menjadi Sensitive List, dan 22 pos tarif dinaikkan menjadi 5% pada 2018). Selain reschedule, kebijakan non-tarif juga dimaksimalkan. Penelitian ini akan membandingkan pendekatan ini dengan kebijakan yang diambil Indonesia dalam AKFTA dan dampaknya terhadap industri manufaktur domestik.

II.Perbandingan ACFTA dan AKFTA Neraca Perdagangan dan Kebijakan Proteksi

Analisis Neraca Perdagangan menunjukkan perbedaan signifikan antara hubungan Indonesia-China (ACFTA) dan Indonesia-Korea (AKFTA). Indonesia mengalami defisit besar dengan China setelah tahun 2005, dipicu oleh membanjirnya produk manufaktur China yang murah. Sebaliknya, Indonesia surplus dengan Korea, terutama karena ekspor migas. Penelitian ini akan membandingkan strategi proteksi pemerintah Indonesia untuk ACFTA dan AKFTA, termasuk penggunaan kebijakan tarif dan non-tarif, untuk melindungi industri manufaktur dalam negeri dari Perdagangan Bebas. Kajian ini juga akan meninjau kebijakan reschedule tarif untuk beberapa produk di bawah ACFTA guna mengurangi dampak negatifnya bagi Indonesia.

1. Analisis Neraca Perdagangan Indonesia China ACFTA

Data neraca perdagangan Indonesia-China menunjukkan defisit yang signifikan, terutama disebabkan oleh impor produk non-migas. Setelah tahun 2005, produk manufaktur China membanjiri pasar domestik Indonesia dengan harga yang lebih murah. Hal ini mengakibatkan tergerusnya produk-produk sejenis dari negara lain, termasuk produsen domestik. Meskipun ACFTA awalnya memberikan surplus perdagangan bagi Indonesia (USD 0,504 juta pada 2004, meningkat menjadi USD 1,1118 juta pada 2007), peningkatan impor dari China secara drastis mengubah situasi menjadi defisit besar (USD 3,631 juta pada 2008 dan USD 4,732 juta pada 2010). Defisit ini menjadi konsekuensi logis dari perdagangan liberal yang merugikan produsen lokal Indonesia. Sebuah kajian ekonomi keuangan dari Badan Kebijakan Fiskal (Desember 2011) juga menyatakan bahwa kerjasama FTA yang diikuti Indonesia selama ini secara umum cenderung merugikan.

2. Analisis Neraca Perdagangan Indonesia Korea AKFTA

Sebaliknya, neraca perdagangan Indonesia-Korea menunjukkan surplus yang konsisten sebelum dan setelah implementasi AKFTA. Sebelum kerjasama FTA dengan Korea Selatan, Indonesia memiliki surplus sebesar USD 4,82 juta, yang meningkat menjadi USD 4,89 juta pada tahun 2010. Surplus ini terutama didorong oleh peningkatan ekspor migas. Meskipun ekspor non-migas ke Korea Selatan juga meningkat, peningkatannya tidak sebesar ekspor migas. Tren neraca perdagangan Indonesia-Korea menunjukkan peningkatan sebesar 2,85% selama periode 2007-2011, menunjukkan kontribusi positif AKFTA terhadap perekonomian Indonesia. Namun, impor non-migas dari Korea juga mengalami peningkatan yang signifikan (32,15%), sementara impor komoditi migas menunjukkan peningkatan yang lebih besar lagi (35,72%).

3. Perbandingan Strategi Proteksi Pemerintah Indonesia

Perbedaan signifikan dalam neraca perdagangan Indonesia dengan China dan Korea menunjukkan perbedaan strategi proteksi yang diterapkan pemerintah. Dalam menghadapi membanjirnya produk impor China yang murah, pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan daya saing produk nasional. Namun, langkah yang lebih signifikan terlihat dalam penanganan ACFTA, dengan adanya usulan reschedule penurunan tarif untuk 228 pos tarif. Strategi ini termasuk menggeser beberapa pos tarif Normal Track 1 ke Normal Track 2, memasukkan beberapa pos tarif ke dalam Sensitive List, dan menaikkan tarif beberapa produk yang sudah 0% pada tahun 2009 menjadi 5% pada 2018. Selain itu, pemerintah juga memaksimalkan kebijakan non-tarif untuk melindungi industri dalam negeri. Sebaliknya, tidak terdapat indikasi adanya reschedule atau kebijakan protektif yang signifikan dalam kerjasama dengan Korea, mencerminkan perbedaan pendekatan pemerintah dalam menghadapi dampak ACFTA dan AKFTA.

III.Penelitian Terdahulu dan Kerangka Konseptual

Penelitian terdahulu yang relevan dikaji, termasuk karya Firdaus (2011) tentang dampak FTA ASEAN Plus Three dan studi Hizbul Wathon (2011) mengenai kepentingan ASEAN dalam ACFTA. Skripsi ini menggunakan konsep proteksi dan Perdagangan Bebas, menganalisis kebijakan pemerintah Indonesia dalam melindungi industri dalam negeri dari persaingan di bawah ACFTA dan AKFTA. Konsep proteksi di sini merujuk pada langkah-langkah pemerintah untuk membatasi impor guna melindungi industri domestik, termasuk penggunaan kebijakan non-tarif seperti larangan impor, kuota, dan subsidi.

1. Penelitian Terdahulu Tinjauan Studi Relevan

Skripsi ini meninjau beberapa penelitian terdahulu yang relevan. Salah satunya adalah tulisan Ahmad Heri Firdaus (2011) berjudul 'Kinerja Perdagangan dan Dampak FTA ASEAN Plus Three terhadap Perekonomian Indonesia'. Tulisan ini membahas dampak positif dan negatif FTA, termasuk trade creation effect yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui harga barang yang lebih murah. Firdaus menemukan peningkatan kesejahteraan sebesar US$ 685,90 juta dan peningkatan GDP riil sebesar 0,18% di Indonesia, meskipun angka ini lebih kecil dibandingkan negara ASEAN-6 lainnya. Selain itu, skripsi ini juga merujuk pada skripsi Hizbul Wathon (2011) dari Universitas Muhammadiyah Malang, berjudul 'Kepentingan ASEAN dalam ASEAN-China Free Trade Agreement', yang menggunakan pendekatan International Rezim. Penelitian lain yang disebutkan adalah skripsi Puteri Silvia Handayani dari Universitas Muhammadiyah Malang yang berjudul 'Dampak ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) terhadap Ekonomi Indonesia', menggunakan pendekatan Free Trade menurut Adam Smith. Studi-studi ini memberikan konteks dan landasan bagi penelitian yang sedang dilakukan.

2. Kerangka Konseptual Proteksi dan Free Trade

Penelitian ini menggunakan konsep proteksi dan free trade sebagai kerangka analisis. Konsep proteksi diartikan sebagai langkah-langkah pemerintah untuk membatasi kebebasan perdagangan internasional, terutama melalui pembatasan impor. Konsep ini berakar pada teori neomercantilisme yang menekankan proteksi keamanan ekonomi melalui politik internasional. Proteksi dapat berupa kebijakan tarif maupun non-tarif, termasuk pelarangan impor, kuota impor, dan subsidi kepada produsen dalam negeri. Tujuannya adalah melindungi industri dalam negeri, termasuk industri baru yang masih labil, untuk menjaga stabilitas ekonomi, lapangan kerja, dan keamanan nasional. Di sisi lain, konsep free trade mengacu pada sistem perdagangan bebas hambatan, di mana aliran barang, modal, dan tenaga kerja bebas tanpa hambatan tarif dan non-tarif. Free trade diyakini dapat meningkatkan kemakmuran nasional melalui spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatif. Penelitian ini akan menganalisis bagaimana Indonesia mengaplikasikan konsep proteksi dalam konteks free trade agreements, khususnya ACFTA dan AKFTA, untuk melindungi industri lokalnya.

IV.Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif komparatif dan metode kualitatif, menganalisis data dari berbagai sumber termasuk buku, jurnal, laporan, dan internet. Analisis data bersifat induktif, membandingkan kebijakan proteksi Indonesia dalam konteks ACFTA dan AKFTA untuk mengidentifikasi perbedaan dan efektivitasnya dalam melindungi industri manufaktur dalam negeri. Indikator perbandingan meliputi subsidi sektor investasi, pelarangan impor, praktik perdagangan tidak adil (unfair trade) dan anti-dumping, serta penyelesaian sengketa.

1. Metode Penelitian Deskriptif Komparatif Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif komparatif dengan metode kualitatif. Data dikumpulkan dan diolah dari berbagai sumber, termasuk buku, jurnal, laporan, dan internet. Pendekatan deskriptif komparatif dipilih untuk membandingkan kebijakan proteksi pemerintah Indonesia dalam menghadapi dampak ACFTA dan AKFTA. Sifat kualitatif penelitian memungkinkan analisis mendalam terhadap kebijakan-kebijakan tersebut, melampaui sekedar angka-angka statistik. Data kualitatif memberikan konteks dan pemahaman yang lebih kaya mengenai bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut dirumuskan dan diimplementasikan, serta dampaknya terhadap industri manufaktur dalam negeri. Penelitian ini berfokus pada analisis perbandingan, bukan pada pengujian hipotesis statistik.

2. Teknik Analisis Data Pendekatan Induktif

Analisis data menggunakan pendekatan induktif. Peneliti secara langsung membandingkan dua fenomena utama: proteksi produk lokal oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi dampak pasar bebas ACFTA dan AKFTA. Pendekatan induktif memungkinkan generalisasi dari temuan spesifik yang didapatkan dari data. Analisis akan membandingkan bagaimana Indonesia merespon dampak ekonomi yang berbeda dari ACFTA (defisit) dan AKFTA (surplus) melalui berbagai kebijakan proteksi. Perbedaan antara perjanjian Indonesia-China dan Indonesia-Korea akan dijelaskan, termasuk sikap perlindungan diri Indonesia dalam menghadapi pasar bebas dari kedua negara tersebut. Kesimpulan akan ditarik berdasarkan temuan spesifik dari perbandingan ini.

3. Indikator Perbandingan dan Batasan Materi

Indikator perbandingan yang digunakan meliputi empat skema utama: subsidi sektor investasi, pelarangan impor (termasuk pembatasan kuota dan kualitas produk), penanganan unfair trade dan anti-dumping, serta regulasi penyelesaian sengketa. Penelitian ini membatasi ruang lingkupnya pada perbandingan proteksi pemerintah Indonesia dalam melindungi produk lokal dalam menghadapi pasar bebas ACFTA dan AKFTA. Fokus utama adalah menjelaskan perbandingan proteksi tersebut, dengan argumen bahwa terdapat perbedaan kebijakan pemerintah Indonesia dalam menghadapi dampak persaingan pasar bebas China dan Korea. Penelitian ini lebih menekankan pada kebijakan yang diambil pemerintah dalam merespon ACFTA dibandingkan AKFTA, mengingat dampak yang berbeda dari kedua perjanjian tersebut terhadap ekonomi Indonesia.

Referensi dokumen

  • Kebijakan Perdagangan Internasional