Peran Hukum Internasional dalam Penegakan Hak Asasi Manusia di Palestina

Peran Hukum Internasional dalam Penegakan Hak Asasi Manusia di Palestina

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 291.65 KB
Jurusan Hubungan Internasional
Jenis dokumen Skripsi
  • Hak Asasi Manusia
  • Kemanusiaan
  • Konflik Arab-Israel

Ringkasan

I.Isu Hak Asasi Manusia HAM dan Konflik Israel Palestina

Dokumen ini membahas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Palestina, khususnya terkait konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Studi ini meneliti peran OHCHR (Office of the High Commissioner for Human Rights), sebuah badan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), dalam menangani pelanggaran HAM tersebut. Konflik ini, yang sering dikaitkan dengan perebutan wilayah dan isu kemanusiaan, telah menghasilkan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat, termasuk pembunuhan massal, penggusuran paksa, dan penghancuran properti warga Palestina. Intifada, sebuah perlawanan rakyat Palestina, merupakan salah satu faktor pemicu peningkatan pelanggaran HAM.

1. Hak Asasi Manusia HAM sebagai Isu Global dan Lokal

Dokumen ini mengawali dengan menjelaskan bahwa isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan permasalahan global yang seringkali bertentangan dengan postulat tradisional kepentingan nasional suatu negara. Kasus pelanggaran HAM di Palestina menjadi contoh nyata masalah kemanusiaan yang dikaji dalam studi Hubungan Internasional. Komunitas internasional berupaya keras untuk meminimalisir pelanggaran-pelanggaran tersebut. Di sisi lain, meningkatnya perhatian terhadap HAM telah menciptakan suatu keterkaitan moral yang mendorong aktivitas-aktivitas kemanusiaan. Diuraikan juga aspek HAM terkait hak atas kehidupan, jati diri, dan keamanan pribadi, termasuk di dalamnya hak-hak sipil dan politik seperti perlindungan dari penyiksaan, hak atas peradilan yang adil, kebebasan dari penahanan sewenang-wenang, kebebasan bergerak dan bertempat tinggal, serta kebebasan berpikir dan beragama. Skripsi ini kemudian difokuskan pada pengkajian hukum internasional dan peran OHCHR dalam menangani pelanggaran HAM, khususnya di Palestina, menekankan pentingnya peran PBB dalam penegakan hukum internasional dan regional.

2. Konflik Israel Palestina dan Perang Enam Hari 1967

Bagian ini menjelaskan latar belakang konflik Israel-Palestina, yang berawal dari Perang Enam Hari tahun 1967. Perang ini, yang merupakan yang ketiga dalam serangkaian konflik Arab-Israel, mengakibatkan Israel menguasai wilayah Palestina yang signifikan, termasuk Yerusalem Timur, Semenanjung Sinai (Mesir), dan Dataran Tinggi Golan (Suriah). Meskipun awalnya berjanji tidak akan memperluas wilayah, Israel mengusir penduduk Palestina dan mendirikan pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan. Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB pada November 1967, yang menekankan penolakan terhadap perebutan wilayah melalui perang dan mengusung prinsip 'tanah untuk perdamaian', menjadi landasan inisiatif perdamaian selanjutnya. Perjuangan rakyat Palestina untuk merebut kembali wilayahnya kemudian terorganisir dalam PLO (Palestine Liberation Organization). Invasi Israel ke Lebanon pada tahun 1982, yang dikenal sebagai Operasi Peace for Galilee, dan pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila juga dibahas sebagai peristiwa penting yang menandai kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi.

3. Pembentukan PLO dan Perjuangan Rakyat Palestina

Dokumen ini menjelaskan terbentuknya PLO pada tahun 1958 sebagai wadah perjuangan bersama berbagai kelompok Palestina yang mendapat dukungan dari negara-negara Timur Tengah. Yasser Arafat terpilih sebagai pemimpin PLO. PLO telah melalui berbagai tahap perjuangan, termasuk melalui jalur diplomasi dan militer. Perjuangan ini menghadapi tantangan berat, termasuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Israel. Dokumen ini juga menjelaskan beberapa kelompok yang tergabung dalam PLO, seperti Al-Fatah, Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), dan lain-lain. PLO juga mencapai keberhasilan diplomasi, yaitu pengakuan status pengamat di Majelis Umum PBB. Ini menandai pengakuan internasional terhadap perjuangan Palestina. Namun, pengakuan ini juga membawa konsekuensi berupa keharusan mentaati ketentuan PBB dalam menyelesaikan konflik, khususnya melalui perundingan damai dengan Israel. Peristiwa penting lainnya adalah pemilihan umum pertama di Jalur Gaza dan Tepi Barat tahun 1996, yang merupakan tanda pengakuan Israel terhadap pemerintahan Palestina sebagai persiapan kemerdekaan.

4. Pelanggaran HAM Berat di Palestina dan Definisi

Dokumen ini membahas berbagai bentuk pelanggaran HAM berat yang dialami rakyat Palestina akibat tindakan kekerasan yang dilakukan Israel. Penggusuran paksa, pembunuhan massal, pemerkosaan, dan perusakan lahan pertanian termasuk dalam pelanggaran HAM berat yang dibahas. Penulis menjabarkan berbagai definisi pelanggaran HAM berat, termasuk elemen-elemen seperti meluasnya dampak dan jumlah korban yang besar. Penulis berpendapat bahwa tindakan-tindakan Israel terhadap rakyat Palestina masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, karena melanggar hak untuk hidup, kebebasan bergerak, hak untuk tidak dianiaya, hak mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum, dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Beberapa contoh pelanggaran HAM berat yang disebutkan meliputi: perbudakan, pengusiran paksa, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan terhadap kelompok tertentu, dan penghilangan orang secara paksa. Penulis menghubungkan tindakan agresi, genosida, apartheid, dan kolonialisme sebagai tindakan serius yang merupakan pelanggaran HAM berat.

II.Peran OHCHR dalam Menangani Pelanggaran HAM di Palestina

OHCHR, di bawah mandat PBB, memainkan peran penting dalam menanggapi pelanggaran HAM di Palestina. Perannya meliputi penyediaan rekomendasi berdasarkan hukum internasional, mediasi antara Israel dan Palestina untuk mencapai perdamaian, pengumpulan informasi dan bukti terkait pelanggaran HAM, serta pemberian bantuan teknis kepada rakyat Palestina. Studi ini meneliti peran spesifik OHCHR dalam periode 2001-2008, masa yang ditandai dengan peningkatan konflik dan kekerasan serta pelanggaran HAM berat yang signifikan. Tokoh penting yang disebutkan adalah Ariel Sharon, Perdana Menteri Israel yang masa kepemimpinannya ditandai dengan peningkatan konflik.

1. Mandat OHCHR dan Tanggapan terhadap Pelanggaran HAM di Palestina

Dokumen ini menjelaskan bahwa OHCHR, di bawah naungan PBB, memiliki mandat untuk menangani pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Fokus utama penelitian ini adalah peran OHCHR dalam merespon pelanggaran HAM berat di Palestina, khususnya dalam periode 2001-2008. Periode ini ditandai dengan peningkatan konflik dan kekerasan antara Israel dan Palestina, yang menghasilkan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang serius. OHCHR, sebagai badan HAM PBB, mengambil peran aktif dalam menangani situasi ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana OHCHR menjalankan mandatnya dalam konteks konflik yang kompleks dan situasi kemanusiaan yang sulit di Palestina. Pembentukan OHCHR sendiri direkomendasikan oleh Komisi Persiapan PBB pada tahun 1945 untuk menangani isu-isu HAM yang belum terselesaikan selama penyusunan Piagam PBB. ECOSOC (Dewan Ekonomi dan Sosial PBB) kemudian membentuk CHR (Commission on Human Rights) pada tahun 1946, yang kemudian berevolusi menjadi OHCHR.

2. Tindakan dan Peran OHCHR di Palestina 2001 2008

Studi ini meneliti peran spesifik OHCHR dalam menangani pelanggaran HAM di Palestina antara tahun 2001 dan 2008. Periode ini dipilih karena konflik Israel-Palestina meningkat secara signifikan, menyebabkan pelanggaran HAM berat. Berdasarkan dokumen, peran OHCHR meliputi beberapa aspek. Pertama, OHCHR memberikan rekomendasi berdasarkan hukum internasional untuk mengatasi konflik dan pelanggaran HAM. Kedua, OHCHR bertindak sebagai mediator antara Israel dan Palestina untuk mendorong negosiasi damai dan mencapai kesepakatan bersama. Ketiga, OHCHR bekerja sama dalam pengumpulan informasi dan materi yang relevan untuk penyelidikan pelanggaran HAM. Keempat, OHCHR memberikan bantuan teknis kepada rakyat Palestina. Penelitian ini secara khusus mencatat peran OHCHR dalam memberikan misi kepada Pelapor Khusus untuk menyelidiki situasi di lapangan dan melaporkan temuannya kepada PBB dan komunitas internasional. Pemilihan Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri Israel pada periode ini disebutkan sebagai salah satu faktor yang memperburuk konflik dan meningkatkan pelanggaran HAM.

3. Lembaga PBB Terkait HAM dan Perbandingan dengan Kasus Lain

Dokumen ini menyebutkan beberapa lembaga PBB yang bertanggung jawab dalam bidang HAM, seperti ECOSOC dan OHCHR. ECOSOC memiliki peran dalam membuat rekomendasi untuk kebebasan asasi, menyerahkan draf konvensi kepada Majelis Umum, menerima laporan dari badan-badan khusus PBB, dan mengkoordinasikan kegiatan dengan LSM. Studi ini juga membandingkan peran OHCHR di Palestina dengan peran OHCHR dalam kasus lain, seperti genosida etnis Rohingya di Myanmar (1978-2012). Studi tentang genosida Rohingya yang ditulis oleh Dewi Asrieyani dibahas sebagai contoh peran OHCHR sebagai inisiator, fasilitator, dan mediator dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Meskipun ada dukungan, OHCHR juga menghadapi hambatan dalam menjalankan tugasnya, seperti hambatan akses bantuan internasional dan pembatasan akses media internasional. Perbandingan ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi OHCHR dalam menangani pelanggaran HAM di berbagai konteks.

III.Latar Belakang Konflik dan Pelanggaran HAM

Konflik Israel-Palestina berakar pada Perang Enam Hari tahun 1967, yang mengakibatkan pendudukan wilayah Palestina oleh Israel, termasuk Yerusalem Timur. Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB menekankan perlunya penyelesaian damai dan penarikan pasukan. Pembentukan PLO (Palestine Liberation Organization) pada tahun 1958 menandai upaya pemersatuan kelompok-kelompok perlawanan Palestina. Keberadaan PLO, dengan Yasser Arafat sebagai pemimpin, menunjukkan upaya diplomasi Palestina di panggung internasional, meskipun menghadapi berbagai tantangan dan pelanggaran HAM yang terus terjadi. Peristiwa penting lainnya meliputi pembantaian Sabra dan Shatila (1982) dan Perjanjian Oslo (1993).

1. Perang Enam Hari 1967 dan Akibatnya

Konflik Israel-Palestina yang menjadi fokus studi ini berakar pada Perang Enam Hari tahun 1967. Perang ini merupakan babak ketiga dalam konflik Arab-Israel dan menjadi yang paling sukses bagi Israel. Akibatnya, Israel menguasai wilayah Palestina yang luas, termasuk Yerusalem Timur, Semenanjung Sinai (Mesir), dan Dataran Tinggi Golan (Suriah), meningkatkan kendali wilayahnya secara signifikan dari 5.900 mil persegi menjadi 20.870 mil persegi. Meskipun awalnya berjanji tidak akan memperluas wilayah, Israel justru mengusir penduduk Palestina dan mendirikan pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur. Peristiwa ini menjadi titik awal utama dari pelanggaran HAM yang dialami oleh rakyat Palestina dan merupakan faktor kunci dalam eskalasi konflik.

2. Resolusi PBB dan Upaya Perdamaian

Sebagai respons terhadap Perang Enam Hari, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 242 pada 22 November 1967. Resolusi ini merupakan pencapaian diplomatik yang penting dalam konflik Arab-Israel. Resolusi tersebut menegaskan penolakan atas perebutan wilayah melalui perang dan menetapkan prinsip 'tanah untuk perdamaian'. Prinsip ini menjadi dasar bagi inisiatif-inisiatif perdamaian selanjutnya. Sebagai imbalan atas penarikan pasukan Israel dari wilayah Mesir, Yordania, dan Suriah yang direbut selama perang, negara-negara Arab menjanjikan perdamaian kepada Israel. Namun, perjuangan rakyat Palestina untuk merebut kembali wilayah mereka tetap berlanjut, dan mereka bersatu dalam organisasi PLO (Palestine Liberation Organization) untuk menggalang dan mempersatukan upaya perjuangan.

3. Eskalasi Konflik dan Pelanggaran HAM Invasi Lebanon dan Intifada

Invasi Israel ke Lebanon tahun 1982, yang disebut Operasi Peace for Galilee, menandai eskalasi konflik. Invasi ini melibatkan persenjataan berat dan menunjukkan niat Israel untuk mendorong mundur gerilyawan Palestina dari perbatasan. Tragedi pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila pada September 1982, yang menewaskan sekitar 2700 pengungsi Palestina, merupakan contoh nyata pelanggaran HAM berat yang terjadi. Perlawanan rakyat Palestina terus berlanjut, memuncak dalam Intifada yang dimulai pada akhir September 2001. Intifada, yang berarti 'pelepasan diri' dalam bahasa Arab, meletus di Jalur Gaza dan menyebar ke Tepi Barat, melibatkan jutaan warga Palestina. Pemicu langsung Intifada adalah insiden tabrakan truk militer Israel dengan sekelompok warga Palestina. Perjanjian Oslo tahun 1993, yang diharapkan memberi kesempatan kemerdekaan bagi Palestina, dinilai gagal karena malah memperkuat kontrol Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza, menambah lagi ketegangan dan memicu konflik lebih lanjut.

IV.Penelitian Terdahulu dan Metodologi

Dokumen ini merujuk beberapa penelitian terdahulu mengenai pelanggaran HAM berat, termasuk studi tentang genosida Rohingya di Myanmar dan pelanggaran HAM di Republik Demokratik Kongo. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, mengumpulkan data sekunder dari literatur, jurnal, artikel, dan laporan-laporan relevan untuk menganalisis peran OHCHR dalam menangani pelanggaran HAM di Palestina selama periode 2001-2008. Penelitian ini membedakan dirinya dari studi lain dengan fokus spesifik pada konflik Israel-Palestina dan pelanggaran HAM berat yang terjadi akibat konflik tersebut.

1. Penelitian Terdahulu tentang Pelanggaran HAM

Bagian ini membahas penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan topik skripsi. Salah satu penelitian yang dirujuk adalah jurnal karya Dewi Asrieyani yang berjudul "Peran Office of The High Commissioner for Human Right (OHCHR) dalam Penyelesaian Kasus Genosida Etnis Rohingya di Myanmar (1978-2012)". Jurnal ini membahas peran OHCHR dalam kasus genosida Rohingya di Myanmar, termasuk fungsi OHCHR sebagai inisiator, fasilitator, dan mediator. Studi ini juga menyinggung pelanggaran HAM yang dialami oleh etnis lain di Myanmar, seperti Kachin, Mon, Chin, dan Shan, yang menunjukkan berbagai bentuk penindasan dan pelanggaran HAM, termasuk diskriminasi dan pembatasan hak-hak politik. Penelitian lain yang disebutkan adalah tentang penerapan hukum internasional dalam kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia oleh Abdul Hakim G. Nusantara dan upaya International Criminal Court (ICC) dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Republik Demokratik Kongo (2009-2012) oleh Maria Makdalena. Perbedaan pendekatan penelitian-penelitian ini dengan skripsi dijelaskan, terutama perbedaan dalam konsep pelanggaran HAM berat yang digunakan.

2. Metodologi Penelitian

Bagian metodologi menjelaskan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Penulis menggunakan metode pengumpulan data kualitatif, berfokus pada penggambaran isi tanpa menggunakan analisis statistik. Sumber data sekunder digunakan, meliputi literatur, koran, jurnal, artikel, data internet, laporan, dan tulisan-tulisan yang relevan dengan permasalahan pelanggaran HAM di Palestina. Penelitian ini menganalisis peran OHCHR dalam menangani pelanggaran HAM berat di Palestina periode 2001-2008. Penulis membandingkan temuannya dengan penelitian lain yang telah dilakukan, terutama yang membahas peran OHCHR dalam konteks pelanggaran HAM berat di negara lain. Data yang dikumpulkan digunakan untuk menganalisis peran OHCHR dalam berbagai aspek, termasuk memberikan rekomendasi, menjadi mediator, dan mengumpulkan informasi terkait pelanggaran HAM yang terjadi. Penelitian ini memiliki batasan, yaitu penggunaan metode kualitatif yang tidak menggunakan akurasi statistik.