Peran Diplomasi Olahraga dalam Membangun Nasionalisme pada Piala Dunia 2006 di Jerman

Peran Diplomasi Olahraga dalam Membangun Nasionalisme pada Piala Dunia 2006 di Jerman

Informasi dokumen

Penulis

Hardian Saputra

instructor/editor Helmia Asyathri, S.IP
school/university Universitas Muhammadiyah Malang
subject/major Hubungan Internasional
Jenis dokumen Skripsi
city_where_the_document_was_published Malang
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 242.45 KB
  • Diplomasi Olahraga
  • Nasionalisme
  • Piala Dunia 2006

Ringkasan

I.Diplomasi Olahraga dan Nasionalisme Baru Jerman dalam Piala Dunia 2006

Skripsi ini meneliti bagaimana penyelenggaraan Piala Dunia 2006 di Jerman dimanfaatkan sebagai strategi diplomasi olahraga untuk membangun kembali nasionalisme Jerman pasca Perang Dunia II dan reunifikasi 1990. Jerman, setelah mengalami periode suram dan penindasan nasionalisme akibat Perang Dunia II dan pembagian negara, berupaya membangun kembali identitas nasionalnya. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana soft power melalui ajang Piala Dunia digunakan untuk mencapai tujuan ini, serta membahas pergeseran dari nasionalisme etnosentris ke nasionalisme kewarganegaraan (civic nationalism).

1. Olahraga sebagai Ritual Interaksi Sosial dan Alat Diplomasi

Bagian ini membahas peran olahraga, khususnya sepak bola, sebagai bentuk ritual interaksi sosial baik lokal maupun global. Ditekankan bahwa eksistensi olahraga internasional telah ada sejak Olimpiade modern pertama tahun 1896 di Athena, Yunani. Sepak bola, sebagai olahraga terpopuler saat ini, dibuktikan dengan penyelenggaraan Piala Dunia sejak 1930. Lebih lanjut, dijelaskan bagaimana negara-negara mulai menyadari potensi kesuksesan tim dan atlet mereka dalam berbagai kompetisi untuk menunjukkan supremasi dan meningkatkan citra nasional. Media massa, baik jurnalis profesional maupun citizen journalists, berperan besar dalam mempublikasikan fakta dan opini seputar olahraga, yang pada akhirnya membentuk ide-ide tentang budaya dan identitas nasional. Banyak negara berlomba menjadi tuan rumah Piala Dunia atau Olimpiade untuk meningkatkan nasionalisme, kredibilitas, kualitas, daya saing ekonomi, dan eksistensi di kancah domestik dan internasional. Inggris, misalnya, mengeluarkan dana sekitar £17 juta untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018, meskipun akhirnya kalah dari Rusia. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran olahraga dalam diplomasi internasional.

2. Jerman Pasca Perang Dunia II Nasionalisme yang Tertekan dan Upaya Rekonstruksi

Setelah kekalahan dalam Perang Dunia II, Jerman terbagi menjadi Jerman Timur (Sosialis) dan Jerman Barat (Liberal). Kondisi ini, ditambah dengan stigma sebagai penjahat perang dan pelaku Holocaust, menyebabkan penekanan nasionalisme dan rasa bangga terhadap bangsa sendiri di kalangan masyarakat Jerman. Meskipun reunifikasi terjadi pada 3 Oktober 1990, sindrom 'Mauer im Kopf' (Tembok di Kepala) masih terasa, menunjukkan perpecahan di masyarakat dan dilema identitas nasional. Meskipun demikian, Jerman masih memiliki modalitas lain untuk membangun kebanggaan nasional, seperti efisiensi ekonomi dan industri serta perannya dalam Uni Eropa. Namun, 'die Deutsche Frage' (Pertanyaan Jerman) masih hangat diperdebatkan, mencerminkan pencarian identitas nasional yang belum tuntas. Berbagai upaya dilakukan pemerintah, masyarakat, dan sinergi keduanya untuk membangun kembali nasionalisme, melibatkan peran penting dari Kanselir Helmut Kohl dalam reunifikasi, Gerhard Schröder dengan hukum kewarganegaraan yang lebih liberal, dan Angela Merkel yang menyaksikan euforia nasionalisme Jerman pada Piala Dunia 2006.

3. Piala Dunia 2006 sebagai Momentum Membangun Nasionalisme Baru

Bagian ini menjelaskan bagaimana penyelenggaraan Piala Dunia 2006 menjadi kesempatan emas bagi Jerman untuk membangun nasionalisme baru. Perbedaan signifikan antara Jerman sebagai tuan rumah Olimpiade 1936 dan Piala Dunia 2006 ditekankan. Penelitian ini menghubungkan karakteristik olahraga, khususnya sepak bola, dengan upaya pembentukan nasionalisme baru. Event olahraga internasional, terutama Piala Dunia 2006, menjadi pemicu kuat untuk membangkitkan nasionalisme negara. Jerman, melalui partisipasinya sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006, memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun nasionalisme baru, dengan menggabungkan soft power dan diplomasi publik domestik. Hal ini juga merupakan studi kasus bagaimana negara memanfaatkan sport mega-event (SME) sebagai wahana untuk menunjukkan soft power dan membentuk/memperkuat nasionalisme.

II.Penelitian Terdahulu Nasionalisme dan Identitas Jerman

Penelitian ini didasarkan pada studi sebelumnya, termasuk tesis Julie R. Berlin tentang penekanan nasionalisme di Jerman pasca-perang dan disertasi Richard Allen tentang pergeseran dari nasionalisme etnosentris ke civic-cultural nationalism. Studi-studi tersebut memberikan konteks penting bagi pemahaman kompleksitas identitas Jerman dan upaya membangun nasionalisme baru setelah traumatik Perang Dunia II dan pembagian negara menjadi Jerman Timur dan Jerman Barat. Studi Anthony menambahkan perspektif tentang bagaimana olahraga dapat menjadi medium pembentukan dan transformasi identitas nasional, mengacu pada konsep imagined communities milik Benedict Anderson.

1. Supresi Nasionalisme di Jerman Tesis Julie R. Berlin

Bagian ini merangkum tesis Julie R. Berlin, "The Continuing Suppression of Nationalism in the Federal Republic of Germany." Tesis ini membahas supresi nasionalisme di Jerman, sebuah isu sensitif pasca reunifikasi hingga awal 2000-an. Berlin meneliti mengapa dan bagaimana proses penekanan nasionalisme di masyarakat Jerman terjadi. Analisisnya menelusuri jauh ke belakang, hingga unifikasi pertama Jerman di bawah Otto von Bismarck pada akhir abad ke-19, kemudian merunut kronologi kejadian hingga era Nazi dan Perang Dunia II. Pasca Perang Dunia II, ketakutan akan kebangkitan Jerman dan keinginan balas dendam negara-negara lain menyebabkan penerapan kebijakan 'semi-kolonialisme' dan pembagian Jerman oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dampak jangka panjangnya adalah tertanamnya mindset anti-nasionalisme di kalangan masyarakat Jerman, diperparah dengan pembelahan masyarakat dan doktrinasi ideologi yang berbeda di Jerman Barat dan Timur. Nasionalisme menjadi konotasi negatif, sehingga kebanggaan bangsa dan rasa persatuan terhambat. Setelah reunifikasi 1990, tantangan menyatukan dua masyarakat Jerman yang berbeda dan pencarian identitas nasional baru dimulai, dibayangi sindrom 'Mauer im Kopf' (Tembok di dalam Kepala).

2. Pergeseran Nasionalisme di Jerman Kontemporer Disertasi Richard Allen

Bagian ini membahas disertasi Richard Allen, "Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus Exclusion." Allen menjelaskan pergeseran bentuk nasionalisme di Jerman pasca reunifikasi 1990, dari nasionalisme etnosentris (era Nazi) menjadi civic-cultural nationalism. Disertasi ini mengkaji keterkaitan perubahan nasionalisme dengan penerimaan atau penolakan individu/kelompok non-Jerman secara etnis dan kultural. Allen menjelaskan konsep nasionalisme secara umum, membedakan antara ethno-centric nationalism dan civic nationalism. Ia kemudian menganalisis posisi nasionalisme etnosentris di Jerman kontemporer, yang digerakkan oleh gerakan ultra-nasionalis 'the New Right' pasca reunifikasi. Gerakan ini, meskipun sempat populer, kehilangan relevansinya karena upaya pemerintah Jerman yang terus-menerus membangun nasionalisme berbasis kewarganegaraan dan kultural. Allen juga membahas aplikasi civic-cultural nationalism terhadap minoritas etnis terbesar di Jerman, yaitu warga keturunan Turki, menunjukkan bahwa meskipun kebijakan pemerintah bukannya xenofobik, benturan budaya menyebabkan kesulitan asimilasi bagi warga Turki generasi pertama dan kedua. Namun, Allen memperkirakan asimilasi akan terjadi dalam jangka panjang.

3. Olahraga sebagai Medium Pembentukan Identitas Nasional Penelitian Anthony

Bagian ini merujuk pada penelitian Anthony yang menelaah bagaimana nasionalisme dan kebanggaan terhadap negara terbentuk dan bertransformasi, dengan menempatkan olahraga sebagai medium utama. Anthony menggunakan konsep 'imagined communities' dari Benedict Anderson, yang menjelaskan bagaimana anggota masyarakat suatu negara perlu merasakan ikatan spesial dan eksklusif satu sama lain. Ikatan ini terbentuk melalui ritual interaksi sehari-hari, seperti membaca koran yang sama atau menonton siaran televisi yang sama, yang memunculkan kesamaan persepsi dan kepentingan bersama. Anthony mengaplikasikan konsep ini pada olahraga, khususnya mengenai identitas nasional Inggris di awal milenium. Penelitiannya menunjukkan bahwa nasionalisme Inggris telah mengalami pengerucutan akibat tekanan globalisasi ekonomi yang menimbulkan kesenjangan dan memicu keinginan daerah untuk memperjuangkan independensi. Ini menghasilkan munculnya identitas-identitas regional seperti 'the English,' 'the Scotland,' dan 'the Wales'.

III.Kerangka Teori Identitas Nasional dan Nasionalisme

Skripsi ini menggunakan teori identitas nasional dari David Miller, yang menekankan pentingnya identitas nasional dalam membangun kepercayaan dan kerjasama sosial untuk menopang negara kesejahteraan. Teori nasionalisme dari Ernest Gellner juga dibahas, dengan membandingkan nasionalisme etnosentris (berbasis etnis) dan nasionalisme kewarganegaraan (civic nationalism). Konsep imagined communities Anderson dipergunakan untuk menjelaskan bagaimana acara olahraga skala besar, seperti Piala Dunia 2006, dapat menciptakan rasa kebersamaan dan memperkuat identitas nasional.

1. Identitas Nasional menurut David Miller

Bagian ini membahas pandangan David Miller tentang identitas nasional. Miller berpendapat bahwa identitas nasional sangat fundamental dalam mempertahankan negara kesejahteraan yang sehat dan independen. Identitas nasional memainkan dua peran penting: pertama, menciptakan rasa simpati antar warga negara, memotivasi mereka untuk saling membantu; kedua, menciptakan rasa saling percaya, yang merupakan prasyarat untuk tindakan berdasarkan rasa simpati. Miller menekankan pentingnya kerjasama sukarela antar warga negara, yang membutuhkan kepercayaan timbal balik, bahkan di antara individu yang tidak saling mengenal. Kondisi Jerman, yang ditandai dengan diskursus 'the German Question' mengenai identitas nasional, menunjukkan masalah integrasi moral meskipun stabilitas ekonomi dan politiknya tampak baik. Pemerintah Jerman menyadari potensi permasalahan sosial ini dan berupaya membangun identitas Jerman dengan bentuk nasionalisme baru. Miller juga berpendapat bahwa identitas nasional merupakan landasan penting untuk membangun rasa percaya di dalam masyarakat negara modern. Ketiadaan identitas nasional bersama dapat menyebabkan kepercayaan hanya ada di dalam kelompok, bukan antar kelompok.

2. Nasionalisme Etnosentris vs. Kewarganegaraan

Bagian ini membahas konsep nasionalisme, mengutip pandangan Ernest Gellner yang menyatakan nasionalisme muncul sebagai respons terhadap perkembangan dunia industri di Barat. Gellner berpendapat bahwa para pelaku industri menginginkan stabilitas, birokrasi yang jelas, dan distribusi kekuasaan yang tertata. Dua bentuk nasionalisme dominan dijelaskan: nasionalisme etnosentris (eksklusif, berdasarkan kesamaan kelahiran, darah, dan etnisitas) dan nasionalisme kewarganegaraan (civic nationalism), yang didasarkan pada pemikiran liberal dan demokratis, dimana seseorang dengan sadar dan sukarela mengasosiasikan diri dengan nilai-nilai negara tersebut dalam berbagai aspek (politik, ideologi, hukum, kewajiban dan hak, sosial, dan budaya). Dalam konteks Jerman, perhatian tertuju pada nasionalisme etnosentris era Nazi, namun perlu dipahami bahwa Jerman juga pernah mengalami civic nationalism. Sejak 1871, identitas bangsa Jerman dibangun berdasarkan etnisitas, mencapai puncaknya pada era Hitler dan Perang Dunia II. Penelitian ini menekankan pentingnya memahami pergeseran dari nasionalisme etnosentris ke civic nationalism dalam konteks rekonstruksi identitas Jerman pasca-perang.

3. Imaji Komunitas Imagined Communities dan Nasionalisme

Bagian ini menggunakan teori 'imagined communities' karya Benedict Anderson untuk menjelaskan pembentukan dan pemeliharaan nasionalisme. Anderson mendefinisikan negara sebagai 'an imagined political community' yang terbatas dan berdaulat. Imajinasi menjadi penting karena warga negara tidak mungkin mengenal semua warga negara lain, namun tetap hidup dengan mengasosiasikan diri dalam sebuah citra persatuan bangsa. Proses asosiasi ini terjadi melalui ritual interaksi sehari-hari, termasuk mengakses sumber informasi yang sama (koran, TV, buku, media online). Ritual-ritual ini membentuk dasar dari 'imagined communities', dan eksistensi suatu bangsa bergantung pada terjaganya jaringan dan ritual interaksi ini. Dalam konteks penelitian, event olahraga besar yang melibatkan Jerman menjadi fokus, karena event ini, dengan ekspos media massa yang besar, memicu ritual interaksi secara masif dan efektif, sehingga mampu menjadi penghantar pesan nasionalisme dan berkontribusi pada pembentukan serta penguatan nasionalisme bangsa.

IV.Metodologi Penelitian Studi Kasus Piala Dunia 2006

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan studi pustaka sebagai teknik pengumpulan data. Fokus penelitian dibatasi pada tahun 2006, yaitu periode sebelum, selama, dan setelah Piala Dunia 2006 di Jerman. Analisis data dilakukan melalui tiga tahap: pemeriksaan, pengolahan, dan interpretasi data untuk mengkaji bagaimana Jerman memanfaatkan Piala Dunia 2006 sebagai alat diplomasi publik domestik untuk membangun nasionalisme baru. Tokoh-tokoh penting seperti Kanselir Helmut Kohl, Gerhard Schröder, dan Angela Merkel, yang berperan dalam proses pembangunan kembali nasionalisme Jerman, juga dibahas.

1. Metode dan Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan peneliti sebagai instrumen utama pengumpulan dan analisis data. Fokus utama adalah pada proses dan arti dari peristiwa yang diteliti. Metode kualitatif ini melibatkan tiga tahapan: pengumpulan data, pengolahan data, dan penulisan laporan penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif karena menekankan pada penggambaran upaya Jerman memaksimalkan Piala Dunia 2006 sebagai momentum membangun nasionalisme baru. Pendekatan kualitatif dipilih untuk menggali secara mendalam makna dan proses di balik peristiwa tersebut.

2. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dalam tiga tahap: (1) Pemeriksaan: Memastikan kelengkapan dan kebenaran data yang dibutuhkan. (2) Pengolahan: Memilah-milah data sesuai dengan kategorinya masing-masing. (3) Analisis dan Interpretasi: Menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah dipilah untuk menghasilkan kesimpulan. Teknik analisis data ini memastikan data yang dikumpulkan diproses secara sistematis dan terstruktur untuk menghasilkan temuan yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Proses analisis ini menekankan pada pemahaman mendalam tentang bagaimana upaya Jerman dalam memaksimalkan Piala Dunia 2006 berkontribusi pada pembentukan nasionalisme baru.

3. Teknik Pengumpulan Data dan Ruang Lingkup Penelitian

Teknik pengumpulan data utama adalah studi pustaka, yang mencakup buku, jurnal, catatan, dan situs web. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang telah diolah oleh orang lain atau lembaga. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada ulasan tentang upaya Jerman memaksimalkan Piala Dunia 2006 untuk membangun nasionalisme baru (batasan materi). Batasan waktu penelitian difokuskan pada tahun 2006, meliputi periode sebelum, selama, dan sesudah penyelenggaraan Piala Dunia 2006, karena tahun tersebut menjadi periode peningkatan upaya diplomasi publik Jerman sebagai tuan rumah. Studi pustaka memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan data dari berbagai sumber untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang topik penelitian. Pembatasan ruang lingkup memastikan penelitian terfokus dan menghasilkan temuan yang lebih spesifik dan terarah.

V.Argumentasi Dasar Rekonstruksi Identitas Nasional Jerman

Argumentasi utama berpusat pada bagaimana Jerman mengatasi dampak negatif dari Perang Dunia II dan reunifikasi terhadap nasionalisme dan identitas nasional. Periode pasca-Perang Dunia II ditandai dengan penekanan nasionalisme, yang diperparah oleh pembagian Jerman. Piala Dunia 2006 dilihat sebagai momen krusial dalam usaha membangun kembali nasionalisme dan identitas nasional Jerman melalui diplomasi olahraga dan diplomasi publik domestik.

1. Fase Negatif Nasionalisme Jerman Pasca Perang Dunia II

Argumentasi dasar penelitian ini bermula dari fase negatif nasionalisme Jerman sejak berakhirnya Perang Dunia II hingga pasca reunifikasi tahun 1990. Hal ini disebabkan oleh faktor internal, yaitu persepsi Jerman sebagai penjahat perang dan pelaku kejahatan kemanusiaan (Holocaust), dan faktor eksternal, yaitu pemisahan Jerman oleh Blok Barat dan Blok Timur selama Perang Dingin. Hilangnya identitas bangsa dan rasa kebangsaan berpengaruh pada rendahnya integritas sosial masyarakat, meskipun secara ekonomi dan politik Jerman relatif stabil. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masa depan. Persepsi negatif tentang Jerman di mata dunia internasional dan kurangnya rasa kebanggaan nasional di dalam negeri menjadi latar belakang penting penelitian ini.

2. Upaya Rekonstruksi Nasionalisme Melalui Diplomasi Publik Domestik

Menyusul fase negatif nasionalisme tersebut, penelitian ini berfokus pada upaya rekonstruksi identitas nasional Jerman. Pemerintah Jerman, melalui berbagai kebijakan dan tindakan, berusaha membangun kembali rasa nasionalisme dan kebanggaan bangsa. Penelitian ini mengkaji bagaimana hal tersebut dilakukan, khususnya melalui diplomasi publik domestik. Konsep 'diplomasi publik baru', yang menekankan komunikasi dua arah dan melibatkan masyarakat domestik, menjadi kerangka analisis. Hal ini penting mengingat interkoneksi yang kuat antara masyarakat domestik dan internasional melalui media dan teknologi informasi. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya representasi negara, melainkan juga aktor-aktor dalam masyarakat, termasuk dalam konteks olahraga.

3. Peran Piala Dunia 2006 dalam Membangun Nasionalisme Baru

Penelitian ini berargumen bahwa Piala Dunia 2006 di Jerman merupakan momen krusial dalam upaya membangun kembali nasionalisme baru. Piala Dunia, sebagai sport mega-event (SME), dimanfaatkan sebagai alat diplomasi publik domestik yang efektif untuk mensosialisasikan identitas bangsa yang baru dibangun. Keberhasilan penyelenggaraan Piala Dunia 2006 dan euforia nasionalisme yang muncul selama event tersebut menjadi fokus analisis. Penelitian ini akan menelaah bagaimana strategi diplomasi olahraga dan diplomasi publik domestik dimaksimalkan untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, penelitian ini memberikan kontribusi akademis terhadap studi tentang upaya negara untuk memaksimalkan soft power, termasuk pembentukan dan penguatan nasionalisme, dengan memanfaatkan kesempatan menjadi tuan rumah sport mega-event.