
Peran CCTV dalam Pengembangan Soft Power China
Informasi dokumen
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 481.09 KB |
Jurusan | Hubungan Internasional atau Ilmu Komunikasi |
Jenis dokumen | Esai atau Skripsi |
- soft power
- media massa
- CCTV
Ringkasan
I.Peran Media Massa dalam Soft Power China
Dokumen ini membahas strategi soft power Tiongkok, khususnya peran media massa, terutama televisi, dalam membentuk opini publik internasional. Ditekankan pentingnya pengaruh media massa dalam menyebarkan informasi dan gagasan, dengan televisi sebagai contoh paling efektif. Kemampuan televisi untuk mempengaruhi opini publik menjadikannya alat signifikan dalam pengembangan kebijakan soft power suatu negara.
1. Media Massa sebagai Alat Pengaruh
Bagian awal dokumen menjelaskan peran krusial media massa dalam membentuk opini publik. Disebutkan bahwa media massa merupakan wadah efektif untuk menyebarkan informasi dan menanamkan gagasan. Televisi, sebagai salah satu media massa, mampu menyajikan peristiwa secara lebih dramatis dan dekat kepada pemirsa, sehingga dengan mudah mempengaruhi opini mereka sesuai dengan apa yang ditampilkan. Kemampuan televisi dalam mempengaruhi pikiran pemirsanya ini menjadi sangat signifikan, terutama dalam konteks pengembangan kebijakan soft power suatu negara. Definisi soft power sendiri dijelaskan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar menerima nilai-nilai normatif suatu bangsa, termasuk melalui media, praktik bisnis, pendidikan, dan bahasa. Dengan demikian, media massa, terutama televisi, diposisikan sebagai komponen penting dalam strategi soft power suatu negara karena kemampuannya mempengaruhi khalayak tanpa menimbulkan kesan dipaksa.
2. Televisi dan Pengembangan Kebijakan Soft Power
Bagian ini membahas lebih lanjut tentang signifikansi televisi dalam konteks soft power. Dokumen menekankan besarnya kemampuan televisi dalam mempengaruhi pikiran pemirsa dan bagaimana hal ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kebijakan soft power. Sebagai contoh, dijelaskan bagaimana televisi dapat membawa drama kejadian lebih dekat kepada penonton dan dengan mudah mempengaruhi opini mereka. Hal ini menunjukkan bahwa televisi memiliki kekuatan signifikan dalam membentuk persepsi dan opini publik, sehingga perannya dalam membantu mengembangkan kebijakan soft power suatu negara menjadi sangat penting. Dokumen kemudian mengelaborasi pengertian soft power sebagai kemampuan untuk memengaruhi pihak lain agar menerima nilai-nilai normatif suatu bangsa, dan menekankan peran media di dalamnya. Kemampuan ini berfokus pada daya tarik dan persuasi, bukan paksaan.
3. Tiga Kategori Kekuatan Internasional dan Peran Opini Publik
Dokumen ini mengutip E.H Carr yang mengklasifikasikan tiga kategori untuk memperoleh kekuatan internasional: militer, ekonomi, dan kekuatan atas opini (power over opinion). Kekuatan untuk mengontrol opini publik, menurut Carr, sangat penting untuk memiliki kekuatan internasional. Namun, cara yang ditempuh oleh negara dalam mencapai power over opinion tergantung pada kebijakan yang dibentuk pemerintah. Dokumen tersebut juga mencatat bahwa power over opinion dapat dicapai dengan memanfaatkan kemampuan media massa, seperti televisi, sebagai media diplomasi publik yang sangat efektif. Ini menunjukkan bagaimana media massa, khususnya televisi, dianggap sebagai alat penting dalam strategi politik luar negeri suatu negara.
II.CCTV Internasional Alat Utama China s Soft Power
China Central Television (CCTV), khususnya CCTV Internasional, menjadi fokus utama. Pemerintah Tiongkok mengembangkan CCTV Internasional (termasuk saluran berbahasa Mandarin - CCTV 4, dan Inggris - CCTV 9) untuk menjangkau audiens global, sebagai bagian dari strategi China's soft power. Tujuannya adalah untuk membendung image negatif China yang berkembang di dunia internasional dan menampilkan citra Tiongkok yang lebih positif, sekaligus meningkatkan pengaruh kebijakan luar negeri Tiongkok. CCTV memiliki jangkauan yang luas, ditonton oleh 95,9% penduduk Tiongkok dan menargetkan 45 juta pelanggan televisi global.
1. CCTV Dari Beijing Television hingga Media Global
Dokumen ini memulai pembahasan CCTV dengan menelusuri sejarahnya, dari awal bernama Beijing Television hingga menjadi lembaga penyiaran nasional Republik Rakyat China (RRC) yang dikenal luas sebagai CCTV. Jangkauan siaran CCTV telah mencakup seluruh wilayah China, bahkan mencakup stasiun televisi lokal di berbagai daerah. Pemerintah China kemudian mengambil langkah strategis untuk mengembangkan CCTV ke skala internasional, sehingga dapat diakses oleh orang-orang di berbagai belahan dunia. Langkah ini dipicu oleh kebutuhan untuk memperluas jangkauan pengaruhnya secara global. Peluncuran CCTV Internasional (CCTV-I) merupakan bukti nyata dari komitmen tersebut, mulai dengan saluran berbahasa Mandarin di CCTV 4, kemudian berkembang ke berbagai bahasa asing seperti Inggris, Perancis, Arab, Spanyol, dan Rusia. Perluasan sayap media global ini secara tegas diklaim sebagai salah satu arah pengembangan kebijakan soft power China.
2. CCTV Internasional dan Strategi Soft Power China
Bagian ini menghubungkan secara eksplisit antara perluasan CCTV Internasional dengan strategi soft power China. Dokumen menjelaskan bahwa bagi negara yang sedang mengembangkan soft power-nya seperti China, kemampuan untuk mempengaruhi opini publik menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, CCTV Internasional berperan sebagai alat utama untuk mempengaruhi opini publik internasional. CCTV Internasional, dengan berbagai program siarannya, dirancang untuk memperkenalkan China ke dunia internasional melalui berbagai paradigma yang ditunjukkan lewat siaran televisinya. Kesuksesan China bergabung dengan WTO pada tahun 2001 dan menjadi tuan rumah Olimpiade Beijing 2008, menjadi latar belakang yang relevan, meskipun kemudian muncul pemberitaan negatif terkait pelanggaran HAM yang justru ingin diatasi oleh pemerintah China lewat strategi media ini.
3. Menanggapi Pemberitaan Negatif dan Membangun Citra Baru
Dokumen ini membahas bagaimana pemberitaan negatif mengenai China di media asing menjadi pendorong bagi pengembangan CCTV Internasional. Pemberitaan negatif tersebut, seringkali terkait dengan kebangkitan ekonomi China dan kekhawatiran akan persaingan ekonomi dan militer, menimbulkan kecemasan di negara lain. Pemberitaan miring, misalnya terkait konflik di Tibet dan penindasan terhadap demonstran, menjadi fokus perhatian. Pemerintah China melihat perlu untuk membendung informasi negatif ini dan memperbaiki citra negaranya di mata internasional. Melalui CCTV Internasional, pemerintah China berusaha menampilkan gambaran baru China: sebuah negara yang penuh peluang bagi investor, negara yang mengedepankan persahabatan dan perdamaian, dengan mengutamakan soft power dibanding hard power. Slogan “Your window on China and look the world” menunjukkan harapan agar CCTV menjadi jendela bagi dunia untuk melihat China, dan sebaliknya.
4. CCTV Internasional Jangkauan dan Pengaruh Global
Dokumen menyoroti jangkauan dan pengaruh global CCTV. CCTV disebut memiliki pemirsa terbesar di dunia, ditonton oleh 95,9% penduduk China. Saluran internasionalnya, seperti CCTV 4 (Mandarin) dan CCTV 9 (Inggris), menargetkan audiens China di perantauan dan pemirsa internasional yang ingin mengetahui berita tentang China. Siaran melalui enam satelit memungkinkan CCTV menarik 45 juta pelanggan televisi global di luar wilayah China. Pembangunan citra yang dipoles melalui siaran-siaran televisi China yang berskala internasional diharapkan berpengaruh hingga di luar batas wilayah China. Strategi ini menunjukkan upaya sistematis untuk menciptakan narasi yang diinginkan mengenai China di kancah internasional, dengan mengarahkan persepsi publik global.
III.Menanggulangi Persepsi Negatif terhadap Tiongkok
Kebangkitan ekonomi Tiongkok telah memicu kecemasan dan pemberitaan negatif di media asing, terkait pelanggaran HAM (misalnya, di Tibet) dan potensi ekspansi militer. Untuk mengatasi image negatif China, pemerintah Tiongkok menggunakan strategi soft power, memanfaatkan CCTV Internasional untuk memperkenalkan budaya dan pencapaian Tiongkok, serta mengkampanyekan slogan “Dunia yang Harmonis” (hexie shijie). Keberhasilan penyelenggaraan Olimpiade Beijing 2008 juga dimanfaatkan sebagai ajang promosi budaya dan citra positif Tiongkok.
1. Pemberitaan Negatif dan Kebangkitan Ekonomi China
Bagian ini membahas munculnya pemberitaan negatif tentang China di media asing sebagai konsekuensi dari kebangkitan ekonomi China. Pertumbuhan ekonomi China yang pesat dan komprehensif menimbulkan kecemasan di pihak lain, yang kemudian berasumsi bahwa China akan menjadi kompetitor utama dalam sumber penghasilan, pendanaan, dan perdagangan dunia. Kekhawatiran ini diperparah oleh asumsi mengenai peningkatan kemampuan militer China dan potensi ekspansi militer ke negara lain. Asumsi-asumsi miring ini muncul seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian dan stabilitas politik China selama tiga dekade terakhir. Keberhasilan China meningkatkan profil globalnya di sistem politik internasional semakin memperkuat persepsi ini. Dengan kata lain, kesuksesan ekonomi China justru menciptakan persepsi negatif di mata dunia internasional.
2. Strategi Soft Power sebagai Respons
Sebagai respons terhadap pemberitaan negatif tersebut, China memilih untuk mengembangkan strategi soft power sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya. Era modernisasi dan politik pintu terbuka (gaige kaifang) menjadi titik penting di mana China merasa perlu menerapkan strategi soft power ini. Lembaga penyiaran nasional, CCTV, dimanfaatkan sebagai alat utama untuk melaksanakan strategi tersebut. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan China kepada dunia internasional melalui berbagai paradigma yang ditampilkan dalam siaran televisinya. Peristiwa penting seperti penerimaan China sebagai anggota WTO pada tahun 2001 dan terpilihnya China sebagai tuan rumah Olimpiade 2008, menjadi titik balik. Meskipun demikian, keberhasilan ini justru diikuti dengan lebih banyak pemberitaan negatif, memperkuat perlunya strategi soft power yang efektif.
3. Insiden Tibet dan Pemberitaan Media Asing
Dokumen ini mengkaji lebih dalam dampak pemberitaan negatif terkait konflik di Tibet terhadap citra China. Insiden penumpasan demonstrasi oleh biksu di Lhasa menjelang Olimpiade Beijing 2008, yang diberitakan secara luas oleh media asing, menempatkan China dalam posisi yang kurang menguntungkan. Pemberitaan yang menyoroti penggunaan kekerasan oleh pemerintah China, tanpa mengungkap tindakan anarkis dari pihak demonstran Tibet, menciptakan opini publik yang negatif terhadap pemerintah China. Situasi ini semakin memperkuat kebutuhan China untuk memperbaiki citra internasionalnya melalui strategi soft power yang lebih agresif. Kegagalan dalam mengelola pemberitaan negatif ini menunjukkan kerentanan citra China di mata dunia internasional.
4. Slogan Dunia yang Harmonis dan Diplomasi Publik
Sebagai bagian dari upaya memperbaiki citra, China meluncurkan slogan "Dunia yang Harmonis" (hexie shijie), yang menekankan perdamaian dan keamanan dunia. Slogan ini sejalan dengan kebijakan luar negeri China sebelumnya yang bertema "bangkit dengan damai" (heping jueqi). Slogan tersebut dipromosikan oleh Presiden Hu Jintao dalam pidato di PBB pada tahun 2009. Upaya ini menunjukkan pergeseran strategi China dari pendekatan yang lebih reaktif menjadi lebih proaktif dalam membangun citra positif. Melalui slogan ini, China berupaya menawarkan narasi alternatif tentang kebangkitan dan perannya di dunia internasional. Upaya ini diiringi dengan strategi diplomasi publik yang lebih intensif, termasuk melalui CCTV Internasional.
IV.Diplomasi Publik dan Soft Power Tiongkok
Dokumen ini menghubungkan strategi China's soft power dengan diplomasi publik. CCTV Internasional berperan sebagai aktor kunci dalam diplomasi publik, memanfaatkan budaya dan media massa untuk mempengaruhi opini publik dan memajukan kepentingan nasional Tiongkok. Strategi ini menekankan persuasi dan daya tarik budaya, bukan paksaan (hard power), untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri. Contohnya terlihat dalam upaya Tiongkok menjalin kerjasama dengan ASEAN dan Indonesia, termasuk melalui jalur pendidikan dan budaya.
1. Diplomasi Publik Alternatif Strategi Luar Negeri
Bagian ini memperkenalkan konsep diplomasi publik sebagai strategi alternatif dalam hubungan internasional. Diplomasi publik dijelaskan sebagai upaya diplomasi yang tidak menggunakan pemerintah atau negara sebagai aktor langsung, melainkan menggunakan media massa atau LSM internasional untuk mencapai tujuan nasional. Aktor-aktor ini dianggap lebih mudah diterima masyarakat karena terlepas dari simbol-simbol kenegaraan. Keefektifan diplomasi publik semakin meningkat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan diplomasi publik sebagai alat penjelas dalam penelitian ini tidak dapat dipisahkan dari konsep soft power, karena keduanya memanfaatkan budaya dan media massa. Diplomasi publik diartikan sebagai proses untuk memajukan kepentingan dan nilai-nilai suatu negara melalui interaksi langsung dengan individu di negara lain, dengan tujuan menumbuhkan opini publik yang positif.
2. Soft Power dan Diplomasi Publik Hubungan dan Tujuan
Dokumen ini menjelaskan hubungan erat antara soft power dan diplomasi publik. Diplomasi publik, dengan memanfaatkan budaya dan media massa, sesuai dengan makna luas soft power. Tujuan diplomasi publik adalah menumbuhkan opini masyarakat yang positif di negara lain melalui interaksi dengan kelompok kepentingan. Keberhasilan diplomasi publik memerlukan kemampuan komunikasi antar budaya, karena berkaitan dengan perubahan sikap masyarakat dan pemahaman bersama dalam melihat persoalan politik luar negeri. Dalam konteks ini, soft power dijelaskan sebagai kemampuan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dengan cara menarik perhatian pihak lain, bukan dengan memaksa. Kemampuan ini dapat diwujudkan dengan menarik, memikat, dan menjadikan milik (co-opt).
3. Sumber Kekuatan Soft Power Menurut Joseph Nye
Dokumen mengutip Joseph Nye yang menyatakan bahwa soft power berasal dari tiga sumber utama: budaya (di tempat-tempat di mana budaya tersebut menarik bagi orang lain), nilai-nilai politik (ketika negara tersebut memenuhi nilai-nilai tersebut di dalam negeri dan di luar negeri), dan kebijakan luar negeri (ketika kebijakan tersebut dipandang sah dan memiliki otoritas moral). Soft power diartikan sebagai kekuatan nasional suatu negara yang didasarkan pada nilai-nilai, ideologi, dan ciri-ciri budaya yang dapat diperlihatkan melalui kebijakan dan perilaku negara atau produk-produk yang dihasilkan negara tersebut. Ini menunjukkan bahwa soft power bukan hanya tentang propaganda, tetapi juga tentang integritas dan kredibilitas suatu negara di mata dunia internasional. Penggunaan budaya sebagai alat diplomasi dianggap lebih mudah diterima daripada menggunakan aktor pemerintah langsung.
4. Contoh Penerapan Diplomasi Publik dan Soft Power China
Dokumen memberikan contoh penerapan diplomasi publik dan soft power China, khususnya dalam menjalin hubungan dengan negara-negara ASEAN dan Indonesia. China memanfaatkan penerimaan sebagai anggota ASEAN Regional Forum (ARF) untuk menjalin kerja sama, seperti strategi Good Neighbourliness dan Mutual Trust (1997), Declaration on the Conduct in the South China Sea (2002), dan Framework Agreement on ASEAN-China Economic Cooperation (2003). Setelah berhasil mendapatkan kepercayaan di tingkat ASEAN, China memfokuskan pada Indonesia, menormalisasi hubungan diplomatik dan menjalin kerja sama melalui jalur pendidikan (Institut Konfusius), penyebaran budaya populer, dan doktrin win-win relation. Doktrin win-win relation menekankan kerjasama tanpa memandang latar belakang negara, dengan sikap non-interference dan memanfaatkan daya tarik budaya China. Olimpiade Beijing 2008 juga dianggap sebagai ajang pameran budaya China yang spektakuler.
V.Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan eksplanatif korelasional untuk menganalisis hubungan antara CCTV Internasional (variabel independen) dan kebijakan China's soft power (variabel dependen). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah data sekunder, berupa studi pustaka dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, dan internet.
1. Jenis Penelitian Eksplanatif Korelasional
Bagian ini mengklasifikasikan jenis penelitian sebagai eksplanatif. Penelitian eksplanatif, menurut dokumen, menyorot hubungan antar variabel dan menguji hipotesis yang dirumuskan terlebih dahulu. Untuk menentukan variabel yang diuji, penelitian ini menetapkan unit eksplanasi dan unit analisis. Unit analisis (variabel dependen) adalah perilaku yang hendak dideskripsikan, dijelaskan, dan diramalkan, sedangkan unit eksplanasi (variabel independen) adalah perilaku yang berpengaruh terhadap unit analisis. Dalam penelitian ini, unit analisis yang akan dideskripsikan, dijelaskan, dan diramalkan adalah kebijakan China’s Soft Power, sementara variabel eksplanasi (independen) adalah CCTV Internasional. Hubungan antar variabel diklasifikasikan sebagai analisis korelasional, karena unit analisis dan unit eksplanasi berada pada tingkatan yang sama; CCTV Internasional sebagai alat pemerintah China untuk mengembangkan kebijakan soft power-nya.
2. Pengumpulan Data Sekunder
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dikategorikan sebagai data sekunder. Artinya, peneliti memperoleh informasi tidak langsung dari sumbernya, melainkan berdasarkan studi pustaka dari berbagai sumber seperti buku ilmiah, jurnal, koran, dan internet. Data primer, yang merupakan informasi yang dikumpulkan langsung oleh peneliti dari sumbernya, tidak digunakan dalam penelitian ini. Pilihan menggunakan data sekunder didukung oleh kenyataan bahwa penelitian ini berfokus pada analisis literatur dan studi kasus mengenai peran CCTV Internasional dalam strategi soft power China. Ketersediaan data sekunder yang melimpah tentang topik ini membuat metode ini menjadi pilihan yang tepat.
3. Analisis Data
Setelah data terkumpul, proses pengolahan data dilakukan melalui penyuntingan, pengkodean, dan tabulasi. Proses selanjutnya adalah analisis data. Alur pemikiran penelitian menggambarkan bagaimana CCTV Internasional dimanfaatkan sebagai instrumen China’s soft power untuk mengatasi pemberitaan miring yang menyebabkan citra China menjadi negatif. Pemerintah China melakukan klarifikasi dan pencitraan kembali dengan menjalankan diplomasi publik yang lebih efektif menggunakan media televisi publik seperti CCTV Internasional. Pilihan menggunakan basis kultural China sebagai alat diplomasi dianggap lebih mudah diterima daripada menggunakan aktor pemerintah langsung. Diplomasi budaya dijalankan untuk menampilkan wajah baru China yang berbeda melalui paradigma yang diterjemahkan oleh CCTV Internasional.