Peran Amerika Serikat dalam Konflik Israel-Palestina dan Kebijakan Luar Negerinya

Peran Amerika Serikat dalam Konflik Israel-Palestina dan Kebijakan Luar Negerinya

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 372.33 KB
Jurusan Hubungan Internasional
Jenis dokumen Skripsi/Tesis
  • Demokrasi
  • Konflik Israel-Palestina
  • Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

Ringkasan

I.Peran Amerika Serikat dalam Politik Global dan Proses Perdamaian Israel Palestina

Dokumen ini menganalisis peran signifikan Amerika Serikat (AS) sebagai negara adidaya dalam politik internasional, khususnya keterlibatannya dalam proses perdamaian Israel-Palestina. AS, yang sering dianggap sebagai penjaga perdamaian dunia, mempengaruhi berbagai kawasan dengan penyebaran nilai-nilai demokrasi dan ide-ide liberal. Namun, kebijakan luar negeri AS, yang seringkali dipengaruhi oleh pragmatisme dan politik domestik, seringkali dianggap inkonsisten dan menimbulkan kebijakan ganda, yang memicu perlawanan dari beberapa negara. Keterlibatan AS dalam konflik Israel-Palestina dimulai sejak Resolusi 181 dan 242 PBB, dan berlanjut melalui berbagai inisiatif perdamaian seperti peta jalan damai (Road Map) yang digagas pada masa Presiden George W. Bush, namun hasilnya belum signifikan. Konflik ini diperumit oleh munculnya Hamas dan perluasan permukiman Yahudi. Diplomasi Palestina di PBB pun menghadapi tantangan akibat eskalasi konflik.

1. Pengaruh Amerika Serikat di Dunia Internasional

Amerika Serikat, sebagai negara adidaya, memiliki pengaruh signifikan di dunia internasional. Pengaruh ini ditunjukkan melalui penyebaran nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan ide-ide liberal lainnya. Peran Amerika Serikat seringkali diposisikan sebagai penjaga stabilitas dan perdamaian dunia, baik secara unilateral maupun multilateral. Namun, kepentingan nasional Amerika Serikat dalam menjalankan peran ini seringkali berbenturan dengan kepentingan negara lain, memicu perlawanan dan kritik terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dianggap inkonsisten dan menerapkan kebijakan ganda. Ketidakkonsistenan ini berakar pada pragmatisme, pengalaman sejarah, landasan ideologis, historis, dan konstitusional negara tersebut, serta dipengaruhi oleh dinamika politik domestik dan pertentangan ideologis di dalam negeri.

2. Keterlibatan Amerika Serikat dalam Konflik Israel Palestina

Keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik Israel-Palestina telah berlangsung lama dan kompleks. Resolusi 181 PBB tahun 1947 yang merekomendasikan pembagian wilayah Palestina, dianggap lebih menguntungkan Israel dan ditolak oleh negara-negara Arab. Resolusi ini menjadi legitimasi bagi pendirian Negara Israel dan aneksasi wilayah selanjutnya. Resolusi 242 PBB, sebagai respon terhadap perang Arab-Israel, menjadi landasan bagi berbagai proses perdamaian seperti Konferensi Camp David, Konferensi Madrid, dan Perjanjian Oslo. Meskipun demikian, upaya-upaya tersebut belum menghasilkan perdamaian yang signifikan. Peta jalan damai (Road Map) yang digagas pada tahun 2003 oleh AS di bawah kepemimpinan George W. Bush, dengan tiga tahapan, juga gagal mencapai tujuannya dan hanya bertahan tiga bulan. Kegagalan ini di antara lain disebabkan oleh kompleksitas permasalahan, munculnya Hamas, dan perluasan permukiman Yahudi yang memicu eskalasi konflik. Diplomasi Palestina melalui Palestinian Authority (PA) untuk meningkatkan status negara di PBB juga menghadapi tantangan yang signifikan di tengah konflik yang berkepanjangan.

3. Peran Palestinian Authority PA dan Hamas dalam Konflik

Diplomasi Palestina yang dilakukan oleh PA bertujuan untuk meningkatkan status negara di PBB. Upaya ini terjadi di tengah meningkatnya eskalasi konflik antara Palestina (diwakili oleh Hamas) dan Israel di Gaza, yang diperparah oleh perluasan pemukiman Yahudi yang terus berlanjut. Perluasan pemukiman ini telah memicu simpati internasional untuk menekan pemerintah berbagai negara agar membela Palestina dan menentang penjajahan serta pelanggaran hak-hak untuk mendirikan negara merdeka. Rancangan perjanjian Annapolis tahun 2007, yang dihadiri oleh George W. Bush, Mahmoud Abbas, dan Perdana Menteri Ariel Sharon, juga membahas gerakan radikal Hamas yang sering menyerang Israel, namun upaya ini pun mengalami kegagalan. Kemenangan Hamas dalam pemilihan umum parlemen Palestina tahun 2006, yang ditandai dengan masuknya gerakan Ikhwanul Muslimin dalam percaturan politik Palestina, semakin memperumit situasi dan proses perdamaian.

II. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat di bawah Presiden Barack Obama dan Konflik Israel Palestina

Bagian ini fokus pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap proses perdamaian Israel-Palestina selama kepemimpinan Barack Obama. Meskipun Obama mengawali masa jabatannya dengan retorika yang penuh harapan bagi masyarakat Muslim di Timur Tengah, hubungan AS-Israel mengalami pasang surut karena perbedaan persepsi terhadap cara menyelesaikan konflik tersebut. Ketidakmampuan Obama dalam menerjemahkan kepentingan AS di Timur Tengah dengan tindakan tegas dianggap sebagai penyebab renggangnya hubungan tersebut. Dokumen ini meneliti rasionalitas politik Obama dalam menghadapi politik domestik dan lingkungan internasional yang mempengaruhi kebijakan luar negerinya, khususnya dalam konteks Israel-Palestina.

1. Kebijakan Obama terhadap Proses Perdamaian Israel Palestina

Bagian ini membahas kebijakan Presiden Barack Obama terkait proses perdamaian Israel-Palestina. Awal kepemimpinan Obama ditandai dengan retorika yang memberikan harapan perubahan kebijakan AS di Timur Tengah, khususnya terkait konflik Israel-Palestina, menciptakan ekspektasi tinggi di kalangan masyarakat Muslim. Namun, kenyataannya, hubungan AS-Israel mengalami pasang surut selama masa kepemimpinan Obama. Perbedaan persepsi antara AS dan Israel mengenai langkah-langkah yang perlu diambil untuk mempertahankan pengaruh di kawasan Timur Tengah, di tengah fenomena seperti Arab Spring yang menyebabkan ketidakstabilan dan eskalasi konflik Israel-Palestina, menjadi faktor utama penyebab renggangnya hubungan tersebut. Ketidakmampuan Obama dalam menerjemahkan kepentingan AS di Timur Tengah dengan tindakan tegas dinilai sebagai salah satu penyebab kegagalan dalam mencapai terobosan signifikan dalam proses perdamaian.

2. Pengaruh Politik Domestik AS terhadap Kebijakan Luar Negeri Obama

Sistem demokrasi liberal di Amerika Serikat menciptakan sistem politik yang terbuka, di mana tiga kekuatan utama, yaitu Kongres, media, dan opini publik, memiliki pengaruh signifikan terhadap pengambilan kebijakan presiden, termasuk Barack Obama. Ketiga kekuatan ini bertindak sebagai penyeimbang kekuasaan presiden dalam menentukan kebijakan luar negeri. Dokumen ini mencatat bahwa retorika awal Obama yang optimistis mengenai perubahan kebijakan di Timur Tengah, tidak berlanjut dengan implementasi kebijakan yang signifikan. Hal ini mencerminkan kompleksitas pengambilan keputusan kebijakan luar negeri yang terpengaruh oleh dinamika politik domestik AS. Keterbatasan sumber daya politik presiden dalam menghadapi tekanan dari Kongres, media, dan opini publik juga mempengaruhi hasil akhir kebijakan luar negeri yang dijalankan.

3. Studi Kasus dan Penelitian Terdahulu

Dokumen ini menyinggung beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan topik ini. Penelitian Dov Waxman (The Real Problem in US-Israel Relation, 2012) membahas pasang surut hubungan AS-Israel dan perbedaan kepentingan kedua negara, menunjukkan fluktuasi hubungan tersebut khususnya pada masa kepemimpinan Obama. Penelitian William Albert Abrams (Israel And The Palestinians In U.S. Foreign Policy) mengeksplorasi sejarah keterlibatan AS dalam konflik Israel-Palestina, menekankan dinamika kedekatan diplomatik AS-Israel dan peran kelompok lobi dalam mempengaruhi kebijakan. Kesimpulan Abrams menyarankan AS menerapkan strategi penyeimbang, mempertahankan aliansi bersyarat dengan Israel, dan mengurangi pengaruh lobi. Penelitian Marianna menyimpulkan bahwa meskipun tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan AS di masa Obama, AS tetap memperhatikan isu Palestina. Kegagalan dalam memberikan perhatian yang memadai akan mengancam pengaruh AS terhadap isu tersebut. Semua penelitian ini memberikan konteks penting bagi analisis kebijakan luar negeri Obama terkait konflik Israel-Palestina.

III.Analisis Rasionalitas Politik Barack Obama dan Sumber Daya Politik

Analisis ini menggunakan teori rasionalitas politik untuk menjelaskan pengambilan keputusan Barack Obama dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat, khususnya terkait Israel-Palestina. Teori ini menekankan peran sumber daya politik presiden, seperti dukungan Kongres, media, opini publik, tingkat persetujuan publik (Job Approval), dan margin kemenangan pemilu, dalam mempengaruhi pilihan kebijakan. Presiden dengan sumber daya politik yang lebih besar memiliki lebih banyak kebebasan dalam pengambilan keputusan. Keberhasilan atau kegagalan kebijakan luar negeri akan mempengaruhi sumber daya politik presiden di masa depan. Dokumen ini menyelidiki bagaimana faktor-faktor domestik dan internasional berinteraksi untuk membentuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah Barack Obama.

1. Teori Rasionalitas Politik dalam Kebijakan Luar Negeri

Analisis ini menggunakan kerangka teori rasionalitas politik untuk memahami pengambilan keputusan kebijakan luar negeri, khususnya dalam konteks kebijakan Presiden Barack Obama terhadap proses perdamaian Israel-Palestina. Teori ini berargumen bahwa kebijakan luar negeri suatu rezim merupakan hasil pertimbangan pengambilan keputusan presiden, memperhitungkan permasalahan politik yang lebih luas dan kepentingan para pembuat kebijakan. Teori rasionalitas politik menekankan bahwa presiden dengan sumber daya politik yang lebih besar akan mengambil keputusan yang berbeda dibandingkan presiden dengan sumber daya politik yang terbatas. Keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan dianggap sebagai penambahan atau pengurangan modal sumber daya presiden, yang memengaruhi pengambilan keputusan dan peluang politik di masa depan. Model ini berbeda dengan model pengambilan keputusan aktor rasional yang lebih menekankan pada proses intelektual.

2. Sumber Daya Politik Presiden dan Pengaruhnya terhadap Kebijakan

Dokumen menjelaskan tiga kekuatan politik domestik yang berpengaruh terhadap kekuasaan presiden AS: Kongres, media, dan opini publik. Ketiga kekuatan ini berperan sebagai penyeimbang kekuasaan presiden dan berpengaruh pada pilihan kebijakan yang diambil. Margin kemenangan pemilu dan tingkat persetujuan kerja presiden (Job Approval) juga diidentifikasi sebagai sumber daya politik utama. Margin kemenangan yang tipis dapat membuat dukungan Kongres mudah tergerus, meskipun tingginya margin kemenangan tidak selalu menjamin dukungan penuh Kongres. Persetujuan kerja presiden merupakan ukuran kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan, memberikan indikasi penilaian publik yang berkelanjutan terhadap kinerja presiden, dan menjadi tolok ukur terhadap pilihan kebijakan yang diambil. Meskipun prestasi kebijakan luar negeri tidak selalu berdampak langsung pada keberhasilan legislatif atau pemilu, kebijakan luar negeri tetap memiliki konsekuensi domestik yang memengaruhi sumber daya politik presiden. Presiden akan cenderung mengambil risiko lebih besar jika tingkat persetujuan kerjanya rendah, namun mereka juga akan berupaya menjaga tingkat persetujuan tersebut untuk mengamankan kekuasaan.

3. Interaksi Faktor Domestik dan Internasional dalam Pengambilan Keputusan

Dokumen menyoroti interaksi antara faktor domestik dan internasional dalam membentuk kebijakan luar negeri. Pengaruh domestik, yang diwakili oleh Kongres, media, dan opini publik, memberikan batasan dan pilihan kebijakan yang terbatas bagi presiden. Namun, pemimpin politik dapat mempertimbangkan berbagai alternatif kebijakan untuk mengatasi perubahan sistem internasional dan mencapai tujuan mereka. Faktor-faktor politik domestik pada akhirnya menentukan pilihan kebijakan yang diambil. Keberhasilan dalam meloloskan agenda kebijakan, mempertahankan popularitas presiden, dan keterpilihan kembali pada pemilu berikutnya, semuanya bergantung pada pengelolaan sumber daya politik secara efektif. Seorang presiden yang rasional akan mempertimbangkan risiko keberhasilan atau kegagalan kebijakan luar negeri terhadap masa depan kekuasaannya, dan memilih pilihan yang secara politik rasional.

IV.Penelitian Terdahulu tentang Hubungan AS Israel dan Konflik Israel Palestina

Dokumen ini merujuk beberapa penelitian sebelumnya tentang hubungan AS-Israel dan konflik Israel-Palestina. Penelitian-penelitian tersebut antara lain membahas sejarah hubungan AS-Israel, peran kelompok lobi, dan tantangan dalam mencapai perdamaian. Penelitian oleh Dov Waxman (The Real Problem in US-Israel Relation), William Albert Abrams (Israel And The Palestinians In U.S. Foreign Policy), dan Marianna menawarkan perspektif yang berbeda tentang dinamika kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam konteks Timur Tengah dan proses perdamaian Israel-Palestina.

1. Kajian Kebijakan AS terhadap Timur Tengah dan Proses Perdamaian Israel Palestina

Dokumen menyebutkan bahwa penelitian mengenai kebijakan Amerika Serikat terhadap Timur Tengah, khususnya proses perdamaian Israel-Palestina, sudah banyak dilakukan. Hal ini disebabkan Timur Tengah dianggap sebagai wilayah yang sangat strategis bagi Amerika Serikat, mengingat sejarah panjang keterlibatan AS di kawasan tersebut sejak berakhirnya kolonialisasi Inggris pada tahun 1940-an hingga saat ini. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi akademis sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang membahas kebijakan luar negeri, salah satu kajian populer dalam studi Hubungan Internasional. Secara praktis, penelitian ini bertujuan memberikan gambaran komprehensif mengenai dinamika kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah.

2. Tinjauan Penelitian Dov Waxman dan William Albert Abrams

Dokumen merujuk pada penelitian Dov Waxman, “The Real Problem in US-Israel Relation” (2012), yang diterbitkan oleh CSIS (Center for Strategic and International Studies). Penelitian ini membahas sejarah hubungan AS-Israel, menunjukkan pasang surut hubungan tersebut, persamaan dan perbedaan kepentingan kedua negara. Waxman mengamati fluktuasi hubungan AS-Israel yang signifikan setelah Obama menjadi presiden. Selanjutnya, dokumen juga menyinggung tesis William Albert Abrams, “Israel And The Palestinians In U.S. Foreign Policy Past – Present – Future”, yang membahas sejarah keterlibatan AS dalam konflik Israel-Palestina, termasuk dinamika kedekatan diplomatik AS-Israel yang didasari oleh kesamaan kepentingan di Timur Tengah. Abrams menyoroti peran kelompok lobi dalam mempengaruhi kebijakan di kedua negara dan menyimpulkan bahwa AS perlu menerapkan strategi penyeimbang, mempertahankan aliansi bersyarat dengan Israel, dan mengurangi pengaruh lobi dalam kebijakan luar negeri.

3. Kesimpulan Penelitian Marianna dan Implikasinya

Dokumen juga mencantumkan kesimpulan penelitian Marianna yang menyatakan bahwa meskipun kebijakan AS di masa kepemimpinan Barack Obama tidak mengalami perubahan mendasar, AS tetap memperhatikan isu Palestina. Marianna memperingatkan bahwa jika hal ini berlanjut, pengaruh Amerika Serikat terhadap isu Palestina akan semakin berkurang. Selain itu, dokumen juga membahas hubungan AS-Israel yang renggang di masa Obama karena ketidakmampuan Obama menerjemahkan kepentingan AS di Timur Tengah dengan tindakan tegas. Perbedaan persepsi antara AS dan Israel tentang tindakan yang tepat untuk mempertahankan pengaruh di Timur Tengah, terutama selama periode Arab Spring, menyebabkan ketidakselarasan tindakan kedua negara. Beberapa penelitian lain juga disinggung secara singkat, misalnya penelitian yang fokus pada hubungan AS-Palestina dan dinamika politik domestik Palestina, dengan rekomendasi yang disampaikan kepada Kongres AS.