Pentingnya Keamanan Laut dalam Politik Nasional

Pentingnya Keamanan Laut dalam Politik Nasional

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 452.39 KB
Jurusan Hubungan Internasional atau Studi Keamanan Maritim
Jenis dokumen Esai atau Bab dari Tesis/Disertasi
  • keamanan maritim
  • politik kelautan
  • sumber daya laut

Ringkasan

I.Politik Kelautan dan Keamanan Maritim di Selat Malaka

Dokumen ini membahas politik kelautan dan keamanan maritim di Selat Malaka, khususnya terkait perompakan kapal. Penelitian ini menelusuri empat komponen utama hubungan antara lautan dan tujuan nasional suatu negara: defense of the sea, sea economy, favorable sea interests, dan maritime consciousness. Selat Malaka, sebagai jalur pelayaran strategis, menjadi sorotan karena meningkatnya ancaman perompakan sejak tahun 2000, yang disebut-sebut sebagai ‘wabah horor’ pasca krisis finansial Asia Tenggara 1997-1998. International Maritime Bureau (IMB) bahkan menjuluki Selat Malaka sebagai perairan paling berbahaya di dunia. Keamanan maritim (maritime security) tidak hanya mencakup ancaman militer konvensional (simetris) antar negara, tetapi juga ancaman non-militer (asimetris) seperti perompakan.

1. Hubungan Lautan dengan Tujuan Nasional

Bagian ini menjabarkan pandangan Ismael Idrobo, berdasarkan analogi pemikiran Donald E. Nuechterlein, tentang hubungan vital antara lautan dan tujuan nasional suatu negara. Idrobo mengidentifikasi empat komponen utama: pertama, defense of the sea, yang berkaitan dengan kedaulatan dan integritas negara di laut; kedua, sea economy, meliputi eksploitasi sumber daya alam laut; ketiga, favorable sea interests, mencakup pengelolaan dan pelestarian aktivitas maritim seperti pelayaran dan kepelabuhanan; dan keempat, maritime consciousness, yaitu kesadaran akan potensi politik, ekonomi, dan sosial laut dalam pembangunan nasional. Lautan dipandang sebagai aspek vital yang semakin sentral bagi cita-cita dan kepentingan nasional negara-bangsa modern. Peter Polomka, dalam kajiannya tentang politik kelautan di Asia Tenggara, juga menekankan pentingnya aspek kelautan ini.

2. Evolusi Konsep Keamanan Maritim

Konsep keamanan maritim (maritime security) telah berevolusi dari perspektif tradisional yang berfokus pada ancaman militer konvensional antar negara (simetris), seperti sengketa perbatasan, perlombaan senjata angkatan laut (naval arms race), dan masalah kebebasan penggunaan laut, menuju pemahaman yang lebih luas. Keamanan maritim kini mencakup ancaman non-militer (asimetris) yang bersifat existential threat, melampaui ancaman fisik atau militer konvensional. Pergeseran ini dipengaruhi oleh perkembangan global dan kompleksitas isu-isu keamanan di era modern. Dokumen ini mencatat peningkatan signifikan aksi perompakan di Selat Malaka pasca krisis ekonomi tahun 1997-1998, terutama sejak tahun 2000, yang dinilai sebagai ancaman serius bagi keamanan maritim regional.

3. Selat Malaka Zona Bahaya dan Ancaman Perompakan

Selat Malaka diidentifikasi sebagai jalur pelayaran yang sangat strategis dan rawan terhadap kejahatan maritim, khususnya perompakan. International Maritime Bureau (IMB), sebuah divisi dari International Chamber of Commerce yang bertugas mengawasi kejahatan maritim, menyatakan pada awal 2004 bahwa Selat Malaka adalah area perairan paling berbahaya di dunia. Lloyd's Market Association's Joint War Committee bahkan mengategorikan Selat Malaka sebagai zona perang pada tahun 2005. Meningkatnya insiden perompakan sejak tahun 2000, dianggap sebagai ancaman serius bagi Indonesia, Malaysia, dan Singapura sebagai negara pantai yang memiliki kedaulatan, tanggung jawab, dan kepentingan dalam menjaga stabilitas keamanan di Selat Malaka. Kondisi ini mendorong kerjasama trilateral untuk mengatasi perompakan.

II.Kerjasama Trilateral Indonesia Malaysia dan Singapura

Sebagai negara pantai di Selat Malaka, Indonesia, Malaysia, dan Singapura membentuk kerjasama trilateral untuk mengatasi masalah perompakan kapal. Kerjasama ini meliputi Malsindo Coordinated Patrol (2004), Eyes in the Sky Initiative (2005), dan Malacca Straits Patrol (MSP) (2006). Tujuannya adalah untuk meningkatkan keamanan maritim di Selat Malaka dan melindungi kepentingan nasional ketiga negara dari ancaman perompakan yang berdampak besar pada ekonomi dan keamanan regional. Penelitian ini menganalisis perilaku ketiga negara dalam menghadapi ancaman tersebut dan mengevaluasi efektivitas kerjasama trilateral dalam menangani perompakan di Selat Malaka.

1. Latar Belakang Kerjasama Trilateral

Meningkatnya aktivitas perompakan kapal di Selat Malaka sejak tahun 2000 mendorong Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk membentuk kerjasama trilateral. Ketiga negara ini memiliki kepentingan strategis dan kedaulatan di wilayah tersebut, dan perompakan menjadi ancaman nyata yang harus ditangani bersama. Penelitian ini berfokus pada perilaku ketiga negara dalam manajemen keamanan di Selat Malaka, khususnya dalam merespon lonjakan aksi perompakan. Dokumen ini mencatat bagaimana peningkatan perompakan pasca krisis finansial 1997-1998 menciptakan ‘wabah horor’ di kawasan tersebut, menjadikan Selat Malaka area perairan yang sangat berbahaya menurut International Maritime Bureau (IMB).

2. Kesepakatan dan Inisiatif Trilateral

Untuk mengatasi masalah perompakan, Indonesia, Malaysia, dan Singapura menjalin serangkaian kesepakatan dan inisiatif trilateral antara tahun 2004-2006. Kesepakatan awal berupa Malsindo Coordinated Patrol atau Malacca Straits Sea Patrol (2004), dilanjutkan dengan Eyes in the Sky Initiative (2005) untuk pengawasan udara, dan The Malacca Straits Patrol (MSP) (2006). Kerjasama ini merupakan upaya efektif untuk menanggulangi isu perompakan di Selat Malaka sampai tahun 2007. Implementasi kerjasama tersebut melibatkan militer ketiga negara melalui patroli terkoordinasi di laut dan udara, serta manajemen komunikasi dan pertukaran informasi untuk pencegahan dan pengendalian perompakan. Dokumen ini menganalisis kesepakatan-kesepakatan tersebut sebagai solusi atas ancaman keamanan di Selat Malaka.

3. Analisis Perilaku Negara dan Efektivitas Kerjasama

Penelitian ini mendalam menganalisis perilaku Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam menangani perompakan di Selat Malaka. Analisis ini mencakup konteks ancaman, dampak isu perompakan terhadap ketiga negara, dan berbagai tantangan yang dihadapi dalam penanganannya. Dokumen ini juga meneliti bagaimana kepentingan masing-masing negara dalam keamanan Selat Malaka mendorong kerjasama trilateral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerjasama tersebut merupakan upaya pengamanan bersama yang melibatkan militer ketiga negara, dikombinasikan dengan pengawasan udara dan manajemen komunikasi serta pertukaran informasi yang efektif dalam mencegah dan mengendalikan aksi perompakan. Efektivitas kerjasama ini dikaitkan dengan kepentingan keamanan masing-masing negara di Selat Malaka yang terancam oleh aktivitas perompakan.

III.Perompakan Kapal di Laut Definisi dan Ancaman

Dokumen ini mendefinisikan perompakan kapal berdasarkan berbagai sumber, termasuk IMB dan pakar hukum internasional. Definisi mencakup tindakan kekerasan di laut yang bertujuan untuk merampas harta benda, menyandera, atau melakukan kejahatan lainnya terhadap kapal, kru, dan penumpang. Perompakan tidak hanya bermotif ekonomi, tetapi juga bisa bermuatan politik, seperti yang terungkap dalam keterlibatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam beberapa insiden. Penelitian ini menelaah perompakan kapal di Selat Malaka sebagai suatu ancaman keamanan maritim yang serius, memerlukan respons bersama dari negara-negara terkait.

1. Definisi Perompakan Kapal

Dokumen ini menjabarkan definisi perompakan kapal dari berbagai perspektif. Istilah 'pirata' diartikan sebagai 'to attempt', 'yang menyerang', atau 'yang merampok'. Sejarawan Romawi Polybius mendefinisikan perompakan sebagai serangan ilegal terhadap kapal dan kota-kota maritim. Plutarch, sejarawan Yunani, menyebutnya sebagai serangan tanpa otoritas. Sir Charles Hedges, hakim Mahkamah Pelayaran Inggris, mendefinisikannya sebagai tindakan naik kapal dengan maksud mencuri atau melakukan kejahatan lain, dengan kemampuan menggunakan kekerasan. IMB (International Maritime Bureau) melihat tindakan ilegal terhadap kapal di laut, termasuk di pelabuhan, sebagai perompakan. Michael McNicholas, dalam bukunya Maritime Security: An Introduction, memberikan definisi yang lebih rinci. Meskipun terdapat berbagai definisi, inti dari perompakan adalah tindakan kriminal yang tidak sah dan bertujuan memenuhi kepentingan pribadi tanpa otoritas negara atau internasional, yang melibatkan kekerasan terhadap kapal, awak kapal, penumpang, atau properti di atas kapal.

2. Ancaman Perompakan Lebih dari Sekedar Ekonomi

Perompakan kapal merupakan ancaman serius yang tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga berdimensi politik. Contohnya, penelitian Eka Krisnawati menunjukkan keterlibatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam perompakan di Selat Malaka. Meskipun perompakan telah diatur dalam KUHP Indonesia, belum seluruh aspek kejahatan yang menyertainya tercakup, seperti pembunuhan, penculikan, dan pemerasan. Oleh karena itu, Eka Krisnawati merekomendasikan peraturan hukum khusus dengan efek jera maksimal. Perompakan di Selat Malaka, menurut penelitian tersebut, merupakan kejahatan serius dengan motif ekonomi dan nuansa politik. Penelitian ini juga membahas bagaimana aksi perompakan tidak hanya melibatkan perampasan harta benda, tetapi juga penculikan dan penahanan sandera demi mendapatkan tebusan dari industri maritim.

3. Perompakan sebagai Ancaman Keamanan Maritim

Dokumen ini menggarisbawahi bahwa perompakan kapal di laut merupakan ancaman nyata bagi keamanan maritim (maritime security). Ancaman ini tidak hanya berasal dari aktor negara (simetris), tetapi juga aktor non-negara (asimetris), seperti perompak. Selat Malaka, dengan status hukum perairannya yang kompleks dan belum sepenuhnya jelas, menunjukkan betapa rumitnya menerapkan perbedaan definisi perompakan berdasarkan hukum laut modern. Perompakan sebagai ancaman keamanan maritim perlu ditangani secara serius karena dapat mengganggu keselamatan pelayaran, ketertiban penggunaan laut, dan penegakan hukum baik nasional maupun internasional. Masalah ini juga terkait erat dengan kejahatan transnasional dan degradasi lingkungan laut. Dokumen ini menekankan pentingnya respon negara dalam menghadapi ancaman-ancaman asimetris ini.

IV.Kerjasama Internasional dalam Keamanan Maritim

Dokumen ini menjelaskan kerjasama internasional sebagai solusi untuk masalah keamanan maritim. Kerjasama ini mencakup perjanjian, regulasi, dan prosedur bersama untuk merespon ancaman. Dalam konteks perompakan di Selat Malaka, kerjasama trilateral antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura adalah contoh implementasi dari kerjasama internasional dalam bidang keamanan maritim. Penelitian ini menganalisis landasan, mekanisme, dan efektivitas kerjasama tersebut dalam mengatasi ancaman perompakan dan menjaga stabilitas regional.

1. Kerjasama Internasional Konsep dan Definisi

Dokumen ini membahas kerjasama internasional (international cooperation) sebagai respons terhadap berbagai tantangan keamanan, termasuk di bidang maritim. James E. Dougherty dan Robert L. Pfalltzgraff Jr. mendefinisikan kerjasama internasional sebagai hubungan antar negara yang saling membantu melalui aturan, regulasi, norma, dan prosedur pengambilan keputusan bersama. Keberhasilan kerjasama bergantung pada kepercayaan antar negara dan manfaat yang diperoleh. Sjamsudar Dam dan Riswandi menyebutkan kerjasama internasional mencakup berbagai bidang, termasuk politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. John Ruggie menekankan pentingnya kerjasama multilateral (tiga negara atau lebih). Dalam konteks keamanan, Gregory J. Dyekman mendefinisikan kerjasama keamanan sebagai upaya negara dan organisasi untuk mencapai tujuan strategis bersama, sementara Albert Zaccor menekankan pembangunan hubungan pertahanan untuk kepentingan keamanan nasional.

2. Kerjasama Keamanan Maritim dalam Mengatasi Perompakan

Dokumen ini menjelaskan konsep keamanan maritim (maritime security) dan menghubungkannya dengan kerjasama internasional. Keamanan maritim, menurut Del Pozo, Dymock, Feldt, Hebrard, dan Monteforte, adalah kombinasi langkah preventif dan responsif untuk melindungi wilayah maritim dari ancaman. Natalie Klein menghubungkan keamanan maritim dengan kepentingan keamanan negara dalam ruang lingkup laut. Dokumen ini menekankan fleksibilitas konsep keamanan maritim, yang mencakup ancaman dari aktor negara dan non-negara. Perompakan kapal di Selat Malaka, sebagai ancaman asimetris, mendorong kerjasama internasional, terutama kerjasama trilateral antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kerjasama ini dianggap sebagai upaya untuk melindungi kepentingan vital ketiga negara di Selat Malaka yang terancam oleh aktivitas perompakan.

3. Keterlibatan Aktor Non Kawasan dan Tantangan Kerjasama

Dokumen ini menyoroti tekanan dari aktor negara besar non-kawasan terhadap negara-negara pantai Selat Malaka untuk segera mengatasi perompakan dan isu-isu keamanan maritim lainnya. Humphrey Wangke berpendapat bahwa masalah keamanan pelayaran di Selat Malaka, termasuk perompakan dan terorisme, memaksa negara-negara pantai untuk meningkatkan pengamanan, seperti yang terlihat dalam pembentukan patroli trilateral Malsindo Malacca Straits Coordinate Patrol pada tahun 2004. Hanizah Idriz dalam penelitiannya menunjukkan kerjasama negara-negara pesisir melalui inisiatif regional (patroli bersama) dan upaya melibatkan negara-negara pengguna Selat Malaka (Jepang, Korea Selatan, Cina, dan Amerika Serikat). Namun, upaya melibatkan aktor non-kawasan ini dihadapkan pada dilema sensitivitas kedaulatan Indonesia dan Malaysia. Hanizah Idriz juga menekankan bahwa perompakan di Selat Malaka merupakan masalah global yang memerlukan respons bersama, tidak mungkin ditangani secara individual oleh negara-negara pantai.