
Kebangkitan Damai China dan Dampaknya terhadap Transisi Demokrasi di Myanmar
Informasi dokumen
Jurusan | Hubungan Internasional atau Ilmu Politik |
Jenis dokumen | Skripsi atau Tesis |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 681.68 KB |
- Kebangkitan China
- Kebijakan Luar Negeri
- Transisi Demokrasi Myanmar
Ringkasan
I.Kebijakan Luar Negeri China Masa Hu Jintao dan Perkembangan Damai
Dokumen ini membahas kebijakan luar negeri China selama masa kepemimpinan Hu Jintao, yang dikenal dengan konsep "perkembangan damai". China aktif dalam kerjasama ekonomi regional seperti ASEAN+1, ASEAN+3, Uni Eropa, NATO, SCO, G7, dan PBB. Namun, persepsi Barat, khususnya AS dan Jepang, tetap skeptis, melihat potensi China sebagai negara revisionis yang ingin menantang tatanan internasional yang ada, terutama dilihat dari keterlibatan China di Iran dan Korea Utara. Sebagian analis memandang China sebagai negara status quo, karena ketergantungannya pada sistem internasional yang didominasi AS dan kurangnya kapasitas untuk menantang AS secara langsung.
1. Kebijakan Perkembangan Damai dan Kerjasama Ekonomi Regional
Pada masa kepemimpinan Hu Jintao, kebijakan luar negeri China dikenal dengan 'peaceful development'. Hal ini terlihat dari aktifnya China dalam berbagai kerjasama ekonomi regional. Beberapa contoh kerjasama tersebut mencakup ASEAN+1, ASEAN+3, Uni Eropa, NATO, Shanghai Cooperation Organisation (SCO), G7, dan PBB. Keterlibatan ini menunjukkan komitmen China terhadap kerja sama internasional dan integrasi ekonomi global. Namun, perlu dicatat bahwa fokus pada kerjasama ekonomi tidak serta merta menghilangkan potensi konflik atau perbedaan kepentingan dengan negara-negara lain. China juga menunjukkan upaya-upaya kooperatif dalam penyelesaian berbagai konflik regional, seperti krisis nuklir di Semenanjung Korea dan Iran, sengketa dengan Vietnam di Laut China Selatan, dan upaya resolusi masalah HAM di Myanmar. Meskipun terdapat upaya-upaya tersebut, persepsi negara lain terhadap komitmen China terhadap 'perkembangan damai' masih beragam.
2. Persepsi Negara Lain Terhadap Kebangkitan China Status Quo atau Revisionis
Persepsi terhadap kebangkitan China terbagi menjadi dua: status quo dan revisionis. Mearsheimer berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi China akan berujung pada persaingan keamanan dengan AS dan berpotensi menyebabkan perang, dengan negara-negara tetangga seperti India, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Rusia, dan Vietnam bergabung dengan AS untuk membendung pengaruh China. Di sisi lain, perspektif ekonomi-politik internasional cenderung melihat China sebagai negara status quo karena pertumbuhan ekonomi China sangat bergantung pada sistem internasional yang saat ini didominasi oleh AS. Kemampuan ekonomi, politik, dan militer China masih jauh di bawah AS, sehingga dinilai belum mampu untuk secara langsung menantang dominasi AS. Perbedaan persepsi ini menunjukan kerumitan dalam menilai arah kebijakan luar negeri China dan implikasinya bagi stabilitas internasional.
3. Analisis Lebih Lanjut Pertimbangan Faktor Internal dan Eksternal
Bagian ini menggali lebih dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri China, khususnya terkait pilihan strategi dan pendekatan yang diambil. Perlu diperhatikan bahwa faktor internal China, seperti ambisi ekonomi dan politik, berinteraksi dengan faktor eksternal, termasuk dinamika kekuasaan global dan regional. Kondisi sistem internasional yang anarkis, dengan berbagai aktor dan kepentingan yang saling bersaing, mempengaruhi strategi yang diambil oleh China. Oleh karena itu, memahami motivasi dan kepentingan internal China sangat penting untuk menganalisis perilaku dan kebijakan luar negerinya. Studi ini menekankan pentingnya melihat kebijakan luar negeri China tidak hanya dari perspektif negara revisionis atau status quo semata, tetapi juga dengan mempertimbangkan kompleksitas faktor-faktor internal dan eksternal yang saling mempengaruhi. Memahami faktor-faktor ini memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang motivasi dan strategi China dalam hubungan internasional.
II. China dan Myanmar Sebuah Hubungan Strategis
Bagian ini menganalisis hubungan China dan Myanmar, khususnya dalam konteks transisi demokrasi di Myanmar. Meskipun terjadi kekacauan politik di Myanmar, ditandai dengan kudeta militer tahun 1962 dan 1988, serta pelanggaran HAM, China justru memberikan perlindungan diplomatik. Hal ini dikaitkan dengan kepentingan geostrategis China, yaitu letak geografis Myanmar yang strategis di antara provinsi Yunnan dan jalur laut Samudra Hindia menuju Teluk Persia. China juga memiliki kepentingan ekonomi di Myanmar, termasuk eksplorasi minyak. Pertemuan Presiden Hu Jintao dengan Perdana Menteri Myanmar Khin Nyunt pada 13 Juli 2004 menunjukkan dukungan China terhadap stabilitas sosial dan rekonsiliasi nasional di Myanmar. China bahkan menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk melindungi Myanmar dari sanksi internasional. Tokoh penting dalam konteks ini adalah Aung San Suu Kyi.
1. Sejarah Politik Myanmar dan Konflik Internal
Myanmar, merdeka dari Inggris pada 1948, hanya menikmati demokrasi selama 14 tahun sebelum kudeta militer tahun 1962 oleh Ne Win menggulingkan pemerintahan sipil U Nu. Ne Win berkuasa hingga 1988. Periode ini ditandai dengan pemerintahan otoriter dan pelanggaran HAM yang meluas. Dua pemberontakan besar terjadi pada tahun 1988 dan 2007, yang mengakibatkan banyak korban sipil. Aung San Suu Kyi, pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), terus memperjuangkan demokrasi, mengalami penahanan rumah dan percobaan pembunuhan. Meskipun NLD memenangkan pemilu 1990, hasil tersebut dibatalkan oleh junta militer. Jenderal Than Swe memimpin militer Myanmar hingga saat ini. Kekacauan politik ini menyebabkan pengungsian warga Myanmar ke negara-negara tetangga, termasuk China, dan memicu ketegangan di perbatasan, namun pada akhirnya dapat diselesaikan secara damai.
2. Hubungan China Myanmar Persahabatan dan Dukungan Diplomatik
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, hubungan China-Myanmar tetap terjalin erat. Pertemuan Presiden Hu Jintao dengan Perdana Menteri Myanmar Khin Nyunt pada Juli 2004 menunjukkan dukungan China terhadap stabilitas sosial dan rekonsiliasi nasional di Myanmar. China menekankan persahabatan jangka panjang dan saling menghormati antara kedua negara. Namun, dukungan China terhadap Myanmar juga mencakup tindakan kontroversial, seperti veto terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 2007 terkait situasi di Myanmar dan penyediaan bantuan persenjataan kepada pemerintah Myanmar. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan bilateral didasarkan pada kepentingan strategis dan ekonomi, bukan semata-mata pada nilai-nilai demokrasi dan HAM. Intervensi China dalam konflik internal Myanmar menunjukkan adanya pertimbangan kepentingan nasional China yang lebih besar dibanding tekanan internasional.
3. Kepentingan Strategis dan Ekonomi China di Myanmar
China memiliki kepentingan strategis dan ekonomi yang signifikan di Myanmar. Secara geografis, lokasi Myanmar yang strategis antara Provinsi Yunnan, China, dan jalur laut Samudra Hindia menuju Teluk Persia memberikan keuntungan geopolitik bagi China. Myanmar menjadi akses penting bagi China ke Samudra Hindia, mengurangi ketergantungan pada Selat Malaka. Eksplorasi minyak oleh BUMN China di Myanmar juga menunjukkan kepentingan ekonomi yang besar. Penerimaan Myanmar terhadap produk-produk konsumen China semakin memperkuat hubungan ekonomi kedua negara. Keterkaitan ekonomi dan strategis ini menjelaskan mengapa China memberikan perlindungan diplomatik kepada Myanmar meskipun menghadapi tekanan internasional terkait pelanggaran HAM dan kekacauan politik di negara tersebut. Kepentingan strategis dan ekonomi ini menjadi faktor utama yang mendorong China untuk mempertahankan hubungan yang dekat dan memberikan dukungan kepada Myanmar, walaupun hal ini menimbulkan kontroversi.
III.Analisis Menggunakan Teori Balance of Interest
Penelitian ini menggunakan teori Balance of Interest (BOI) karya Randall L. Schweller untuk menganalisis kebijakan luar negeri China di Myanmar. Teori ini mengkritisi asumsi Balance of Power dan Balance of Threat, menunjukkan bahwa negara revisionis bertindak berdasarkan kepentingan untuk mendapatkan lebih dari apa yang mereka miliki. China dikategorikan sebagai negara revisionis tipe "jackal", yaitu negara yang menginginkan perubahan tetapi tidak memiliki kapasitas untuk menantang secara langsung kekuatan status quo seperti AS. China memilih pendekatan damai dan kooperatif di Myanmar untuk mencapai kepentingan ekonominya dan posisi dominan di kawasan Asia, tetapi hal ini dapat berubah tergantung situasi yang menguntungkan.
1. Kritik terhadap Teori Balance of Power dan Balance of Threat
Analisis kebijakan luar negeri China menggunakan teori Balance of Interest (BOI) karya Randall L. Schweller. Schweller mengkritik asumsi teori Balance of Power dan Balance of Threat yang menyatakan bahwa negara-negara berupaya menjaga keseimbangan kekuatan untuk stabilitas. Ia mempertanyakan motivasi negara untuk agresi dan perang jika semua negara puas dengan kondisi yang ada. Schweller berpendapat bahwa perilaku negara revisionis didorong oleh ketidakpuasan dan ambisi untuk mendapatkan lebih dari yang sudah dimiliki. Dengan demikian, teori BOI menawarkan kerangka analitis yang lebih komprehensif dalam memahami perilaku negara di tengah sistem internasional yang anarkis. Teori ini juga menjadi landasan untuk memahami mengapa negara-negara memilih untuk terlibat dalam perilaku revisionis, baik secara terbatas maupun tanpa batas. Pendekatan ini sangat relevan dalam menganalisis kebijakan luar negeri China.
2. Klasifikasi Negara Revisionis menurut Schweller Analogi Zoologi
Schweller mengklasifikasikan negara-negara yang sedang bangkit menjadi dua kategori: revisionis terbatas (limited aims) dan revisionis tak terbatas/revolusioner (unlimited aims). Ia menggunakan analogi zoologi untuk menggambarkan perilaku negara dalam sistem internasional. Lions mewakili negara status quo yang puas dengan posisinya dan cenderung balancing. Jackals mewakili negara revisionis terbatas yang tidak puas dengan kondisinya tetapi tidak mampu melawan kekuatan status quo secara langsung, sehingga cenderung oportunistik (jackal bandwagoning). Lambs menggambarkan negara kecil yang mengikuti kekuatan dominan (bandwagoning) untuk mendapatkan keamanan. Wolves mewakili negara revisionis yang agresif dan berupaya merubah sistem internasional secara total. Klasifikasi ini memberikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami motivasi dan strategi berbeda dari negara-negara yang sedang bangkit, termasuk China. Dengan memahami klasifikasi ini, kita dapat lebih akurat memperkirakan tindakan negara-negara tersebut di panggung internasional.
3. Penggolongan China sebagai Negara Revisionis Tipe Jackal
Berdasarkan teori BOI, penulis menggolongkan China sebagai negara revisionis tipe jackal. China tidak memiliki kapasitas untuk menantang secara langsung kekuatan status quo (seperti AS) tetapi menginginkan perubahan tertentu untuk meningkatkan keuntungannya. China melakukan veto terhadap resolusi DK PBB tahun 2007 mengenai Myanmar sebagai contoh. Tindakan China ini mencerminkan strategi untuk mencapai kepentingan di Myanmar tanpa mengubah sistem secara total. China memilih cara-cara kooperatif dan damai untuk mencapai tujuannya, namun hal ini tidak meniadakan potensi perubahan sikap di masa depan tergantung kepentingan yang diprioritaskan. Penggunaan teori BOI dalam studi ini menyediakan alat analisa yang bermanfaat untuk memahami kompleksitas kebijakan luar negeri China, yang tidak selalu konsisten dengan label negara revisionis atau status quo semata.
4. Balance of Interest pada Level Sistemik
Pada level sistemik, stabilitas sistem internasional tidak hanya mencerminkan distribusi kekuatan, tetapi juga tujuan dan niat negara untuk menggunakan kekuatan tersebut untuk mengendalikan atau menghancurkan sistem. Negara revisionis adalah yang ingin mengubah sistem. Sistem akan stabil jika kekuatan status quo lebih besar daripada kekuatan revisionis, dan sebaliknya. Penulis menggunakan teori BOI untuk mengklasifikasikan China sebagai negara revisionis tipe jackal, yaitu negara revisionis dengan tujuan terbatas yang tidak mampu menantang secara langsung kekuatan status quo tetapi menginginkan sedikit perubahan untuk meningkatkan keuntungannya. Dengan demikian, analisis sistemik ini mendukung kesimpulan sebelumnya bahwa China adalah negara revisionis dengan tujuan terbatas yang mencari cara-cara kooperatif untuk mencapai kepentingan nasionalnya di Myanmar, tanpa harus secara frontal mengubah sistem internasional yang ada.
IV.Hipotesis dan Kesimpulan
Hipotesis penelitian adalah China tidak puas dengan sistem internasional yang ada dan menggunakan strategi damai untuk menyeimbangkan kepentingan internal dan eksternal, bertujuan menjadi kekuatan hegemon di kawasan dan kekuatan baru dunia internasional. Kesimpulannya, meski saat ini masih dikategorikan sebagai negara status quo, China menunjukkan sifat negara revisionis dengan tujuan terbatas (limited aims), memanfaatkan Myanmar untuk kepentingan strategis dan ekonomi, sambil menghindari konfrontasi langsung dengan kekuatan besar.
1. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian diajukan berdasarkan analisis kebijakan luar negeri China di Myanmar. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa China tidak puas dengan konstelasi atau sistem yang ada di PBB, khususnya terkait upaya transisi demokrasi di Myanmar. Oleh karena itu, China menggunakan strategi kebijakan damai untuk menyeimbangkan kepentingan internal dan eksternal negaranya dari negara-negara kompetitor. Tujuan akhir dari strategi ini adalah untuk menjadi kekuatan hegemon di kawasan Asia dan kekuatan baru di dunia internasional. Hipotesis ini menggarisbawahi kompleksitas motivasi dan strategi China dalam hubungan internasional, yang tidak hanya didorong oleh kepentingan ekonomi semata, tetapi juga oleh ambisi geopolitik dan keinginan untuk mengubah tatanan internasional sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Penelitian ini kemudian akan menguji hipotesis tersebut dengan menggunakan kerangka teoritis yang telah dibahas sebelumnya.
2. Kesimpulan Penelitian dan Tipe Negara Revisionis
Kesimpulan penelitian mengklasifikasikan China sebagai negara revisionis dengan tujuan terbatas (limited aims), sebagaimana dijelaskan dalam teori Balance of Interest. China, yang digolongkan sebagai tipe 'jackal', tidak memiliki kapasitas untuk mengubah sistem internasional secara keseluruhan tetapi berupaya untuk mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang lebih kooperatif. Meskipun China menunjukkan beberapa ciri-ciri negara revisionis, kebijakannya di Myanmar menunjukkan pendekatan yang lebih damai dan pragmatis. China menyesuaikan strateginya untuk menyeimbangkan kepentingan internal dan eksternal, mencegah konfrontasi langsung dengan kekuatan-kekuatan besar. Hal ini menunjukkan bahwa China bersikap oportunistik dalam mengejar kepentingan nasionalnya di Myanmar, menggunakan pendekatan damai saat dianggap menguntungkan. Kesimpulan ini memberikan pemahaman yang lebih nuansa tentang kompleksitas kebijakan luar negeri China, yang tidak selalu dapat dijelaskan secara sederhana dengan menggunakan label negara revisionis atau status quo.