Hubungan Karakteristik Petani Peternak Sapi dengan Kinerja Penyuluh di Desa Ara Condong

Hubungan Karakteristik Petani Peternak Sapi dengan Kinerja Penyuluh di Desa Ara Condong

Informasi dokumen

Penulis

Dewi Purnamasari Damanik

Sekolah

Universitas Sumatera Utara

Jurusan Agribisnis
Jenis dokumen Skripsi
Tempat Medan
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 3.42 MB
  • karakteristik petani
  • peternakan sapi
  • kinerja penyuluh

Ringkasan

I.Karakteristik Peternak Sapi di Desa Ara Condong Langkat

Penelitian ini meneliti kinerja penyuluh peternakan di Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, dengan fokus pada hubungan antara karakteristik peternak sapi dan kinerja penyuluh. Data menunjukkan usia rata-rata peternak sapi adalah 42 tahun (usia produktif), dengan rata-rata pendidikan SMP, pengalaman beternak 4 tahun, jumlah ternak 3 ekor, dan jumlah tanggungan keluarga 4 orang. Populasi sapi potong di Kabupaten Langkat cukup tinggi, dan di Desa Ara Condong, 55% penduduknya adalah warga Jawa yang sebagian besar turun-temurun beternak sapi. Penelitian ini menggunakan metode pengambilan data primer (kuisioner dan wawancara) dan sekunder (BPS, Dinas Peternakan).

1. Gambaran Umum Peternak Sapi di Desa Ara Condong

Karakteristik peternak sapi di Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, beragam. Studi ini menemukan bahwa usia rata-rata peternak adalah 42 tahun, yang masih termasuk dalam kategori usia produktif. Rata-rata pendidikan peternak mencapai tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pengalaman beternak rata-rata selama 4 tahun. Setiap peternak rata-rata memelihara 3 ekor sapi, dan memiliki 4 orang tanggungan keluarga. Populasi sapi potong di Kabupaten Langkat cukup signifikan, dengan 55% penduduk Desa Ara Condong, sebagian besar warga Jawa, yang telah turun-temurun melakukan peternakan sapi. Kondisi ini juga memengaruhi suku lain di desa tersebut, yang menjadikan peternakan sapi sebagai sumber pendapatan utama. Data ini dikumpulkan melalui kuisioner dan wawancara langsung dengan peternak, serta data sekunder dari BPS dan Dinas Peternakan Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis korelasi antara karakteristik peternak dengan kinerja penyuluh pertanian di wilayah tersebut. Desa Ara Condong sendiri berada pada ketinggian 4 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 1.300 mm per tahun dan suhu rata-rata 28-34°C. Desa ini memiliki aksesibilitas yang baik, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun empat, dan didukung oleh infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan peribadatan yang memadai. Namun, pasar tradisional di desa tersebut belum tersedia.

2. Pengaruh Karakteristik Peternak terhadap Adopsi Inovasi

Karakteristik peternak merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengadopsi inovasi dalam peternakan. Penelitian sebelumnya oleh Saragih Ardi (2006) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara karakteristik peternak dengan perilaku agribisnis. Aspek sikap peternak memiliki hubungan erat dengan jumlah tanggungan keluarga, sementara aspek pengetahuan berkaitan dengan umur, jumlah tanggungan, dan pola usaha. Aspek tindakan peternak menunjukkan korelasi tinggi dengan kepemilikan usaha. Umur peternak dapat memengaruhi aktivitas dan kemampuan mereka dalam mengelola usaha peternakan, baik dari segi fisik maupun kemampuan berpikir. Peternak yang lebih muda cenderung lebih aktif dan berani mengambil risiko dalam mengadopsi inovasi baru (Syafrudin, 2003). Tingkat pendidikan juga berperan penting karena melalui pendidikan, peternak memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap yang dibutuhkan untuk meningkatkan usaha peternakannya. Pengalaman beternak juga merupakan faktor kunci karena peternak yang berpengalaman lebih mampu mengatasi hambatan dan meningkatkan produktivitas (Hasan, 2000). Jumlah ternak yang dimiliki, dihitung dalam Satuan Ternak (ST), mencerminkan skala usaha peternakan dan potensi pendapatan peternak. Pemahaman mendalam tentang karakteristik ini sangat krusial untuk merumuskan strategi penyuluhan yang tepat guna dan efektif.

II.Analisis Kinerja Penyuluh Peternakan menggunakan Model CIPP

Penelitian menggunakan model CIPP (Context, Input, Process, Product) untuk mengevaluasi kinerja penyuluh peternakan. Hasilnya menunjukkan skor keseluruhan 38,2 (61,06% ketercapaian), mengindikasikan kinerja penyuluh yang kurang baik. Analisis lebih detail terhadap masing-masing komponen CIPP (Konteks, Masukan, Proses, Hasil) akan dilakukan secara terpisah. Skor masing-masing komponen menunjukkan adanya kekurangan dalam perencanaan, masukan, proses, dan hasil penyuluhan. Masalah lain adalah PPL yang juga merangkap sebagai mantri hewan dan petugas pengutipan pajak, sehingga waktu untuk penyuluhan terbatas.

1. Evaluasi Kinerja Penyuluhan dengan Model CIPP

Penelitian ini menggunakan model CIPP (Context, Input, Process, Product) untuk mengevaluasi kinerja penyuluhan peternakan di Desa Ara Condong. Model CIPP ini memberikan kerangka kerja untuk menilai kinerja dari berbagai perspektif, mulai dari konteks perencanaan hingga hasil akhir. Hasil analisis menunjukkan skor kinerja penyuluhan sebesar 38,2, dengan persentase ketercapaian hanya 61,06%. Skor ini mengindikasikan bahwa kinerja penyuluhan di daerah penelitian kurang optimal dan membutuhkan perbaikan di berbagai aspek. Model CIPP memungkinkan identifikasi hambatan yang lebih spesifik pada setiap tahapan, mulai dari perencanaan (Context), masukan (Input), proses pelaksanaan (Process), dan hingga hasil yang dicapai (Product). Dengan demikian, kelemahan yang teridentifikasi bisa lebih tertarget dan upaya perbaikan dapat dirancang lebih efektif.

2. Analisis Komponen CIPP Context Konteks

Analisis komponen Context (konteks) dalam model CIPP menunjukkan nilai yang diperoleh sebesar 11,23 dengan persentase ketercapaian 75%. Artinya, meskipun perencanaan kinerja penyuluhan telah berjalan cukup baik, masih terdapat potensi peningkatan sebesar 25% untuk mencapai kinerja yang optimal. Hal ini menyoroti pentingnya penyempurnaan perencanaan untuk memastikan bahwa program penyuluhan selaras dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Perbaikan pada tahap perencanaan ini sangat penting untuk memastikan efektivitas penyuluhan di masa mendatang. Analisis lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi poin-poin spesifik dalam perencanaan yang perlu diperbaiki. Pentingnya penyesuaian perencanaan dengan kondisi riil peternak dan ketersediaan sumber daya harus menjadi fokus utama untuk optimalisasi kinerja penyuluhan.

3. Analisis Komponen CIPP Input Masukan

Analisis terhadap komponen Input (masukan) dalam model CIPP menunjukkan nilai yang masih jauh dari optimal, dengan skor 10,16 dan persentase ketercapaian hanya 67,73%. Hal ini menunjukkan kekurangan dalam berbagai aspek masukan, seperti kurangnya kesiapan petugas penyuluh lapangan (PPL) dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan, dan rendahnya komitmen serta semangat dari para PPL. Kurangnya kesiapan PPL dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya pelatihan, terbatasnya sumber daya, atau kurangnya dukungan dari instansi terkait. Rendahnya komitmen dan semangat PPL juga perlu dikaji lebih lanjut, untuk mencari solusi yang tepat agar PPL dapat menjalankan tugasnya secara optimal. Pemerintah perlu lebih memperhatikan kebutuhan para peternak dan memberikan dukungan yang memadai untuk memastikan input yang berkualitas bagi program penyuluhan.

4. Analisis Komponen CIPP Process Proses dan Product Hasil

Analisis komponen Process (proses) mengungkapkan kurangnya jadwal pelatihan yang terstruktur tentang cara beternak yang baik. Para penyuluh seringkali mengunjungi peternak tanpa jadwal khusus, membuat kegiatan penyuluhan menjadi kurang efisien. Hal ini berdampak pada penurunan kinerja penyuluh. PPL memiliki beban kerja yang tinggi, karena selain bertugas memberikan penyuluhan, mereka juga berfungsi sebagai mantri hewan, melakukan pengecekan sapi sebelum pemotongan, dan mengutip pajak daerah (PAD) untuk sektor peternakan. Komponen Product (hasil) menunjukkan peningkatan produktivitas dan pendapatan dari beternak sapi, namun tidak merata. Peternak juga menyatakan kurang puas dengan kinerja penyuluhan dan tidak berkomitmen untuk melanjutkan program di masa mendatang. Secara keseluruhan, kinerja penyuluhan berdasarkan model CIPP memperoleh nilai 70,14%, yang masih tergolong kurang baik dan perlu ditingkatkan secara signifikan.

III.Hubungan Karakteristik Peternak dan Kinerja Penyuluh Analisis Rank Spearman

Analisis korelasi Rank Spearman digunakan untuk menguji hubungan antara karakteristik peternak sapi (umur, lama beternak, pendidikan, jumlah ternak, jumlah tanggungan keluarga) dan kinerja penyuluh. Hasilnya menunjukkan hanya jumlah ternak dan jumlah tanggungan keluarga yang memiliki hubungan signifikan dengan kinerja penyuluh. Umur, lama beternak, dan pendidikan peternak tidak berpengaruh signifikan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena beternak sapi merupakan pekerjaan sampingan bagi sebagian besar peternak, sehingga keterlibatan mereka dalam program penyuluhan terbatas.

1. Metode Analisis Uji Rank Spearman

Untuk menganalisis hubungan antara karakteristik peternak sapi dan kinerja penyuluh, penelitian ini menggunakan uji Rank Spearman. Uji ini dipilih karena memungkinkan untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan antara dua variabel ordinal atau peringkat. Variabel-variabel yang dianalisis meliputi umur peternak, lama beternak, tingkat pendidikan, jumlah ternak, dan jumlah tanggungan keluarga. Kinerja penyuluh menjadi variabel dependen yang akan diuji korelasinya dengan masing-masing karakteristik peternak sebagai variabel independen. Hasil uji Rank Spearman akan menunjukkan koefisien korelasi (rs) dan nilai t hitung yang selanjutnya dibandingkan dengan nilai t tabel untuk menentukan signifikansi hubungan antar variabel. Penggunaan uji ini didasarkan pada asumsi bahwa data yang dianalisis memiliki skala ordinal dan tidak memenuhi asumsi normalitas data yang dibutuhkan untuk uji korelasi parametrik.

2. Hubungan Umur Lama Beternak dan Pendidikan Peternak dengan Kinerja Penyuluh

Hasil analisis Rank Spearman menunjukkan bahwa umur, lama beternak, dan tingkat pendidikan peternak tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kinerja penyuluh. Nilai t hitung untuk masing-masing variabel lebih rendah daripada nilai t tabel, sehingga hipotesis nol (H0) yang menyatakan tidak ada hubungan diterima. Meskipun terdapat korelasi yang lemah antara lama beternak dan kinerja penyuluh (rs = 0,267), korelasi ini tidak signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman beternak yang lebih lama tidak secara otomatis meningkatkan interaksi atau keterlibatan peternak dengan penyuluh. Demikian pula, tingkat pendidikan peternak tidak berkorelasi signifikan dengan kinerja penyuluh. Kesimpulan ini sejalan dengan beberapa penelitian lain, seperti penelitian Kantari, Erly (2006), yang menunjukkan tidak adanya hubungan signifikan antara pengalaman beternak dengan pertemuan dengan penyuluh dan kinerja kelembagaan penyuluhan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena kegiatan beternak sapi bukan merupakan pekerjaan utama peternak, sehingga mereka kurang aktif berinteraksi dengan penyuluh.

3. Hubungan Jumlah Ternak dan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Kinerja Penyuluh

Sebaliknya, analisis Rank Spearman menunjukkan hubungan yang signifikan antara jumlah ternak dan jumlah tanggungan keluarga dengan kinerja penyuluh. Untuk variabel jumlah ternak, nilai t hitung (2,076) lebih besar dari t tabel (2,043), sehingga hipotesis nol ditolak. Artinya, terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah ternak yang dimiliki peternak dengan kinerja penyuluh. Korelasi ini menunjukkan bahwa peternak dengan jumlah ternak yang lebih banyak cenderung lebih aktif berinteraksi dengan penyuluh, yang berdampak pada peningkatan kinerja penyuluh. Demikian pula, jumlah tanggungan keluarga juga memiliki hubungan signifikan dengan kinerja penyuluh. Ini menunjukkan bahwa semakin banyak tanggungan keluarga, semakin tinggi kemungkinan peternak untuk mencari informasi dan bantuan dari penyuluh untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Kedua variabel ini mencerminkan skala usaha dan kebutuhan peternak, sehingga menjadi faktor kunci dalam menentukan tingkat interaksi dan keterlibatan mereka dengan program penyuluhan.

IV.Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa kinerja penyuluh peternakan di Desa Ara Condong kurang optimal. Jumlah ternak dan jumlah tanggungan keluarga berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh. Perbaikan kinerja penyuluh membutuhkan perhatian pada aspek perencanaan program, peningkatan sumber daya, dan efisiensi proses penyuluhan, serta mempertimbangkan pekerjaan sampingan para peternak sapi. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menggali lebih dalam faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kinerja penyuluh peternakan dan meningkatkan efektifitas program agribisnis peternakan di daerah tersebut.

1. Kinerja Penyuluhan Peternakan di Desa Ara Condong

Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja penyuluhan peternakan di Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, masih perlu ditingkatkan. Evaluasi menggunakan model CIPP menghasilkan skor 38,2 dengan persentase ketercapaian 61,06%, mengindikasikan kinerja yang kurang optimal. Analisis lebih lanjut pada masing-masing komponen CIPP menunjukkan adanya kelemahan dalam perencanaan, masukan (input), proses pelaksanaan, dan hasil (output) program penyuluhan. Pentingnya perbaikan pada setiap tahapan tersebut ditekankan untuk mencapai peningkatan kinerja yang signifikan. Temuan ini menunjukkan perlunya strategi yang lebih terarah dan efektif untuk meningkatkan efektivitas program penyuluhan di masa depan.

2. Faktor faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh

Analisis menggunakan uji Rank Spearman mengungkapkan bahwa hanya jumlah ternak dan jumlah tanggungan keluarga yang memiliki hubungan signifikan dengan kinerja penyuluh. Variabel lain seperti umur, lama beternak, dan tingkat pendidikan peternak tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja penyuluh. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial ekonomi seperti jumlah ternak dan tanggungan keluarga berperan lebih dominan dalam mempengaruhi tingkat keterlibatan peternak dengan program penyuluhan. Kemungkinan, peternak yang beternak dalam skala lebih besar (jumlah ternak lebih banyak) dan memiliki banyak tanggungan keluarga lebih termotivasi untuk berinteraksi dengan penyuluh guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Temuan ini memberikan implikasi penting dalam perencanaan dan pelaksanaan program penyuluhan peternakan agar lebih efektif.

3. Rekomendasi dan Penelitian Lanjutan

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk meningkatkan kinerja penyuluh peternakan di Desa Ara Condong. Perbaikan perencanaan program, peningkatan sumber daya penyuluh, dan efisiensi proses penyuluhan menjadi hal yang krusial. Perlu juga dipertimbangkan bahwa sebagian besar peternak menjalankan usaha peternakan sebagai pekerjaan sampingan, sehingga strategi penyuluhan harus disesuaikan dengan kondisi tersebut. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk menggali lebih dalam faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kinerja penyuluh, termasuk faktor-faktor yang tidak tercakup dalam penelitian ini. Selain itu, studi lanjutan bisa fokus pada pengembangan model penyuluhan yang lebih efektif dan responsif terhadap kebutuhan peternak di daerah tersebut. Dengan demikian, diharapkan upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan peternak sapi di Desa Ara Condong dapat terwujud secara lebih optimal.