Dinamika Perkembangan Islam dan Isu Pengungsi Rohingya di Asia Tenggara

Dinamika Perkembangan Islam dan Isu Pengungsi Rohingya di Asia Tenggara

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 200.18 KB
Jenis dokumen Tesis/Skripsi/Makalah
  • Perkembangan Islam
  • Pengungsi Rohingya
  • Kerjasama ASEAN

Ringkasan

I.Latar Belakang Krisis Pengungsi Rohingya dan Peran ASEAN

Skripsi ini membahas peran ASEAN dalam menangani krisis pengungsi Rohingya dari Myanmar. Awalnya, penyebaran Islam di Asia Tenggara berjalan damai melalui jalur perdagangan. Namun, di Myanmar, etnis Rohingya, yang memiliki sejarah panjang di Arakan (sekarang Myanmar), menghadapi penindasan sistematis dari rezim militer, termasuk penolakan kewarganegaraan, kekerasan, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini menyebabkan gelombang besar pengungsi Rohingya menuju negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Sebagai contoh, Menteri Luar Negeri Indonesia, Hasan Wirayuda, pada 2009 melaporkan 391 pengungsi Rohingya tiba di Indonesia; 193 ditempatkan di Pulau We, Sabang, dan 198 di Aceh Timur. Data dari Thailand (2008) menunjukkan 4.886 pengungsi, sementara Malaysia menampung 5.100-8.000 pengungsi, sebagian besar di Kuala Lumpur. Status mereka—pengungsi politik atau ekonomi—belum jelas, mempersulit penanganan krisis kemanusiaan ini. ASEAN, yang selama ini lebih fokus pada kerjasama ekonomi, diharapkan memainkan peran yang lebih besar dalam menyelesaikan masalah keamanan non-tradisional ini, termasuk pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar.

1. Penyebaran Islam di Asia Tenggara dan Perkembangannya sebagai Mayoritas dan Minoritas

Bagian ini menjelaskan bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara awalnya melalui jalur perdagangan, secara damai dan tanpa paksaan. Proses Islamisasi difasilitasi oleh pedagang muslim dari berbagai wilayah seperti Arab, India, Bengal, Cina, dan Gujarat, yang memanfaatkan penduduk pesisir. Di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, Islam berkembang pesat sebagai agama mayoritas. Namun, di negara-negara lain seperti Thailand, Filipina, dan Myanmar, Islam menjadi agama minoritas. Minoritas muslim di sini tidak hanya merujuk pada jumlah, tetapi juga perbedaan tradisi dan budaya dengan agama mayoritas yang dapat memicu konflik dalam pencarian identitas agama. Konflik ini dapat disebabkan keinginan kaum minoritas untuk mendapatkan perlakuan yang setara dengan kelompok mayoritas, yang dapat berujung pada pelanggaran HAM, seperti yang terjadi pada pengungsi Rohingya yang memicu reaksi internasional.

2. Isu Keamanan Non Tradisional dan Keterbatasan ASEAN

Dokumen ini menyinggung isu keamanan non-tradisional yang meliputi berbagai aspek seperti lingkungan hidup, pangan, penyebaran senjata nuklir, terorisme, kejahatan transnasional (narkotika dan perdagangan manusia ilegal), serta isu demokratisasi dan HAM. ASEAN, sebagai organisasi regional, dianggap lemah dalam menangani isu-isu ini, terutama karena fokus utamanya pada kerjasama ekonomi. Hal ini terbukti dari KTT ASEAN ke-14 yang mayoritas membahas isu ekonomi. Meskipun kerjasama ekonomi penting untuk perdamaian dan stabilitas, peningkatan kerjasama di bidang politik dan keamanan dianggap krusial untuk memperkuat demokrasi, tata pemerintahan yang baik, perlindungan HAM, dan kebebasan fundamental. Persoalan pengungsi Rohingya di Myanmar menjadi contoh nyata keterkaitan antara masalah politik (demokrasi dan HAM), ekonomi, dan sosial yang membutuhkan penanganan komprehensif.

3. Krisis Pengungsi Rohingya di Myanmar Jumlah Pengungsi dan Respon Negara Negara

Bagian ini menyoroti krisis pengungsi Rohingya sebagai isu sensitif internal Myanmar. Dokumen menekankan peran negara dalam mengatasi ancaman keamanan, serta keterlibatan aktor non-negara (masyarakat dan individu) dalam menciptakan keamanan komunitas. Data jumlah pengungsi Rohingya di beberapa negara disebutkan: Indonesia (391 orang pada 2009, dengan penempatan di Pulau We, Sabang, dan Aceh Timur), Thailand (4.886 orang pada 2008), dan Malaysia (5.100-8.000 orang, sebagian besar di Kuala Lumpur). Nasib para pengungsi belum jelas karena status mereka sebagai pengungsi politik atau ekonomi masih belum ditentukan. Jika tergolong pengungsi ekonomi, negara tujuan harus memulangkan mereka ke Myanmar. Situasi ini mempertegas kebutuhan kerjasama internasional dan tekanan politik terhadap Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan pelanggaran HAM.

4. Sejarah Etnis Rohingya dan Penolakan Rezim Militer Myanmar

Dokumen menyajikan latar belakang etnis Rohingya, yang merupakan penduduk asli Arakan (Myanmar), bukan imigran gelap dari Bangladesh seperti yang dituduhkan oleh rezim militer Myanmar. Bukti sejarah, termasuk monumen yang menunjukkan kunjungan pedagang Arab ke Arakan pada abad ke-17 dan pengaruhnya terhadap budaya Dinasti Mrauk Oo (abad ke-15-17), mendukung klaim tersebut. Rezim militer Myanmar menolak realitas ini dan mencabut hak-hak politik, sosial, dan budaya etnis Rohingya. Meskipun PBB berupaya memulangkan pengungsi ke Arakan, sebagian besar menolak karena sikap negatif rezim militer Myanmar. Tekanan dari Bangladesh untuk kembali ke Myanmar atau pindah ke negara lain menyebabkan banyak etnis Rohingya berlayar ke negara lain. Kekejaman militer Myanmar terhadap etnis Rohingya meliputi penolakan kewarganegaraan, pembatasan perjalanan, pembatasan ekonomi dan pendidikan, pembunuhan, penyiksaan, pelecehan seksual, penahanan, kerja paksa, pengusiran, kerusuhan anti-Rohingya, dan penistaan agama.

5. Peran ASEAN yang Terbatas dan Kebutuhan Pendekatan yang Lebih Komprehensif

Dokumen mengkritik sikap ASEAN yang selama ini konservatif dan kurang inovatif dalam mengatasi masalah selain ekonomi. Penulis menyoroti perlunya analisis terhadap kemampuan ASEAN dalam menyelesaikan permasalahan baru, khususnya terkait keamanan, setelah memiliki legal personality. Penelitian Sismanto tentang “Prakira Wacana Indonesia Menyongsong ASEAN Community 2020” dijadikan acuan, yang menekankan pentingnya ASEAN tetapi juga menunjukkan melemahnya kredibilitas ASEAN di mata negara-negara mitra karena situasi politik yang memburuk di Myanmar akibat dominasi militer dan pelanggaran HAM. Sikap ASEAN yang selama ini bersembunyi di balik prinsip tidak campur tangan (non-interference principle) juga dikritik. Penulis menekankan pentingnya meningkatkan kerjasama keamanan dalam mengatasi isu-isu keamanan non-tradisional di Myanmar dengan pendekatan keamanan komprehensif melalui kerjasama ASEAN Regional Forum.

II.Landasan Teori Regionalisme Kerjasama dan Keamanan Komprehensif

Skripsi ini menggunakan teori regionalisme untuk menganalisis peran ASEAN. Tiga perspektif dibahas: neofungsionalisme (peningkatan interdependensi menuju integrasi politik), neoliberal-institusionalisme (institusi sebagai solusi collective action), dan konstruktivisme (fokus pada konstruksi sosial dan identitas regional). Ancaman keamanan regional, termasuk konflik berbasis balance of power, konflik lokal (grass fire conflicts), dan ancaman keamanan non-tradisional (lingkungan, ekonomi, sosial, kesehatan, migrasi), dikaji. Konsep keamanan komprehensif, yang mengintegrasikan diplomasi dan militer untuk mengatasi ancaman terhadap HAM dan kesejahteraan manusia, diusulkan sebagai solusi. Penulis juga mengutip pandangan Sismanto tentang pentingnya ASEAN, tetapi juga mencatat melemahnya kredibilitas ASEAN karena gagal mengatasi permasalahan di Myanmar, khususnya terkait dengan pelanggaran HAM dan pengungsi Rohingya.

1. Definisi Regionalisme menurut John Ravenhill dan Cakupannya

Bagian ini mendefinisikan regionalisme berdasarkan pandangan John Ravenhill, yaitu sebagai suatu daerah tempat berlangsungnya aktivitas regional yang memiliki batas geografis atau konstruksi sosial yang ditentukan oleh anggotanya. Regionalisme dipandang sebagai cara untuk merespon perubahan dan intensifikasi persaingan kapitalisme global, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II dan hilangnya dominasi kekuatan super. Cakupan regionalisme saat ini lebih luas, mencakup kerjasama tidak hanya pada satu kawasan dengan permasalahan yang sama, tetapi juga pada keseluruhan kawasan dengan fokus pada masalah ekonomi, sosial budaya, politik, dan keamanan. Kerjasama ini dilandasi oleh hubungan antar negara se-kawasan yang memiliki kepentingan dan permasalahan yang sama, serta kedekatan geografis. Negara-negara yang bergabung dalam organisasi regional berharap dapat saling menguntungkan dari kelebihan yang dimiliki masing-masing negara.

2. Tiga Perspektif tentang Interdependensi dan Kerjasama dalam Regionalisme

Dokumen membahas tiga perspektif utama tentang interdependensi dan kerjasama dalam teori regionalisme. Pertama, neofungsionalisme berpendapat bahwa peningkatan interdependensi akan memunculkan kerjasama yang akhirnya menghasilkan integrasi politik. Kedua, neoliberal-institusionalisme memandang institusi regional sebagai jawaban atas kebutuhan collective action, menekankan manfaat bagi negara-negara anggota dan interaksi strategis untuk meningkatkan kerjasama. Ketiga, konstruktivisme menekankan identitas regional, memandang regionalisme lebih dari tatanan sosial daripada ekonomi, dengan fokus pada pembangunan konstruksi sosial untuk integrasi dan kohesi regional. Interdependensi antar region memunculkan konflik keamanan dari dalam dan ancaman intervensi dari luar. Perkembangan teknologi dan transportasi telah memperpendek jarak dan mempercepat globalisasi, sehingga mendorong pertumbuhan regionalisme secara alami sebagai bentuk sekutuan negara-negara yang berdekatan wilayahnya.

3. Ancaman Keamanan Regional dan Konsep Keamanan Komprehensif

Bagian ini membahas ancaman terhadap keamanan regional yang memiliki dua sisi: mengganggu keamanan atau justru menciptakan kerjasama untuk menghilangkan ancaman tersebut. Empat kategori ancaman dibahas. Tiga ancaman pertama (Hettne) yaitu balance of power contest (persaingan antar negara untuk menguasai sumber daya dan hegemoni), grass fire conflicts (konflik antar negara karena permasalahan lokal seperti politik, ekonomi, dan etnis), dan konflik sosial (perjuangan atas nilai, status, kekuasaan, dan sumber daya langka). Ancaman keempat (Snyder) berupa konflik yang berasal dari masalah lingkungan, ketidakadilan ekonomi, politik, sosial, kesehatan, dan isu migrasi, yang tidak memerlukan penanganan militer. Untuk mengatasi ancaman yang mencakup seluruh aspek kebutuhan manusia, diperlukan konsep keamanan komprehensif yang mengintegrasikan diplomasi dan militer. Keamanan komprehensif ini melindungi hak-hak manusia untuk mendapatkan kesamaan informasi, tata pemerintahan yang baik, partisipasi demokrasi, pendidikan, dan pekerjaan.

III.Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk menganalisis peran ASEAN dalam penanganan pengungsi Rohingya dari Myanmar. Peran ASEAN (variabel dependen) dianalisis berdasarkan penanganan pengungsi Rohingya (variabel independen). Batasan penelitian difokuskan pada peran ASEAN dalam krisis pengungsi Rohingya.

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan dan menginterpretasi objek penelitian sesuai dengan apa adanya. Metode ini juga dikenal sebagai penelitian noneksperimen karena tidak melibatkan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Penelitian deskriptif ini sesuai dengan tujuan skripsi untuk menganalisis peran ASEAN dalam penanganan pengungsi Rohingya dari Myanmar. Penelitian ini mengidentifikasi peran ASEAN sebagai variabel dependen (unit analisis) dan penanganan ASEAN terhadap pengungsi Rohingya sebagai variabel independen (unit eksplanasi). Dengan demikian, penelitian ini menjelaskan hubungan antara peran ASEAN dan penanganan pengungsi Rohingya secara sejajar.

2. Batasan Masalah

Ruang lingkup penelitian dibatasi agar pembahasan tetap fokus pada permasalahan yang ditentukan. Batasan masalah penelitian ini adalah peran ASEAN dalam penanganan pengungsi Rohingya dari Myanmar. Pembatasan ini memastikan agar analisis tetap terarah dan tidak menyimpang dari tujuan utama penelitian. Fokus penelitian secara spesifik diarahkan untuk menelaah bagaimana ASEAN berperan dalam menangani krisis pengungsi Rohingya, tanpa membahas isu-isu lain yang mungkin terkait, tetapi berada di luar batasan yang telah ditetapkan.