
Dinamika Konflik dan Revolusi di Timur Tengah: Kasus Suriah
Informasi dokumen
Sekolah | Universitas Tidak Diketahui |
Jurusan | Hubungan Internasional, Ilmu Politik, atau Studi Timur Tengah |
Tempat | Tidak Diketahui |
Jenis dokumen | Esai atau Makalah |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 539.11 KB |
- konflik Timur Tengah
- revolusi Suriah
- hubungan Iran-Suriah
Ringkasan
I.Konflik Suriah dan Peran Iran
Dokumen ini menganalisis konflik Suriah, khususnya peran Iran dalam mendukung pemerintahan Bashar al-Assad. Konflik ini bermula dari demonstrasi menentang pemerintahan Assad yang dianggap otoriter, kemudian berkembang menjadi pemberontakan bersenjata. Timur Tengah, kaya akan sumber daya alam terutama minyak, menjadi latar belakang konflik yang melibatkan berbagai kepentingan negara. Pemerintah Assad menuduh adanya aktor eksternal, mengutip penelitian Brookings Institution yang menyebutkan penaklukan Iran dimulai dari Damaskus. Oleh karena itu, hubungan Suriah-Iran dan Suriah-Hizbullah menjadi kunci dalam memahami konflik Suriah.
1. Latar Belakang Konflik Suriah
Dokumen ini mengawali pembahasan dengan mencatat konflik Suriah sebagai bagian dari gelombang revolusi yang melanda Timur Tengah, dipicu oleh keinginan untuk menggulingkan rezim otoriter. Revolusi Iran 1979 memiliki pengaruh besar terhadap kebangkitan Islam di kawasan tersebut, terlihat dari munculnya kelompok-kelompok seperti Hamas, Hizbullah, dan lainnya. Timur Tengah, sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak, secara historis telah menjadi medan konflik yang tak pernah berakhir, karena berbagai kepentingan negara, baik internal maupun eksternal, saling berbenturan. Stabilitas di Timur Tengah, karenanya, menjadi perhatian utama dunia internasional. Pemerintah Suriah di bawah Bashar al-Assad melihat pemberontakan bukan semata-mata sebagai tuntutan internal, melainkan adanya aktor eksternal dengan tujuan tertentu. Sebuah penelitian dari Brookings Institution bahkan menyimpulkan bahwa untuk menaklukkan Iran, perlu dimulai dari Damaskus, menunjukkan betapa rumitnya dinamika geopolitik yang terlibat. Hubungan Suriah-Iran dan Suriah-Hizbullah diidentifikasi sebagai elemen kunci dalam konflik ini, dengan Suriah sebagai sekutu dekat Iran yang mendukung kebijakan-kebijakan kerjasama bilateral.
2. Dinamika Konflik dan Tuntutan Pemberontak
Konflik Suriah ditandai oleh pemberontakan besar-besaran dari kelompok yang menamakan diri Tentara Pembebasan Suriah, yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad. Awalnya berupa demonstrasi besar-besaran menentang kepemimpinan Assad yang dianggap otoriter dan tidak demokratis, demonstrasi ini meningkat menjadi pemberontakan setelah tuntutan mereka tidak dipenuhi, yaitu pengunduran diri Assad. Tudingan pembantaian besar-besaran oleh militer Suriah di Kota Daraya, dekat Damaskus, diungkapkan oleh oposisi Suriah, Abu Kinan, dengan ditemukannya lebih dari 200 mayat. Pemerintah Suriah membantah tudingan tersebut, menyalahkan para penjahat, penyabot, dan teroris bersenjata, yang merujuk pada kelompok pemberontak anti-pemerintah. Konflik ini telah mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar, hingga lebih dari 30.000 jiwa hingga September 2012, dengan rincian korban sipil, tentara Suriah, dan anggota kelompok pemberontak. Pemberontak menuduh pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembantaian tersebut.
3. Keterlibatan Negara negara Lain dan Konflik Kepentingan
Keterlibatan negara-negara lain dalam konflik Suriah tidak dapat diabaikan. Suriah, sebagai sekutu dekat Iran dan memiliki hubungan baik dengan Cina dan Rusia, berada pada posisi yang berlawanan dengan Amerika Serikat dan sekutunya (Arab Saudi, Turki, Qatar), yang mendukung kelompok pemberontak. Bahkan, pemimpin-pemimpin negara seperti Cameron, Obama, dan Hollande sepakat untuk membantu oposisi menumbangkan rezim Assad. AS dan sekutunya menggalang dukungan internasional untuk mengecam aksi pemerintahan Assad. Arab Saudi, Turki, dan Qatar gencar mendukung pemberontak, termasuk dengan memasok persenjataan. Di sisi lain, Rusia dan Cina mendukung pemerintah Assad, didorong oleh kepentingan ideologis dan strategis, termasuk melindungi pangkalan militer Rusia. Rusia bahkan menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB untuk menolak intervensi militer di Suriah. Iran juga mengecam keterlibatan AS dan sekutunya, dengan kepentingan yang lebih besar karena kedekatan geografis dan hubungan strategis dengan Suriah.
II.Dukungan Iran terhadap Bashar al Assad
Iran, sebagai sekutu dekat Suriah, memberikan dukungan signifikan kepada Bashar al-Assad. Dukungan ini meliputi bantuan ekonomi dan militer. Di sisi lain, Amerika Serikat dan sekutunya (Arab Saudi, Turki, Qatar) mendukung kelompok pemberontak Suriah. Konflik ini telah menyebabkan puluhan ribu korban jiwa, dengan kelompok pemberontak menuduh pemerintah melakukan pembantaian. Iran menghadapi konsekuensi atas dukungannya, termasuk pemboikotan produk-produknya di Kuwait dan pemutusan hubungan diplomatik dengan Kanada. Meskipun Suriah mengalami krisis ekonomi, Iran tetap melanjutkan kerjasama ekonomi, menandatangani nota kesepahaman senilai jutaan Euro. Arab Saudi, sebagai lawan utama Iran, mengutuk campur tangan Teheran di Suriah dan juga memasok senjata kepada kelompok pemberontak.
1. Bentuk bentuk Dukungan Iran terhadap Bashar al Assad
Dokumen tersebut menjelaskan bahwa dukungan Iran terhadap Bashar al-Assad bukanlah hal yang sederhana dan tanpa resiko. Dukungan tersebut mencakup berbagai bentuk, termasuk bantuan kemanusiaan. Contohnya, Iran mengirimkan bantuan berupa obat-obatan, selimut, tenda, dan peralatan medis lainnya ke Suriah dengan total berat 15 ton, seperti yang dilaporkan oleh IRNA. Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Amir Abdullahian, menyatakan bahwa bantuan kemanusiaan tersebut sejalan dengan kebijakan Kementerian Luar Negeri Iran yang terus mendukung Suriah secara politik. Selain bantuan kemanusiaan, Iran juga menjalin kerjasama ekonomi dengan Suriah, meskipun Suriah sedang mengalami keterpurukan ekonomi akibat konflik. Kedua negara menandatangani dua nota kesepahaman di sektor ekonomi, termasuk pemberian teknik listrik dan peralatan senilai 50 juta euro dan pembukaan batas kredit 1 miliar euro antara Bank Pembangunan Ekspor Iran dan Bank Dagang Suriah. Meskipun kerjasama ekonomi ini dilakukan di tengah kondisi ekonomi Suriah yang sedang terpuruk (PDB menyusut hampir 30%, nilai pound Suriah melemah, dan sanksi ekonomi dari Liga Arab), Iran tetap melanjutkan komitmennya.
2. Konsekuensi Dukungan Iran dan Reaksi Internasional
Dukungan Iran terhadap rezim Assad menimbulkan konsekuensi. Produk-produk Iran diboikot di Kuwait sebagai protes atas dukungan Teheran kepada Assad. Sekitar 70% dari 1,2 juta penduduk Kuwait yang berpaham Sunni marah atas serangan pemerintah Suriah terhadap oposisi yang sebagian besar beragama Sunni. Kanada juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran karena terus mendukung Assad, menutup kantor kedutaannya di Iran dan meminta penarikan diplomat Iran. Arab Saudi, sebagai negara yang menentang pengaruh Iran, secara tegas mengecam dukungan Iran dan Hizbullah kepada Bashar al-Assad, menyatakan bahwa dunia tidak boleh membiarkan hal tersebut terjadi dan secara aktif memasok senjata kepada pemberontak Suriah. Menteri Luar Negeri Saudi, Saud al-Faisal, menyebut campur tangan Teheran sebagai tindakan berbahaya.
III.Analisis Konstruktivis Hubungan Iran Suriah
Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivis untuk memahami dukungan Iran terhadap Suriah. Pendekatan ini menekankan peran identitas dan norma dalam membentuk kebijakan luar negeri. Iran, sebagai negara dengan identitas Syiah, merasa memiliki kewajiban moral untuk mendukung rezim Suriah yang juga didominasi oleh kelompok Syiah Alawi. Hubungan historis dan kerjasama Iran-Suriah, terutama dalam konteks Perang Iran-Irak dan konflik Libanon, juga menjadi faktor penting. Penulis membandingkan penelitian sebelumnya, termasuk karya Idrees Mohammed tentang rivalitas Turki-Iran dan penelitian Dawn Bartell & David Gray tentang konflik Suriah sebagai peluang untuk mengurangi pengaruh regional Iran. Penulis juga merujuk pada skripsi Cecep Zakaria El Bilad tentang rivalitas Iran-Arab Saudi dari perspektif konstruktivis Alexander Wendt.
1. Lensa Konstruktivisme Identitas dan Kepentingan
Bagian ini menjelaskan bahwa analisis dukungan Iran terhadap Suriah dilakukan melalui lensa konstruktivisme dalam hubungan internasional. Konstruktivisme menekankan peran identitas dan norma dalam membentuk kepentingan negara, bukan hanya faktor material semata. Penulis berpendapat bahwa dukungan Iran terhadap Bashar al-Assad didasari oleh faktor ideasional, melampaui pertimbangan material belaka. Asumsi dasar konstruktivisme, yang memandang bahwa fakta material hanya akan memiliki makna ketika dimaknai oleh manusia, menjadi landasan analisis. Identitas Iran pasca-revolusi 1979 sebagai negara Islam Syiah dan identitas Suriah yang didominasi oleh sekte Syiah Alawi, dipandang sebagai faktor kunci dalam hubungan bilateral. Sejarah hubungan Iran dan Suriah, termasuk dukungan Suriah terhadap Iran selama Perang Iran-Irak dan kerjasama dalam konflik Libanon, juga ditekankan sebagai elemen penting dalam membentuk hubungan tersebut. Konsep 'the Mother of the Cities' (omm al-qorã) yang diusung oleh Mohammad Javad Larijadi, yaitu ekspor revolusi Iran ke seluruh dunia Muslim, menunjukkan tanggung jawab moral Iran untuk melindungi kaum Muslim, termasuk kelompok Syiah di Suriah, yang menjadi justifikasi dukungan terhadap Assad.
2. Kajian Pustaka dan Penelitian Terdahulu
Bagian ini membahas beberapa penelitian terdahulu yang relevan. Pertama, penelitian Idrees Mohammed tentang rivalitas Turki-Iran di Suriah, menjelaskan peran Suriah sebagai kunci politik dan logistik bagi agenda regional Iran, sehingga penting bagi Iran untuk mempertahankan rezim Assad yang kooperatif. Kedua, penelitian Dawn L. Bartell dan David H. Gray yang melihat konflik Suriah sebagai dampak aliansi Suriah-Iran, dan upaya negara-negara lain untuk mengurangi pengaruh regional Iran. Mereka melihat dukungan Iran kepada Assad sebagai upaya untuk mempertahankan aliansi strategis tersebut. Ketiga, skripsi Cecep Zakaria El Bilad tentang rivalitas Iran-Arab Saudi dalam perspektif konstruktivis Alexander Wendt, menjelaskan bagaimana identitas dan sejarah mempengaruhi hubungan kedua negara. Skripsi tersebut melihat identitas Syiah Iran dan persepsi terhadap Arab Saudi sebagai rival sebagai faktor kunci dalam rivalitas tersebut. Penelitian ini sejalan dengan studi tersebut karena menggunakan asumsi dasar konstruktivis, yang menekankan peran identitas dan sejarah dalam menentukan tindakan negara, di luar pertimbangan material semata.
Referensi dokumen
- Annan kritik dunia internasional terkait konflik Suriah