
Dinamika Keamanan dan Kerjasama di Asia Tenggara
Informasi dokumen
Jurusan | Hubungan Internasional atau Studi Strategis |
Jenis dokumen | Tesis atau Bab Pendahuluan Skripsi |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 182.38 KB |
- Geopolitik Asia Tenggara
- Konflik Perbatasan
- Kerjasama ASEAN
Ringkasan
I.Latar Belakang Pentingnya Asia Tenggara dan Konflik Perbatasan Maritim
Skripsi ini meneliti pengaruh intensitas konflik perbatasan maritim terhadap potensi perlombaan senjata di Asia Tenggara. Kawasan Asia Tenggara memiliki posisi geografis strategis dan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, menjadikannya penting secara ekonomi global dan menarik investasi. Namun, keberhasilan ekonomi dan kerja sama antar negara ASEAN dibayangi oleh konflik perbatasan, terutama konflik perbatasan maritim, yang merupakan warisan kolonialisme. Persoalan ketidaksepahaman mengenai batas wilayah perairan, seringkali mengacu pada prinsip uti possidetis juris, memicu ketegangan bilateral dan ancaman terhadap keamanan maritim regional.
1. Pentingnya Asia Tenggara Pasca Perang Dunia II
Pasca Perang Dunia II, Asia Tenggara meraih kemerdekaan dari penjajahan dan mulai berperan penting dalam panggung internasional. Posisi geografisnya yang strategis dan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) menjadikannya kawasan yang menarik bagi negara-negara maju. Asia Tenggara menjadi bagian dari apa yang disebut dunia ketiga, namun peran sentralnya dalam perdagangan global, khususnya melalui jalur laut dan selat-selat, membuatnya menarik bagi investasi dan kerjasama ekonomi internasional. Letak geografis yang strategis ini juga menjadikannya pusat perdagangan dunia yang penting, menarik perhatian negara-negara maju untuk berinvestasi dan menjalin kerjasama ekonomi. Keberadaan jalur perdagangan laut dan selat menjadi faktor ekonomis penting yang menjadikan kawasan ini strategis dan menarik perhatian negara-negara maju.
2. Konflik Perbatasan Maritim sebagai Tantangan Utama
Meskipun potensi ekonomi yang besar, Asia Tenggara dihadapkan pada masalah krusial berupa konflik perbatasan, terutama konflik perbatasan maritim. Kawasan ini, yang terbagi menjadi bagian daratan dan kepulauan, menghadapi tantangan dalam membangun hubungan baik antar negara karena sengketa batas wilayah. Sebagian besar negara di kawasan ini masih berkembang, sehingga keamanan maritim menjadi prioritas utama terkait keutuhan wilayahnya. Penyelesaian konflik perbatasan maritim sangat rumit karena seringkali mengacu pada prinsip uti possidetis juris, yang belum tentu menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Sengketa perbatasan ini merupakan warisan kolonialisme dan menjadi sumber ketegangan bilateral, bahkan ketidakstabilan regional, karena sering diiringi kecurigaan terhadap peningkatan kapabilitas militer antar negara.
3. ASEAN dan Upaya Pemeliharaan Keamanan Regional
ASEAN, yang dibentuk pada tahun 1967, berupaya menciptakan kawasan yang aman dan membangun hubungan baik antar negara melalui tiga pilar: keamanan, ekonomi, dan sosio-budaya. Tujuannya adalah mengesampingkan sengketa perbatasan demi mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Namun, upaya ini tidak selalu mudah karena konflik perbatasan masih membayangi hubungan antar negara. Contohnya, konflik Sipadan-Ligitan (Indonesia-Malaysia) yang dimenangkan Malaysia di Mahkamah Internasional pada tahun 2003, meningkatkan ketegangan hubungan bilateral. Konflik lain meliputi sengketa Sabah (Malaysia-Filipina), perbatasan Limbang (Malaysia-Brunei), dan konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan beberapa negara ASEAN. Meskipun ASEAN dan ARF (ASEAN Regional Forum) berupaya meredam konflik, negara-negara anggota tetap meningkatkan kapabilitas militer mereka (show of force), yang menciptakan dinamika keamanan yang kompleks di kawasan tersebut.
II.Konflik Perbatasan dan Peningkatan Keamanan Nasional
Sengketa wilayah seperti Sipadan-Ligitan (Indonesia-Malaysia), Sabah (Malaysia-Filipina), dan Laut Cina Selatan (beberapa negara ASEAN) mendorong negara-negara Asia Tenggara untuk meningkatkan kapabilitas militer mereka. Peningkatan anggaran militer sejak tahun 2005 menunjukkan tren signifikan (84%, 146%, 722% hingga 2009), memicu perlombaan senjata dan dilema keamanan (security dilemma). Hal ini disebabkan oleh misspersepsi mengenai niat negara lain dan ketidakpercayaan dalam sistem internasional yang anarkis. Setiap negara berupaya mengamankan kedaulatan nasional dan kepentingan nasionalnya, seringkali dengan cara yang dianggap mengancam oleh negara tetangga.
1. Konflik Perbatasan dan Peningkatan Anggaran Militer
Konflik perbatasan maritim di Asia Tenggara, yang sebagian besar merupakan negara berkembang, telah memicu peningkatan signifikan dalam anggaran militer. Peristiwa seperti sengketa Sipadan-Ligitan (Indonesia-Malaysia) pada tahun 2003 menjadi katalis utama. Peningkatan tersebut tidak hanya berupa penambahan personel di perbatasan, tetapi juga modernisasi persenjataan, termasuk impor peralatan militer canggih seperti kapal perang dan kapal patroli. Data menunjukkan peningkatan dramatis dalam belanja militer antara tahun 2005 dan 2009, dengan persentase kenaikan yang mencapai angka ratusan persen. Hal ini menciptakan efek spiral, di mana negara lain merasa terdorong untuk meningkatkan kapabilitas pertahanan mereka sendiri sebagai respons, guna mengamankan wilayah perbatasan dan menghadapi potensi ancaman.
2. Dilema Keamanan dan Ancaman Stabilitas Regional
Peningkatan anggaran militer dan kapabilitas pertahanan ini menimbulkan dilema keamanan (security dilemma) di kawasan Asia Tenggara. Strategi pertahanan yang diadopsi, yang merupakan respons terhadap perkembangan pasca Perang Dingin dan krisis ekonomi Asia, mengarah pada kekhawatiran akan penyalahgunaan kekosongan kekuatan (power vacuum) pasca era dominasi AS di kawasan Pasifik. Munculnya mispersepsi mengenai niat dan kapabilitas militer antar negara semakin memperparah situasi. Konflik perbatasan maritim yang belum terselesaikan, seperti sengketa di Sabah, perbatasan Limbang, dan Laut Cina Selatan, memperburuk situasi. Meskipun ASEAN dan ARF berupaya meredam konflik, peningkatan kapabilitas militer (show of force) oleh negara-negara anggota terus terjadi, menunjukkan kurangnya kepercayaan antar negara dalam regionalisme yang dibangun.
3. Kebutuhan Keamanan Nasional dan Persepsi Ancaman
Setiap negara di Asia Tenggara didorong oleh kebutuhan untuk mengamankan kedaulatan nasional dan kepentingan nasionalnya, khususnya di perairan perbatasan yang sulit ditentukan. Hal ini mendorong perilaku security seeking, di mana negara-negara berupaya meningkatkan kekuatan nasionalnya, termasuk anggaran militer, untuk menangkal ancaman dari luar. Peningkatan ini, meskipun mungkin defensif dalam niatnya, dapat dilihat sebagai ancaman oleh negara lain dalam sistem internasional yang anarkis, menciptakan siklus peningkatan persenjataan. Kondisi ini diperburuk oleh ketidakpastian mengenai batas wilayah perairan dan mispersepsi terhadap peningkatan kapabilitas negara lain sebagai bentuk penangkal (deterrence).
III.Teori Realism dan Dilema Keamanan
Skripsi ini menggunakan perspektif realisme untuk menganalisis fenomena peningkatan kapabilitas militer. Pandangan realis memandang sistem internasional sebagai anarki, di mana negara-negara bertindak rasional untuk memaksimalkan kekuatan nasional (national power) dan mengamankan diri. Peningkatan kapabilitas militer, meskipun bertujuan defensif, dapat diinterpretasikan sebagai ancaman oleh negara lain, sehingga menimbulkan dilema keamanan. Konsep perlombaan senjata (arm race) dijelaskan sebagai konsekuensi dari dilema keamanan, di mana negara-negara terus meningkatkan kekuatan militer mereka sebagai respons terhadap satu sama lain, meningkatkan risiko konflik terbuka.
1. Realisme dan Peningkatan Kekuatan Nasional
Skripsi ini menggunakan teori realisme untuk menganalisis fenomena peningkatan kapabilitas militer di Asia Tenggara sebagai respons terhadap konflik perbatasan. Dalam perspektif realisme, sistem internasional bersifat anarkis, tanpa otoritas pusat yang mengatur perilaku negara. Negara, sebagai aktor rasional, senantiasa berupaya memaksimalkan kekuatan nasional (national power) untuk mengamankan kepentingan nasional dan kelangsungan hidupnya. Kekuatan nasional ini mencakup aspek ekonomi, politik, dan militer. Pandangan realis yang pesimis terhadap lingkungan internasional yang anarkis dan skeptis terhadap sifat manusia yang serakah melandasi analisis ini. Dalam konteks ini, peningkatan kapabilitas militer dianggap sebagai langkah rasional negara untuk memastikan keamanan dan stabilitas nasional di tengah ancaman eksternal.
2. Dilema Keamanan Security Dilemma di Asia Tenggara
Peningkatan kekuatan nasional, khususnya kapabilitas militer, oleh suatu negara, dapat memicu dilema keamanan (security dilemma). Meskipun peningkatan tersebut mungkin bertujuan defensif (self-defence), negara lain di kawasan dapat menafsirkannya sebagai ancaman dalam konteks sistem internasional yang anarkis. Ketidakpercayaan, mispersepsi, dan ketidaktahuan mengenai niat sebenarnya dari peningkatan militer tersebut menyebabkan respon yang serupa dari negara lain; meningkatkan kapabilitas militer mereka sendiri. Siklus ini menciptakan perlombaan senjata (arm race), di mana negara-negara bersaing untuk mencapai level keamanan yang lebih tinggi, dan berpotensi memicu konflik terbuka. Keadaan ini diperparah oleh konflik perbatasan maritim yang masih banyak belum terselesaikan di Asia Tenggara, serta sulitnya membedakan antara persenjataan defensif dan ofensif.
3. Defensive Realism dan Offensive Realism
Analisis dalam skripsi ini juga mempertimbangkan perspektif defensive realism dan offensive realism. Defensive realism berpendapat bahwa negara-negara akan membatasi keinginan mereka untuk meningkatkan kekuatan, karena dalam sistem internasional yang anarkis, negara yang terlalu kuat dapat dilihat sebagai ancaman oleh negara lain. Namun, pandangan ini dapat terbalik, di mana upaya defensif dapat diartikan sebagai ancaman. Sebaliknya, offensive realism menekankan pentingnya memaksimalkan kekuatan untuk mengamankan diri, khususnya bagi negara-negara besar. Dalam konteks konflik perbatasan maritim di Asia Tenggara, kebutuhan untuk keamanan regional sering berujung pada peningkatan pertahanan nasional, yang berpotensi memicu dilema keamanan dan perlombaan senjata. Ketidakpercayaan di antara negara-negara anggota menjadi faktor penghambat dalam membangun kepercayaan regional yang lebih kuat.
IV.Hipotesis dan Ruang Lingkup Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah bahwa intensitas konflik perbatasan maritim di Asia Tenggara (2005-2010) berkontribusi pada peningkatan kapabilitas militer dan potensi perlombaan senjata. Penelitian ini berfokus pada periode 2005-2010 karena peningkatan signifikan belanja militer yang terjadi pada periode tersebut. Data tambahan dari tahun sebelumnya mungkin digunakan untuk konteks yang lebih luas.
1. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan fenomena konflik perbatasan di Asia Tenggara antara tahun 2005 hingga 2010, peneliti mengajukan hipotesis bahwa intensitas konflik perbatasan tersebut berkontribusi pada peningkatan kapabilitas militer. Peningkatan ini diukur melalui anggaran belanja militer dan pembelian peralatan militer. Sebagai akibat dari peningkatan kapabilitas militer yang terjadi secara bertahap, negara-negara di kawasan Asia Tenggara secara paralel meningkatkan kemampuan militer mereka, sebagai respons terhadap dilema keamanan maritim yang dihadapi. Peneliti berhipotesis bahwa peningkatan kapabilitas militer ini berpotensi menyebabkan terjadinya perlombaan senjata di kawasan Asia Tenggara. Hipotesis ini didasarkan pada observasi peningkatan belanja militer dan pembelian persenjataan sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan dan konflik perbatasan maritim.
2. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membatasi periode waktu analisis pada awal tahun 2005 hingga 2010. Pembatasan waktu ini didasarkan pada data yang menunjukkan peningkatan signifikan belanja militer di Asia Tenggara sebesar 22 persen dari tahun 2000 hingga 2004. Periode 2005-2010 dipilih karena dianggap periode peningkatan senjata secara menyeluruh di kawasan. Meskipun demikian, penelitian ini tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan data tambahan dari tahun 1990 hingga 2005, atau data lain yang relevan untuk mendukung akurasi analisis. Ruang lingkup penelitian difokuskan pada hubungan antara intensitas konflik perbatasan maritim dan potensi perlombaan senjata, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti ketidaksepahaman mengenai batas wilayah, dan perilaku negara dalam sistem internasional.