Dinamika Keamanan dan Kebijakan Luar Negeri Uzbekistan Pasca Kemerdekaan

Dinamika Keamanan dan Kebijakan Luar Negeri Uzbekistan Pasca Kemerdekaan

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 389.12 KB
Jurusan Hubungan Internasional atau Ilmu Politik
Jenis dokumen Skripsi atau Tesis
  • Keamanan Nasional
  • Ekstremisme Islam
  • Hubungan Internasional

Ringkasan

I.Kebijakan Luar Negeri Uzbekistan Pasca Kemerdekaan Antara Ancaman Ekstrimisme Islam dan Hegemoni Rusia

Dokumen ini membahas kebijakan luar negeri Uzbekistan setelah deklarasi kemerdekaannya pada September 1991. Awalnya bergabung dengan CIS (Commonwealth of Independent States) pada Desember 1991, Uzbekistan di bawah kepemimpinan Islam Karimov menghadapi tantangan signifikan berupa ancaman ekstrimisme Islam, khususnya dari kelompok seperti Islamic Movement of Uzbekistan (IMU) dan Hizb ut-Tahrir (HT). Ancaman ini, ditambah dengan ketidakstabilan di negara tetangga seperti Afghanistan dan Tajikistan, membentuk landasan kebijakan luar negeri Uzbekistan. Posisi geografis Uzbekistan di Asia Tengah, berbatasan langsung dengan wilayah konflik, juga menjadi faktor penting. Peran Rusia, baik melalui CSTO (Collective Security Treaty Organization) maupun pengaruhnya di kawasan, menjadi sorotan utama dalam dinamika hubungan internasional Uzbekistan.

1. Kemerdekaan Uzbekistan dan Bergabungnya dengan CIS

Setelah runtuhnya Uni Soviet pada September 1991, Uzbekistan mendeklarasikan kemerdekaannya dan kemudian bergabung dengan CIS (Commonwealth of Independent States) pada 21 Desember 1991. Motivasi utama Uzbekistan bergabung dengan CIS adalah untuk memperkuat pengaruhnya di antara negara-negara anggota lainnya. Uzbekistan, sebagai salah satu dari lima negara di Asia Tengah yang pernah terintegrasi dengan Uni Soviet, memilih sistem republik dan dipimpin oleh penguasa otoriter Islam Abduganievich Karimov sejak tahun 1990. Meskipun Uzbekistan tergolong negara maju di Asia Tengah, posisi geografisnya menimbulkan tantangan keamanan. Batas negara sepanjang 137 km dengan Afghanistan, yang menjadi pusat Operation Enduring Freedom AS, dan 1.161 km dengan Tajikistan yang dilanda konflik etnis selama tujuh tahun, menimbulkan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan dalam negeri Uzbekistan. Kondisi ini semakin diperparah oleh keberadaan kelompok-kelompok ekstrimis Islam yang mengancam stabilitas politik di seluruh Asia Tengah, termasuk Uzbekistan.

2. Ancaman Ekstrimisme Islam dan Tantangan Keamanan

Ancaman utama yang dihadapi Uzbekistan adalah ekstrimisme Islam, khususnya dari kelompok-kelompok seperti Islamic Movement of Uzbekistan (IMU) dan Hizb ut-Tahrir (HT). Kelompok-kelompok ini bertujuan untuk menggulingkan rezim di Uzbekistan, Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Kazakhstan. Ancaman tersebut menjadi faktor kunci dalam pembuatan kebijakan luar negeri Uzbekistan. Pada awal kemerdekaannya, Uzbekistan berupaya menjalin kerja sama dengan negara-negara Barat, terutama AS, untuk mengurangi ancaman ekstrimisme Islam. Namun, respon Barat kurang optimal karena posisi geostrategis Uzbekistan yang kurang menguntungkan dan masalah-masalah dalam negeri pasca-Soviet. Kondisi di Asia Tengah juga diwarnai oleh berbagai faktor lain seperti militansi Islam, masalah politik, stabilitas dan demokrasi, masalah ekonomi, cadangan hidrokarbon, dan kebutuhan perlindungan militer. Namun, ekstrimisme Islam tetap menjadi ancaman paling menonjol bagi stabilitas politik dan keamanan regional.

3. Peran Rusia dan Organisasi Keamanan Regional

Perang sipil di Tajikistan (1992-1997) antara United Tajik Opposition (gabungan kekuatan Islamis dan demokratis) dan tentara pro-pemerintah membuat Karimov merasa terancam. Untuk mengantisipasi meluasnya pemberontakan Islam, Uzbekistan bergabung dengan Collective Security Treaty (CST) pada tahun 1992. CST merupakan aliansi keamanan yang terdiri dari sembilan negara bekas pecahan Soviet, termasuk Rusia. Namun, pada tahun 1999, Uzbekistan keluar dari CSTO karena menganggap organisasi tersebut hanya sebagai alat bagi Rusia untuk memperkuat hegemoninya di Asia Tengah. Uzbekistan kemudian bergabung dengan GUAM (Georgia, Ukraine, Azerbaijan, dan Moldova) yang sebagian besar dianggap sebagai bentuk penyeimbang pengaruh Rusia. Keanggotaan Uzbekistan dalam CSTO dan GUAM mencerminkan kompleksitas hubungan Uzbekistan dengan Rusia dan negara-negara Barat dalam konteks ancaman keamanan dan perebutan pengaruh regional.

II.Hubungan Uzbekistan dengan AS dan Perubahan Kebijakan

Setelah peristiwa 11 September 2001, Uzbekistan menjalin kerja sama erat dengan Amerika Serikat (AS) dalam memerangi terorisme, termasuk menyediakan pangkalan militer di Karshi-Khanabad. Namun, hubungan ini memburuk setelah insiden Andijan Uprising pada 2005, mengakibatkan penutupan pangkalan AS dan Uzbekistan menarik diri dari GUAM. Ketegangan dengan AS mendorong Uzbekistan untuk mempertimbangkan kembali hubungannya dengan Rusia dan CSTO.

1. Kerja Sama Uzbekistan AS Pasca 11 September

Setelah peristiwa 11 September 2001, Uzbekistan semakin mempererat hubungannya dengan Amerika Serikat (AS) dalam upaya memerangi terorisme. Uzbekistan memberikan izin kepada AS untuk menggunakan wilayahnya sebagai pangkalan militer, mendapatkan imbalan berupa jaminan keamanan dan bantuan finansial dari AS. Hal ini disambut antusias oleh masyarakat Tashkent, terutama karena janji AS untuk memberantas ancaman kelompok-kelompok ekstrimis Islam seperti Taliban dan IMU, dengan Uzbekistan menjadi akses menuju Afghanistan. Kerja sama ini menunjukkan perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri Uzbekistan, bergeser dari fokus awal pada kerjasama dengan negara-negara Barat untuk mengatasi ancaman internal menuju kerjasama keamanan yang lebih erat dengan AS dalam konteks perang melawan terorisme global. Namun, kerjasama ini bersifat strategis dan didasarkan pada kepentingan bersama dalam konteks keamanan regional dan internasional.

2. Peristiwa Andijan dan Perubahan Arah Kebijakan

Pada tahun 2005, terjadi peristiwa penting yang berdampak besar pada hubungan Uzbekistan-AS, yaitu Insiden Andijan. Insiden ini menyebabkan AS dan pemimpin Eropa Barat memanggil penyelidik internasional untuk menyelidiki kasus pemberontakan tersebut. Sebagai respon, Presiden Karimov memerintahkan penutupan pangkalan udara AS di Karshi-Khanabad pada akhir Juli 2005, memberikan AS waktu enam bulan untuk menghentikan operasi di sana. Keputusan ini menandai berakhirnya kerja sama militer yang erat antara Uzbekistan dan AS dan menjadi turning point dalam hubungan bilateral. Peristiwa ini juga berdampak pada keanggotaan Uzbekistan di GUAM, organisasi yang dibentuk pada tahun 1997 oleh Georgia, Ukraina, Azerbaijan, dan Moldova; Uzbekistan menarik diri dari GUAM pada tahun 2005. Perubahan kebijakan ini menunjukan pergeseran signifikan dalam prioritas keamanan dan kepentingan politik Uzbekistan, yang kemudian lebih menekankan hubungan dengan Rusia.

III.Keputusan Bergabung Kembali dengan CSTO Perspektif Rasional Karimov

Dokumen ini menganalisis keputusan Karimov untuk bergabung kembali dengan CSTO pada tahun 2006 menggunakan Rational Choice Model. Keputusan ini didorong oleh ancaman instabilitas politik dalam negeri yang disebabkan oleh gerakan ekstrimis Islam dan kebutuhan akan perlindungan dari Rusia terhadap perubahan rezim seperti yang terjadi di negara-negara tetangga. Dengan bergabung dengan CSTO, Karimov berupaya menekan political insurgency dan mengamankan kekuasaannya dengan biaya politik yang lebih rendah (misalnya, isu HAM) untuk mencapai stabilitas di Uzbekistan.

1. Latar Belakang Keputusan Bergabung Kembali dengan CSTO

Dokumen ini meneliti rasionalitas keputusan Presiden Islam Karimov untuk bergabung kembali dengan Collective Security Treaty Organization (CSTO) pada tahun 2006. Setelah sebelumnya bergabung dengan CST (pendahulu CSTO) pada 1992 untuk mengantisipasi dampak perang sipil di Tajikistan, Uzbekistan keluar pada 1999 karena melihat CSTO sebagai alat Rusia untuk memperkuat pengaruhnya di Asia Tengah. Namun, perubahan signifikan terjadi pasca peristiwa 11 September 2001, di mana Uzbekistan bekerja sama dengan AS dalam memerangi terorisme. Hubungan ini memburuk setelah insiden Andijan pada 2005, yang menyebabkan penutupan pangkalan udara AS di Karshi-Khanabad dan Uzbekistan menarik diri dari GUAM. Situasi ini, dikombinasikan dengan meningkatnya ancaman dari gerakan ekstrimis Islam, membuat Karimov mencari perlindungan dan stabilitas. Perubahan rezim di Georgia (2003), Ukraina (2004), dan Kyrgyzstan (2005) semakin memperkuat kekhawatiran Karimov akan keamanan negaranya. Kondisi ini membentuk konteks penting untuk memahami keputusan Karimov bergabung kembali dengan CSTO.

2. Analisis Keputusan Karimov dengan Rational Choice Model

Penelitian ini menggunakan Rational Choice Model untuk menganalisis keputusan Karimov. Model ini menekankan pada proses pengambilan keputusan rasional, meliputi: (1) Problem Recognition and Definition: Karimov menghadapi ancaman serius dari gerakan ekstrimis Islam dan instabilitas politik yang mengancam kekuasaannya. (2) Goal Setting: Karimov bertujuan untuk menekan political insurgency demi stabilitas pemerintahan dan mengamankan kekuasaannya. (3) Identification of Alternatives: Karimov mempertimbangkan berbagai pilihan kebijakan, termasuk kerjasama dengan negara atau organisasi lain. (4) Choice: Karimov memilih bergabung kembali dengan CSTO sebagai alternatif terbaik untuk mencapai tujuannya. Dengan bergabung dengan CSTO, Karimov memperkirakan dapat menekan political insurgency dengan biaya politik yang lebih rendah dibandingkan dengan pilihan lain, terutama dalam konteks tekanan internasional terkait isu HAM. Penelitian ini fokus pada rasionalitas individu Karimov dalam pengambilan keputusan strategis ini, dengan mempertimbangkan faktor-faktor ancaman internal dan eksternal serta berbagai alternatif kebijakan.

IV.Penelitian Terdahulu dan Metodologi

Dokumen ini merujuk pada penelitian sebelumnya tentang kebijakan luar negeri Uzbekistan, khususnya mengenai hubungannya kembali dengan Rusia. Penelitian ini menekankan aspek keamanan nasional dan menggunakan analisis tingkat reduksionis dengan fokus pada keputusan Karimov sebagai aktor utama. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka (library research).

1. Penelitian Terdahulu tentang Kebijakan Luar Negeri Uzbekistan

Dokumen ini menyebutkan dua penelitian terdahulu yang relevan. Penelitian pertama membahas kebijakan luar negeri Uzbekistan untuk bekerja sama kembali dengan Rusia setelah memburuknya hubungan bilateral dengan AS. Penelitian ini menggunakan teori pengambilan keputusan luar negeri dan menjelaskan penyebab kerjasama kembali dengan Rusia, antara lain: ancaman kelompok ekstrimis Islam, kondisi ekonomi-militer yang lemah, dan tekanan internasional terkait isu HAM yang lebih lunak dari Rusia. Penelitian ini menekankan proses pembuatan kebijakan. Penelitian kedua, oleh Kolisa Sodikova, berjudul "Uzbekistan’s National Security Policy and Non-Proliferation." Penelitian ini fokus pada kebijakan keamanan nasional Uzbekistan, menekankan aspek keamanan internasional dan dukungan terhadap non-proliferasi nuklir melalui partisipasi dalam perjanjian internasional, keanggotaan IAEA, dan promosi kawasan bebas senjata nuklir di Asia Tengah. Berbeda dengan penelitian ini, penelitian yang dibahas lebih menekankan pada aspek keamanan domestik terkait gerakan ekstrimis Islam.

2. Metodologi Penelitian Pendekatan Reduksionis dan Studi Pustaka

Penelitian ini menggunakan level analisis reduksionis, memfokuskan pada aktor individu (Islam Karimov) sebagai unit eksplanasi untuk menjelaskan kebijakan luar negeri Uzbekistan. Variabel independennya adalah aktor/individu (Karimov), sedangkan variabel dependennya adalah negara Uzbekistan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (library research), meliputi pengumpulan data dari berbagai literatur seperti buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan referensi lainnya yang relevan dengan masalah yang dibahas. Data dikumpulkan sebanyak mungkin, kemudian diseleksi dan dikelompokkan ke dalam bab-bab pembahasan yang sesuai dengan sistematika penulisan. Pendekatan ini memungkinkan analisis mendalam terhadap keputusan kebijakan luar negeri Uzbekistan dengan perspektif rasional pilihan Karimov sebagai aktor kunci dalam konteks ancaman ekstrimis Islam dan dinamika politik regional di Asia Tengah. Penelitian ini juga menggunakan Rational Choice Model sebagai kerangka teoritis untuk menganalisis keputusan Karimov bergabung kembali dengan CSTO.