Dinamika Hubungan Rusia dan Ukraina Pasca Kemerdekaan

Dinamika Hubungan Rusia dan Ukraina Pasca Kemerdekaan

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 386.37 KB
Jenis dokumen Esai/Tugas Kuliah
  • Konflik Rusia-Ukraina
  • Sejarah Ukraina
  • Geopolitik Eurasia

Ringkasan

I.Hubungan Rusia Ukraina Latar Belakang Geopolitik

Sebagai negara pecahan Uni Soviet, Ukraina memegang posisi geopolitik yang krusial di Eurasia, menjadi penghalang antara Rusia dan Barat. Persengketaan atas Sevastopol, kota pelabuhan di Krimea, mencerminkan ketidakstabilan hubungan ini. Meskipun Krimea secara historis penting bagi Rusia, pemimpin Soviet Nikita Khrushchev menyerahkannya kepada Ukraina pada 1954. Setelah kemerdekaan Ukraina pada 1991, pernyataan Walikota Moskow yang menyebut kemerdekaan Ukraina ilegal, dan kekhawatiran Rusia atas rudal balistik Soviet yang tersisa di Ukraina, memperburuk hubungan kedua negara. Meskipun terdapat kesepakatan untuk menghormati kedaulatan masing-masing, konflik kepentingan atas Krimea berulang kali muncul.

1. Posisi Geopolitik Ukraina dan Ketidakstabilan Hubungan dengan Rusia

Dokumen ini memulai dengan menjelaskan posisi geopolitik Ukraina yang sangat strategis di kawasan Eurasia, berada di antara Rusia dan Barat. Letak geografis inilah yang menjadi sumber utama ketidakstabilan hubungan Rusia-Ukraina. Sebagai contoh, sengketa atas kota pelabuhan Sevastopol di Krimea menjadi sorotan. Sevastopol, yang memiliki sejarah panjang sebagai bagian penting dari Rusia hingga tahun 1954, kemudian diberikan kepada Ukraina oleh pemimpin Soviet Nikita Khrushchev sebagai simbol persahabatan. Namun, pemberian ini tidak mencegah munculnya konflik di kemudian hari, menunjukkan betapa rumitnya hubungan kedua negara dan betapa pentingnya letak geografis Ukraina dalam dinamika geopolitik regional. Posisi Ukraina yang unik ini senantiasa menjadi faktor kunci dalam menentukan hubungan bilateralnya dengan Rusia.

2. Kemunculan Masalah Pasca Kemerdekaan Ukraina 1991

Setelah runtuhnya Uni Soviet dan deklarasi kemerdekaan Ukraina pada tahun 1991, hubungan kedua negara semakin memburuk. Pernyataan Walikota Moskow, Gavriil Popov, yang menganggap kemerdekaan Ukraina ilegal, semakin memperkeruh suasana. Kekhawatiran Rusia terhadap rudal balistik era Soviet yang masih berada di Ukraina juga menambah tensi. Meskipun terdapat artikel di New York Times yang menekankan aspek politik masalah Sevastopol lebih daripada aspek strategis, Ukraina tetap menolak untuk mengorbankan kedaulatannya dengan menyerahkan Sevastopol kepada Rusia. Namun, pada November 1990, kesepakatan untuk saling menghormati kedaulatan ditandatangani. Kemudian, pada 8 Desember 1992, Ukraina bergabung dengan Commonwealth of Independent States (CIS), menunjukkan upaya awal untuk membangun hubungan yang lebih baik, meskipun masalah mendasar tetap ada, terutama menyangkut Krimea dan Sevastopol.

3. Krimea sebagai Pemicu Konflik dan Kesepakatan Sevastopol

Setelah runtuhnya Uni Soviet, Krimea, yang secara hukum menjadi bagian dari Ukraina, berulang kali menjadi sumber konflik kepentingan antara Rusia dan Ukraina. Namun, terpilihnya Leonid Kuchma sebagai Presiden Ukraina pada tahun 1994 menandai perbaikan hubungan. Hal ini ditandai dengan Treaty of Friendship, Cooperation, and Partnership, yang juga merupakan poin penting dalam kampanye Kuchma. Puncaknya, pada Mei 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani Sevastopol Agreement. Perjanjian ini mengizinkan Rusia untuk menyewa pangkalan militer di Sevastopol selama 20 tahun (hingga 2017), dengan syarat Ukraina tetap memegang kedaulatan atas kota tersebut. Kesepakatan ini, setidaknya untuk sementara, menyelesaikan masalah keamanan yang menjadi perhatian kedua negara. Namun, perjanjian ini tidak mampu mencegah munculnya konflik di masa depan.

II.Revolusi Oranye dan Eskalasi Konflik

Hubungan Rusia-Ukraina kembali memanas pasca Revolusi Oranye (2004). Pemilihan presiden Ukraina yang dimenangkan oleh Viktor Yanukovych ditandai dengan tuduhan kecurangan dan manipulasi, yang menyebabkan protes besar-besaran. Kemenangan Yanukovych, yang dianggap dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, memicu kekhawatiran akan hilangnya pengaruh Barat di Ukraina. Revolusi Oranye menghasilkan kemenangan Viktor Yushchenko dan menandai perubahan signifikan dalam hubungan kedua negara, yang sebelumnya ditandai oleh kesepakatan Sevastopol Agreement (1997) yang memungkinkan Rusia menyewa pangkalan militer di Sevastopol hingga 2017. Peristiwa ini memperlihatkan pertarungan pengaruh antara Rusia dan pihak yang didukung oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat di Ukraina.

1. Revolusi Oranye Protes dan Tuduhan Kecurangan Pemilu

Awal milenium menandai babak baru dalam hubungan Rusia-Ukraina yang ditandai dengan Revolusi Oranye. Revolusi ini merupakan gerakan demonstrasi besar-besaran sebagai bentuk penolakan terhadap hasil pemilihan umum presiden Ukraina tahun 2004 yang dimenangkan oleh Viktor Yanukovych. Publik Ukraina secara luas menilai adanya manipulasi dan kecurangan dalam pemilihan tersebut, memicu protes meluas di seluruh negeri. Kemenangan Yanukovych memicu kontroversi dan tuduhan serius, termasuk korupsi, penggelapan suara, dan bahkan dugaan percobaan pembunuhan terhadap kandidat oposisi terkuat, Viktor Yushchenko. Kedekatan Yanukovych dengan Presiden Rusia Vladimir Putin semakin memperkuat anggapan bahwa kemenangannya merupakan bagian dari upaya Rusia untuk mempertahankan pengaruhnya di Ukraina. Dukungan media internasional dan LSM memperkuat opini publik yang menentang Yanukovych, menganggap kemenangannya sebagai hasil kecurangan. Perbedaan hasil hitung suara antara panitia pemilihan umum dan lembaga survei swasta semakin memperkuat tuduhan kecurangan dan memicu demonstrasi besar-besaran.

2. Dampak Revolusi Oranye terhadap Hubungan Rusia Ukraina

Setelah Revolusi Oranye dan kemenangan Viktor Yushchenko, hubungan Rusia-Ukraina mengalami eskalasi konflik. Rusia kehilangan pengaruhnya di Ukraina selama periode 2005 hingga 2010. Kemenangan Yushchenko, yang didukung oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, menandai pergeseran keseimbangan kekuatan dan memicu 'perang pengaruh' antara Rusia dan blok Barat di Ukraina. Beberapa insiden menunjukkan eskalasi tersebut, termasuk sengketa pengiriman gas pada tahun 2005/2006 dan 2008/2009, serta penyerangan Rusia ke Georgia yang memperburuk hubungan dengan Ukraina. Isu krusial lainnya yang memperkeruh hubungan adalah indikasi bergabungnya Ukraina ke dalam NATO dan Uni Eropa, yang dianggap sebagai ancaman langsung terhadap kepentingan strategis Rusia. Revolusi Oranye bukan hanya sebuah peristiwa politik internal Ukraina, tetapi juga menjadi titik balik yang signifikan dalam hubungan geopolitik Rusia-Ukraina, mengarah pada konfrontasi yang lebih terbuka dan persaingan pengaruh yang intens di antara kekuatan-kekuatan besar.

III.Ukraina Posisi Strategis dan Intervensi Rusia

Secara ekonomi, Ukraina penting bagi Rusia sebagai jalur pipa utama gas alam menuju Eropa. Secara geopolitik, Ukraina berperan sebagai buffer state antara Rusia dan Eropa. Keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa, ditambah dengan munculnya tokoh-tokoh pro-Barat, membuat Rusia khawatir kehilangan pengaruhnya. Oleh karena itu, Rusia melakukan intervensi politik, terutama pada proses pemilihan umum di Ukraina. Teori Heartland Mackinder digunakan untuk menganalisis intervensi Rusia, yang menekankan pentingnya kendali atas Eropa Timur untuk mendominasi Eurasia dan dunia. Kegagalan invasi Hitler ke Rusia Timur, yang dijelaskan melalui Heartland Theory, menjadi perbandingan yang relevan. Inilah yang menjadi latar belakang penelitian mengenai intervensi politik Rusia pada proses pemilu di Ukraina, khususnya setelah Revolusi Oranye.

1. Ukraina Peran Strategis Ekonomi dan Geopolitik

Ukraina memiliki peran strategis ganda dalam hubungannya dengan Rusia. Secara ekonomi, Ukraina menjadi titik penting dalam jalur pipa gas Rusia menuju Eropa, bertindak sebagai penyalur utama atau entry point gas alam Rusia ke negara-negara Eropa yang mengimpornya. Hal ini memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan bagi Ukraina. Dari perspektif keamanan dan politik, Ukraina berfungsi sebagai buffer state, negara penyangga antara Rusia dan Eropa. Posisi geografisnya yang unik ini membuat Rusia berupaya mempertahankan pengaruhnya, antara lain dengan mendirikan pangkalan militer di Laut Hitam untuk mencegah pengaruh eksternal. Peran ganda ini, baik ekonomi maupun geopolitik, menjadikan Ukraina sebagai negara yang sangat penting dan strategis dalam konteks hubungan Rusia dengan Eropa.

2. Intervensi Rusia di Ukraina Alasan dan Teori Heartland

Penulis meneliti intervensi Rusia di Ukraina, khususnya setelah Revolusi Oranye. Rusia melakukan intervensi karena khawatir akan lunturnya pengaruhnya di Ukraina, sebuah negara pecahan Uni Soviet. Keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa, serta munculnya tokoh-tokoh politik pro-Barat, semakin meningkatkan kekhawatiran Rusia. Teori Geopolitik Heartland Mackinder digunakan sebagai kerangka analisis. Teori ini berargumen bahwa kontrol atas Eropa Timur (yang termasuk dalam Heartland) memungkinkan penguasaan Eurasia (World-Island), dan pada akhirnya, dunia. Dengan demikian, Ukraina, sebagai negara kunci di Eropa Timur, menjadi target intervensi Rusia untuk mempertahankan pengaruh dan mencegah pergeseran keseimbangan kekuatan yang menguntungkan Barat. Keberhasilan invasi Hun ke Barat dalam sejarah, dan kegagalan invasi Hitler ke Timur, digunakan sebagai ilustrasi untuk menekankan pentingnya faktor geografis dalam strategi geopolitik, sebagaimana diuraikan oleh teori Heartland.

3. Peran Ukraina sebagai Penyangga dan Geopolitik Jalur Pipa

Peran Ukraina dibagi menjadi dua aspek utama. Pertama, sebagai negara penyangga (buffer state) antara Rusia dan negara-negara Barat. Namun, aspek ini lebih cenderung ke arah geopolitics of pipeline, mengingat 80% gas alam Rusia yang diekspor ke Eropa melewati jalur pipa di Ukraina. Ukraina menjadi simpul jalur gas yang strategis karena Uni Eropa dan negara-negara sekitarnya bergantung pada pasokan gas Rusia yang dikirim melalui Ukraina. Kedua, Ukraina merupakan daerah penyangga bagi Rusia dari sudut pandang geografis. Keduanya saling berdekatan, sehingga intervensi Rusia menjadi lebih mungkin dan lebih mudah dilakukan. Oleh karena itu, pemahaman geopolitik sangat penting untuk memahami dinamika hubungan dan intervensi Rusia di Ukraina, karena letak geografis Ukraina yang unik dan perannya sebagai penghubung energi dan buffer state mempengaruhi strategi dan kebijakan negara-negara yang terlibat.

IV.Penelitian Terdahulu dan Metodologi

Penelitian sebelumnya membahas dampak perluasan Uni Eropa di negara-negara Baltik terhadap keamanan Rusia (Lailatur Rifa) dan politik luar negeri Rusia terhadap perluasan NATO di Eropa Timur (Khairunnisaa). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik dan eksplanatif, mengkaji intervensi Rusia di Ukraina pasca Revolusi Oranye dengan menggunakan teori Heartland dan menganalisis data dari berbagai sumber.

1. Penelitian Terdahulu tentang Hubungan Rusia Ukraina

Sebelum penelitian ini, beberapa studi telah meneliti aspek hubungan Rusia-Ukraina. Penelitian Lailatur Rifa, misalnya, menganalisis dampak perluasan Uni Eropa ke negara-negara Baltik terhadap keamanan Rusia. Studi ini menekankan bagaimana perluasan Uni Eropa ke negara-negara bekas Uni Soviet, seperti Estonia, Latvia, dan Lithuania, dianggap sebagai ancaman soft security bagi Rusia. Rusia melihatnya bukan sebagai ancaman militer langsung, tetapi sebagai ancaman non-militer yang dapat melemahkan pengaruhnya di kawasan tersebut. Sebagai tanggapan, Rusia mendukung kelompok-kelompok pro-Rusia di kawasan tersebut. Penelitian lain oleh Khairunnisaa meneliti politik luar negeri Rusia terhadap perluasan keanggotaan NATO di Eropa Timur (2002-2010). Penelitian ini menunjukkan bagaimana Rusia merespons perluasan NATO dengan berbagai kebijakan kontra, termasuk peningkatan kapabilitas militer, kerjasama keamanan dengan negara-negara CIS melalui CSTO (Collective Security Treaty Organization) dan SCO (Shanghai Corporation Organization), serta strategi deterrence melalui pengembangan senjata nuklir. Keduanya memberikan konteks penting untuk memahami dinamika hubungan Rusia-Ukraina dan latar belakang intervensi Rusia.

2. Metodologi Penelitian Pendekatan Eksplanatif dan Studi Pustaka

Penelitian ini menggunakan pendekatan eksplanatif dan library research. Pendekatan eksplanatif bertujuan untuk menjelaskan secara sistematis hubungan antara fenomena yang diteliti (intervensi Rusia di Ukraina) dengan teori dan konsep yang relevan. Penulis menganalisis hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Metode pengumpulan data mengandalkan studi pustaka, mencakup berbagai buku, jurnal ilmiah, artikel surat kabar, dan sumber informasi elektronik yang relevan. Analisis data juga menggunakan pendekatan eksplanatif, memilih data yang relevan, menyederhanakannya tanpa mengurangi makna, dan kemudian menjelaskan data tersebut melalui pemahaman intelektual yang logis. Dengan demikian, penelitian ini berfokus pada analisis data sekunder untuk menjawab pertanyaan penelitian utama mengenai alasan intervensi politik Rusia dalam proses pemilihan umum di Ukraina.