Dinamika Hubungan Internasional: Teori Transisi Kekuasaan dan Peran RRC

Dinamika Hubungan Internasional: Teori Transisi Kekuasaan dan Peran RRC

Informasi dokumen

Sekolah

Tidak disebutkan dalam teks

Jurusan Hubungan Internasional
Tahun terbit Tidak disebutkan secara spesifik, namun merujuk pada periode hingga 2010 berdasarkan referensi yang dikutip.
Tempat Tidak disebutkan dalam teks
Jenis dokumen Tesis atau Bab dari Tesis
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 483.03 KB
  • Teori Hubungan Internasional
  • Transisi Kekuasaan
  • Hubungan AS dan RRC

Ringkasan

I.Latar Belakang Hubungan AS RRC dan Isu Taiwan

Penelitian ini meneliti hubungan rumit antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Cina (RRC), khususnya seputar isu Taiwan. Perdebatan antara teori keseimbangan kekuatan (balance of power) dan peralihan kekuatan (power transition) dalam Hubungan Internasional menjadi latar belakang. Penjualan senjata AS ke Taiwan, berdasarkan Taiwan Relations Act (TRA), menjadi faktor utama yang mempengaruhi dinamika hubungan AS-RRC. Peningkatan kapabilitas militer RRC dan sentimen nasionalisme Cina juga berperan penting. Studi ini menelaah bagaimana kebijakan AS terhadap Taiwan, terutama penjualan senjata, mempengaruhi strategi RRC, serta menguji apakah strategi RRC lebih bersifat defensif atau ofensif.

1. Teori Keseimbangan Kekuatan dan Peralihan Kekuasaan

Latar belakang penelitian ini membahas dominasi pemikiran realis dalam studi Hubungan Internasional pasca Perang Dunia II. Teori Power Transition, dirumuskan A.F.K. Organski pada 1958, dikontraskan dengan teori Balance of Power. Organski berargumen bahwa periode keseimbangan kekuatan, baik nyata maupun semu, justru cenderung memicu perang. Sebaliknya, periode damai lebih mungkin terjadi ketika satu kekuatan dominan memegang kendali penuh. Klaim ini mendapat perhatian baru ketika hegemoni AS merosot pada dekade 1970-an, ditandai dengan peningkatan integrasi Eropa dan pertumbuhan ekonomi Jepang yang pesat. Robert Gilpin juga mendukung pandangan bahwa hegemoni cenderung muncul pasca perang dunia besar. Pada abad ke-21, perdebatan antara kedua teori ini berlanjut, terutama dengan meningkatnya kekuatan ekonomi dan militer Republik Rakyat Cina (RRC) di Asia Timur. Penelitian ini secara implisit ingin menelaah apakah situasi saat ini lebih mencerminkan teori balance of power atau power transition, khususnya dalam konteks hubungan AS-RRC dan isu Taiwan.

2. Hubungan AS RRC dan Peran Taiwan

Hubungan AS-RRC, yang telah mengalami fluktuasi signifikan, menjadi fokus utama penelitian. Peningkatan kemampuan militer RRC dan nasionalisme di Tiongkok menjadi pendorong utama ketidakstabilan. Isu reunifikasi Taiwan menjadi faktor kunci dalam memahami dinamika ini. Melalui Taiwan Relations Act (TRA), AS menerapkan strategi pencegahan terhadap tindakan sepihak Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) terhadap Taiwan. Periode hubungan AS-RRC dibagi dalam empat fase: 1950-1970 (tegang, dipengaruhi Perang Korea); 1971-1977 (menuju normalisasi, dipengaruhi sengketa RRC-Uni Soviet); 1978-1988 (normalisasi hubungan diplomatik); dan 1988-2009 (hubungan mencapai titik terburuk, ditandai dengan penjualan senjata AS ke Taiwan yang besar-besaran pada 1992 dan krisis Selat Taiwan 1996). Penjualan senjata AS ke Taiwan, khususnya pada era Presiden George H.W. Bush (150 pesawat F-16) dan Obama (6,4 miliar dolar AS, termasuk misil Patriot dan helikopter Black Hawk), dinilai RRC sebagai dukungan terhadap kemerdekaan Taiwan, melanggar Joint Communiqué 1982. Walaupun reaksi RRC tidak selalu bersifat represif, protes keras, sanksi, dan penambahan misil tetap dilakukan.

3. Studi Terdahulu dan Perbedaan Pendekatan

Penelitian terdahulu mengenai hubungan AS-RRC seringkali menggunakan pendekatan complex interdependence. Sebagai contoh, karya Quansheng Zhao dan Guoli Liu membahas perubahan hubungan strategis antara AS dan RRC dalam era globalisasi. Penelitian lain, seperti karya Tang Shiping, menganalisis pergeseran strategi keamanan RRC dari offensive realism (Mao Zedong) ke defensive realism (Deng Xiaoping dan penerusnya). Namun, penelitian ini berbeda karena menggunakan teori offense-defense sebagai unit eksplanasi utama. Fokusnya adalah pada pertimbangan biaya dan keuntungan bagi RRC untuk menyerang Taiwan, yang dinilai tidak menguntungkan karena akan memicu reaksi AS. Meskipun peningkatan ekonomi menjadi strategi utama RRC terhadap Taiwan, studi ini menambahkan dimensi keamanan dan militer untuk mengkaji hubungan tiga pihak: AS, RRC, dan Taiwan. Penelitian ini berfokus pada bagaimana penjualan senjata AS ke Taiwan mempengaruhi strategi RRC terhadap Taiwan, khususnya dilihat dari sudut pandang teori offense-defense.

II.Kerangka Teori Offense Defense dan Realisme

Penelitian ini menggunakan teori offense-defense yang dikembangkan oleh Robert Jervis sebagai kerangka analisis. Teori ini, bagian dari neo-realisme defensif, menganalisis apakah serangan atau pertahanan yang lebih menguntungkan dalam konteks dilema keamanan. Dua variabel kunci: keuntungan relatif antara serangan dan pertahanan, serta kemampuan membedakan senjata ofensif dan defensif. Faktor geografis dan teknologi juga dipertimbangkan. Penelitian ini hendak menjelaskan mengapa, berdasarkan kemampuan militer AS yang lebih unggul, RRC cenderung memilih strategi defensif dalam menanggapi penjualan senjata AS ke Taiwan.

1. Realisme Neo realisme dan Neo klasik Realisme

Penelitian ini menggunakan pendekatan realisme untuk menjelaskan perilaku Republik Rakyat Cina (RRC). Realisme dibagi menjadi dua klasifikasi: berdasarkan fenomena yang dijelaskan dan konsekuensi dari anarki. Klasifikasi pertama menghasilkan neo-realisme (struktural) dan neo-klasik realisme. Neo-realisme menjelaskan hasil internasional (outcomes) seperti perang, kerjasama, dan aliansi, sementara neo-klasik realisme menjelaskan mengapa negara-negara mengejar strategi spesifik. Klasifikasi kedua, berdasarkan konsekuensi anarki, membagi realisme menjadi defensive realism dan offensive realism. Offensive realism meyakini anarki mendorong ekspansi, sementara defensive realism berpendapat insentif ekspansi hanya muncul dalam kondisi tertentu. Kedua klasifikasi menghasilkan empat jenis realisme: neo-realisme ofensif, neo-realisme defensif, neo-klasik realisme ofensif, dan neo-klasik realisme defensif. Penelitian ini menggunakan teori offense-defense, yang termasuk dalam varian neo-realisme defensif.

2. Teori Offense Defense Robert Jervis

Teori offense-defense, yang menjadi landasan analisis dalam penelitian ini, berargumen bahwa konflik internasional lebih mungkin terjadi jika operasi militer ofensif lebih menguntungkan daripada defensif. Sebaliknya, kerjasama dan perdamaian lebih mungkin terjadi ketika pertahanan lebih menguntungkan. Robert Jervis dalam 'Cooperation Under Security Dilemma' mengidentifikasi dua variabel penting: keuntungan relatif antara serangan dan pertahanan, dan kemampuan membedakan senjata ofensif dan defensif. Jervis menjelaskan bahwa ketika menyerang lebih menguntungkan, negara akan cenderung memaksimalkan keamanan melalui strategi ofensif karena lebih murah. Sebaliknya, jika bertahan lebih menguntungkan, perlombaan senjata dapat dihindari. Variabel kedua, kemampuan membedakan senjata, menentukan apakah peningkatan keamanan satu negara mengurangi keamanan negara lain. ICBM dan SLBM digunakan sebagai contoh perbedaan postur senjata. Geografis dan teknologi juga mempengaruhi keuntungan relatif antara serangan dan pertahanan. Jervis menyimpulkan bahwa ketika senjata defensif berbeda dari senjata ofensif, dan pertahanan lebih unggul daripada serangan, status quo dapat terjaga dan semua negara dapat menikmati keamanan yang tinggi.

III.Analisis Hubungan AS RRC Terkait Taiwan

Periode hubungan AS-RRC dibagi menjadi beberapa fase. Penjualan senjata AS ke Taiwan, seperti penjualan F-16 pada tahun 1992 dan paket senjata senilai 6,4 miliar dolar AS pada era Obama, memicu reaksi dari RRC berupa protes keras, sanksi, dan peningkatan kekuatan militer di Selat Taiwan. Namun, reaksi RRC relatif lebih lunak dibandingkan krisis 1996. Penelitian ini menganalisis bagaimana kemampuan militer AS yang jauh lebih superior, berdasarkan teori offense-defense, membuat strategi defensif menjadi pilihan yang lebih menguntungkan bagi RRC dalam menghadapi isu Taiwan.

1. Fase Fase Hubungan AS RRC dan Penjualan Senjata ke Taiwan

Dokumen ini membagi hubungan AS-RRC menjadi empat periode. Periode 1950-1970 ditandai dengan ketegangan akibat Perang Korea, namun relatif stabil. Periode 1971-1977 menandai permulaan normalisasi hubungan, didorong oleh sengketa perbatasan RRC dengan Uni Soviet. Normalisasi hubungan sepenuhnya terjadi pada 1 Januari 1979 (periode 1978-1988). Periode 1988-2009 menyaksikan titik terendah hubungan, dipicu oleh penjualan senjata AS ke Taiwan. Penjualan 150 pesawat F-16 pada 1992 merupakan penjualan senjata terbesar sepanjang sejarah ke Taiwan. Krisis Selat Taiwan pada Maret 1996, dipicu oleh latihan militer RRC dan pemberian visa AS kepada Lee Teng Hui, menambah ketegangan. Pada abad ke-21, pemerintahan Obama menyetujui penjualan senjata senilai 6,4 miliar dolar AS ke Taiwan, termasuk 114 misil Patriot dan 60 helikopter Black Hawk, yang melanggar Joint Communiqué 1982. Meskipun tidak sekoersif reaksi pada 1996, RRC tetap melayangkan protes keras, menjatuhkan sanksi, dan menambah misil jarak jauh di Selat Taiwan. Secara kualitatif, hubungan AS-RRC tetap stagnan, dengan masing-masing negara mengejar kepentingan nasional dan menerapkan kebijakan 'pura-pura berteman', seperti yang diungkapkan Yan Xuetong.

2. Penjualan Senjata AS ke Taiwan sebagai Penggerak Utama

Penjualan senjata AS ke Taiwan menjadi pendorong utama dalam memahami hubungan AS-RRC. Berdasarkan Taiwan Relations Act (TRA), AS berhak menyediakan persenjataan untuk pertahanan Taiwan guna melindungi dari tindakan sepihak RRC. RRC memandang Taiwan sebagai provinsi yang memberontak dan penjualan senjata dalam jumlah besar, seperti pada awal 2010-an, sebagai dukungan AS terhadap kemerdekaan Taiwan. Penelitian ini menunjukkan kemampuan militer AS sebagai variabel utama yang menyebabkan strategi RRC bersifat defensif. Menggunakan kekuatan untuk reunifikasi Taiwan dinilai tidak menguntungkan bagi RRC karena akan memicu intervensi AS, seperti pada krisis 1995-1996. Keunggulan militer AS menjadi faktor utama strategi defensif RRC. Meskipun modernisasi militer RRC terus berlanjut, responnya terhadap penjualan senjata AS berupa protes, sanksi, dan ancaman terhadap Taiwan. Teori offense-defense Robert Jervis digunakan untuk menjelaskan respon relatif lunak RRC terhadap penjualan senjata AS.

IV.Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemampuan militer AS yang superior merupakan variabel utama yang menjelaskan mengapa RRC memilih strategi defensif dalam merespon penjualan senjata AS ke Taiwan. Strategi ofensif, seperti penggunaan kekuatan untuk memaksa reunifikasi Taiwan, dianggap merugikan bagi RRC karena akan memicu intervensi AS. Meskipun teori offense-defense tergolong teori lama, tetapi efektif untuk menjelaskan perilaku relatif lunak RRC dalam menanggapi isu Taiwan.

1. Kemampuan Militer AS dan Strategi Defensif RRC

Kesimpulan utama penelitian ini adalah kemampuan militer Amerika Serikat (AS) yang jauh lebih unggul menjadi faktor utama mengapa Republik Rakyat Cina (RRC) memilih strategi defensif dalam merespon kebijakan penjualan senjata AS ke Taiwan. Teori offense-defense, yang digunakan sebagai kerangka analisis, menunjukkan bahwa pilihan terbaik bagi RRC saat ini adalah bertahan, bukan menyerang. Usaha memaksa reunifikasi Taiwan dengan kekuatan militer akan merugikan RRC karena akan memicu intervensi AS, seperti yang terjadi pada krisis 1995-1996. Keunggulan militer AS secara signifikan mempengaruhi perhitungan biaya dan manfaat bagi RRC, sehingga strategi defensif menjadi pilihan yang lebih rasional. Modernisasi militer RRC yang besar-besaran, meskipun terus berlanjut, tidak mengubah kesimpulan ini. Respon RRC berupa protes keras, sanksi, dan ancaman militer terhadap Taiwan tetap ada, namun relatif lebih lunak dibandingkan potensi konsekuensi dari strategi ofensif yang lebih beresiko.

2. Penjualan Senjata AS ke Taiwan dan Hubungan AS RRC

Penjualan senjata AS ke Taiwan, yang dilindungi oleh Taiwan Relations Act (TRA), merupakan faktor kunci dalam hubungan AS-RRC. AS berhak menyediakan persenjataan untuk tujuan pertahanan Taiwan, tindakan yang dilihat RRC sebagai dukungan terhadap kemerdekaan Taiwan, sebuah status yang dianggap final dan tidak dapat diubah oleh RRC. Penjualan senjata dalam jumlah besar, seperti pada tahun 2010, memperkuat pandangan RRC ini. Penelitian ini menegaskan kembali bahwa penjualan senjata AS ke Taiwan tetap menjadi pendorong utama dalam memahami dinamika hubungan AS-RRC, dan strategi RRC untuk menanggapi penjualan senjata tersebut secara signifikan dipengaruhi oleh superioritas militer AS. Walaupun teori offense-defense tergolong teori lama, efektivitasnya dalam menjelaskan perilaku relatif lunak RRC dalam menanggapi penjualan senjata AS ke Taiwan tetap relevan.