
Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di Kota Lhokseumawe
Informasi dokumen
Penulis | Aqmarina |
Sekolah | Universitas Sumatera Utara |
Jurusan | Ekonomi Pembangunan |
Jenis dokumen | Skripsi |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 4.20 MB |
- Pemekaran Wilayah
- Kinerja Ekonomi
- Kota Lhokseumawe
Ringkasan
I.Latar Belakang dan Rumusan Masalah Pemekaran Wilayah Kota Lhokseumawe
Penelitian ini meneliti dampak pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe dari Kabupaten Aceh Utara pada kinerja ekonomi daerah (2001-2013). Pemekaran wilayah bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui otonomi daerah dan pengelolaan potensi ekonomi lokal. Namun, meskipun PDRB non-migas Kota Lhokseumawe meningkat, masalah sosial ekonomi seperti penurunan pendapatan per kapita dan angka kemiskinan masih ada. Penelitian ini akan menganalisis kinerja ekonomi daerah menggunakan indikator seperti pertumbuhan PDRB non-migas, PDRB per kapita, rasio PDRB kota terhadap provinsi, dan angka kemiskinan, untuk mengukur Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) sebelum dan sesudah pemekaran wilayah.
1.1 Latar Belakang Pemekaran Wilayah Kota Lhokseumawe
Berbagai daerah di Indonesia berupaya melakukan pemekaran wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan. Luas wilayah administratif yang terlalu besar seringkali menghambat pelayanan pemerintahan dan pembangunan yang merata. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan pemekaran wilayah, mensyaratkan kemampuan ekonomi dan potensi daerah yang memadai untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Faktor sosial budaya, politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, dan keamanan juga menjadi pertimbangan. Pemekaran diharapkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembangunan daerah, dan kesejahteraan masyarakat melalui kemandirian pemerintahan dan tata kelola ekonomi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 kemudian membentuk Kota Lhokseumawe dari Kabupaten Aceh Utara, menghapus status Kota Administratif Lhokseumawe sebelumnya. Pembentukan Kota Lhokseumawe juga didorong oleh luasnya wilayah Aceh Utara yang mengakibatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat tidak efektif dan efisien. Pemekaran Aceh Utara menghasilkan tiga kabupaten/kota: Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Bireuen. Tujuan pemekaran Kota Lhokseumawe perlu dievaluasi melalui indikator kinerja perekonomian daerah, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan keuangan daerah. Penelitian ini menganalisis kinerja perekonomian daerah Kota Lhokseumawe sebelum dan sesudah pemekaran.
1.2 Perumusan Masalah Kinerja Ekonomi Daerah Pasca Pemekaran
Indikator kinerja ekonomi daerah meliputi pertumbuhan PDRB non-migas, pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB provinsi, dan angka kemiskinan. Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) merupakan rata-rata dari keempat indikator tersebut. Pemekaran wilayah diharapkan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Kota Lhokseumawe. Meskipun PDRB non-migas Kota Lhokseumawe meningkat setiap tahun, setelah empat belas tahun pemekaran masih terdapat masalah sosial ekonomi seperti penurunan pendapatan per kapita dan angka kemiskinan. Permasalahan ini bertentangan dengan tujuan pemekaran, sehingga penelitian lebih lanjut diperlukan. Pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe dari Aceh Utara berdampak pada perubahan PDRB kecamatan-kecamatan di Kota Lhokseumawe. Kecamatan yang sebelumnya tidak dominan di PDRB Aceh Utara berpeluang menjadi penyokong utama PDRB Kota Lhokseumawe. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kinerja ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe sebelum dan sesudah pemekaran, dengan fokus pada dampak pemekaran terhadap indikator-indikator ekonomi yang telah disebutkan.
II.Tinjauan Pustaka Desentralisasi Otonomi Daerah dan Kinerja Ekonomi Daerah
Penelitian ini meninjau teori desentralisasi dan otonomi daerah sebagai dasar pemekaran wilayah. Otonomi daerah memberikan hak dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Kinerja ekonomi daerah diukur melalui indikator-indikator yang meliputi pertumbuhan PDRB non-migas, PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten/kota terhadap provinsi, dan angka kemiskinan. Penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang beragam mengenai dampak pemekaran wilayah terhadap kinerja ekonomi daerah.
2.1 Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Bagian ini membahas konsep desentralisasi dan otonomi daerah sebagai landasan pemekaran wilayah. Desentralisasi didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan pemerintahan yang lebih rendah untuk menyelenggarakan kepentingan setempat (Safi'i, 2007; Nurjaman, 2006). Tujuannya adalah menciptakan kemampuan unit pemerintah yang mandiri dan independen, meningkatkan efisiensi administrasi, dan memberdayakan aparatur di tingkat daerah. Sistem sentralisasi dinilai birokratis dan boros (Mariana, 2008). Otonomi daerah dimaknai sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Otonomi daerah juga mengandung tanggung jawab besar terhadap kesejahteraan rakyat dan good governance (Muslim, 2007). Meskipun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) mengatur otonomi daerah, dominasi pusat masih terasa, sehingga revisi dilakukan untuk menyempurnakan pengaturan tersebut. Otonomi daerah, menurut Widjaja (1998), tidak akan menyebabkan disintegrasi negara, malah akan mendorong partisipasi masyarakat dan pemerataan pembangunan.
2.2 Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah merupakan wujud desentralisasi dan otonomi daerah, bertujuan memberi peluang yang sama bagi setiap wilayah dalam peningkatan pelayanan publik dan pemanfaatan potensi ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Daerah hasil pemekaran dapat menjalankan pemerintahan secara mandiri. Pemekaran diharapkan membuka simpul-simpul keterbelakangan akibat jangkauan pelayanan pemerintah yang terlalu luas (Mariana, 2008). Faktor agama, budaya, luas daerah, perbedaan kemakmuran dan pembangunan antar daerah, serta kurangnya sarana transportasi dan komunikasi juga mempengaruhi pemekaran wilayah. Pemekaran bertujuan meningkatkan jangkauan pelayanan publik, terutama di daerah yang luas, serta dipengaruhi aspek keuangan daerah dan aspek politik (Sjafrizal, 2008). Syarat pemekaran meliputi syarat administratif (persetujuan DPRD kabupaten/kota, bupati/walikota, DPRD provinsi, gubernur, dan rekomendasi Menteri Dalam Negeri) dan syarat teknis (kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lainnya yang memungkinkan otonomi daerah).
2.3 Kinerja Ekonomi Daerah
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan pemekaran wilayah, yang dapat dicapai melalui peningkatan kinerja perekonomian daerah. Kinerja diartikan sebagai sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Rachim dan Sasana (2013) menjelaskan kinerja ekonomi melalui variabel pertumbuhan PDRB non-migas, pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB provinsi, dan angka kemiskinan. Variabel-variabel ini akan digunakan untuk mengukur apakah kinerja ekonomi daerah menjadi lebih baik setelah pemekaran.
2.4 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu dijadikan referensi. Rachmawati (2009) menganalisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah Kota Bogor sebelum dan selama desentralisasi fiskal, menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS). Afriani, Saleh, dan Fattah (2012) meneliti dampak pemekaran Kabupaten Tana Toraja terhadap kinerja perekonomian, keuangan, pelayanan publik, dan aparatur pemerintah daerah, menggunakan analisis data kualitatif dengan indeks. Arianti dan Cahyadinata (2013) meneliti dampak pemekaran wilayah terhadap kinerja dan pemerataan ekonomi daerah pesisir di Provinsi Bengkulu, menggunakan uji beda t. Penelitian lain membandingkan kinerja ekonomi dan pelayanan publik di Kota Serang setelah pemekaran dari Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Banten, menggunakan metode indeksasi. Penelitian-penelitian ini memberikan gambaran beragam mengenai dampak pemekaran wilayah terhadap berbagai aspek, termasuk kinerja ekonomi daerah.
III.Metodologi Penelitian
Penelitian menggunakan metode dokumentasi dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Analisis data menggunakan uji Independent Samples t-test untuk membandingkan IKED Kota Lhokseumawe sebelum dan sesudah pemekaran wilayah pada periode 1998-2013. Data yang dikumpulkan meliputi PDRB Non-Migas, PDRB per Kapita, Rasio PDRB Kota terhadap Provinsi Aceh, dan Angka Kemiskinan.
3.1 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi untuk mengumpulkan data, sesuai dengan penjelasan Moleong (2000). Metode ini melibatkan pengumpulan data berupa catatan, transkrip, surat kabar, majalah, dan literatur terkait yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang dikumpulkan akan menjadi dasar analisis untuk mengukur dampak pemekaran wilayah terhadap kinerja ekonomi daerah Kota Lhokseumawe. Penggunaan data dari BPS menjamin kredibilitas dan akurasi data ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini, khususnya yang berkaitan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan indikator-indikator ekonomi lainnya. Dengan demikian, analisis yang dilakukan akan lebih objektif dan terbebas dari bias data yang tidak sahih. Data yang dikumpulkan mencakup periode sebelum dan sesudah pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe, yang memungkinkan perbandingan yang komprehensif. Pemilihan metode dokumentasi didasarkan pada ketersediaan data yang relevan dari BPS dan kemudahan akses terhadap informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
3.2 Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk mengukur dampak pemekaran wilayah terhadap kinerja ekonomi daerah. Data yang dikumpulkan, khususnya yang terkait dengan indikator-indikator kinerja ekonomi (pertumbuhan PDRB non-migas, pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB kota terhadap provinsi, dan angka kemiskinan), akan digunakan untuk menghitung Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED). Selanjutnya, uji statistik Independent Samples t-test akan digunakan untuk membandingkan IKED Kota Lhokseumawe pada periode sebelum (1998-2000) dan sesudah pemekaran (2001-2013). Uji ini akan menentukan apakah terdapat perbedaan signifikan secara statistik antara kedua periode tersebut. Nilai t hitung akan dibandingkan dengan t tabel, dan nilai p-value akan digunakan untuk menentukan apakah hipotesis nol (H0) ditolak atau diterima. Hasil uji statistik akan memberikan kesimpulan mengenai dampak signifikansi pemekaran wilayah terhadap kinerja ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe. Perhitungan rata-rata (mean) IKED pada kedua periode akan memberikan gambaran lebih lanjut mengenai perubahan kinerja ekonomi.
IV.Hasil Penelitian dan Pembahasan Kinerja Ekonomi Kota Lhokseumawe
Hasil menunjukkan peningkatan PDRB non-migas Kota Lhokseumawe setiap tahunnya, baik sebelum maupun sesudah pemekaran wilayah. Meskipun pertumbuhan PDRB non-migas signifikan terjadi pada tahun 2007 (20,25%), rata-rata pertumbuhan lebih rendah pasca pemekaran wilayah (5,76%) dibandingkan sebelumnya (6,58%). Analisis IKED menunjukkan perbedaan signifikan antara periode sebelum dan sesudah pemekaran wilayah, dengan IKED pasca-pemekaran lebih tinggi, meskipun selisihnya tidak signifikan secara statistik. Pengembangan sektor perikanan dan perdagangan menunjukkan potensi ekonomi Kota Lhokseumawe. Potensi pengembangan ekonomi juga terlihat dalam rencana pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
4.1 Gambaran Umum Perekonomian Kota Lhokseumawe
Bagian ini memberikan gambaran umum perekonomian Kota Lhokseumawe, khususnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) non-migas. PDRB non-migas merupakan indikator penting untuk memantau laju pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Data PDRB non-migas Kota Lhokseumawe menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, baik sebelum maupun setelah pemekaran wilayah, dengan nilai terendah pada tahun 1998 (Rp 1.032.400,41 juta) dan tertinggi pada tahun 2015 (Rp 2.446.180,21 juta). Rata-rata pertumbuhan PDRB non-migas pada periode 1998-2013 adalah 5,87% per tahun. Pertumbuhan yang signifikan terjadi pada tahun 2007 (20,25%), didorong oleh upaya rekonstruksi pasca konflik. Namun, dampaknya tidak berkelanjutan di sektor pertanian. Selain PDRB non-migas, indikator lain yang dibahas meliputi pertumbuhan PDRB per kapita, rasio PDRB Kota Lhokseumawe terhadap PDRB Provinsi Aceh (rata-rata 6,89% pada periode pasca pemekaran), dan angka kemiskinan. Data ini akan dianalisis lebih lanjut untuk melihat dampak pemekaran wilayah terhadap kinerja ekonomi secara keseluruhan.
4.2 Analisis Kinerja Ekonomi Daerah Sebelum dan Sesudah Pemekaran
Analisis kinerja ekonomi daerah dilakukan dengan membandingkan periode sebelum (1998-2000) dan sesudah (2001-2013) pemekaran. Pertumbuhan PDRB non-migas digunakan sebagai indikator utama. Rata-rata pertumbuhan PDRB non-migas sebelum pemekaran adalah 6,58%, sedangkan setelah pemekaran adalah 5,76%. Meskipun PDRB non-migas terus meningkat, pertumbuhannya lebih rendah pasca pemekaran. Pertumbuhan yang tinggi pada tahun 2007 (20,25%) tidak berkelanjutan dan tidak berdampak signifikan pada sektor pertanian. Analisis Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) dilakukan melalui uji Independent Samples t-test. Hasil uji menunjukkan perbedaan signifikan (t hitung > t tabel dan p-value < 0,05), yang berarti H0 ditolak. Ini menunjukkan adanya perbedaan kinerja ekonomi daerah sebelum dan sesudah pemekaran. Perbandingan rata-rata (mean) IKED menunjukkan nilai IKED lebih tinggi pasca pemekaran, meskipun perbedaannya tidak signifikan secara statistik (selisih 0,79). Secara keseluruhan, pemekaran memberikan dampak positif, meskipun tidak signifikan secara statistik.
4.3 Pengembangan Ekonomi Daerah Pasca Pemekaran
Bagian ini membahas pengembangan ekonomi daerah di Kota Lhokseumawe pasca pemekaran. Sektor perikanan di wilayah pesisir telah berkembang cukup baik. Berbagai jenis usaha di sektor jasa, perdagangan, dan rumah makan juga terus berkembang. Kota Lhokseumawe memiliki potensi menjadi pusat pasar komoditi hasil perkebunan karena letaknya yang strategis. Revitalisasi kawasan industri melalui pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) juga menjadi potensi pengembangan ekonomi. Namun, kurangnya kemampuan dan pengetahuan pelaku usaha dalam pengembangan usaha, serta akses modal yang terbatas, menghambat pengembangan ekonomi daerah. Pembentukan KEK membutuhkan pengembangan ekonomi masyarakat dan pelaku usaha agar dapat terealisasi. Infrastruktur utama seperti Pelabuhan Krueng Geukueh (pelabuhan internasional) dan Bandara Malikussaleh mendukung potensi pengembangan ini.
V.Kesimpulan
Pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe memberikan dampak positif terhadap kinerja ekonomi daerah, meskipun tidak signifikan secara statistik. Peningkatan PDRB non-migas dan IKED menunjukkan kemajuan ekonomi. Namun, tantangan tetap ada, seperti pengentasan kemiskinan dan pengembangan potensi ekonomi secara lebih berkelanjutan. Pengembangan sektor-sektor unggulan seperti perikanan dan potensi pembentukan KEK perlu mendapat perhatian serius.
5.1 Dampak Pemekaran terhadap Kinerja Ekonomi
Pemekaran wilayah Kota Lhokseumawe memberikan dampak positif terhadap kinerja ekonomi daerah, meskipun secara statistik perbedaannya tidak signifikan. Peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) non-migas dan Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKED) menunjukkan adanya kemajuan ekonomi. Meskipun rata-rata pertumbuhan PDRB non-migas lebih rendah setelah pemekaran (5,76%) dibandingkan sebelum pemekaran (6,58%), peningkatan PDRB non-migas tetap terjadi setiap tahunnya. Peningkatan signifikan pada tahun 2007 (20,25%) diakibatkan oleh upaya rekonstruksi, namun tidak berkelanjutan. Uji Independent Samples t-test menunjukkan perbedaan signifikan antara IKED sebelum dan sesudah pemekaran, dengan nilai IKED yang lebih tinggi pasca pemekaran, meskipun selisihnya (0,79) tidak signifikan secara statistik. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh positif pemekaran, meskipun tidak secara signifikan dalam hal angka-angka statistik.
5.2 Tantangan dan Rekomendasi Pengembangan Ekonomi
Meskipun terdapat dampak positif, tantangan tetap ada, terutama dalam pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Sektor perikanan di wilayah pesisir Kota Lhokseumawe telah menunjukkan perkembangan yang baik, begitu pula sektor jasa dan perdagangan. Potensi Kota Lhokseumawe sebagai pusat pasar komoditi hasil perkebunan juga perlu dikembangkan. Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan potensi besar, namun memerlukan dukungan pengembangan ekonomi masyarakat dan pelaku usaha. Hambatan utama adalah kurangnya kemampuan dan pengetahuan pelaku usaha untuk mengembangkan usaha, serta terbatasnya akses modal. Pemerintah Kota Lhokseumawe perlu memfokuskan upaya pada peningkatan kapasitas pelaku usaha dan akses permodalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.