
Dampak Keberadaan Pangkalan Militer AS di Darwin Terhadap Indonesia
Informasi dokumen
Jurusan | Hubungan Internasional atau Ilmu Politik |
Jenis dokumen | Esai atau Makalah |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 345.40 KB |
- Keberadaan Pangkalan Militer AS
- Ancaman Terhadap Indonesia
- Hubungan AS dan Indonesia
Ringkasan
I.Ancaman Pangkalan Militer AS di Darwin terhadap Indonesia
Dokumen ini menganalisis kekhawatiran mengenai dampak pangkalan militer AS di Darwin, Australia, terhadap keamanan nasional Indonesia. Kedekatan geografis pangkalan—hanya 820 km dari Papua dan 280 km dari perairan Indonesia—membuat Indonesia rentan terhadap potensi ancaman militer AS. Kehadiran militer AS dikaitkan dengan kepentingan ekonomi AS di Indonesia, terutama Freeport di Papua, dan potensi intervensi AS dalam konflik internal seperti masalah OPM. Presiden Obama dan Perdana Menteri Gillard mengumumkan peningkatan kerjasama militer AS-Australia pada November 2011, yang memicu pengiriman 200 pasukan AS ke Darwin pada April 2012. China juga mengecam pembangunan pangkalan tersebut, meningkatkan tensi geopolitik di kawasan Asia Pasifik.
1. Ancaman Militer Langsung dan Intervensi dalam Konflik Internal
Keberadaan pangkalan militer AS di Darwin, yang secara geografis dekat dengan Indonesia (820 km dari Papua dan 280 km dari perairan Indonesia), menimbulkan ancaman militer langsung. Kekuatan militer AS dapat sewaktu-waktu digunakan untuk menyerang Indonesia. AS, dengan klaim sebagai penjaga keamanan dunia, berpotensi memanfaatkan konflik internal di Indonesia, terutama di Papua, untuk intervensi. Konflik OPM dan permasalahan di Freeport dapat dimanipulasi AS sebagai isu pelanggaran HAM untuk membenarkan intervensi. Kedekatan geografis ini meningkatkan tingkat keterancaman Indonesia secara signifikan. Pengalaman AS di Timur Tengah, yang didorong kepentingan minyak, menjadi preseden yang mengkhawatirkan terkait kepentingan AS di Freeport Papua. Kekhawatiran ini diperkuat oleh pidato Obama mengenai pergeseran prioritas AS ke Asia Pasifik, yang mengindikasikan ambisi AS untuk menguasai kawasan tersebut. Freeport, sebagai perusahaan AS yang produktif, menjadi aset penting yang ingin dilindungi AS, sehingga pangkalan militer di Darwin dapat dilihat sebagai alat untuk mengamankan kepentingan tersebut.
2. Strategi Hegemonik AS dan Peningkatan Kehadiran Militer di Darwin
Pembangunan pangkalan militer AS di Darwin merupakan bagian dari strategi hegemonik AS di kawasan Asia. Kemitraan militer AS-Australia, yang diumumkan oleh Presiden Obama dan Perdana Menteri Julia Gillard pada November 2011, mengakibatkan peningkatan kehadiran militer AS di Darwin. Pada April 2012, 200 pasukan AS telah dikirim ke Darwin. Meskipun Duta Besar AS untuk Australia, Jeffrey Bleich, menyatakan bahwa pengiriman pasukan ini untuk latihan militer bersama, kehadiran militer AS yang signifikan menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuatan tersebut terhadap kepentingan AS di Indonesia. Pengumuman pembangunan pangkalan militer di Darwin di KTT ASEAN November 2011 di Bali, dan sebelumnya di parlemen Australia, menuai kecaman internasional. China menentang pembangunan tersebut karena dikhawatirkan akan mengganggu keamanan Asia Pasifik. Indonesia, yang juga terancam karena kedekatan geografis, menghadapi tekanan domestik untuk menolak pangkalan tersebut, namun AS membantah kekhawatiran tersebut dengan alasan bantuan kemanusiaan dan bencana alam, serta melanjutkan kerjasama dengan Australia. Sejarah kemitraan AS-Australia dalam ANZUS juga menjadi latar belakang kehadiran kembali AS di Asia Pasifik, namun hal ini meningkatkan kekhawatiran di Indonesia mengingat jarak pangkalan yang sangat dekat.
3. Kepentingan AS di Indonesia dan Potensi Ancaman terhadap NKRI
Kepentingan ekonomi AS di Indonesia, yang terlihat dari banyaknya perusahaan besar AS yang beroperasi di Indonesia, menjadi faktor penting yang memicu kekhawatiran. Pangkalan militer AS di Darwin dilihat sebagai cara AS untuk mengamankan kepentingan tersebut. Kekhawatiran ini diperkuat oleh potensi intervensi AS dalam konflik internal Indonesia, terutama yang terkait dengan Freeport dan OPM. Respon beragam dari pejabat eksekutif, seperti pernyataan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang awalnya keberatan tetapi kemudian berubah sikap, menunjukkan adanya dilema dan ketidakjelasan dalam sikap pemerintah Indonesia. Parlemen, sebagai lembaga kontrol, memperlihatkan kekhawatiran yang jauh lebih besar terhadap potensi ancaman terhadap kedaulatan Indonesia dan kekayaan alamnya, terutama Freeport. Kunjungan Duta Besar AS, Scoot Marciel, ke Komisi I DPR RI pada Desember 2011, menunjukkan perhatian langsung DPR terhadap isu ini. Wakil Ketua BKSAP, Sidarto Danosubroto, menyatakan bahwa pangkalan militer AS di Darwin harus hanya digunakan untuk latihan dan tidak untuk mendukung kepentingan Freeport. Perbedaan tajam antara respon parlemen dan pemerintah mencerminkan perbedaan persepsi dan prioritas.
II.Respon Pemerintah dan Parlemen Indonesia
Terdapat perbedaan signifikan dalam respon pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY dan Parlemen Indonesia terhadap pangkalan militer AS di Darwin. Pemerintah cenderung mengambil sikap ambigu, menekankan aspek kemanusiaan dan bantuan bencana alam. Sebaliknya, Parlemen Indonesia, terutama Komisi I, mengekspresikan kekhawatiran yang lebih besar akan potensi ancaman terhadap kedaulatan Indonesia, Freeport, dan stabilitas regional. Perbedaan sikap ini mencerminkan perbedaan persepsi dan kepentingan antara eksekutif dan legislatif. Figur kunci seperti Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan pejabat lainnya memberikan pernyataan yang beragam, menunjukkan adanya perdebatan internal mengenai risiko yang ditimbulkan oleh pangkalan tersebut.
1. Respon Pemerintah SBY Boediono Ambiguitas dan Penekanan Aspek Kemanusiaan
Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono merespon pembangunan pangkalan militer AS di Darwin dengan sikap yang dinilai ambigu. Pemerintah cenderung menghindari penolakan secara terang-terangan, lebih memilih menekankan aspek kemanusiaan dan bantuan bencana alam sebagai alasan utama pembangunan pangkalan tersebut. Sikap ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk mantan KSAU Marsekal (Purn) Cheppy Hakim yang menganggap alasan kemanusiaan sebagai dalih yang naif. Juru bicara presiden bidang luar negeri, Teuku Faizasyah, mengajak untuk melihat penempatan militer Amerika di Darwin secara komprehensif. Kepala BIN, Letjen Marciano Norman, menyatakan bahwa pangkalan tersebut bukan untuk kepentingan politik luar negeri Amerika, melainkan untuk kemanusiaan. Menteri Polhukam juga menepis kekhawatiran intervensi militer Amerika terhadap Papua. Sikap pemerintah yang tidak tegas dan cenderung membela AS ini dibandingkan dengan ketegasan China yang menolak pembangunan pangkalan tersebut, menimbulkan pertanyaan mengenai ketidakjelasan posisi Indonesia dan potensi dampak negatif bagi kedaulatan Indonesia dan kekayaan alamnya, khususnya Freeport di Papua. Pernyataan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang awalnya keberatan kemudian berubah haluan, menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam sikap pemerintah dan potensi disharmoni antara SBY dan Marty Natalegawa sendiri.
2. Respon Parlemen Indonesia Kekhawatiran dan Desakan Klarifikasi
Berbeda dengan pemerintah, Parlemen Indonesia menunjukkan kekhawatiran yang lebih besar terhadap dampak pangkalan militer AS di Darwin. Parlemen secara aktif meminta klarifikasi kepada pemerintah terkait sikap dan keberadaan pangkalan tersebut. Komisi I DPR RI, yang menangani urusan luar negeri, juga meminta penjelasan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Perbedaan sikap antara parlemen dan pemerintah menunjukkan adanya persepsi yang berbeda mengenai ancaman terhadap kepentingan nasional. Argumentasi dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk akademisi dan praktisi, mengenai potensi ancaman terhadap Indonesia, tidak diindahkan pemerintah. Parlemen, sebagai wakil rakyat dan lembaga pengawas, dianggap lebih peka terhadap ancaman terhadap kepentingan nasional. Hal ini terlihat dari sikap DPR yang menerima kunjungan Duta Besar Amerika Serikat, Scoot Marciel, pada Desember 2011, dan mendesak agar pangkalan militer tersebut hanya untuk latihan dan tidak untuk kepentingan Freeport. Wakil Ketua BKSAP, Sidarto Danosubroto, juga menyampaikan hal serupa saat menerima delegasi parlemen Australia. Sikap penolakan parlemen terhadap pangkalan tersebut menjadi fokus penelitian, khususnya melihat dinamika internal parlemen dalam merespon isu ini.
3. Dinamika Politik Internal Parlemen dan Perbedaan Sikap Fraksi
Dinamika politik dalam parlemen Indonesia, khususnya di Komisi I DPR RI, menunjukkan adanya perbedaan sikap antar fraksi partai politik terkait respon terhadap pangkalan militer AS di Darwin. Meskipun terdapat koalisi partai politik yang mendukung pemerintahan SBY, fraksi-fraksi seperti PKS secara tegas menentang pembangunan pangkalan tersebut, bahkan mencurigai adanya pengaruh AS terhadap sikap pemerintah. Fraksi Golkar menilai keberadaan pangkalan tersebut memiliki makna ganda. Gerindra dan Hanura mengingatkan pemerintah untuk tidak lengah. PDIP, sebagai partai oposisi, menolak pembangunan pangkalan tersebut karena berpotensi mengganggu stabilitas kawasan dan Indonesia. Sebaliknya, Fraksi Partai Demokrat, partai pemerintah, mengapresiasi sikap pemerintah yang tidak terjebak pada kepentingan AS dan China. Partai PAN, juga partai koalisi, menilai setelah menerima pejabat kemhan AS bahwa pangkalan tersebut tidak akan mengancam Indonesia, bahkan bermanfaat untuk latihan militer dan antisipasi bencana. Dinamika ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi dan kepentingan di dalam parlemen, namun pada akhirnya menghasilkan respon penolakan secara umum dari parlemen terhadap pangkalan militer AS di Darwin. Perbedaan ini juga menunjukkan upaya parlemen dalam memperjuangkan keamanan nasional, meskipun terdapat kepentingan politik masing-masing fraksi.
III.Analisis Keamanan Nasional dan Politik Luar Negeri Indonesia
Dokumen ini menganalisis respon Indonesia melalui lensa keamanan nasional dan politik luar negeri. Menggunakan kerangka kerja Buzan, dokumen ini menunjukkan bagaimana pangkalan militer AS di Darwin mengancam tiga landasan keamanan nasional: ideasional (kedaulatan), institusional (kewibawaan negara), dan fisik (sumber daya alam dan integritas wilayah). Penelitian sebelumnya, termasuk karya Rina Oktavia dan Gigih Al Islami, juga dikutip untuk memberikan perspektif yang berbeda. Dokumen ini membahas teori-teori seperti balance of threat dan bandwagoning dalam konteks respon Indonesia. Peran dan dinamika politik internal dalam Parlemen, termasuk perbedaan sikap fraksi-fraksi partai politik seperti PKS, Golkar, Gerindra, PDIP, dan PAN, juga dibahas untuk menjelaskan respon yang beragam terhadap pangkalan tersebut.
1. Kerangka Analisis Keamanan Nasional Perspektif Buzan
Analisis respon Indonesia terhadap pangkalan militer AS di Darwin menggunakan konsep keamanan nasional, khususnya kerangka kerja Buzan. Buzan mengidentifikasi tiga landasan keamanan nasional: ideasional (wawasan kebangsaan), institusional (mekanisme kenegaraan), dan fisik (sumber daya alam dan teritorial). Parlemen Indonesia memandang pangkalan militer AS sebagai ancaman terhadap ketiga landasan ini. Dari perspektif ideasional, parlemen khawatir akan ancaman terhadap kedaulatan dan pola pikir masyarakat Indonesia. Pembangunan negara yang cenderung mengandalkan modal asing dipersepsi sebagai kelemahan yang diperparah oleh keberadaan pangkalan tersebut. Dari sisi institusional, parlemen melihat ancaman terhadap kewibawaan negara dan potensi pengaruh AS terhadap lembaga-lembaga negara. Terakhir, dari segi fisik, kekayaan alam Indonesia, termasuk Freeport, dianggap rentan terhadap tekanan dan pengintaian oleh AS melalui pangkalan militer di Darwin. Kusnanto Anggoro juga mengemukakan tantangan keamanan nasional Indonesia yang kompleks, meliputi ketidakstabilan domestik, persoalan maritim, dan hilangnya kekayaan alam, yang diperburuk oleh lemahnya daya tahan keamanan nasional Indonesia. Ancaman tersebut dikaitkan dengan tiga landasan Buzan, menekankan dampak negatif pangkalan militer AS terhadap kesadaran kebangsaan, kelembagaan negara, dan sumber daya alam Indonesia.
2. Politik Luar Negeri Indonesia Teori Balance of Threat dan Bandwagoning
Dokumen ini menganalisis politik luar negeri Indonesia dalam menanggapi pangkalan militer AS di Darwin. Penelitian Gigih Al Islami, yang menggunakan teori balance of threat, mencoba menjelaskan mengapa Indonesia tidak secara tegas menolak pembangunan pangkalan tersebut seperti yang dilakukan China. Gigih berpendapat bahwa Indonesia, dengan kalkulasi kekuatan yang terbatas, memilih strategi bandwagoning, yaitu mendekati sumber ancaman untuk menghindari konfrontasi langsung. Penelitian lain, seperti karya Rina Oktavia, menganalisis respon negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur terhadap pangkalan tersebut, menunjukkan sikap Indonesia yang ambivalen, tidak sepenuhnya menolak dan tidak sepenuhnya mendukung. Rina menggunakan pendekatan konsep bilateral, kepentingan nasional, politik luar negeri, dan budaya politik untuk menjelaskan respon tersebut. Penelitian Mohammad Rosyidin, menggunakan pendekatan konstruktivis, menunjukkan perbedaan persepsi antara pemerintah dan parlemen, yang dipengaruhi oleh kedekatan hubungan Indonesia-Amerika. Fatmadini Eka Pradani Apprilia, dalam penelitiannya mengenai kepentingan nasional Australia, juga membahas dampak internal dan eksternal pembangunan pangkalan tersebut, termasuk peningkatan kemampuan militer Australia, peningkatan kerjasama dengan Amerika dan kekhawatiran dari masyarakat Australia dan Republik Rakyat China (RRC).
3. Model Proses Organisasi dan Dinamika Politik Internal
Dokumen ini menggunakan model proses organisasi Allison untuk menganalisis pengambilan keputusan pemerintah Indonesia terkait pangkalan militer AS. Model ini mengasumsikan bahwa birokrasi pemerintah memiliki dinamika internal dan pertimbangan rasional sendiri dalam membuat kebijakan, yang tidak selalu dipublikasikan. Allison menyebutnya sebagai 'Black Box'. Dalam konteks parlemen, terdapat dinamika politik antar fraksi partai politik. Meskipun terdapat koalisi yang mendukung pemerintahan SBY, PKS secara keras menentang pangkalan tersebut, mencurigai pemerintah telah dibungkam oleh AS melalui hibah pesawat F-16. Fraksi lain, seperti Golkar, Gerindra, Hanura, dan PDIP, menunjukkan sikap yang beragam, dari ambigu hingga penolakan total. Partai Demokrat, sebagai partai pemerintah, justru mengapresiasi sikap pemerintah yang tidak terjebak pada kepentingan AS dan China. Partai PAN juga menunjukkan pandangan yang berbeda setelah menerima pejabat kemhan AS. Dinamika ini menunjukkan bahwa respon penolakan parlemen merupakan hasil dari pertimbangan dan kepentingan masing-masing fraksi, yang pada akhirnya memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia, meskipun dengan cara yang berbeda-beda.
Referensi dokumen
- BIN: Pangkalan militer AS di Darwin bukan Ancaman
- Menko Polhukam: Pangkalan militer AS di Darwin tidak terkait Papua
- Pangkalan AS di Darwin, Misi Kepentingan Freeport