Analisis Posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

Analisis Posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

Informasi dokumen

Penulis

Afgan Fadilla

instructor/editor Prof. Subilhar, M.A., Ph.D.
Sekolah

Universitas Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Politik
Jenis dokumen Skripsi
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 4.03 MB
  • Ekonomi ASEAN
  • Kedaulatan Negara
  • Teori Realisme

Ringkasan

I.Latar Belakang dan Rumusan Masalah Tantangan Kedaulatan Nasional Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN MEA

Penelitian ini menganalisis tantangan yang dihadapi Indonesia dalam konteks liberalisasi perdagangan di MEA. Fokus utama adalah dampak MEA terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia, khususnya berkurangnya kewenangan negara dalam mengatur kebijakan ekonomi. Penelitian ini menggunakan teori realisme dalam hubungan internasional untuk menganalisis kesesuaian posisi Indonesia dalam MEA dengan prinsip-prinsip teori tersebut. Pertanyaan penelitian berpusat pada seberapa besar pengurangan otoritas Indonesia dalam menentukan kebijakan ekonomi nasional akibat integrasi ekonomi ASEAN dan apakah hal ini sesuai dengan teori realisme.

1. Latar Belakang Tantangan Liberalisasi Perdagangan dan Kedaulatan Ekonomi Indonesia dalam MEA

Bagian ini menjelaskan munculnya penelitian ini didasari oleh tantangan yang dihadapi Indonesia dengan terbentuknya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang berkonsep liberalisasi perdagangan. Liberalisasi perdagangan ini menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya kedaulatan negara, ditandai dengan berkurangnya wewenang negara dalam mengatur kebijakan ekonomi. Esensi dari permasalahan ini adalah potensi hilangnya kendali Indonesia atas perekonomiannya sendiri akibat integrasi ekonomi regional yang lebih besar. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji sejauh mana liberalisasi perdagangan di bawah MEA mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia, dan bagaimana hal ini dapat dianalisa melalui teori realisme dalam hubungan internasional.

2. Rumusan Masalah Analisis Posisi Indonesia dalam MEA Berdasarkan Teori Realisme

Rumusan masalah penelitian difokuskan pada analisis kesesuaian posisi Indonesia di dalam MEA dengan teori realisme. Teori realisme dipilih karena menekankan pada kekuatan dan kepentingan nasional negara-negara dalam hubungan internasional. Pertanyaan utamanya adalah: Sejauh mana posisi Indonesia dalam MEA sesuai atau bertentangan dengan prinsip-prinsip teori realisme, khususnya terkait dengan kedaulatan negara dan pengaturan kebijakan ekonomi? Apakah liberalisasi perdagangan di bawah MEA telah mengurangi otoritas Indonesia dalam mengatur kebijakan ekonominya sendiri, dan apakah hal ini sejalan dengan pandangan realisme tentang peran negara dalam sistem internasional? Penelitian ini akan mengkaji implikasi dari integrasi ekonomi ASEAN terhadap kedaulatan negara Indonesia, dengan menguji apakah Indonesia mampu mempertahankan kepentingan nasionalnya di tengah tekanan liberalisasi perdagangan yang dipromosikan oleh MEA. Ini penting untuk memahami dinamika hubungan internasional dan posisi tawar Indonesia dalam MEA.

3. Tujuan Penelitian Menguji Kesesuaian Posisi Indonesia di MEA dengan Teori Realisme

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis posisi Indonesia dalam MEA dan mengujinya terhadap teori realisme hubungan internasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana liberalisasi perdagangan dalam kerangka MEA telah memengaruhi kedaulatan ekonomi Indonesia. Lebih lanjut, tujuannya adalah untuk menilai apakah pengaruh tersebut selaras dengan prediksi dan asumsi yang diajukan oleh teori realisme. Dengan kata lain, penelitian ini ingin mengetahui apakah teori realisme mampu menjelaskan dengan baik tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjaga kedaulatan ekonomi di tengah proses integrasi ekonomi regional melalui MEA. Harapannya, penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang implikasi dari partisipasi Indonesia dalam MEA bagi kedaulatan negara dan bagaimana teori realisme dapat digunakan untuk memahaminya.

II.Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif Interpretif

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus interpretif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (data sekunder) yang kemudian dianalisis menggunakan teknik kualitatif. Metode ini dipilih untuk mendalami secara mendalam isu kompleks kedaulatan nasional dalam konteks MEA.

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Studi Kualitatif dengan Pendekatan Studi Kasus Interpretif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus interpretif. Pilihan metode ini didasarkan pada kompleksitas isu kedaulatan nasional Indonesia dalam konteks MEA dan kebutuhan untuk memahami secara mendalam makna serta implikasi dari integrasi ekonomi regional terhadap kedaulatan negara. Pendekatan studi kasus interpretif dipilih karena memungkinkan peneliti untuk menggali secara detail dan menyeluruh tentang bagaimana dinamika politik dan ekonomi dalam MEA berdampak pada Indonesia. Dengan pendekatan ini, peneliti dapat menafsirkan data yang dikumpulkan untuk memahami lebih dalam proses dan makna di balik fenomena yang diteliti, bukan hanya sekedar memperoleh data kuantitatif. Metode kualitatif dianggap tepat karena memungkinkan peneliti untuk menelaah secara mendalam konteks sejarah dan politik yang berkaitan dengan kedaulatan Indonesia, sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih kaya dan bernuansa terhadap isu yang dikaji.

2. Teknik Pengumpulan Data Studi Pustaka dan Data Sekunder

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dengan mengumpulkan data sekunder. Penelitian ini berfokus pada analisis data yang telah ada, seperti dokumen resmi pemerintah, literatur akademis, artikel jurnal, dan laporan penelitian terkait MEA dan teori realisme. Data sekunder ini dipilih karena dapat memberikan gambaran yang luas dan komprehensif mengenai perkembangan MEA, kebijakan ekonomi Indonesia, serta pandangan teori realisme tentang hubungan internasional. Penggunaan data sekunder dianggap efisien dan efektif untuk penelitian ini karena data primer yang melibatkan pengumpulan data langsung dari responden akan membutuhkan waktu dan sumber daya yang lebih besar. Data sekunder yang dihimpun kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menemukan pola dan makna yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

3. Teknik Analisis Data Analisis Kualitatif

Data yang telah dikumpulkan melalui studi pustaka kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengkaji secara mendalam data sekunder yang telah dikumpulkan, guna mengidentifikasi pola, tema, dan makna yang berkaitan dengan pengaruh MEA terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia. Teknik analisis kualitatif memungkinkan peneliti untuk menafsirkan dan mengungkap makna yang tersirat dalam data yang dikumpulkan, bukan hanya sekedar menghitung data numerik. Dengan cara ini, peneliti dapat memahami secara mendalam kompleksitas isu kedaulatan ekonomi Indonesia dalam konteks MEA dan menghubungkannya dengan prinsip-prinsip teori realisme. Hasil analisis kualitatif kemudian digunakan untuk menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan penelitian.

III.Hasil Penelitian Ketidaksesuaian Posisi Indonesia di MEA dengan Teori Realisme

Hasil penelitian menunjukkan ketidaksesuaian antara posisi Indonesia dalam MEA dengan prinsip-prinsip teori realisme. Indonesia, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, mengalami pengurangan otoritas dalam mengatur kebijakan ekonominya sendiri. Hal ini bertentangan dengan asumsi realisme yang menekankan pentingnya kekuatan negara dalam sistem internasional. Kesimpulannya, partisipasi Indonesia di MEA telah mengurangi kedaulatan negara dalam hal pengaturan kebijakan ekonomi.

1. Ketidaksesuaian Posisi Indonesia di MEA dengan Teori Realisme

Hasil utama penelitian menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara posisi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dengan teori realisme dalam hubungan internasional. Penelitian menemukan bahwa partisipasi Indonesia di MEA, yang didasarkan pada konsep liberalisasi perdagangan, telah mengakibatkan pengurangan otoritas Indonesia dalam mengatur kebijakan ekonominya sendiri. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip teori realisme yang menekankan pentingnya kekuatan dan kedaulatan negara dalam sistem internasional. Temuan ini menunjukkan adanya dilema bagi Indonesia, di mana upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui integrasi ekonomi ASEAN justru berdampak pada pengurangan kedaulatan negara. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia seharusnya tidak secara mudah mengorbankan kedaulatannya demi kepentingan luar negeri.

2. Pengurangan Otoritas Indonesia dan Dampaknya terhadap Kedaulatan Negara

Penelitian ini menyoroti berkurangnya otoritas Indonesia dalam mengatur kebijakan ekonomi sebagai konsekuensi dari keikutsertaan dalam MEA. Liberalisasi perdagangan dalam MEA mengurangi otonomi negara, menyebabkan Indonesia terjebak dalam ketergantungan atau interdependensi yang kompleks. Dalam situasi ini, makna kedaulatan negara mengalami pergeseran, di mana negara tidak dapat sepenuhnya menjalankan kekuasaan otoritatifnya atas nama kedaulatan nasional, khususnya dalam hal kebijakan ekonomi. Keputusan penting mungkin lebih ditentukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional atau kebijakan negara lain yang berpengaruh signifikan terhadap Indonesia. Singkatnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia telah mengalami pengurangan peran dan wewenangnya dalam mengatur aktivitas ekonomi di dalam negeri sebagai dampak dari integrasi ekonomi ASEAN dalam kerangka MEA.

IV.Sejarah dan Perkembangan ASEAN Economic Community AEC

Berbagai perjanjian seperti Perjanjian Bali II (2003) dan Piagam ASEAN (2007) mendorong pembentukan ASEAN Community, yang terdiri dari tiga pilar: APSC (politik-keamanan), ASCC (sosial-budaya), dan AEC (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Pembentukan AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada 1993 dan Vientiane Action Programme (VAP) (2004-2010) menjadi langkah penting menuju AEC 2015. Deklarasi Cebu (2007) mempercepat target pembentukan AEC menjadi 2015. Perkembangan AEC mencakup liberalisasi perdagangan barang, jasa, dan investasi, serta peningkatan konektivitas regional. Namun, disparitas ekonomi antar negara anggota ASEAN menjadi tantangan dalam mewujudkan integrasi ekonomi yang merata.

1. ASEAN Community dan Tiga Pilarnya

Perkembangan ASEAN Economic Community (AEC) tidak lepas dari pembentukan ASEAN Community yang lebih besar, yang terdiri dari tiga pilar utama. Perjanjian Bali II (2003) dan penandatanganan Piagam ASEAN (2007) merupakan tonggak penting dalam proses integrasi ini. Ketiga pilar tersebut adalah ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC), dan ASEAN Economic Community (AEC). Pembentukan ASEAN Community menuntut integrasi negara-negara ASEAN di berbagai aspek strategis, menunjukkan komitmen bersama untuk memperkuat kerjasama regional di berbagai bidang, tidak hanya ekonomi. Proses ini menandai transisi dari kerjasama antar negara yang longgar menuju integrasi yang lebih komprehensif dan terstruktur.

2. Peran Indonesia dalam ASEAN dan Perkembangan AEC

Indonesia memiliki peran penting dalam sejarah ASEAN, khususnya dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan regional. Pada awal berdirinya, Indonesia dianggap sebagai 'kakak tertua' dan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan ASEAN. Namun, setelah runtuhnya Orde Baru dan krisis ekonomi, peran Indonesia mulai meredup. Perkembangan AEC sendiri ditandai dengan beberapa kesepakatan penting. Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation (1992) menandai dimulainya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada 1 Januari 1993, dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya. AFTA bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan tarif, serta menghapus hambatan non-tarif guna memfasilitasi perdagangan barang, jasa, dan investasi antar negara ASEAN. KTT ke-10 ASEAN di Vientiane tahun 2004 menyepakati Vientiane Action Programme (VAP) sebagai panduan implementasi AEC hingga 2020, yang kemudian dipercepat menjadi 2015 melalui Deklarasi Cebu (2007).

3. Langkah langkah Menuju AEC 2015 dan Tantangannya

Proses menuju AEC 2015 melibatkan berbagai inisiatif, termasuk ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Kuala Lumpur (2006) yang menghasilkan cetak biru (blueprint) pembentukan AEC. Blueprint tersebut mengidentifikasi sifat dan elemen AEC 2015, selaras dengan Bali Concord II, dengan target dan tenggat waktu yang jelas. Liberalisasi jasa dilakukan melalui negosiasi di bawah Komite Koordinasi Jasa, dengan sektor prioritas seperti keuangan dan transportasi udara. Namun, terdapat tantangan dalam mencapai keseragaman komitmen dan memberikan fleksibilitas bagi semua negara anggota. Percepatan pembentukan AEC juga membutuhkan upaya untuk memastikan pembangunan berkelanjutan, termasuk mitigasi emisi gas rumah kaca dan pengembangan energi terbarukan. Disparitas ekonomi yang signifikan antara negara-negara maju seperti Singapura dengan negara-negara berkembang lainnya di ASEAN, termasuk Indonesia, juga menjadi tantangan besar dalam mewujudkan AEC yang merata dan berkeadilan.

V.Analisis Teori Realisme dan Implikasinya bagi Indonesia dalam AEC

Teori realisme, dengan tokoh-tokoh seperti Spykman, Schumann, dan Morgenthau, menekankan pentingnya kekuatan (power) dan perimbangan kekuatan (balance of power) dalam hubungan internasional. Dalam konteks MEA, teori ini mempertanyakan apakah Indonesia telah mampu menjaga kedaulatan dan kepentingan nasionalnya di tengah tekanan liberalisasi perdagangan. Kerjasama internasional, menurut teori realisme, hanya akan dijalin jika menguntungkan kepentingan nasional masing-masing negara.

1. Konsep Dasar Realisme dalam Hubungan Internasional

Analisis ini menggunakan teori realisme sebagai kerangka berpikir utama. Teori realisme, yang dikaji melalui pemikiran Nicholas J. Spykman, Frederick L. Schumann, dan Hans J. Morgenthau, menekankan pada pentingnya kekuatan (power) dan perimbangan kekuatan (balance of power) dalam sistem internasional. Spykman menjabarkan kondisi hubungan antar kelompok dalam negara selama krisis, yang relevan dengan dinamika antarnegara. Schumann melihat kekuatan (power) terutama dalam konteks militer, sebagai alat untuk membendung ancaman eksternal. Morgenthau, tokoh utama realisme, mendefinisikan perjuangan untuk kekuasaan sebagai inti politik internasional, di mana kekuasaan (power) menjadi tujuan akhir, baik sebagai tujuan itu sendiri maupun sebagai alat untuk mencapai tujuan lain. Asumsi dasar realisme adalah negara-negara akan bekerjasama hanya jika menguntungkan kepentingan nasional mereka, dan kesepakatan internasional dapat dilanggar jika bertentangan dengan kepentingan nasional.

2. Teori Realisme dan Dinamika Kawasan Asia Tenggara

Analisis ini juga menghubungkan teori realisme dengan konteks sejarah Asia Tenggara, terutama pada masa Perang Dingin. Persaingan ideologi antara blok Barat dan Timur, serta konflik militer yang melibatkan negara-negara di Asia Tenggara, menunjukkan bagaimana kekuatan militer dan perimbangan kekuatan menjadi faktor penentu stabilitas regional. Pembentukan ASEAN, menurut analisis ini, dapat dilihat sebagai respons terhadap situasi tersebut, yaitu sebuah upaya untuk menciptakan keamanan dan kerjasama regional untuk mengurangi saling curiga antar negara dan mendorong pembangunan bersama. Perbandingan ini antara kondisi historis Asia Tenggara dengan prinsip-prinsip teori realisme dilakukan untuk memahami latar belakang dan konteks pembentukan ASEAN Economic Community (AEC).

3. Implikasi Teori Realisme terhadap Posisi Indonesia di AEC

Bagian ini menelaah implikasi dari teori realisme terhadap posisi Indonesia dalam AEC. Teori realisme mempertanyakan apakah Indonesia, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, mampu menjaga kedaulatan dan kepentingan nasionalnya di tengah proses liberalisasi perdagangan dalam AEC. Kerjasama dalam AEC, berdasarkan teori realisme, harus diukur dari keuntungannya bagi kepentingan nasional Indonesia. Perlu dikaji apakah Indonesia telah cukup kuat secara politik dan ekonomi untuk menghadapi tekanan dari negara-negara lain di kawasan dalam rangka mempertahankan kepentingan nasionalnya. Analisis ini juga mempertimbangkan perbedaan kebijakan luar negeri Indonesia di masa kepemimpinan Presiden Soekarno yang anti-Barat dengan Presiden Soeharto yang lebih pro-ASEAN untuk melihat konsistensi posisi Indonesia dalam konteks realisme.

VI.Peluang dan Ancaman bagi Indonesia dalam MEA

Integrasi ekonomi ASEAN menawarkan peluang bagi Indonesia, termasuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan pasar, dan penyerapan tenaga kerja. Namun, terdapat ancaman berupa peningkatan persaingan, terutama dengan negara-negara seperti China, yang dapat mengancam industri dalam negeri. Disparitas ekonomi yang tinggi antar negara ASEAN juga menjadi tantangan. Indonesia harus mengoptimalkan keunggulan komparatifnya dan memastikan kepentingan nasional tetap terjaga dalam proses integrasi ekonomi ASEAN.

1. Peluang Integrasi Ekonomi dalam MEA

Keikutsertaan Indonesia dalam MEA menawarkan beberapa peluang ekonomi yang signifikan. Integrasi ekonomi di dalam MEA, yang ditargetkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kawasan ASEAN, diyakini akan menciptakan pasar yang lebih besar dan mendorong peningkatan efisiensi serta daya saing. Pembukaan pasar yang lebih besar ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Selain itu, terdapat peluang peningkatan penyerapan tenaga kerja di kawasan ASEAN, dan peningkatan ekspor intra-ASEAN. Indonesia, dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN, juga berpeluang besar untuk menarik investor asing dan mendapatkan aliran modal langsung (PMA), serta meningkatkan ekspor komoditas unggulan seperti minyak kelapa sawit, tekstil, elektronik, dan produk perkebunan lainnya, baik ke pasar internasional maupun intra-ASEAN. Terdapat juga peluang pengembangan sektor jasa, terutama pariwisata, kesehatan, penerbangan, dan logistik, dengan memanfaatkan kemajuan negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand sebagai acuan.

2. Ancaman Persaingan dan Disparitas Ekonomi di MEA

Di samping peluang, integrasi ekonomi di dalam MEA juga menghadirkan beberapa ancaman bagi Indonesia. Persaingan yang ketat, terutama dengan negara-negara seperti China, menjadi tantangan utama. Masuknya produk-produk dari China dengan harga yang lebih murah dapat mengancam industri dalam negeri, seperti yang terlihat pada defisit perdagangan Indonesia dengan China pada tahun 2008. Ketidakseimbangan daya saing ini menjadi kekhawatiran bagi pelaku usaha di sektor industri petrokimia hulu, baja, tekstil, alas kaki, dan elektronik. Disparitas ekonomi yang tinggi antar negara anggota ASEAN juga merupakan masalah yang perlu diatasi. Ekonomi ASEAN terbagi dalam beberapa kelompok: negara maju (Singapura), negara dinamis (Thailand dan Malaysia), negara berpendapatan menengah (Indonesia, Filipina, Brunei), dan negara belum maju (CLMV). Kesenjangan ini dapat menghambat percepatan kawasan menuju MEA 2015, karena negara dengan ekonomi lemah dapat dirugikan oleh mekanisme deregulasi dan liberalisasi perdagangan.

3. Pentingnya Menjaga Kepentingan Nasional di Tengah Integrasi Ekonomi

Dalam konteks integrasi ekonomi ASEAN, menjaga kepentingan nasional Indonesia menjadi prioritas utama. Kepentingan kawasan hanya menjadi prioritas kedua jika tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam mencapai dan melaksanakan komitmen liberalisasi dalam AEC Blueprint. Kelemahan visi dan mandat politik, serta masalah kepemimpinan di kawasan, dapat menghambat integrasi kawasan. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengidentifikasi dengan cermat tujuan pasar yang sesuai dengan keunggulan komparatifnya, seperti sektor berbasis sumber daya alam, dan memastikan bahwa kebijakan dan strategi yang diambil selaras dengan kepentingan nasional, untuk menghindari potensi kerugian yang lebih besar akibat persaingan yang tidak seimbang dan disparitas ekonomi yang tinggi di antara negara-negara anggota ASEAN.