
Analisis Konflik Israel-Palestina dan Upaya Perdamaian
Informasi dokumen
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 216.92 KB |
Jurusan | Hubungan Internasional atau Ilmu Politik |
Jenis dokumen | Esai atau Makalah |
- konflik Israel-Palestina
- sejarah Timur Tengah
- perdamaian dan diplomasi
Ringkasan
I.Konflik Israel Palestina Faktor faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Agresifitas Politik Luar Negeri Israel
Skripsi ini meneliti peningkatan agresifitas politik luar negeri Israel terhadap Palestina selama pemerintahan Benjamin Netanyahu pasca Pemilu Israel 2009 (2009-2010). Penelitian berfokus pada bagaimana kebijakan luar negeri Israel, khususnya dibawah naungan Partai Likud, berkontribusi pada eskalasi konflik. Beberapa faktor kunci yang dibahas meliputi perjanjian perdamaian yang gagal diimplementasikan (seperti perjanjian Oslo dan Annapolis), kurangnya mediator yang efektif (Amerika Serikat sering disebut kurang berperan), dan pengaruh ideologi Partai Likud yang secara historis menolak berdirinya negara Palestina. Studi ini juga mengeksplorasi peran pemimpin dalam membentuk politik luar negeri, khususnya bagaimana persepsi dan keyakinan Benjamin Netanyahu, sebagai pemimpin Partai Likud, memengaruhi kebijakan terhadap Palestina. Tokoh-tokoh kunci yang dibahas termasuk Benjamin Netanyahu, Ehud Barak, Ariel Sharon, dan Ehud Olmert, serta partai-partai politik seperti Partai Likud dan Kadima. Konflik ini berakar pada Deklarasi Balfour 1917 dan diwarnai oleh isu-isu seperti aneksasi wilayah Palestina, pembangunan pemukiman Yahudi di Yerusalem Timur, dan blokade Jalur Gaza. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis data pustaka, khususnya studi mengenai strategi Zionisme Ortodoks dan konflik antara Hamas dan Fatah.
1. Kegagalan Perjanjian Perdamaian dan Implementasinya
Dokumen tersebut menjelaskan bahwa salah satu faktor utama yang menghambat perdamaian antara Israel dan Palestina adalah kegagalan berbagai perjanjian perdamaian untuk mencapai resolusi yang berkelanjutan. Perjanjian-perjanjian seperti Oslo dan Annapolis, meskipun tercapai, sulit diimplementasikan di lapangan. Akibatnya, sering terjadi konflik dan baku tembak antara warga sipil dan militer kedua belah pihak. Kegagalan ini menunjukkan kurangnya komitmen nyata dari kedua pihak untuk mencapai perdamaian yang sebenarnya, dan menciptakan siklus kekerasan yang berulang. Kondisi ini memperburuk konflik dan menghambat upaya-upaya untuk menyelesaikannya secara damai. Kurangnya itikad baik dan komitmen untuk menjalankan kesepakatan yang telah disetujui menjadi penghalang besar dalam mencapai resolusi yang abadi. Ketidakpercayaan yang mendalam antara kedua pihak juga menjadi faktor yang memperparah situasi ini, sehingga menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
2. Kurangnya Mediator yang Efektif
Dokumen ini menyoroti peran Amerika Serikat sebagai mediator dalam konflik Israel-Palestina. Meskipun AS telah beberapa kali berperan sebagai mediator, kinerja mereka dinilai kurang sungguh-sungguh dalam menengahi konflik tersebut. Ketidakmampuan AS untuk mendorong kedua belah pihak mencapai kesepakatan yang komprehensif dan mengikat merupakan faktor penting yang memperpanjang konflik. Kurangnya tekanan yang cukup dan komitmen yang konsisten dari AS dalam mendorong solusi damai membuat peran mereka sebagai mediator menjadi kurang efektif. Hal ini memberikan ruang bagi kedua pihak untuk tetap bersikap keras kepala dan melanjutkan tindakan-tindakan yang memperparah konflik. Ketidakhadiran mediator yang netral dan tegas semakin mempersulit pencarian solusi damai yang berkelanjutan.
3. Pengaruh Kekuasaan Partai Likud di Israel
Berkuasanya Partai Likud di pemerintahan Israel sering dikaitkan dengan kesulitan mencapai perdamaian dengan Palestina. Dokumen menjelaskan bahwa secara historis, ketika Partai Likud berkuasa, sangat sulit untuk mencapai perdamaian. Hal ini disebabkan oleh ideologi Partai Likud yang dikenal dengan penolakannya terhadap berdirinya negara Palestina. Sikap keras Partai Likud terhadap Palestina menciptakan hambatan besar dalam negosiasi perdamaian. Selama masa kepemimpinan Perdana Menteri dari Partai Likud, politik luar negeri Israel seringkali diwarnai dengan kebijakan-kebijakan yang cenderung agresif dan tidak mendukung upaya perdamaian. Oleh karena itu, kekuasaan Partai Likud dianggap sebagai faktor penting yang turut menentukan arah politik luar negeri Israel dan keberhasilan upaya perdamaian dengan Palestina.
4. Fluktuasi Politik Luar Negeri Israel dan Peran Pemimpin
Dokumen mencatat fluktuasi politik luar negeri Israel terhadap Palestina selama beberapa dekade terakhir, yang dipengaruhi oleh pergantian rezim Perdana Menteri. Kepemimpinan Benjamin Netanyahu (Likud), misalnya, ditandai dengan kebijakan aneksasi wilayah. Sebaliknya, kepemimpinan Ehud Barak (Partai Buruh) menumbuhkan harapan akan perdamaian, meskipun kemudian terhambat oleh krisis internal. Ariel Sharon, awalnya dari Likud kemudian membentuk Kadima, menunjukkan perubahan kebijakan dari agresif menjadi lebih lunak. Namun, kembali berkuasanya Likud di bawah Sharon dan kemudian Netanyahu menunjukkan kembali kebijakan yang cenderung keras. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran pemimpin dalam menentukan arah politik luar negeri suatu negara. Visi dan kebijakan para pemimpin tersebut, secara langsung memengaruhi hubungan Israel dengan Palestina dan prospek perdamaian di antara kedua belah pihak. Pergantian kepemimpinan seringkali diikuti oleh perubahan signifikan dalam pendekatan terhadap isu Palestina, menunjukkan betapa pentingnya faktor individu dalam membentuk politik luar negeri Israel.
5. Kajian Pustaka dan Studi Terdahulu
Skripsi ini merujuk pada beberapa studi terdahulu sebagai acuan. Salah satunya adalah penelitian tentang Strategi Zionisme Ortodoks dalam Politik Luar Negeri Israel terhadap Palestina, yang menyinggung dominasi gerakan politik Zionis Yahudi dalam invasi Israel ke Palestina dan penggunaan Partai Likud sebagai kendaraan politik. Studi lain, mengenai konflik Hamas dan Fatah serta keterlibatan Israel, menunjukkan dua motif keterlibatan Israel: menggulingkan Hamas dan melanggengkan konflik Hamas-Fatah untuk mengalihkan perhatian dari tuntutan Palestina. Penelitian-penelitian ini memberikan konteks historis dan teoritis bagi pemahaman yang lebih dalam mengenai konflik Israel-Palestina. Mereka menunjukan kompleksitas konflik yang melibatkan berbagai aktor dan motif yang saling terkait. Studi-studi tersebut menjadi landasan bagi penelitian ini untuk lebih fokus pada analisis faktor-faktor yang menyebabkan agresifitas politik luar negeri Israel dalam upaya menguasai wilayah Palestina.
II.Peran Benjamin Netanyahu dan Partai Likud
Skripsi ini menekankan peran sentral Benjamin Netanyahu dan Partai Likud dalam membentuk politik luar negeri Israel yang agresif terhadap Palestina. Netanyahu, sebagai pemimpin Partai Likud, dianggap memegang pandangan yang keras terhadap Palestina, menolak berdirinya negara Palestina. Ideologi Partai Likud, yang berakar pada Zionisme Ortodoks, dan penolakannya terhadap solusi dua negara berkontribusi besar pada peningkatan agresifitas dalam kebijakan luar negeri Israel. Penelitian ini menganalisis bagaimana ideologi ini, dikombinasikan dengan persepsi Netanyahu terhadap ancaman terhadap keamanan Israel, mempengaruhi pengambilan keputusan dan tindakan Israel di Palestina, termasuk aneksasi wilayah dan pembangunan pemukiman Yahudi.
1. Netanyahu Partai Likud dan Politik Aneksasi
Dokumen ini mencatat kepemimpinan Benjamin Netanyahu sejak tahun 1996 sebagai Perdana Menteri, didukung oleh Partai Likud, ditandai dengan kebijakan politik luar negeri yang cenderung berupa politik aneksasi atau perluasan wilayah di Palestina. Hal ini kontras dengan periode kepemimpinan Ehud Barak dari Partai Buruh, yang sempat menumbuhkan harapan perdamaian. Namun, periode pemerintahan Barak juga dibayangi oleh krisis politik internal. Kemenangan Netanyahu dan Partai Likud kembali menunjukkan suatu pola, di mana partai ini cenderung mengadopsi kebijakan yang kurang mendukung upaya perdamaian dan lebih berfokus pada perluasan wilayah kekuasaan Israel. Sikap Partai Likud yang secara tegas menolak berdirinya negara Palestina semakin memperkuat kecenderungan ini. Dokumen tersebut menyoroti bagaimana afiliasi Netanyahu dengan Partai Likud dan ideologi partai tersebut secara langsung memengaruhi arah politik luar negeri Israel terhadap Palestina, yang cenderung agresif dan kurang mengedepankan solusi damai. Sikap ini tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang diambil selama masa pemerintahan Netanyahu.
2. Ideologi Partai Likud dan Penolakan Negara Palestina
Dokumen ini menghubungkan sikap keras Partai Likud terhadap Palestina dengan kesulitan mencapai perdamaian. Partai Likud secara konsisten menolak berdirinya negara Palestina. Sejarah menunjukkan bahwa ketika Partai Likud berkuasa, perdamaian sangat sulit dicapai. Ideologi Partai Likud, yang dibahas dalam studi terdahulu, terkait dengan Zionisme Ortodoks dan dianggap oleh sebagian pihak sebagai ideologi rasisme yang berakar pada kitab Talmud. Kitab Talmud, sebagai rujukan utama golongan Yahudi Ortodoks, dianggap sebagai landasan ideologi Partai Likud. Interpretasi tertentu dari ajaran Talmud diyakini menjadi faktor yang berkontribusi pada penolakan Partai Likud terhadap solusi dua negara dan keengganan mereka untuk berkompromi dengan tuntutan Palestina. Oleh karena itu, ideologi Partai Likud ini menjadi faktor kunci yang menjelaskan sikap keras dan kurangnya komitmen partai ini terhadap perdamaian, serta menciptakan hambatan besar dalam proses negosiasi perdamaian.
3. Persepsi Netanyahu dan Pengambilan Keputusan
Dokumen ini membahas bagaimana persepsi Benjamin Netanyahu sebagai pengambil keputusan memengaruhi kebijakan luar negeri Israel terhadap Palestina. Teori persepsi dijelaskan melalui nilai, keyakinan, dan pengetahuan yang membentuk perspektif seorang pemimpin. Latar belakang Netanyahu sebagai pemimpin Partai Likud, yang menolak berdirinya negara Palestina, mempengaruhi sistem keyakinannya. Keyakinan Netanyahu tentang 'Tanah yang Dijanjikan' (The Promised Land), yang sejalan dengan doktrin Theodore Herzl, dan fakta sejarah tentang keberadaan Yahudi di Palestina, membentuk perspektifnya. Ia melihat konflik Israel-Palestina sebagai ancaman bagi Israel. Oleh karena itu, nilai-nilai dan persepsi ini, dibentuk melalui informasi dan pengetahuan yang diterimanya, menjadi acuan dalam pengambilan keputusan Netanyahu terkait politik luar negeri Israel terhadap Palestina. Konstruksi berpikir ini, yang dipengaruhi oleh latar belakang ideologis dan persepsi ancaman keamanan, menjelaskan kecenderungan Netanyahu dalam mengambil kebijakan yang dianggap agresif oleh pihak Palestina.
III.Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode eksplanatori, bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara politik luar negeri Israel dan peningkatan agresifitas di Palestina. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, menganalisis buku, artikel, dan media terkait konflik Israel-Palestina. Analisis data dilakukan dengan metode argumentatif, mengungkapkan bagaimana faktor-faktor yang diidentifikasi berkontribusi pada peningkatan agresifitas selama periode penelitian. Level analisis berfokus pada individu, khususnya Benjamin Netanyahu, dan bagaimana persepsi dan keyakinannya membentuk kebijakan luar negeri Israel.
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan eksplanatori atau eksplanasi dengan metode kualitatif. Penelitian eksplanasi bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua variabel atau lebih, dalam hal ini hubungan antara politik luar negeri Israel dan peningkatan agresifitasnya terhadap Palestina. Penelitian ini berangkat dari pertanyaan dasar 'mengapa' peningkatan agresifitas tersebut terjadi. Metode kualitatif dipilih untuk menggali pemahaman yang mendalam mengenai faktor-faktor penyebab peningkatan agresifitas tersebut. Penelitian ini berfokus untuk mengungkap korelasi antara variabel-variabel yang diteliti, baik dalam hal pola, arah, sifat, bentuk, maupun kekuatan hubungannya. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat dipahami secara komprehensif faktor-faktor yang mendorong peningkatan agresifitas kebijakan luar negeri Israel terhadap Palestina.
2. Ruang Lingkup Penelitian Materi dan Waktu
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada kebijakan luar negeri Israel di Palestina pasca Pemilihan Umum Israel tahun 2009. Batasan materi difokuskan pada kebijakan luar negeri Israel, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan agresifitas terhadap Palestina. Batasan waktu penelitian mencakup periode tahun 2009 hingga 2010, khususnya pasca Pemilu Israel tahun 2009. Pembatasan ini dilakukan agar fokus penelitian tetap terarah dan hasil analisis lebih terfokus pada periode waktu tertentu. Dengan membatasi ruang lingkup, penelitian ini dapat lebih mendalam dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan agresifitas kebijakan luar negeri Israel selama periode tersebut. Pembatasan ini juga memungkinkan peneliti untuk lebih terkonsentrasi pada analisis data yang relevan dengan periode waktu dan batasan materi yang telah ditetapkan.
3. Tingkat Analisis dan Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan tingkat analisis induksionis, di mana unit eksplanasi (politik luar negeri Israel) lebih tinggi daripada unit analisis (peningkatan agresifitas). Ini menunjukkan fokus penelitian pada bagaimana variabel independen (politik luar negeri Israel) mempengaruhi variabel dependen (peningkatan agresifitas). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, bertujuan untuk mengakurasi penelitian dari sisi keilmuan. Data dikumpulkan melalui penelitian terhadap buku, tulisan, artikel dari berbagai sumber, termasuk perpustakaan pusat UMM, laboratorium Hubungan Internasional, serta media cetak dan elektronik. Studi pustaka dipilih untuk memastikan validitas dan reliabilitas data yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan menggunakan berbagai sumber data, penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan akurat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan agresifitas kebijakan luar negeri Israel.
4. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah metode argumentatif. Metode ini diaplikasikan untuk menjelaskan secara mendalam kenapa terjadi peningkatan agresifitas kebijakan luar negeri Israel terhadap Palestina di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu pasca Pemilu 2009. Dalam metode argumentatif, peneliti memperhatikan persoalan, kemudian menganalisis kondisi-kondisi yang dinilai tidak normal atau memiliki kekhususan dibandingkan dengan kondisi lainnya dalam persoalan internasional. Metode ini memungkinkan peneliti untuk membangun argumen yang sistematis dan logis berdasarkan data dan bukti yang telah dikumpulkan. Dengan menggunakan metode argumentatif, peneliti berusaha untuk menjelaskan secara detail dan komprehensif faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan agresifitas kebijakan luar negeri Israel, sekaligus menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan.
IV.Hipotesis dan Temuan Awal
Hipotesis penelitian menyatakan bahwa peningkatan agresifitas politik luar negeri Israel di Palestina, ditandai dengan peningkatan upaya aneksasi wilayah (seperti pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat), dipengaruhi oleh persepsi dan keyakinan Benjamin Netanyahu. Penelitian ini berpendapat bahwa nilai-nilai dan keyakinan Netanyahu, dibentuk oleh ideologi Partai Likud dan persepsi tentang 'Tanah yang Dijanjikan' (The Promised Land) serta sejarah pendudukan Palestina, membentuk perspektifnya dan mempengaruhi pengambilan kebijakan yang menghasilkan peningkatan agresifitas dalam politik luar negeri Israel terhadap Palestina selama periode 2009-2010.
1. Hipotesis Penelitian
Penelitian ini mengajukan hipotesis bahwa peningkatan agresifitas politik luar negeri Israel terhadap Palestina, ditandai dengan meningkatnya upaya aneksasi wilayah seperti pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, dipengaruhi oleh nilai, keyakinan, dan pengetahuan yang membentuk persepsi dan pemikiran Benjamin Netanyahu. Hipotesis ini berfokus pada bagaimana faktor-faktor tersebut, terutama yang terkait dengan pandangan dan ideologi Netanyahu, mempengaruhi pengambilan keputusan dan tindakannya selama periode 2009-2010. Sebagai pemimpin Partai Likud yang berpengalaman, Netanyahu memahami ideologi partai yang dipimpinnya, termasuk penolakan tegas terhadap berdirinya negara Palestina. Pemahaman ini membentuk sistem keyakinan Netanyahu yang kemudian mempengaruhi pengambilan kebijakannya. Penelitian ini berusaha untuk menguji sejauh mana keyakinan Netanyahu, khususnya tentang 'Tanah yang Dijanjikan' sesuai doktrin Theodore Herzl dan fakta sejarah keberadaan Yahudi di Palestina, membentuk persepsinya terhadap konflik dan berujung pada tindakan-tindakan yang dianggap agresif.
2. Faktor faktor yang Mempengaruhi Agresifitas Temuan Awal
Berdasarkan hipotesis, penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor yang menjelaskan peningkatan agresifitas politik luar negeri Israel. Pertama, keyakinan Netanyahu tentang 'Tanah yang Dijanjikan' membentuk nilai dan keinginan untuk menguasai Palestina. Kedua, fakta sejarah keberadaan Yahudi di Palestina, yang dikombinasikan dengan konflik yang berkepanjangan, membentuk perspektif Netanyahu bahwa konflik tersebut merupakan ancaman bagi Israel. Gabungan nilai, keinginan, dan perspektif ini menjadi acuan pengambilan kebijakan Netanyahu. Ideologi Partai Likud, yang menolak berdirinya negara Palestina dan berakar pada interpretasi tertentu dari kitab Talmud, juga berperan dalam membentuk pandangan dan tindakan Netanyahu. Ajaran dalam Talmud tentang diperbolehkannya orang Yahudi mengambil hak orang non-Yahudi dianggap sebagai landasan ideologi partai Likud, sehingga turut menjelaskan sikap keras Netanyahu terhadap Palestina. Penelitian ini akan menganalisis secara lebih mendalam bagaimana faktor-faktor ini saling terkait dan berkontribusi pada peningkatan agresifitas kebijakan luar negeri Israel.