
Tesis tentang Pendeteksian Logam dalam Air Menggunakan Sensor Kitosan
Informasi dokumen
Penulis | Ucok Oka Rakasiwi Harahap |
Sekolah | Universitas Sumatera Utara |
Jurusan | Magister Ilmu Fisika |
Jenis dokumen | Tesis |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 4.28 MB |
- Tesis
- Pendidikan
- Ilmu Fisika
Ringkasan
I.Sintesis dan Karakterisasi Biosensor Kitosan untuk Mendeteksi Logam Berat
Penelitian ini berfokus pada pengembangan biosensor berbasis kitosan untuk mendeteksi keberadaan logam berat seperti Mangan (Mn), Besi (Fe), dan Tembaga (Cu) dalam air. Kitosan, yang disintesis dari kulit udang dan kepiting, dipilih karena gugus amino (-NH2) dan hidroksil (-OH)-nya yang memberikan titik aktif untuk berinteraksi dengan ion logam. Film kitosan yang dihasilkan diuji kemampuannya dalam mendeteksi logam pada konsentrasi 25, 50, dan 100 ppm. Hasil menunjukkan sensor memiliki waktu respon cepat (sekitar 20 detik), kemampuan pengulangan yang baik, dan sensitivitas terhadap variasi konsentrasi logam berat. Parameter kunci yang diukur meliputi waktu tanggap, stabilitas, sensitivitas, dan kemampuan pemulihan sensor. Penelitian ini memiliki potensi besar untuk aplikasi pemantauan kualitas air.
1. Sumber dan Sintesis Kitosan
Penelitian ini menggunakan kitosan yang disintesis dari kulit udang dan kepiting. Kitosan dipilih karena potensi besarnya sebagai biosensor, berkat gugus amino (-NH2) dan hidroksil (-OH) dalam strukturnya yang memungkinkan interaksi dengan ion logam. Proses sintesis kitosan tidak dijelaskan secara detail, tetapi disebutkan bahwa mutu kitosan dipengaruhi oleh parameter fisika (penampakan, ukuran partikel, viskositas) dan kimia (nilai proksimat dan derajat deasetilasi - DD). Semakin tinggi derajat deasetilasi, semakin baik mutu kitosan. Kelarutan kitosan juga dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi, dan rotasi spesifiknya. Produksi kitosan dapat dilakukan secara kimia (menggunakan alkali kuat seperti NaOH pada suhu tinggi) atau enzimatis (menggunakan kitin deacetylase - CDA), dengan metode enzimatis menghasilkan reaksi yang lebih homogen dan derajat deasetilasi yang lebih tinggi (hingga 88-99% menurut Kolodziesjska, 2000). Proses memperoleh kitosan dari bahan baku cangkang melibatkan beberapa tahap: demineralisasi (menggunakan HCl), deproteinasi (menggunakan NaOH), dan deasetilasi (menggunakan NaOH). Setiap tahap bertujuan untuk menghilangkan mineral, protein, dan gugus asetil dari cangkang.
2. Karakterisasi dan Pengujian Biosensor Kitosan
Penelitian ini mengevaluasi kinerja film kitosan sebagai biosensor untuk mendeteksi ion logam Mn, Fe, dan Cu dalam air aquades pada konsentrasi 25, 50, dan 100 ppm. Pengujian difokuskan pada kemampuan pengulangan, kecepatan respon, stabilitas, dan sensitivitas sensor. Hasil menunjukkan waktu tanggap sensor sekitar 20 detik sejak ion logam terdeteksi pada permukaan sensor. Nilai tegangan pada sensor meningkat seiring peningkatan konsentrasi logam. Sensor juga menunjukkan kemampuan pemulihan yang baik, kembali ke nilai awal dalam waktu sekitar 20 detik setelah paparan logam dihilangkan. Pengukuran berulang menunjukkan hasil yang konsisten. Grafik tegangan output terhadap waktu untuk masing-masing logam (Mn, Fe, Cu) pada konsentrasi 100 ppm memperlihatkan peningkatan tegangan hingga mencapai keadaan jenuh, diikuti penurunan tegangan saat paparan logam dihentikan. Perbedaan respon terhadap ketiga logam kemungkinan disebabkan oleh perbedaan sifat fisik, seperti keelektronegatifan dan hambatan listrik. Konduktivitas air juga berpengaruh terhadap arus listrik dalam kitosan melalui interaksi antara gugus amino kitosan dan ion logam.
II.Penggunaan Mikrokontroler ATmega8535 dalam Sistem Deteksi
Sistem deteksi logam berat menggunakan mikrokontroler ATmega8535 untuk memproses data dari sensor kitosan. Mikrokontroler ini dipilih karena kemampuannya yang handal dan harga yang terjangkau. Komponen pendukung sistem meliputi: LCD 16x2 untuk menampilkan hasil, komunikasi serial melalui port USART, dan EEPROM untuk penyimpanan data. Perangkat lunak CodeVisionAVR digunakan untuk pemrograman mikrokontroler, sedangkan HyperTerminal difungsikan untuk komunikasi serial dan monitoring data. Sistem ini dirancang untuk memberikan hasil pembacaan yang terkomputerisasi dan penggambaran data dalam bentuk grafik.
1. Pemilihan Mikrokontroler ATmega8535
Dokumen menjelaskan penggunaan mikrokontroler ATmega8535 sebagai inti sistem deteksi. Pemilihan ATmega8535 didasarkan pada beberapa faktor, meskipun detailnya tidak dijelaskan secara eksplisit dalam teks. Namun, dapat diimplikasikan bahwa faktor-faktor seperti ketersediaan fitur yang dibutuhkan, harga yang relatif murah, serta kemudahan penggunaan dan pemrograman menjadi pertimbangan utama. ATmega8535 merupakan mikrokontroler 8-bit dari keluarga AVR, yang dikenal luas dalam komunitas elektronika dan memiliki dukungan komunitas yang besar. Keunggulan lain yang mungkin menjadi pertimbangan adalah integrasi berbagai peripheral yang dibutuhkan dalam sistem, sehingga mengurangi kompleksitas desain dan jumlah komponen eksternal yang diperlukan. Keluarga AVR sendiri dikelompokkan menjadi beberapa kelas (ATtiny, AT90Sxx, ATmega, dan AT89RFxx), dengan perbedaan utama terletak pada memori, peripheral, dan fungsinya. Meskipun arsitektur dan instruksi hampir sama, pemilihan kelas spesifik—dalam hal ini ATmega8535—dipengaruhi kebutuhan spesifik sistem deteksi.
2. Komponen Pendukung Sistem Deteksi
Sistem deteksi yang dibangun menggunakan beberapa komponen pendukung. Salah satu komponen penting adalah LCD 16x2, yang berfungsi untuk menampilkan data hasil deteksi dari sensor kitosan. Penggunaan LCD 16x2 dipilih karena kemampuannya untuk menampilkan informasi secara visual dan kemudahan integrasinya dengan mikrokontroler. Selain LCD, sistem ini juga menggunakan port USART untuk komunikasi serial, memungkinkan interaksi dengan perangkat lain seperti komputer untuk transfer data. EEPROM sebesar 512 byte juga digunakan untuk menyimpan data yang terbaca, memungkinkan penyimpanan informasi untuk analisis lebih lanjut atau pemrosesan off-line. Antarmuka komparator analog disebutkan, meskipun fungsinya dalam sistem tidak dijelaskan secara rinci. Penggunaan HyperTerminal sebagai software interface memungkinkan monitoring dan manipulasi data secara real-time. Penjelasan singkat mengenai prinsip kerja komunikasi serial melalui register-register UDR, UCSRA, UCSRB, UCSRC, dan UBRR, merujuk pada Wardhana (2006), menunjukkan bahwa sistem dirancang dengan mempertimbangkan aspek-aspek komunikasi data yang handal dan efisien.
3. Perangkat Lunak dan Pemrograman
CodeVisionAVR disebutkan sebagai software yang digunakan untuk pemrograman mikrokontroler ATmega8535. CodeVisionAVR merupakan software C cross-compiler dengan IDE terintegrasi yang lengkap. Kemampuannya untuk menerjemahkan perintah ANSI C, serta fitur tambahan yang memanfaatkan arsitektur AVR, membuatnya cocok untuk pengembangan sistem embedded. Penggunaan CodeVisionAVR memungkinkan proses penulisan program, kompilasi, simulasi, dan pengunduhan program ke chip AVR secara terintegrasi. Selain itu, CodeVisionAVR juga menyediakan fasilitas terminal untuk komunikasi serial, memudahkan pemantauan dan pengujian sistem deteksi. Proses pengunduhan program memanfaatkan kemampuan System Programmable Flash on-Chip pada ATmega8535, yang memungkinkan pemrograman ulang memori program melalui koneksi serial SPI. Integrasi HyperTerminal untuk komunikasi serial dan pengolahan data lebih lanjut juga disebutkan dalam dokumen tersebut.
III.Analisis Data dan Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan korelasi positif antara konsentrasi logam berat (Mn, Fe, Cu) dan tegangan keluaran sensor kitosan. Grafik tegangan output terhadap waktu menunjukkan waktu respon yang cepat dan kemampuan pemulihan yang baik. Perbedaan respon sensor terhadap masing-masing logam kemungkinan disebabkan oleh perbedaan sifat fisik dan kimia logam tersebut, seperti keelektronegatifan. Data menunjukkan sensor kitosan mampu membedakan ketiga jenis logam pada konsentrasi yang sama. Grafik perbandingan konsentrasi sampel logam Fe menunjukkan semakin tinggi konsentrasi, semakin tinggi tegangan output. Konduktivitas air berperan penting dalam proses interaksi antara gugus amino kitosan dan ion logam.
1. Korelasi Konsentrasi Logam dan Tegangan Output
Analisis data menunjukkan korelasi positif antara konsentrasi logam (Mn, Fe, Cu) dalam air aquades dan tegangan output sensor kitosan. Semakin tinggi konsentrasi logam, semakin tinggi tegangan yang terukur. Hal ini menunjukkan bahwa sensor mampu mendeteksi perubahan konsentrasi logam dengan memberikan respon tegangan yang proporsional. Data ini disajikan dalam bentuk grafik tegangan output terhadap waktu, yang memperlihatkan respons sensor terhadap berbagai konsentrasi logam. Grafik tersebut menunjukkan waktu respons yang cepat (sekitar 20 detik) dan kemampuan pemulihan yang baik, di mana tegangan kembali ke nilai awal setelah paparan logam dihentikan. Pengujian dilakukan dengan pengulangan (repeatibility) untuk memastikan konsistensi hasil pengukuran. Analisa grafik perbandingan konsentrasi sampel logam Fe menunjukkan hubungan yang jelas: semakin rendah konsentrasi, semakin rendah tegangan output, dan sebaliknya. Konduktivitas air berperan penting dalam proses ini karena mempengaruhi interaksi antara gugus amino pada kitosan dengan ion logam dalam larutan.
2. Perbedaan Respon terhadap Jenis Logam
Sensor kitosan menunjukkan perbedaan respon yang signifikan terhadap ketiga jenis logam (Mn, Fe, Cu) pada konsentrasi yang sama. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan sifat fisik dan kimia dari masing-masing logam. Sebagai contoh, Mangan (Mn) memiliki keelektronegatifan yang tinggi, yang dapat menyebabkan penurunan konduktivitas listrik. Sebaliknya, Tembaga (Cu) memiliki hambatan listrik yang lebih rendah dibandingkan Mn dan Fe. Perbedaan ini memengaruhi interaksi antara ion logam dengan gugus aktif pada kitosan dan, pada akhirnya, menghasilkan perbedaan dalam tegangan output. Meskipun detail karakteristik fisik dan kimia masing-masing logam tidak secara eksplisit dijelaskan secara detail, perbedaan respons ini menunjukkan potensi sensor kitosan dalam membedakan berbagai jenis logam berat dalam suatu sampel air. Penggunaan air aquades sebagai pelarut memastikan bahwa perbedaan respon ini bukan akibat dari adanya ion-ion pengganggu dalam sampel air.
3. Kesimpulan Analisis Data
Berdasarkan analisis data yang diperoleh, sensor film kitosan menunjukkan potensi yang menjanjikan sebagai alat deteksi logam berat dalam air. Kemampuan sensor dalam mendeteksi dan membedakan Mn, Fe, dan Cu, dengan waktu respons yang cepat dan kemampuan pemulihan yang baik, mendukung klaim ini. Korelasi yang jelas antara konsentrasi logam dan tegangan output menunjukkan sensitivitas sensor terhadap perubahan konsentrasi. Namun, perlu dicatat bahwa beberapa aspek seperti pengaruh suhu dan kelembaban terhadap performa sensor, serta detail mekanisme interaksi antara kitosan dan ion logam, masih perlu dikaji lebih lanjut. Analisis data yang lebih mendalam, mungkin termasuk analisis statistik, dapat dilakukan untuk mengkuantifikasi kinerja sensor secara lebih rinci. Penelitian lebih lanjut disarankan untuk mengoptimalkan desain sensor dan memperluas aplikasi pada berbagai jenis logam berat dan kondisi lingkungan.
IV.Kesimpulan dan Saran Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini berhasil mengembangkan biosensor kitosan yang efektif untuk mendeteksi logam berat (Mn, Fe, Cu) dalam air. Sistem yang terintegrasi dengan mikrokontroler ATmega8535 memungkinkan pembacaan dan analisis data secara otomatis. Penelitian selanjutnya dapat difokuskan pada pengembangan sensor kitosan untuk mendeteksi logam lain, seperti Uranium, yang relevan dalam konteks deteksi senjata dan bahan peledak. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi pengembangan teknologi sensor untuk pemantauan kualitas air dan keamanan.
1. Kesimpulan Penelitian
Penelitian ini berhasil mengembangkan biosensor berbasis film kitosan untuk mendeteksi logam berat Mn, Fe, dan Cu dalam air. Sensor menunjukkan kinerja yang baik dengan waktu respon cepat (sekitar 20 detik), kemampuan pengulangan yang tinggi, dan sensitivitas yang memadai terhadap variasi konsentrasi logam. Kemampuan sensor untuk membedakan ketiga jenis logam tersebut, meskipun pada konsentrasi yang sama, menunjukkan potensi aplikasi yang luas. Korelasi positif antara konsentrasi logam dan tegangan output sensor menegaskan kehandalan metode deteksi ini. Konduktivitas air terbukti berperan penting dalam proses deteksi melalui interaksi antara gugus amino kitosan dan ion logam. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa biosensor kitosan merupakan alternatif yang menjanjikan untuk pemantauan kualitas air, khususnya dalam hal deteksi logam berat.
2. Saran Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini membuka peluang untuk pengembangan lebih lanjut dalam beberapa arah. Pertama, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengoptimalkan desain sensor, misalnya dengan mengeksplorasi variasi ketebalan film kitosan, jenis pelarut, dan metode sintesis kitosan untuk meningkatkan sensitivitas dan selektivitas. Kedua, perlu dikaji pengaruh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban terhadap kinerja sensor untuk memastikan keandalannya dalam berbagai kondisi. Ketiga, perlu dilakukan pengujian terhadap lebih banyak jenis logam berat dan matriks sampel air yang lebih beragam untuk memperluas cakupan aplikasi sensor. Keempat, penelitian lanjutan dapat difokuskan pada pengembangan sensor kitosan untuk mendeteksi logam lain, misalnya Uranium, yang sangat penting dalam konteks deteksi senjata dan bahan peledak. Kelima, integrasi dengan sistem monitoring yang lebih canggih, seperti sistem berbasis internet untuk pemantauan jarak jauh, dapat meningkatkan nilai aplikatif dari teknologi ini. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi bagi para peneliti untuk mengembangkan teknologi sensor untuk mendeteksi kandungan logam dalam air.