Studi Deskriptif Hak-Hak Reproduksi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Tanjung Gusta Medan

Studi Deskriptif Hak-Hak Reproduksi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Tanjung Gusta Medan

Informasi dokumen

Penulis

Junita Riana Manalu

instructor Aida Fitria Harahap, S.Sos., M.Si.
Sekolah

Universitas Sumatera Utara

Jurusan Antropologi
Tempat Medan
Jenis dokumen Skripsi
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 3.36 MB
  • Hak-Hak Reproduksi
  • Lembaga Pemasyarakatan
  • Narapidana Wanita

Ringkasan

I.Latar Belakang Masalah Hak Reproduksi Narapidana Wanita di Indonesia

Skripsi ini meneliti hak reproduksi narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara. Data Februari 2014 menunjukkan sedikitnya 8.359 narapidana wanita dari total 162.365 narapidana di Indonesia, dan 834 dari 17.948 di Sumatera Utara. Penelitian ini penting karena narapidana wanita sering menghadapi masalah kesehatan reproduksi, termasuk IMS (penyakit menular seksual) dan depresi, yang diperparah oleh kondisi lapas dan stigma sosial. Penelitian ini akan menganalisis bagaimana pemenuhan hak reproduksi mereka terhambat dan strategi adaptasi yang mereka lakukan.

1. Minimnya Akses Kesehatan Reproduksi bagi Narapidana Wanita

Bagian ini membahas permasalahan utama yang dihadapi narapidana wanita terkait kesehatan reproduksi mereka. Data dari bulan Februari 2014 menunjukkan bahwa perempuan merupakan minoritas dalam populasi narapidana di Indonesia (8.359 dari 162.365 narapidana secara nasional, dan 834 dari 17.948 di Sumatera Utara). Meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan narapidana laki-laki, mereka mengalami masalah kesehatan fisik dan psikologis yang signifikan, termasuk masalah kesehatan reproduksi. Depresi (56,6%), kecemasan (42,4%), gangguan pernapasan (asma) 37,7%, dan sakit kepala 34,2% (Plugge, Douglas & Fitzpatrick, 2006) lebih tinggi prevalensinya dibandingkan populasi umum. Masalah kesehatan reproduksi yang paling sering dilaporkan adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) seperti Chlamydia, gonore, sifilis, dan HIV. Tingginya risiko ini disebabkan oleh perilaku berisiko tinggi sebelum dan selama masa penahanan, termasuk kemungkinan menjadi korban pelecehan seksual (Covington, 2007). Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang layak bagi narapidana wanita.

2. Dampak Psikologis dan Sosial terhadap Narapidana Wanita

Selain masalah kesehatan fisik, narapidana wanita juga menghadapi tekanan psikologis yang signifikan. Pembinaan yang lebih menekankan pada aspek 'kewanitaan' tanpa memperhatikan kondisi psikologis mereka, seperti kecemasan dan depresi, menjadi masalah. Tekanan ini berkaitan erat dengan struktur sosial dan budaya patriarki. Mereka juga menghadapi kesulitan dalam merawat anak di bawah dua tahun karena keterbatasan fasilitas dan kondisi lingkungan yang kurang sehat di lapas. Anak-anak pun ikut terdampak, seakan terpenjara bersama. Perceraian akibat stigma sosial yang melekat pada status terpidana juga menambah beban psikologis dan ketidakpastian masa depan anak-anak mereka. Kondisi ini menggambarkan betapa kompleksnya masalah yang dihadapi narapidana wanita, melampaui hukuman penjara itu sendiri dan berdampak luas pada kehidupan mereka dan keluarga.

3. Konteks Hak Reproduksi dan Perencanaan Keluarga

Bagian ini menjelaskan konteks hak reproduksi dalam konteks lebih luas, khususnya mengenai hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran. Meskipun setiap perempuan berhak untuk merencanakan keluarganya, kenyataannya, kebebasan ini sangat terbatas bagi narapidana wanita. Dokumen ini mengutip beberapa poin penting dari Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Kairo 1994, yang menekankan hak perempuan untuk membuat keputusan terkait reproduksi mereka tanpa paksaan. Contohnya, pemerintah dan masyarakat tidak boleh memaksakan pilihan KB tertentu. Hak untuk membangun keluarga juga dibahas, menekankan bahwa individu berhak menentukan kapan, di mana, dengan siapa, dan bagaimana mereka membangun perkawinan atau keluarga. Namun, dokumen ini juga menyoroti bagaimana stigma sosial dan budaya dapat mempengaruhi hak-hak reproduksi perempuan, dengan contoh masyarakat agraris yang menitikberatkan pada kesuburan perempuan tanpa mempertimbangkan pilihan dan hak-hak lain yang terkait. Hal ini menyoroti kontras antara deklarasi hak-hak reproduksi dan realitas yang dihadapi oleh perempuan, khususnya narapidana wanita.

4. Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan Gambaran Umum

Bagian ini memberikan konteks geografis dan institusional penelitian. Penelitian dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara. Lapas ini didirikan secara khusus untuk narapidana wanita, terpisah dari lapas pria, untuk menghindari potensi masalah dan memberikan pembinaan yang lebih terarah. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Narapidana Wanita juga relevan dalam memahami konteks hukum dan regulasi terkait hak-hak narapidana wanita di Indonesia. Lapas ini menjadi pusat perhatian penelitian karena merupakan tempat tinggal dan pembinaan narapidana wanita, tempat berbagai isu mengenai hak reproduksi dan kesehatan mereka terungkap. Lokasi geografis di Medan, Sumatera Utara memberikan konteks sosial budaya spesifik yang perlu dipertimbangkan dalam analisis.

II.Metode Penelitian Hak Reproduksi di Lapas

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi (terbatas karena peraturan lapas), dan wawancara dengan narapidana dan petugas Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan. Akses penelitian membutuhkan izin dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Wawancara dilakukan dengan berbagai narapidana, memperoleh informasi tentang pengalaman mereka terkait dengan hak reproduksi dan kesehatan reproduksi mereka di dalam lapas.

1. Jenis Penelitian dan Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk meneliti hak reproduksi narapidana wanita di Lapas Wanita Kelas IIA Tanjung Gusta Medan. Metode pengumpulan data meliputi observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk mengamati situasi dan kondisi di lapas, namun keterbatasan diberlakukan karena peraturan lapas yang melarang peneliti tinggal bersama narapidana. Bahkan selama wawancara pun, peneliti diawasi oleh petugas. Pengumpulan data utama dilakukan melalui wawancara dengan narapidana dan petugas lapas. Sebelum melakukan wawancara, peneliti harus mendapatkan izin resmi dari Kementerian Hukum dan HAM, melibatkan proses administrasi yang cukup panjang dan memerlukan surat keterangan dari kampus. Proses izin ini digambarkan secara rinci dalam narasi penelitian, yang menunjukkan kesulitan akses untuk melakukan penelitian di lingkungan lapas. Wawancara dilakukan dengan beberapa narapidana dan petugas kunci, yang hasilnya menjadi data utama penelitian.

2. Proses dan Lokasi Wawancara

Penulis menjelaskan detail proses dan lokasi wawancara yang dilakukan. Wawancara dilakukan di beberapa lokasi di lapas, salah satunya di mushola. Deskripsi suasana dan interaksi peneliti dengan narapidana selama wawancara dijelaskan secara mendalam, menunjukkan adanya keakraban dan keterbukaan narapidana dalam berbagi informasi. Penulis menggambarkan interaksi informal yang terjalin, bahkan sampai terlibat dalam kegiatan sehari-hari narapidana seperti makan bersama. Meskipun diawasi, peneliti mampu membangun relasi baik dengan narapidana, sehingga mereka merasa nyaman untuk berbagi pengalaman dan perspektif mereka terkait hak reproduksi di dalam lapas. Proses izin penelitian dijelaskan secara terperinci, menunjukkan berbagai tantangan birokrasi yang dihadapi peneliti untuk mengakses informasi di lingkungan lapas. Penulis juga mewawancarai petugas lapas, termasuk Kepala Lapas (Kalapas) Ibu Marselina Budiningsih, untuk memperoleh perspektif dari pihak pengelola lapas terkait isu hak reproduksi narapidana wanita.

3. Partisipan Penelitian dan Akses Lapas

Penelitian ini melibatkan narapidana wanita di Lapas Wanita Kelas IIA Tanjung Gusta Medan sebagai informan utama. Penulis menjelaskan bagaimana ia memperoleh akses ke lapas, yang membutuhkan proses panjang dan izin resmi. Ia menyebutkan nama-nama petugas lapas kunci yang diwawancarai, memberikan gambaran relasi peneliti dengan berbagai pihak di lapas. Wawancara dilakukan tidak hanya dengan narapidana, tetapi juga dengan petugas lapas dari berbagai bagian. Penulis juga menggambarkan interaksi yang terjalin antara peneliti dan narapidana, menunjukkan bagaimana peneliti membangun kepercayaan dan relasi yang positif untuk mempermudah proses pengumpulan data. Detail interaksi ini menunjukkan tantangan dan keberhasilan peneliti dalam mengakses informasi dalam lingkungan yang ketat dan terkontrol. Nama-nama beberapa narapidana yang diwawancarai seperti Kak Gita, Bu Suarti, Sri, Cika, dan Bu Icha, disebut untuk menggambarkan keragaman narapidana dan pengalaman mereka. Menunjukkan proses penelitian berlangsung dengan pendekatan yang teliti dan etis.

III.Pemenuhan Hak Hak Reproduksi Narapidana Wanita

Penelitian menemukan beberapa dari 12 hak reproduksi yang disepakati dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan Kairo 1994 tidak terpenuhi di Lapas Tanjung Gusta Medan. Peraturan internal dan keterbatasan sumber daya menjadi kendala utama. Narapidana harus menanggung sendiri biaya persalinan dan kebutuhan seperti pembalut. Meskipun demikian, narapidana mengembangkan strategi adaptasi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksi mereka. Beberapa petugas lapas juga memberikan informasi kesehatan reproduksi secara informal kepada narapidana.

1. Kesenjangan Pemenuhan Hak Reproduksi Berdasarkan Konferensi Kairo 1994

Penelitian ini mengkaji pemenuhan hak-hak reproduksi narapidana wanita di Lapas Wanita Kelas IIA Tanjung Gusta Medan. Berdasarkan 12 hak reproduksi yang disepakati dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994, ditemukan beberapa hak yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak lapas. Hal ini disebabkan oleh peraturan dari pusat yang diikuti oleh para pegawai lapas, sehingga mereka tidak mungkin memenuhi semua hak reproduksi tersebut. Contohnya, setiap narapidana harus menanggung sendiri biaya persalinan dan menyediakan pembalut. Kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai menjadi permasalahan utama. Meskipun demikian, sebagian narapidana mengembangkan strategi adaptasi untuk mendapatkan hak-hak reproduksi yang tidak mereka dapatkan di lapas. Perbedaan antara deklarasi hak reproduksi dan realitas di lapangan menjadi fokus utama analisis dalam sub-bab ini.

2. Akses terhadap Pelayanan Kesehatan Reproduksi

Salah satu temuan utama adalah minimnya akses narapidana wanita terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai. Mereka harus menanggung sendiri biaya perawatan kesehatan reproduksi, termasuk perawatan di poliklinik atau rawat inap di rumah sakit. Bahkan untuk kebutuhan dasar seperti pembalut saat menstruasi, mereka harus menyediakan sendiri. Kondisi ini menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara kebutuhan kesehatan reproduksi narapidana wanita dan layanan yang tersedia di lapas. Kesaksian dari narapidana Cika (18 tahun) menggambarkan kondisi ini dengan jelas: “Kalau disini mana ada dikasih pelayanan untuk melindungi kesehatan reproduksi. Sedangkan kalau setiap yang datang bulan (menstruasi) harus melengkapi sendiri. Gadak disini dikasih softex atau kain putih, kalaupun sakit palingan ke poliklinik, kalau harus rawat inap, semuanya harus pake uang pribadi bayarnya”. Hal ini menggarisbawahi pentingnya akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang layak dan terjangkau bagi narapidana wanita.

3. Kebebasan Berpikir dan Strategi Adaptasi Narapidana

Meskipun kebebasan berekspresi dan berpikir terkait hak reproduksi tidak secara eksplisit dilarang, namun realitanya sangat terbatas bagi narapidana. Mereka memiliki keterbatasan dalam mengutarakan pikiran dan mewujudkan kehendak mereka terkait reproduksi. Namun, penelitian ini juga menemukan adanya strategi adaptasi yang dilakukan narapidana untuk memenuhi kebutuhan reproduksi mereka. Strategi ini bervariasi tergantung hasil kerja mereka di lapas dan pemahaman petugas terhadap kebutuhan mereka. Petugas lapas, meskipun tidak secara resmi memberikan layanan, terkadang memberikan informasi terkait kesehatan reproduksi secara informal. Contohnya, informasi dari petugas yang menonton televisi kemudian diceritakan kepada narapidana. Narapidana juga mencari informasi lain, menunjukkan upaya mereka untuk tetap mendapatkan informasi yang mereka butuhkan meskipun berada dalam lingkungan yang terbatas. Strategi adaptasi yang dilakukan narapidana ini menjadi bagian penting dari analisis dalam penelitian ini, menunjukkan resiliensi dan usaha mereka dalam menghadapi kondisi yang sulit.

4. Hak Reproduksi Lainnya dan Kondisi Lapas

Selain akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, penelitian ini juga menyinggung hak-hak reproduksi lainnya seperti hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran. Namun, hak-hak ini nyaris tidak terlaksana di lapas karena lingkungan yang sepenuhnya perempuan dan keterbatasan kebebasan. Dokumen ini juga membahas isu kekerasan terhadap perempuan di lapas, walaupun kasusnya tidak banyak. Namun, penelitian ini mencatat adanya bentuk kekerasan yang terjadi di antara narapidana, khususnya di kalangan yang memiliki hubungan sesama jenis. Perilaku petugas lapas, termasuk kerahasiaan informasi narapidana, juga dibahas. Kesimpulannya, penuh atau tidaknya pemenuhan hak reproduksi merupakan gambaran kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari kebijakan, ketersediaan sumber daya, perilaku petugas, dan strategi adaptasi yang dilakukan oleh narapidana itu sendiri. Semua aspek ini memberikan gambaran yang holistik tentang realitas pemenuhan hak reproduksi bagi narapidana wanita di Lapas Wanita Tanjung Gusta Medan.

IV.Kesimpulan Penelitian tentang Hak Reproduksi

Kesimpulannya, Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan masih jauh dari ideal dalam pemenuhan hak reproduksi narapidana wanita. Meskipun beberapa petugas berupaya membantu, kendala struktural dan budaya menyebabkan hak reproduksi narapidana wanita tetap terhambat. Penelitian ini menyoroti pentingnya peningkatan akses terhadap kesehatan reproduksi dan pemenuhan hak di lingkungan lapas untuk menjamin perlakuan yang manusiawi dan bermartabat bagi narapidana wanita di Indonesia. Strategi adaptasi yang dilakukan narapidana menunjukkan keuletan mereka dalam menghadapi situasi yang sulit.

1. Kesimpulan Utama Kesenjangan Pemenuhan Hak Reproduksi

Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah masih adanya kesenjangan signifikan dalam pemenuhan hak-hak reproduksi narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Tanjung Gusta Medan. Meskipun terdapat 12 hak reproduksi yang telah disepakati dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan Kairo 1994, beberapa hak tersebut tidak terpenuhi di lapas. Peraturan dari pusat yang diikuti oleh pegawai lapas menjadi kendala utama dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Akibatnya, narapidana harus menanggung sendiri biaya persalinan dan kebutuhan lain seperti pembalut. Meskipun demikian, penelitian ini juga menunjukkan adanya berbagai strategi adaptasi yang dilakukan oleh narapidana untuk memenuhi kebutuhan reproduksi mereka, menunjukkan upaya mereka untuk mengatasi keterbatasan yang ada. Kesimpulan ini menekankan pada pentingnya pemenuhan hak reproduksi yang lebih baik bagi narapidana wanita.

2. Peran Peraturan dan Strategi Adaptasi

Kesimpulan penelitian ini juga menyoroti peran peraturan dari pusat sebagai kendala utama dalam pemenuhan hak reproduksi narapidana wanita. Pegawai lapas terikat oleh peraturan tersebut, sehingga tidak mampu memenuhi semua hak reproduksi yang seharusnya diberikan kepada narapidana. Namun, penelitian ini juga menemukan adanya strategi adaptasi yang dilakukan oleh narapidana untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Strategi ini beragam dan bergantung pada hasil kerja dan upaya narapidana. Para pegawai lapas pun memahami upaya ini dan terkadang memberikan bantuan sesuai dengan kewenangan dan peraturan yang berlaku. Kesimpulannya, kesenjangan dalam pemenuhan hak reproduksi bukan hanya disebabkan oleh peraturan, tetapi juga terkait dengan upaya adaptasi narapidana dan respon petugas lapas dalam konteks tersebut.

3. Implikasi dan Rekomendasi

Kesimpulan ini tidak hanya menjelaskan kondisi yang ada, tetapi juga menyiratkan implikasi pentingnya penelitian ini. Penelitian menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Tanjung Gusta Medan masih jauh dari ideal dalam pemenuhan hak reproduksi narapidana. Meskipun terdapat upaya dari beberapa petugas, kendala struktural dan budaya masih menjadi hambatan besar. Oleh karena itu, penelitian ini menyoroti perlunya peningkatan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi dan pemenuhan hak-hak tersebut di lingkungan lapas. Ini menekankan pentingnya perlakuan yang manusiawi dan bermartabat bagi narapidana wanita di Indonesia. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh narapidana menunjukkan keuletan mereka dalam menghadapi kendala tersebut, tetapi tidak cukup untuk menjamin pemenuhan hak reproduksi mereka secara penuh. Kesimpulan ini sekaligus memberikan rekomendasi implisit untuk perubahan sistemik dalam rangka pemenuhan hak reproduksi narapidana wanita.