Prosedur Trakeostomi dan Penanganan Kegawatdaruratan Jalan Nafas

Prosedur Trakeostomi dan Penanganan Kegawatdaruratan Jalan Nafas

Informasi dokumen

Penulis

Ferryan Sofyan

Sekolah

Fakultas Kedokteran USU

Jurusan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher
Jenis dokumen Makalah/Artikel Ilmiah
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 0.94 MB
  • Trakeostomi
  • Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
  • Bedah Kepala dan Leher

Ringkasan

I.Definisi dan Terminologi Trakeostomi Trakeotomi

Dokumen ini menjelaskan trakeostomi (atau trakeotomi), suatu prosedur bedah untuk membuat lubang (stoma) pada trakea dan memasang kanul trakea. Prosedur ini sering dilakukan untuk mengatasi obstruksi jalan nafas. Dokumen ini membedakan antara trakeostomi (pembuatan stoma dan pemasangan kanul) dan trakeotomi (hanya pembuatan lubang pada trakea), meskipun istilah ini sering digunakan secara bergantian. Prosedur alternatif, seperti krikoidotomi, juga dibahas.

1. Definisi Trakeostomi dan Trakeotomi

Dokumen menjelaskan trakeostomi sebagai prosedur pemasangan kanul ke dalam trakea melalui insisi kulit di atas trakea, dengan menggeser jaringan pretrakhealis untuk visualisasi langsung. Trakeostomi juga didefinisikan sebagai pembuatan stoma pada trakea, biasanya bersifat sementara. Terdapat perdebatan mengenai kesamaan istilah trakeostomi dan trakeotomi. Beberapa sumber menganggapnya sinonim, sementara yang lain membedakannya, dengan trakeotomi diartikan sebagai tindakan membuat lubang pada trakea saja, tanpa selalu melibatkan pemasangan kanul. Trakeostomi, lebih spesifik, melibatkan pembuatan lubang (stoma) diikuti pemasangan kanul untuk memungkinkan udara masuk ke paru-paru. Definisi yang lebih luas dari trakeotomi mencakup pembuatan lubang trakea sementara, dengan atau tanpa pemasangan kanul, yang kemudian akan menutup setelah kanul diangkat. Perbedaan penekanan pada pemasangan kanul menjadi pembeda utama kedua istilah ini, meskipun dalam praktik klinis, sering digunakan secara bergantian.

2. Trakeostomi sebagai Tindakan Medis

Dokumen tersebut mengategorikan trakeostomi sebagai salah satu dari beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi obstruksi jalan napas atas. Prosedur lain yang disebutkan termasuk laringotomi dan krikotiroidotomi (pembukaan membran krikoid). Trakeostomi sendiri digambarkan sebagai prosedur yang sering dilakukan pada pasien dengan sumbatan jalan napas. Untuk melakukan trakeostomi, seorang dokter tidak hanya membutuhkan pengetahuan anatomi yang detail, tetapi juga penguasaan prosedur pra-operasi, teknik operasi, dan perawatan pasca operasi. Trakeostomi atau trakeotomi secara umum dijelaskan sebagai prosedur pembedahan untuk membuat lubang melalui bagian depan leher, menembus ke dalam trakea. Ini adalah tindakan penting yang bertujuan untuk membuka jalan napas dan memungkinkan aliran udara yang lancar ke paru-paru. Pengetahuan yang komprehensif tentang anatomi dan aspek-aspek lain prosedur ini sangat penting untuk keberhasilannya.

3. Perbedaan Trakeostomi dan Prosedur Lain

Dokumen ini membandingkan trakeostomi dengan prosedur lain yang bertujuan untuk mengatasi obstruksi jalan napas, yaitu laringotomi dan krikotiroidotomi. Laringotomi dan krikotiroidotomi merupakan prosedur yang berbeda dengan tujuan yang sama, yaitu membuka jalan napas, tetapi dengan teknik operasi yang bervariasi. Krikoidotomi, misalnya, melibatkan pembukaan membran krikoid. Trakeostomi dibedakan dengan prosedur lainnya melalui penekanan pada pembuatan stoma dan pemasangan kanul. Meskipun tujuannya sama yaitu melancarkan saluran napas, metode yang digunakan berbeda dan memiliki implikasi klinis yang berbeda pula. Pemilihan metode tergantung dari kondisi pasien dan tingkat keparahan obstruksi jalan napas. Trakeostomi sering menjadi pilihan karena relative lebih mudah dilakukan dan memberikan akses yang lebih baik untuk perawatan pasca operasi. Pemahaman perbedaan antara trakeostomi dengan prosedur alternatif ini sangat penting dalam pengambilan keputusan klinis.

II.Indikasi Trakeostomi Trakeotomi

Trakeostomi diindikasikan dalam berbagai kondisi kegawatdaruratan jalan nafas, termasuk obstruksi saluran nafas atas (OSNA), seperti penyempitan rima glotis, dan pada kasus-kasus dimana diperlukan bantuan ventilasi mekanis. Kondisi lain yang dapat menjadi indikasi meliputi cedera kepala berat, trauma dada, intoksikasi barbiturat, dan pasca operasi. Dokumen ini menekankan pentingnya menentukan tingkat obstruksi untuk memastikan patensi jalan nafas di bawah level obstruksi tersebut.

1. Obstruksi Saluran Nafas Atas OSNA sebagai Indikasi Utama Trakeostomi

Obstruksi laring, sebagai bagian dari obstruksi saluran napas atas (OSNA), merupakan kondisi darurat medis yang membutuhkan penanganan segera. OSNA dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan memerlukan penanganan yang berbeda-beda. Trakeostomi terutama dilakukan untuk mencegah asfiksia akibat obstruksi laring, khususnya yang menyebabkan penyempitan rima glotis. Penentuan level terendah obstruksi sangat penting, karena kontrol jalan napas harus menjamin patensi di bawah level tersebut. OSNA seringkali berkaitan dengan masalah medis lainnya, misalnya trauma servikal pada pasien dengan trauma multipel, atau sepsis dan penurunan fungsi paru pada kasus infeksi. Meskipun penanganan jalan napas merupakan prioritas, faktor-faktor yang menyertai harus diperhatikan dalam penanganan pasien secara menyeluruh. Gejala OSNA bervariasi tergantung tingkat obstruksi, lokasi, dan penyebabnya, tetapi umumnya ditandai dengan stridor (pernapasan kasar, bernada tinggi) yang dapat mengindikasikan lokasi patologi. Retraksi subkosta juga sering terlihat, terutama pada bayi dan anak kecil. Gejala lain meliputi kecemasan, takikardi (peningkatan detak jantung), dan perubahan pada gas darah arteri, meskipun seringkali dalam batas normal. Penggunaan otot pernapasan tambahan, seperti retraksi supraklavikular, sternum, dan interkostal, menunjukkan upaya tubuh untuk mengatasi obstruksi parsial. Trakeostomi dipertimbangkan pada stadium II dan III obstruksi, atau bahkan sebelum munculnya obstruksi jika diperkirakan akan terjadi di kemudian hari.

2. Indikasi Trakeostomi Selain OSNA

Selain Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA), terdapat beberapa kondisi lain yang menjadi indikasi untuk melakukan trakeostomi. Salah satunya adalah kelambatan aliran oksigen (O2) ke cabang distal trakeobronkial, sering terjadi pada kegagalan pernapasan akut yang disebabkan oleh berbagai faktor. Dalam situasi ini, tekanan ventilasi positif, baik intermiten maupun kontinu, mungkin diperlukan. Trakeostomi menyediakan akses yang mudah dan aman untuk memberikan bantuan ventilasi dan menghilangkan dead space. Kondisi lain yang disebutkan sebagai indikasi trakeostomi meliputi cedera kepala dan dada yang berat, intoksikasi barbiturat, dan kebutuhan untuk kontrol jalan napas pasca bedah. Dokumen ini juga menyebutkan kondisi yang menyebabkan koma, seperti diabetes melitus (DM), uremia, septikemia, dan gagal hati, sebagai indikasi potensial untuk trakeostomi. Akumulasi sekret di saluran napas bawah juga dapat menjadi indikasi, karena trakeostomi memfasilitasi aspirasi sekret dengan efek samping minimal. Kesimpulannya, indikasi trakeostomi sangat beragam, mencakup kondisi darurat dan non-darurat, yang semuanya berkaitan dengan kesulitan atau gangguan pada fungsi saluran napas.

III.Prosedur Trakeostomi

Prosedur trakeostomi dijelaskan, mencakup posisi pasien, jenis anestesi (lokal atau umum), dan berbagai teknik, termasuk metode Chevalier Jackson untuk keadaan darurat. Jenis-jenis kanul trakea yang berbeda, termasuk yang ber-fenestrasi untuk memfasilitasi bicara, dijelaskan. Persiapan pra-operasi dan pentingnya tindakan aseptik untuk mencegah infeksi ditekankan.

1. Posisi Pasien dan Anestesi selama Prosedur Trakeostomi

Dokumen menjelaskan bahwa posisi pasien idealnya terlentang dengan kepala diekstensi menggunakan bantalan di bawah bahu, sehingga trakea mudah diakses. Operator biasanya berdiri di sebelah kanan pasien, dengan asisten di sebelah kiri. Kepala pasien dipegang untuk mempertahankan ekstensi yang optimal hingga kanul terpasang. Anestesi lokal dengan infiltrasi pada jaringan intrakutan atau subkutan di garis tengah leher, dari kartilago tiroid hingga istmus tiroid (pada insisi vertikal), atau pada garis horizontal antara krikoid dan insisura suprasternalis, biasanya digunakan. Pada anak-anak, anestesi lokal mungkin kurang efektif, sehingga anestesi umum ringan atau intubasi endotrakeal dapat menjadi pilihan untuk memudahkan palpasi trakea. Pemilihan metode anestesi dan posisi pasien yang tepat bertujuan untuk memastikan prosedur trakeostomi berjalan lancar dan meminimalkan risiko komplikasi. Pemahaman yang mendalam tentang anatomi leher dan teknik anestesi sangat krusial bagi keberhasilan prosedur ini.

2. Teknik Trakeostomi Metode Chevalier Jackson

Dokumen ini menjelaskan metode Chevalier Jackson sebagai teknik trakeostomi darurat yang dapat dilakukan dengan peralatan minimal. Jika skalpel tidak tersedia, pisau biasa atau silet dapat digunakan untuk insisi. Kanul trakea juga dapat diganti dengan selang karet jika diperlukan. Meskipun dapat dilakukan di mana saja, prinsip sterilisasi dan antiseptik tetap harus diutamakan untuk memaksimalkan keselamatan pasien. Metode ini menekankan kecepatan dan efisiensi dalam situasi kritis, mengutamakan penyelamatan nyawa pasien. Pasien akan kehilangan kemampuan bicara sementara, sehingga perlu disiapkan alat bantu komunikasi seperti bel. Ini adalah teknik yang sangat praktis dan efisien ketika menghadapi situasi darurat dan keterbatasan peralatan medis.

3. Jenis Kanul Trakea dan Pertimbangan Lainnya

Dokumen menyebutkan berbagai jenis kanul trakea, termasuk yang memiliki fenestrasi (lubang pada dinding posterior kanul luar). Kanul dengan fenestrasi memungkinkan aliran udara melalui saluran napas atas dan lubang trakeostomi, memfasilitasi bicara dan batuk yang lebih efektif. Jenis kanul ini sering digunakan sebelum dekanulasi untuk memastikan toleransi pasien terhadap pernapasan melalui jalan napas normal. Dokumen ini juga menekankan pentingnya humidifikasi untuk mencegah infeksi dan pembentukan krusta pada trakea, serta suctioning (penghisapan) secara berkala untuk menjaga kebersihan kanul, trakea, dan bronkus dari sekret. Suctioning yang tepat dan teknik aseptik yang ketat sangat penting untuk mencegah infeksi dan komplikasi pasca operasi. Pemilihan jenis kanul yang tepat dan teknik perawatan yang benar akan berdampak signifikan pada hasil trakeostomi dan kenyamanan pasien.

IV.Perawatan Pasca Trakeostomi

Perawatan pasca trakeostomi meliputi humidifikasi udara inspirasi untuk mencegah pembentukan krusta, penghisapan (suctioning) sekret secara berkala untuk mencegah penyumbatan dan infeksi, serta penggantian perban secara teratur. Dokumen ini membahas pentingnya dekanulasi (pelepasan kanul) segera untuk mencegah komplikasi seperti trakeobronkitis dan stenosis trakea.

1. Humidifikasi dan Suctioning

Perawatan pasca trakeostomi menekankan pentingnya humidifikasi udara inspirasi untuk mencegah infeksi trakea dan pembentukan krusta. Udara inspirasi yang tidak terfilter dengan sempurna dapat mengganggu fungsi silia mukosa bronkus, mengurangi sekresi mukus, dan menyebabkan metaplasia skuamosa pada epitel trakea, meningkatkan risiko trakeitis. Suctioning (penghisapan) secara teratur juga penting untuk menjaga kebersihan kanul, trakea, dan bronkus dari sekret yang dapat menyebabkan sumbatan, atelektasis, pneumonia, dan shunt pembuluh pulmonalis. Reflek batuk yang tidak memadai pada pasien trakeostomi memerlukan aspirasi sekret melalui tuba secara berkala, setidaknya setiap 15 menit pada beberapa jam pertama. Pasien dengan bunyi menggelegak menunjukkan peningkatan risiko dan memerlukan penghisapan segera. Teknik aseptik harus dipatuhi, menggunakan kateter sekali pakai yang steril dan sarung tangan. Penghisapan harus dilakukan hati-hati, dan kateter trakea dibedakan dari kateter hidung/mulut untuk mencegah komplikasi.

2. Dekanulasi dan Pencegahan Komplikasi

Dekanulasi, atau pengangkatan kanul trakea, sebaiknya dilakukan secepatnya untuk mencegah trakeobronkitis, ulserasi trakea, stenosis trakea, trakeomalasia, dan fistula trakeokutaneus. Prosedur dekanulasi dilakukan secara bertahap, dengan menutup lumen kanul secara bertahap menggunakan gabus kecil yang ukurannya diperbesar secara bertahap. Setelah dipastikan tidak ada tanda sesak napas, kanul dapat dilepas dan luka operasi ditutup dengan kassa steril, dan penjahitan dilakukan untuk alasan kosmetik. Komplikasi seperti pergeseran kanul keluar trakea dapat disebabkan oleh pengikatan kanul yang tidak tepat atau ukuran kanul yang tidak sesuai. Kanul yang terlalu panjang dapat melukai dinding anterior trakea atau karina, menyebabkan ulserasi dan obstruksi, bahkan potensi ruptur arteri innominata. Kanul yang terlalu pendek juga berisiko, terutama pada pasien gemuk atau anak-anak. Fistula trakeoesofageal terlambat biasanya terjadi karena insisi yang kurang hati-hati atau posisi kanul yang salah, yang dapat menyebabkan iritasi dan nekrosis pada dinding posterior trakea dan anterior esofagus, disertai risiko aspirasi isi lambung. Pencegahannya meliputi pengosongan balon kanul secara berkala.

3. Perawatan Stoma dan Kulit serta Saran untuk Keluarga

Perawatan stoma dan kulit sangat penting karena epitelisasi terjadi dengan cepat. Stoma dan kulit harus dijaga tetap kering dan bersih menggunakan larutan garam fisiologis dan antiseptik ringan untuk mencegah iritasi dan infeksi. Irigasi dan penghisapan dapat difasilitasi dengan memasukkan larutan garam isotonis ke dalam kanul trakea. Kateter penghisap dimasukkan sambil diputar dan ditarik kembali, tidak lebih dari 20 detik setiap penghisapan. Penggantian perban trakeostomi dilakukan setiap hari atau jika kotor atau basah, sebaiknya dilakukan oleh dua orang. Penting untuk memeriksa ketegangan ikatan kanul agar tetap pada posisi yang tepat. Dokumen ini juga menyarankan komunikasi dua arah antara tenaga medis dan keluarga pasien untuk mengatasi berbagai reaksi emosional yang mungkin muncul. Pedoman perawatan yang jelas dan dukungan emosional penting untuk keberhasilan perawatan pasca trakeostomi dan adaptasi keluarga terhadap kondisi baru ini.

V.Komplikasi Trakeostomi Trakeotomi

Dokumen ini menjabarkan berbagai komplikasi trakeostomi, dibagi menjadi intraoperatif, pasca operasi dini, dan pasca operasi lanjut. Komplikasi dapat meliputi perdarahan, emfisema subkutan, cedera esofagus (fistula trakeoesofageal), injuries saraf laringeal rekuren, dan stenosis trakea. Angka kejadian komplikasi lebih tinggi pada anak-anak, terutama neonatus.

1. Komplikasi Intraoperatif dan Pasca Operasi Dini

Komplikasi trakeostomi dapat terjadi selama operasi (intraoperatif) atau segera setelahnya (pasca operasi dini). Perdarahan merupakan komplikasi intraoperatif yang paling sering terjadi. Diseksi yang hati-hati pada trakea dengan kontrol perdarahan yang cermat dapat meminimalkan risiko ini. Perdarahan yang signifikan yang tidak terkontrol dengan elektrokauter, jahitan, dan tamponade longgar dengan Gelfoam mungkin menunjukkan abnormalitas pembekuan darah. Emfisema subkutan, terperangkapnya udara dalam jaringan lunak, dapat dikurangi dengan penjahitan insisi kulit dan mengikat diseksi pada garis tengah trakea. Emfisema subkutan yang ekstensif memerlukan pelebaran luka di leher dan mungkin pemasangan drain. Pneumomediastinum dan pneumotoraks juga dapat terjadi sebagai komplikasi. Pada anak-anak di bawah 1 tahun, komplikasi pasca operasi dini dilaporkan hingga 13,3%, yang mengindikasikan pentingnya pengawasan ketat setelah prosedur. Komplikasi ini dapat meliputi dekanulasi tidak sengaja, tersumbatnya tube, trakeitis, dan infeksi stoma trakea. Untuk mencegah cedera esofagus atau fistula trakeoesofageal, diseksi midline yang sangat teliti dan menghindari penggunaan pipa makan serta stetoskop esofageal selama prosedur sangat penting. Cedera pada nervus laringeus rekuren juga dapat dihindari dengan diseksi midline dan insisi trakea vertikal midline. Ikatan trakeostomi perlu diamankan dengan hati-hati untuk mencegah dekanulasi tidak sengaja.

2. Komplikasi Pasca Operasi Lanjut dan Pengaruh Durasi Trakeostomi

Komplikasi trakeostomi pasca operasi lanjut dipengaruhi oleh durasi penggunaan kanul. Erosi dinding trakea dapat terjadi akibat tekanan kanul, terutama pada trakeostomi letak rendah di bawah cincin ke-3 atau jika kanul terlalu besar. Arteri innominata, yang melintasi anterior trakea di superior thoracic inlet, juga rentan terhadap erosi. Kanul bermanset (cuffed) tidak disarankan pada anak-anak karena juga dapat menyebabkan erosi dinding trakea. Laringoskopi dan bronkoskopi dapat membantu mengevaluasi ukuran lumen trakea sebelum penempatan kanul untuk menghindari komplikasi ini. Perdarahan pasca operasi dapat mengindikasikan masalah yang serius dan memerlukan identifikasi sumber perdarahan melalui kanul atau stoma dengan endoskopi fleksibel. Trakeitis dan infeksi stoma dapat ditangani dengan perawatan lokal, penghisapan hati-hati, dan humidifikasi adekuat; kultur dilakukan hanya jika perawatan rutin tidak efektif. Pada neonatus, kanul yang lunak dapat bergeser dan menyebabkan obstruksi sementara, sehingga pemahaman tentang pengaruh posisi kepala dan tubuh terhadap patensi jalan napas sangat penting. Granuloma, massa fibrosa yang dapat tumbuh di stoma, dapat diatasi dengan pengangkatan jika menyebabkan obstruksi. Kolaps suprastomal dan stenosis trakea dapat terjadi akibat tekanan kanul, dan mungkin memerlukan prosedur rekonstruksi. Pada anak-anak, pengangkatan jendela kartilago yang sakit dapat mencegah masalah ini.

VI.Dekanulasi dan Perawatan Keluarga

Proses dekanulasi dilakukan secara bertahap, dengan menutup lumen kanul secara bertahap. Pentingnya evaluasi fungsi saluran napas sebelum dekanulasi ditekankan. Dokumen ini juga memberikan panduan bagi keluarga pasien tentang perawatan stoma, penghisapan sekret, dan penggantian perban. Dukungan psikologis bagi keluarga juga dianggap penting.

1. Proses Dekanulasi

Dekanulasi, yaitu pengangkatan kanul trakeostomi, merupakan tahapan penting dalam perawatan pasca trakeostomi. Sebelum dekanulasi dilakukan, evaluasi menyeluruh terhadap kondisi pasien sangat krusial. Dokter perlu memastikan bahwa masalah utama yang menyebabkan kebutuhan trakeostomi telah membaik secara signifikan sehingga trakeostomi tidak lagi diperlukan. Pemeriksaan endoskopik pada saluran napas juga penting untuk memastikan tidak adanya masalah baru yang disebabkan oleh trakeostomi itu sendiri. Fungsi pita suara harus dinilai, dan jika ada granuloma suprastoma, harus diatasi terlebih dahulu. Setelah semua kriteria terpenuhi, kanul trakeostomi yang lebih kecil dipasang secara bertahap hingga mencapai ukuran terkecil yang masih praktis. Pada tahap ini, kanul dapat disumbat untuk jangka waktu tertentu guna mengevaluasi kemampuan pasien bernapas melalui laring. Sumbatan ini biasanya dilakukan sebelum pasien pulang dari rumah sakit, dan pengamatan tidur mungkin diperlukan untuk mengevaluasi masalah pernapasan sentral. Pada bayi, karena ukuran trakea yang kecil, kanul trakeostomi terkecil dapat sepenuhnya memenuhi trakea sehingga sumbatan tidak memungkinkan. Kanul berfenestrasi umumnya dihindari selama proses dekanulasi karena berpotensi menyebabkan jaringan granulasi. Setelah kanul diangkat, pasien dipantau di rumah sakit selama 24-48 jam.

2. Perawatan Pasien dan Jenis Kanul

Dokumen ini juga membahas jenis-jenis kanul trakeostomi, membandingkan antara kanul Portex dan Silastic (Argyle & Bivona). Kanul Silastic lebih lentur, mengumpulkan lebih sedikit sekresi, dan lebih mudah untuk dekanulasi. Kanul trakeostomi yang kecil biasanya tidak memiliki manset (cuff). Kanul metal (Holinger & Jackson) dengan inner cannule mungkin dibutuhkan untuk prosedur rekonstruksi. Inner cannule memfasilitasi pembersihan lumen pada trakeostomi jangka panjang. Pasien yang tidak menggunakan ventilator umumnya dapat makan per oral sehari setelah prosedur. Tali pengikat trakeostomi diganti pada minggu pertama untuk perawatan, dan kanul trakeostomi pertama diganti pada hari ke-5 hingga ke-7 pasca operasi. Untuk pasien dengan ventilator, posisi tube ventilator harus berada di tengah dada atau abdomen untuk mencegah rotasi kanul trakeostomi. Suctioning dilakukan setiap 1-2 jam dan kemudian berkurang sesuai kebutuhan. Sedasi dan pengendalian nyeri penting untuk mencegah kanul trakeostomi tersangkut atau salah tempat pada 5-7 hari pertama. Foto rontgen dada postoperatif dilakukan untuk menentukan posisi kanul.

3. Persiapan Pulang dan Nasehat untuk Keluarga

Setelah 5-7 hari, ketika saluran napas telah terbentuk dengan baik, jahitan traksi diangkat. Keluarga atau pengasuh diajarkan tentang perawatan trakeostomi, penanganan masalah yang mungkin terjadi, resusitasi kardiopulmoner, dan persiapan peralatan di rumah. Tim trakeostomi di rumah sakit, termasuk perawat pendidik, terapis pernapasan, terapis wicara, dan terapis okupasi serta fisik, mungkin terlibat dalam perawatan anak. Peralatan trakeostomi manual tersedia di rumah sakit dan secara komersial. Informasi tambahan seperti kaset video dan boneka trakeostomi membantu keluarga dalam mempelajari teknik perawatan. Penting untuk menginformasikan perusahaan listrik, telepon, tim darurat, dan polisi lokal tentang keberadaan anak dengan trakeostomi di rumah. Tim trakeostomi melakukan kunjungan rutin setelah pasien pulang, bersama dengan dokter anak.

VII.Krikoidotomi sebagai Alternatif

Sebagai alternatif untuk trakeostomi, krikoidotomi dijelaskan sebagai prosedur yang lebih sederhana dan cepat, tetapi juga dengan batasan, termasuk kontra indikasi relatif pada anak di bawah 12 tahun kecuali kondisi spesifik. Prosedur ini melibatkan insisi pada membran krikoid.

1. Deskripsi Prosedur Krikoidotomi

Dokumen menjelaskan krikotiroidotomi sebagai alternatif prosedur untuk trakeostomi, terutama dalam situasi darurat. Secara garis besar, krikotiroidotomi dilakukan dengan insisi transversal langsung di atas membran krikotiroid. Posisi operator berada di sebelah kanan pasien (jika menggunakan tangan kanan), dengan tangan kiri memegang kartilago tiroid dan melakukan palpasi membran krikotiroid. Insisi dilakukan dengan teknik 'short stabbing' langsung ke membran krikotiroid. Memantau kartilago krikoid dapat mencegah trauma pada arteri krikotiroid. Setelah masuk ke daerah subglotis, pisau diputar vertikal untuk memperlebar luka, kemudian tabung endotrakeal (ETT) dimasukkan. Keuntungan krikotiroidotomi terletak pada letak membran krikotiroid yang anatomis menguntungkan, dekat dengan permukaan kulit, sehingga diseksi minimal dibutuhkan. Prosedur ini relatif mudah dan dapat dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih dengan peralatan minimal. Namun, dokumen juga mencatat beberapa hal penting tentang anatomi dan teknik operasi yang tepat agar prosedur berjalan dengan aman dan efektif.

2. Indikasi dan Kontraindikasi Krikoidotomi

Krikoidotomi, meskipun lebih mudah daripada trakeostomi, memiliki indikasi dan kontraindikasi yang perlu diperhatikan. Dokumen menyebutkan bahwa krikotiroidotomi merupakan kontra indikasi relatif pada anak di bawah usia 12 tahun, kecuali pada kasus infeksi laring, tumor transekting, dan trauma laring. Ini menunjukkan bahwa prosedur ini mungkin lebih cocok untuk pasien dewasa atau anak-anak dengan kondisi tertentu. Selain itu, krikotiroidotomi juga merupakan kontraindikasi pada tumor laring yang telah meluas ke subglotik dan laringitis. Stenosis laring (subglotik) dapat terjadi jika kanul dibiarkan terlalu lama, sehingga krikotiroidotomi sebaiknya diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam. Pertimbangan ini penting untuk memastikan pemilihan prosedur yang tepat berdasarkan kondisi klinis pasien. Pemilihan antara krikotiroidotomi dan trakeostomi harus didasarkan pada penilaian yang cermat terhadap kondisi pasien, usia, dan ketersediaan sumber daya medis.