
Perilaku Pencarian Informasi Siswa Tunanetra di SLB A Karya Murni Medan
Informasi dokumen
Penulis | Surya Dewi Martalena Zebua |
Sekolah | Universitas Sumatera Utara |
Jurusan | Ilmu Perpustakaan dan Informasi |
Tempat | Medan |
Jenis dokumen | Skripsi |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 4.30 MB |
- Perilaku Pencarian Informasi
- Tunanetra
- Ilmu Perpustakaan
Ringkasan
I.Pandangan Masyarakat terhadap Tunanetra dan Kebutuhan Informasi
Skripsi ini meneliti perilaku pencarian informasi pada siswa tunanetra di SMPLB A Karya Murni Medan. Studi ini berangkat dari perubahan pandangan masyarakat terhadap tunanetra, yang dulunya dianggap tidak berguna, kini diakui memiliki hak atas pendidikan dan informasi. Kebutuhan informasi bagi tunanetra sama pentingnya dengan orang awas, meski media dan cara memperolehnya berbeda. Penelitian ini penting karena minimnya fasilitas dan koleksi perpustakaan yang ramah bagi tunanetra, padahal mereka memiliki hak akses informasi yang sama.
1. Evolusi Pandangan Masyarakat Terhadap Tunanetra
Bagian awal skripsi membahas perubahan persepsi masyarakat terhadap individu tunanetra. Dahulu, bayi yang lahir tunanetra seringkali dibunuh karena dianggap sebagai beban. Namun, seiring perkembangan peradaban, pandangan ini mulai berubah, terutama sejak pertengahan abad ke-18. Pradopo (1977) mencatat pergeseran ini, di mana anak tunanetra mulai mendapatkan hak hidup dan perhatian lebih terhadap pendidikan mereka. Meskipun demikian, kesulitan dalam membaca akibat gangguan penglihatan menyebabkan informasi yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas ini tetap terbatas dibandingkan dengan orang awas. Hal ini menyoroti kebutuhan akan aksesibilitas informasi yang lebih baik bagi tunanetra. Perubahan ini menandai perkembangan penting dalam pemahaman inklusi sosial dan hak-hak penyandang disabilitas, membuka jalan untuk diskusi mengenai kebutuhan informasi khusus mereka.
2. Kebutuhan Informasi dan Perannya dalam Kehidupan Tunanetra
Skripsi menekankan pentingnya akses informasi bagi tunanetra, menyamakannya dengan kebutuhan orang awas. Meskipun cara dan media memperoleh informasi berbeda, kebutuhan mendasar akan informasi tetap sama. Membaca merupakan hal krusial dalam pendidikan, dan bagi tunanetra, kendala akses membaca menyebabkan keterbatasan informasi yang sangat signifikan. Contoh kisah Helen Keller yang mampu meraih prestasi akademis tinggi melalui sistem Braille memperlihatkan potensi tunanetra jika mendapatkan informasi yang memadai. Keinginannya untuk belajar bahasa Perancis, Jerman, Yunani dan Latin melalui Braille dan prestasinya lulus dengan predikat magna cum laude di Radcliffe College menunjukkan bahwa informasi merupakan kunci bagi mereka untuk berkembang dan berkontribusi bagi masyarakat. Oleh karena itu, skripsi ini menyoroti pentingnya menyediakan akses dan media informasi yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka.
3. Keterbatasan Akses Informasi dan Peran Perpustakaan
Skripsi menyoroti berbagai kendala yang dihadapi tunanetra dalam memperoleh informasi. Minimnya fasilitas dan kemasan informasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka merupakan masalah utama. Perpustakaan, sebagai penyedia layanan informasi, juga memiliki keterbatasan dalam hal fasilitas, koleksi, dan layanan yang ramah tunanetra. Keadaan ini menunjukkan kesenjangan akses informasi yang signifikan antara tunanetra dan orang awas. Pentingnya perhatian terhadap pengelolaan perpustakaan dan penyediaan media informasi yang sesuai untuk tunanetra ditekankan, mengingat hak mereka untuk mengakses informasi sebagaimana diatur dalam undang-undang. Keterbatasan akses ini menekankan kebutuhan mendesak untuk memperbaiki infrastruktur dan layanan perpustakaan agar lebih inklusif dan memenuhi kebutuhan khusus penyandang disabilitas visual.
II.Definisi Tunanetra dan Kebutuhan Informasi
Skripsi mendefinisikan tunanetra sebagai individu dengan gangguan visual, baik sebagian (low vision) maupun total (total blind), yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Kebutuhan informasi bagi tunanetra mirip dengan orang awas, namun media dan cara aksesnya berbeda. Penelitian Widyaningsih (2010) mendukung hal ini, menunjukkan tunanetra menggunakan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan informasi, mulai dari bertanya pada orang sekitar hingga mengakses internet. Perbedaan utama terletak pada media dan alat bantu yang digunakan, seperti Braille, JAWS, Victor Reader Stratus, dan alat bantu lainnya untuk akses informasi.
1. Definisi Tunanetra Berdasarkan Gangguan Visual
Skripsi ini mendefinisikan tunanetra berdasarkan tingkat gangguan visual yang dialami. Definisi tersebut mencakup dua kategori utama: low vision (gangguan penglihatan sebagian/terbatas) dan total blind (kehilangan penglihatan total). Keduanya mempengaruhi kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan orang awas. Definisi ini menekankan dampak gangguan visual terhadap akses informasi dan partisipasi dalam kehidupan sosial. Ketajaman penglihatan menjadi tolok ukur utama untuk menentukan klasifikasi tunanetra, sesuai dengan penjelasan Somantri. Dengan demikian, definisi ini memberikan landasan yang jelas untuk memahami konteks penelitian terkait kebutuhan dan perilaku pencarian informasi pada populasi tunanetra.
2. Kebutuhan Informasi Kesamaan antara Tunanetra dan Orang Awas
Skripsi menegaskan bahwa kebutuhan akan informasi pada tunanetra dan orang awas pada dasarnya sama. Baik tunanetra maupun orang awas sama-sama makhluk sosial dengan kebutuhan informasi tertentu. Perbedaan terletak pada media dan cara perolehan informasi. Tunanetra menghadapi kesulitan dalam mengakses informasi karena keterbatasan penglihatan. Penulis menyamakan secara garis besar kebutuhan informasi kedua kelompok ini, menekankan bahwa perbedaan utamanya terletak pada bagaimana informasi diakses dan bagaimana media informasi diadaptasi. Dengan demikian, penelitian ini tidak berfokus pada perbedaan esensial dalam kebutuhan informasi, melainkan pada perbedaan metode dan tantangan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.
3. Kebutuhan Informasi Tunanetra Temuan Penelitian Widyaningsih 2010
Skripsi mengutip temuan penelitian Widyaningsih (2010) yang relevan dengan kebutuhan informasi tunanetra. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan informasi tunanetra meliputi tuntutan kehidupan sehari-hari, penunjang kegiatan, pemenuhan rasa ingin tahu, dan pemecahan masalah (problem solving). Metode yang digunakan pun beragam, mulai dari bertanya pada orang sekitar hingga mengakses internet. Informasi yang diperoleh digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup, pekerjaan, dan menjawab rasa ingin tahu. Kutipan ini memperkuat argumen skripsi yang menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan informasi tunanetra dengan berbagai metode dan media yang sesuai dengan keterbatasan penglihatan mereka. Kutipan ini berfungsi sebagai bukti empiris tambahan mengenai kompleksitas dan multi-facetednya kebutuhan informasi tunanetra.
III.Perilaku Pencarian Informasi Tunanetra dan Model Model yang Relevan
Bagian ini membahas perilaku pencarian informasi siswa tunanetra. Penelitian menggunakan metode wawancara mendalam dan observasi di SMPLB A Karya Murni Medan, melibatkan 12 siswa. Analisis menggunakan model pencarian informasi Wilson (1999), yang mempertimbangkan konteks kebutuhan, hambatan, dan peran interpersonal. Model-model lain seperti Kuhlthau's ISP dan Ellis juga dibahas untuk memberi kerangka analisis terhadap perilaku pencarian informasi siswa tunanetra. Alat bantu seperti komputer dengan JAWS dan internet juga dibahas dalam konteks akses informasi.
1. Metodologi Penelitian Perilaku Pencarian Informasi
Bagian ini menjelaskan metode yang digunakan untuk meneliti perilaku pencarian informasi siswa tunanetra. Penelitian dilakukan di SMPLB A Karya Murni Medan, melibatkan seluruh siswa sebanyak 12 orang sebagai informan. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam (depth interview) untuk menggali informasi akurat dan relevan mengenai perilaku dan usaha yang dilakukan siswa tunanetra saat mencari informasi. Pertanyaan-pertanyaan wawancara disusun secara sistematis. Selain wawancara, observasi langsung dilakukan di lokasi penelitian untuk mengamati kondisi fisik tunanetra dan lingkungan sekitar, termasuk perpustakaan sekolah. Studi dokumentasi juga dilakukan dengan menelaah literatur, jurnal, dan artikel terkait perilaku pencarian informasi, kebutuhan informasi, dan alat bantu yang digunakan tunanetra. Metode ini memungkinkan pemahaman yang komprehensif tentang perilaku pencarian informasi siswa tunanetra dalam konteks lingkungan belajar mereka.
2. Model model Pencarian Informasi yang Relevan
Studi ini menggunakan beberapa model pencarian informasi sebagai kerangka analisis. Model Wilson (1999) menjadi pedoman utama, yang memandang kebutuhan informasi sebagai kebutuhan sekunder yang muncul dari kebutuhan dasar (fisiologis, kognitif, atau afektif). Model ini juga mempertimbangkan hambatan dalam pencarian informasi. Selain model Wilson, model Kuhlthau's ISP (Information Search Process) yang terdiri dari tahap inisiasi, seleksi, eksplorasi, formulasi fokus, dan model Ellis dengan tahapan browsing, chaining, dan monitoring juga dibahas. Penerapan model-model ini membantu menganalisis perilaku pencarian informasi siswa tunanetra, menjelaskan proses dan tantangan yang mereka hadapi dalam menemukan informasi yang relevan. Penggunaan beberapa model ini memungkinkan analisis yang lebih komprehensif dari beragam aspek dalam perilaku pencarian informasi para siswa.
3. Penggunaan Teknologi dan Alat Bantu dalam Pencarian Informasi
Skripsi mengamati penggunaan teknologi dan alat bantu oleh siswa tunanetra dalam pencarian informasi. Penggunaan komputer dengan software JAWS (Job Access With Speech) dan internet dibahas sebagai alat bantu penting. Observasi menunjukkan siswa tunanetra menggunakan keyboard lebih banyak daripada mouse, dan terbiasa mengetik alamat web untuk pencarian. Meskipun demikian, keterbatasan akses internet dan ketergantungan pada guru atau petugas perpustakaan masih terlihat. Alat bantu seperti JAWS dirancang untuk memudahkan akses komputer bagi tunanetra, mengurangi ketergantungan pada orang lain. Victor Reader Stratus, sebagai pemutar buku multimedia, juga disebutkan sebagai teknologi pendukung. Penggunaan teknologi ini menunjukkan upaya adaptasi dan inovasi dalam memenuhi kebutuhan informasi, namun kendala infrastruktur dan keahlian masih menjadi tantangan.
IV.Hambatan dan Fasilitas Pencarian Informasi di SMPLB A Karya Murni Medan
Penelitian mengidentifikasi hambatan dalam pencarian informasi siswa tunanetra di SMPLB A Karya Murni Medan. Hambatan meliputi masalah koneksi internet, informasi yang tidak relevan, keterbatasan waktu dan tempat, dan sumber informasi yang kurang memadai. Perpustakaan SMPLB A Karya Murni Medan, berdiri sejak 20 tahun lalu dengan koleksi buku sejak tahun 70-an, memiliki keterbatasan dalam hal koleksi dan fasilitas yang mendukung akses informasi bagi tunanetra. Terdapat Percetakan Braille Tunanetra Karya Murni Medan yang mencetak buku-buku pelajaran dalam Braille, namun keterbatasan anggaran membatasi pengembangan koleksi. Siswa juga jarang mengunjungi perpustakaan.
1. Gambaran Umum Perpustakaan SMPLB A Karya Murni Medan
Skripsi ini mendeskripsikan perpustakaan Yayasan SLB A Karya Murni Medan sebagai salah satu fasilitas yang relevan bagi siswa tunanetra. Perpustakaan yang berdiri sejak 20 tahun lalu ini memiliki koleksi buku sejak tahun 70-an, sebagian merupakan sumbangan dari Belanda dan Jerman. Perpustakaan terdiri dari dua ruangan, masing-masing berukuran satu kelas, satu ruangan untuk buku pelajaran dan satu lagi untuk koleksi umum (sastra, musik, kitab injil). Empat orang pegawai mengelola perpustakaan, namun mereka bukan berlatar belakang pendidikan ilmu perpustakaan. Buku pelajaran dicetak sendiri oleh Percetakan Braille Tunanetra Karya Murni Medan, dengan proses yang melibatkan pengetikan ulang, konversi ke format Braille menggunakan komputer khusus (transtool), pencetakan dengan printer khusus, dan penjilidan. Kertas khusus didatangkan dari Norwegia. Selain percetakan, tersedia juga alat ketik manual Braille (Perkins Brailler). Satu buku biasa bisa menjadi beberapa volume dalam bentuk Braille. Koleksi perpustakaan umumnya disumbangkan dan diterima tanpa seleksi, buku yang sudah lama tidak terpakai dijual atau dimusnahkan. Minimnya anggaran untuk pengembangan koleksi juga menjadi kendala.
2. Hambatan dalam Pencarian Informasi bagi Siswa Tunanetra
Skripsi mengidentifikasi beberapa hambatan yang dihadapi siswa tunanetra dalam pencarian informasi di SMPLB A Karya Murni Medan. Siswa jarang mengunjungi perpustakaan, hanya 2-3 orang yang datang saat istirahat, lebih sering datang saat jam pelajaran kosong. Penggunaan komputer dan internet juga terbatas pada jam pelajaran komputer, dengan ketersediaan software JAWS. Keterbatasan ini membuat siswa tunanetra sering membutuhkan bantuan dari guru, pustakawan, atau pegawai perpustakaan untuk menemukan informasi yang dibutuhkan. Hambatan lainnya mencakup koneksi internet yang sering terganggu, informasi yang ditemukan seringkali tidak relevan, dan keterbatasan waktu dan tempat untuk mencari informasi. Secara umum, hambatan dikelompokkan menjadi tujuh jenis: masalah media pencarian informasi, keterbatasan waktu dan tempat, informasi tidak relevan, narasumber yang kurang pengetahuan, biaya yang mahal, ketersediaan informasi tercetak terbatas, dan tata ruang perpustakaan yang kurang tertata. Keterbatasan-keterbatasan ini menunjukkan perlunya perbaikan infrastruktur dan layanan untuk mendukung akses informasi bagi siswa tunanetra.
V.Hasil dan Pembahasan Perilaku Pencarian Informasi Tunanetra
Hasil penelitian menunjukkan beragam perilaku pencarian informasi siswa tunanetra. Mereka memanfaatkan berbagai sumber, termasuk perpustakaan, internet, dan bertanya pada guru dan teman. Namun, hambatan akses informasi tetap ada, seperti masalah jaringan internet dan relevansi informasi. Meskipun terampil menggunakan teknologi seperti JAWS dan internet untuk akses informasi, mereka masih sering meminta bantuan orang lain. Penelitian menyoroti pentingnya dukungan dan fasilitas yang memadai untuk meningkatkan akses informasi dan kemandirian siswa tunanetra dalam pencarian informasi.
1. Karakteristik Informan dan Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini melibatkan 12 siswa tunanetra dari SMPLB A Karya Murni Medan, kelas 7-9, sebagai informan. Mereka memiliki kesamaan kondisi fisik (tunanetra), lingkungan tempat tinggal (asrama), kebutuhan informasi, dan media informasi yang hampir sama. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan observasi. Wawancara dilakukan berulang kali untuk memastikan akurasi data, dengan menggunakan bahasa sederhana dan memberikan contoh pernyataan untuk membantu informan yang cenderung kurang percaya diri. Observasi dilakukan sebelum dan selama penelitian, mencakup kondisi fisik tunanetra, dan lingkungan Yayasan SLB A Karya Murni Medan (asrama, gedung sekolah, perpustakaan, ruang belajar, proses belajar mengajar, dan kehidupan sosial). Studi dokumentasi juga dilakukan dengan menelaah literatur, jurnal, artikel, dan internet terkait perilaku pencarian informasi, kebutuhan informasi, dan kondisi tunanetra. Model Wilson (1996) digunakan sebagai pedoman wawancara, dengan mempertimbangkan variabel perantara seperti kondisi psikologis, demografis, peran interpersonal, dan karakteristik sumber informasi.
2. Temuan Mengenai Perilaku Pencarian Informasi
Hasil wawancara menunjukkan beragam perilaku pencarian informasi siswa tunanetra. Mereka menggunakan berbagai sumber informasi, termasuk perpustakaan dan internet. Dalam mencari informasi di perpustakaan, mereka mencari sendiri, memeriksa rak satu persatu, dan bertanya pada petugas jika perlu. Informasi dari internet sering dicetak dalam Braille dengan bantuan guru. Beberapa informan juga memanfaatkan radio, televisi, dan bertanya kepada guru atau teman. Model Wilson (1999) digunakan untuk menganalisis temuan ini, dengan memperhatikan konteks kebutuhan informasi, hambatan yang dihadapi, dan peran orang lain dalam proses pencarian. Temuan menunjukkan adanya kecenderungan untuk meminta bantuan orang lain, terutama jika menghadapi kendala teknis atau kesulitan menemukan informasi yang relevan. Perilaku ini mengindikasikan pentingnya dukungan sosial dan aksesibilitas informasi yang lebih baik.
3. Hambatan Utama dalam Pencarian Informasi
Analisis hasil penelitian mengungkap hambatan utama yang dihadapi siswa tunanetra dalam pencarian informasi. Gangguan koneksi internet merupakan kendala utama saat menggunakan komputer dan internet. Ketidakrelevanan informasi yang ditemukan juga menjadi masalah. Pernyataan informan mencerminkan pengalaman mereka akan koneksi internet yang sering terputus dan informasi yang tidak sesuai kebutuhan. Selain itu, keterbatasan akses perpustakaan (jarang berkunjung) dan ketergantungan pada bantuan orang lain (guru, pustakawan) juga menjadi kendala. Secara keseluruhan, tujuh jenis hambatan utama diidentifikasi: masalah media pencarian informasi, keterbatasan waktu dan tempat, informasi yang tidak relevan, narasumber yang kurang pengetahuan, biaya yang mahal, ketersediaan informasi tercetak terbatas, dan tata ruang perpustakaan yang kurang tertata. Temuan ini menunjukkan perlunya intervensi untuk meningkatkan aksesibilitas informasi dan dukungan bagi siswa tunanetra.
Referensi dokumen
- Search User Interfaces (Hearst, M. A.)