
Perbedaan Pengaruh Teknik Dry-Bonding, Water Wet-Bonding, dan Ethanol Wet-Bonding pada Restorasi Klas II Resin Komposit Nanohybrid
Informasi dokumen
Penulis | Margareth Zweita |
instructor | Darwis Aswal, drg |
Sekolah | Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara |
Jurusan | Kedokteran Gigi |
Jenis dokumen | Skripsi |
Tempat | Medan |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 5.44 MB |
- Restorasi Gigi
- Teknik Bonding
- Celah Mikro
Ringkasan
I.Masalah Utama Restorasi Klas II Resin Komposit Nanohybrid
Penelitian ini berfokus pada permasalahan utama dalam restorasi Klas II, yaitu terjadinya shrinkage polimerisasi dan adaptasi marginal yang buruk, terutama di tepi gingiva, sehingga menyebabkan celah mikro. Celah mikro ini dapat memicu karies sekunder, hipersensitivitas, dan kegagalan restorasi. Penelitian ini mengevaluasi tiga teknik bonding: dry-bonding, water wet-bonding, dan ethanol wet-bonding, untuk menentukan pengaruhnya terhadap pembentukan celah mikro pada resin komposit nanohybrid.
1. Masalah Utama Restorasi Klas II
Bagian ini mengidentifikasi masalah utama pada restorasi Klas II resin komposit, yaitu terjadinya shrinkage polimerisasi dan adaptasi yang kurang baik, terutama di tepi gingiva. Akibatnya, terbentuklah celah mikro yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Shrinkage polimerisasi, yang dijelaskan sebagai kontraksi material akibat proses pengerasan, merupakan faktor utama penyebab celah mikro. Faktor lain yang berperan adalah adaptasi marginal yang kurang optimal, khususnya pada daerah tepi gingiva yang cenderung lembab. Celah mikro ini memungkinkan bakteri, cairan, dan sisa makanan untuk masuk ke dalam, yang dapat menyebabkan karies sekunder, hipersensitivitas gigi, perubahan warna, dan bahkan kegagalan perawatan endodontik. Oleh karena itu, teknik bonding yang tepat sebelum aplikasi bahan bonding sangat penting untuk mendapatkan ikatan yang kuat dan mencegah pembentukan celah mikro. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan pengaruh teknik dry-bonding, water wet-bonding, dan ethanol wet-bonding pada restorasi Klas II resin komposit nanohybrid terhadap pembentukan celah mikro ini. Tingkat shrinkage juga dikaitkan dengan C-factor (Configuration factor), yaitu perbandingan permukaan restorasi yang terikat dengan yang tidak terikat pada struktur gigi. Semakin tinggi C-factor, semakin besar kemungkinan terbentuknya celah mikro.
2. Kelemahan Resin Komposit dan Pengembangan Nanohybrid
Resin komposit, meskipun memiliki kekuatan mekanik dan estetika yang baik, memiliki kelemahan yaitu daya tahan terhadap stres yang rendah, potensi sensitivitas gigi setelah restorasi, kesulitan mengontrol daerah proksimal, dan tingkat shrinkage yang tinggi akibat polimerisasi. Stres dan shrinkage polimerisasi yang tinggi ini dapat menyebabkan berbagai masalah, termasuk pembentukan celah mikro, karies sekunder, hilangnya perlekatan, dan perubahan warna pada tepi restorasi. Untuk mengatasi masalah shrinkage yang tinggi, resin komposit nanohybrid dikembangkan. Material ini dirancang untuk menurunkan tingkat shrinkage dan meningkatkan kekuatan resin komposit, sehingga lebih cocok untuk restorasi gigi posterior yang menerima beban kunyah terbesar. Meskipun demikian, masalah utama tetap ada, yaitu potensi pembentukan celah mikro akibat shrinkage polimerisasi dan adaptasi marginal yang kurang baik.
3. Pentingnya Kelembaban Dentin dalam Bonding
Keberhasilan bonding dentin sangat bergantung pada kondisi kelembaban dentin dan keadaan kolagen. Permukaan dentin yang terlalu kering akan menyebabkan kolapsnya serabut kolagen, menghalangi penetrasi resin, dan mencegah pembentukan lapisan hybrid yang optimal. Sebaliknya, permukaan dentin yang terlalu lembab akan mengencerkan bahan bonding dan mengurangi efektivitasnya. Kondisi ideal adalah dentin dalam keadaan lembab (moist), di mana air akan berdifusi membawa bahan bonding ke matriks dentin yang telah mengalami demineralisasi. Hal ini memungkinkan bahan bonding untuk masuk ke dalam tubulus dentin, mempersiapkan permukaan untuk ikatan dengan resin komposit, dan membentuk lapisan hybrid pada serabut kolagen. Lapisan hybrid ini meningkatkan daya tahan dan kekerasan mineral dentin, menjadi tujuan utama mekanisme bonding sistem adhesif. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pengeringan dentin yang berlebihan dapat menyebabkan masalah perlekatan dan kekuatan restorasi, sehingga teknik wet-bonding mulai banyak diterapkan.
4. Teknik Dry bonding vs. Wet bonding Water Ethanol
Ada dua teknik pengeringan utama setelah pengetsaan dentin: dry-bonding dan wet-bonding. Dry-bonding melibatkan pembilasan dentin dengan air lalu pengeringan total dengan semprotan udara. Namun, beberapa penelitian menunjukkan pengeringan ini dapat menyebabkan dehidrasi dentin dan kolapsnya matriks dentin, mempengaruhi penetrasi resin komposit. Wet-bonding, sebaliknya, mempertahankan kelembaban dentin setelah pengetsaan. Permukaan dentin yang lembab mencegah kolaps matriks kolagen dan meningkatkan kekuatan perlekatan. Etanol, sebagai alternatif dalam wet-bonding, juga mencegah dehidrasi matriks kolagen dan menghambat penguapan air selama penetrasi monomer. Etanol juga dapat mengurangi diameter fibril kolagen, meningkatkan perlekatan, dan membentuk lapisan hybrid yang lebih banyak dibandingkan penggunaan air. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa ethanol wet-bonding (EWB) memiliki kekuatan perlekatan dan daya tahan yang lebih besar daripada water wet-bonding (WWB), karena penyusutan diameter serabut kolagen dan peningkatan pembentukan lapisan hybrid.
II.Pengaruh Teknik Bonding terhadap Celah Mikro
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membandingkan efektivitas tiga teknik bonding (dry-bonding, water wet-bonding, dan ethanol wet-bonding) dalam meminimalkan celah mikro pada restorasi Klas II menggunakan resin komposit nanohybrid. Hipotesisnya adalah teknik wet-bonding, terutama ethanol wet-bonding, akan menghasilkan jumlah celah mikro yang lebih rendah dibandingkan dengan dry-bonding, karena kemampuannya mencegah kolaps serat kolagen dan meningkatkan penetrasi resin ke dalam dentin. Pengukuran celah mikro dilakukan menggunakan pewarna Methylene Blue 2%.
1. Tujuan Penelitian dan Hipotesis
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perbedaan pengaruh tiga teknik bonding, yaitu dry-bonding, water wet-bonding, dan ethanol wet-bonding, terhadap pembentukan celah mikro pada restorasi Klas II resin komposit nanohybrid. Penelitian difokuskan pada bagaimana masing-masing teknik mempengaruhi pembentukan celah mikro, sebuah masalah utama pada restorasi Klas II. Hipotesis yang diajukan adalah teknik wet-bonding, khususnya ethanol wet-bonding, akan menghasilkan jumlah celah mikro yang lebih rendah dibandingkan dengan dry-bonding. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa menjaga kelembaban dentin selama proses bonding akan mencegah kolapsnya serat kolagen dan meningkatkan penetrasi resin ke dalam struktur dentin, sehingga menghasilkan ikatan yang lebih kuat dan mengurangi celah mikro. Pembentukan celah mikro merupakan indikator kegagalan restorasi dan berpotensi menyebabkan masalah seperti karies sekunder dan hipersensitivitas.
2. Metode Evaluasi Celah Mikro
Untuk mengevaluasi pengaruh teknik bonding terhadap pembentukan celah mikro, penelitian ini menggunakan metode penetrasi zat warna. Metode ini dipilih karena kemudahan, kesederhanaan, ekonomis, dan relatif cepat dalam prosesnya. Zat warna Methylene Blue 2% digunakan karena kemampuannya berpenetrasi lebih baik dibandingkan zat warna lain dan memiliki berat molekul yang lebih kecil daripada toksin bakteri, sehingga dapat mendeteksi celah mikro yang sangat kecil sekalipun. Sampel gigi yang telah direstorasi dengan resin komposit nanohybrid dan diberi perlakuan bonding yang berbeda akan direndam dalam larutan Methylene Blue 2% selama 24 jam. Setelah itu, sampel diamati menggunakan stereomikroskop dengan pembesaran 20x untuk mengukur panjang penetrasi zat warna. Panjang penetrasi ini kemudian dikategorikan ke dalam skor kebocoran (0-3) untuk analisis statistik lebih lanjut. Skor 0 menunjukkan tidak ada penetrasi, skor 1 penetrasi hingga setengah dinding kavitas, dan skor 2 penetrasi lebih dari setengah dinding kavitas. Dengan metode ini, diharapkan dapat memberikan gambaran yang akurat tentang pengaruh teknik bonding terhadap integritas marginal restorasi dan tingkat celah mikro yang terbentuk.
3. Analisis Statistik dan Interpretasi Hasil
Data yang diperoleh dari pengukuran penetrasi zat warna dianalisis menggunakan uji statistik non-parametrik, yaitu uji Kruskal-Wallis Test untuk melihat perbedaan antar seluruh kelompok perlakuan dan uji Mann-Whitney Test untuk membandingkan perbedaan antar kelompok perlakuan secara berpasangan. Derajat kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Uji Kruskal-Wallis akan menunjukkan apakah terdapat perbedaan signifikan secara keseluruhan antara ketiga teknik bonding terhadap pembentukan celah mikro. Sementara itu, uji Mann-Whitney akan memberikan perbandingan yang lebih spesifik antara setiap pasangan teknik bonding (dry-bonding vs. water wet-bonding, dry-bonding vs. ethanol wet-bonding, dan water wet-bonding vs. ethanol wet-bonding). Hasil analisis statistik ini akan digunakan untuk menginterpretasi pengaruh masing-masing teknik bonding terhadap pembentukan celah mikro dan menentukan teknik mana yang paling efektif dalam meminimalkan celah mikro pada restorasi Klas II resin komposit nanohybrid. Proses thermocycling dilakukan sebelum pengujian untuk mensimulasikan kondisi suhu di dalam rongga mulut.
III.Metodologi Penelitian
Penelitian in vitro ini menggunakan 30 sampel gigi premolar rahang atas yang telah diekstraksi. Sampel dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan sesuai dengan teknik bonding yang digunakan. Setelah preparasi kavitas Klas II dan restorasi dengan resin komposit nanohybrid, sampel direndam dalam Methylene Blue 2% selama 24 jam untuk mengevaluasi penetrasi zat warna sebagai indikator celah mikro. Analisis statistik menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney dilakukan untuk membandingkan perbedaan antar kelompok dengan derajat kemaknaan α = 0,05. Proses thermocycling juga dilakukan untuk mensimulasikan kondisi di dalam mulut.
1. Pengumpulan dan Persiapan Sampel
Penelitian ini menggunakan 30 sampel gigi premolar rahang atas yang telah diekstraksi untuk keperluan ortodonti. Penggunaan gigi premolar rahang atas dipilih karena kemudahan dalam memperolehnya. Sebelum digunakan, sampel gigi diseleksi berdasarkan kriteria tertentu, yaitu tidak terdapat fraktur, belum pernah direstorasi sebelumnya, mahkota gigi masih utuh, dan bebas dari karies. Kriteria ini memastikan kualitas dan keseragaman sampel yang digunakan dalam penelitian. Setelah seleksi, sampel gigi dibersihkan dan dipersiapkan untuk proses selanjutnya. Proses preparasi kavitas dilakukan dengan presisi tinggi menggunakan high-speed handpiece dan diamond bur untuk menghasilkan kavitas Klas II mesio-oklusal dengan dimensi yang standar dan akurat (lebar buko-palatal 4 mm, panjang mesio-distal 4 mm, kedalaman 4 mm, margin gingival 1 mm di atas CEJ). Dinding bukal dan lingual dibuat hampir paralel dan dihubungkan ke lantai gingival menggunakan bur bulat. Permukaan margin dihaluskan untuk memastikan akurasi dan konsistensi dalam proses restorasi.
2. Proses Restorasi dan Aplikasi Teknik Bonding
Ketiga puluh sampel gigi premolar yang telah dipersiapkan kemudian dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, masing-masing mewakili satu teknik bonding: dry-bonding, water wet-bonding, dan ethanol wet-bonding. Pada kelompok I (dry-bonding), setelah pengetsaan dengan asam fosfat 37% selama 15 detik dan pembilasan, permukaan dentin dikeringkan sepenuhnya dengan semprotan udara. Lalu, bahan bonding Tetric N-Bond® (Ivoclar Vivadent) diaplikasikan, dikeringkan sebentar, dan disinari selama 20 detik. Kavitas kemudian diisi dengan resin komposit nanohybrid Tetric N-Ceram® (Ivoclar Vivadent) secara inkremental dengan penyinaran 20 detik setiap lapisannya. Kelompok II dan III mengikuti prosedur yang sama, namun perbedaannya terletak pada teknik pengeringan dentin setelah pengetsaan. Kelompok II (water wet-bonding) membiarkan dentin tetap lembab setelah pembilasan, dan kelompok III (ethanol wet-bonding) menggunakan etanol sebagai pembilas sebelum aplikasi bahan bonding. Setelah restorasi, seluruh bagian apeks sampel ditutupi dengan sticky wax, dan permukaan gigi dilapisi cat kuku kecuali 1 mm di sekitar tepi restorasi untuk mencegah penetrasi zat warna pada area selain celah mikro yang ingin diukur.
3. Pengujian dan Analisis Data
Setelah proses restorasi, sampel direndam dalam larutan Methylene Blue 2% selama 24 jam pada suhu kamar untuk menilai penetrasi zat warna sebagai indikator celah mikro. Setelah perendaman, sampel dibersihkan dan dikeringkan. Selanjutnya, untuk mensimulasikan kondisi di dalam mulut, sampel menjalani proses thermocycling sebanyak 200 siklus, dengan pergantian suhu antara 5°C dan 55°C. Proses thermocycling dilakukan dengan memasukkan sampel ke dalam waterbath dengan suhu yang telah ditentukan. Setiap siklus terdiri dari 30 detik pada suhu 5°C, diikuti waktu transfer 10 detik ke waterbath 55°C, dan 30 detik pada suhu 55°C. Setelah thermocycling, sampel diamati di bawah stereomikroskop dengan pembesaran 20x untuk menilai penetrasi zat warna. Data berupa skor penetrasi zat warna (0-3) kemudian dianalisis menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney dengan tingkat signifikansi α = 0,05 untuk menentukan perbedaan signifikan antara ketiga teknik bonding dalam meminimalisir celah mikro.
IV.Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang menggunakan teknik ethanol wet-bonding memiliki skor celah mikro terendah, diikuti oleh water wet-bonding, dan dry-bonding memiliki skor tertinggi. Hal ini mendukung hipotesis bahwa menjaga kelembaban dentin selama proses bonding sangat penting untuk mencegah kolaps serat kolagen dan meningkatkan kekuatan perlekatan resin komposit. Penggunaan etanol terbukti lebih efektif dibandingkan air dalam hal ini, karena kemampuannya meningkatkan infiltrasi resin dan membentuk lapisan hybrid yang optimal. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa teknik wet-bonding dapat mengurangi shrinkage polimerisasi dan meningkatkan kekuatan ikatan.
1. Hasil Pengukuran Celah Mikro
Hasil uji statistik Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam pembentukan celah mikro antar kelompok perlakuan (dry-bonding, water wet-bonding, dan ethanol wet-bonding). Uji Mann-Whitney lebih lanjut mengkonfirmasi perbedaan signifikan antara kelompok dry-bonding dengan water wet-bonding, dan dry-bonding dengan ethanol wet-bonding. Namun, tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelompok water wet-bonding dan ethanol wet-bonding. Secara spesifik, kelompok yang menggunakan teknik dry-bonding menunjukkan skor celah mikro tertinggi, diikuti oleh water wet-bonding, dan ethanol wet-bonding menunjukkan skor terendah. Temuan ini menunjukkan bahwa teknik dry-bonding, yang melibatkan pengeringan total permukaan dentin, menghasilkan celah mikro paling banyak, sedangkan teknik wet-bonding, terutama ethanol wet-bonding, efektif dalam meminimalkan pembentukan celah mikro pada restorasi Klas II resin komposit nanohybrid.
2. Pembahasan Pengaruh Teknik Bonding
Hasil penelitian menunjukkan korelasi antara teknik bonding dan pembentukan celah mikro. Teknik dry-bonding menyebabkan kolapsnya serat kolagen, sehingga bahan bonding tidak dapat berpenetrasi dengan baik dan ikatan dentin-resin komposit menjadi lemah. Kolaps kolagen ini mengakibatkan terbentuknya celah mikro yang mengganggu perlekatan. Sebaliknya, teknik wet-bonding, dengan menjaga dentin tetap lembab, membantu dalam pembentukan lapisan hybrid dan mencegah kolaps kolagen. Ethanol wet-bonding terbukti lebih efektif karena etanol dapat menggantikan air pada matriks kolagen, membuatnya lebih hidrofobik dan mendukung infiltrasi monomer resin seperti bis-GMA/TEGDMA. Penggunaan etanol juga meningkatkan kekuatan perlekatan resin yang bersifat hidrofobik. Penelitian Li et al. (2012) mendukung temuan ini, menunjukkan bahwa ethanol wet-bonding membantu infiltrasi resin ke zona terdalam kolagen dan membentuk lapisan hybrid yang optimal. Keberhasilan pembentukan lapisan hybrid yang kuat berkontribusi pada kekuatan ikatan dan meminimalisir celah mikro.
3. Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Huang et al. (2011) dan Guimaraes et al. (2012), yang menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam perlekatan restorasi antara Ethanol wet-bonding (EWB) dan Water wet-bonding (WWB). Namun, penelitian ini menunjukkan perbedaan signifikan antara teknik wet-bonding dan dry-bonding dalam hal pembentukan celah mikro. Temuan ini juga konsisten dengan laporan Jayaprakash et al. (2010) yang menyatakan bahwa pengeringan permukaan dentin mengurangi air dan kelembaban, yang dapat mempengaruhi kekuatan ikatan dan meningkatkan risiko pembentukan celah mikro. Perbedaan signifikan antara dry-bonding dan wet-bonding menekankan pentingnya menjaga kelembaban dentin untuk penetrasi resin komposit dan pembentukan lapisan hybrid yang optimal. Meskipun penelitian sebelumnya menunjukkan kesamaan antara EWB dan WWB dalam hal kekuatan perlekatan, penelitian ini menunjukkan keunggulan EWB dalam meminimalisir celah mikro, sebuah aspek penting dalam keberhasilan jangka panjang restorasi.
V.Kesimpulan
Kesimpulannya, teknik ethanol wet-bonding terbukti paling efektif dalam meminimalkan celah mikro pada restorasi Klas II resin komposit nanohybrid. Teknik ini direkomendasikan sebagai metode bonding yang lebih baik dibandingkan dengan water wet-bonding dan dry-bonding untuk meningkatkan keberhasilan dan ketahanan restorasi Klas II jangka panjang. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan ini dalam kondisi in vivo.
1. Skor Celah Mikro Terendah dengan Ethanol Wet bonding
Kesimpulan utama penelitian ini adalah teknik ethanol wet-bonding menunjukkan skor celah mikro terendah pada restorasi Klas II resin komposit nanohybrid. Hal ini mengindikasikan bahwa menjaga kelembaban dentin dengan etanol selama proses bonding merupakan strategi yang paling efektif untuk meminimalkan pembentukan celah mikro. Teknik ini menghasilkan ikatan yang lebih kuat antara resin komposit dan struktur gigi, mengurangi risiko berbagai komplikasi yang terkait dengan celah mikro seperti karies sekunder dan hipersensitivitas. Penggunaan etanol dalam teknik wet-bonding memberikan hasil yang superior dibandingkan dengan penggunaan air (water wet-bonding) atau pengeringan total (dry-bonding) dalam konteks mengurangi celah mikro pada restorasi ini. Temuan ini menyoroti pentingnya kontrol kelembaban dentin dalam proses bonding untuk keberhasilan restorasi jangka panjang.
2. Perbandingan Antar Teknik Bonding
Penelitian ini secara jelas menunjukkan perbedaan signifikan dalam pembentukan celah mikro antar tiga teknik bonding yang diuji. Ethanol wet-bonding menghasilkan skor celah mikro terendah, menunjukkan keefektifannya dalam mencegah celah mikro. Water wet-bonding menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada ethanol wet-bonding, tetapi masih lebih rendah daripada dry-bonding. Dry-bonding, yang melibatkan pengeringan total dentin, menghasilkan skor celah mikro tertinggi, konsisten dengan literatur yang menunjukkan bahwa dehidrasi dentin menyebabkan kolaps kolagen dan mengurangi penetrasi resin. Perbedaan signifikan ini menunjukkan bahwa menjaga kelembaban dentin selama proses bonding, dan khususnya penggunaan etanol, sangat penting untuk meminimalkan celah mikro dan meningkatkan keberhasilan restorasi Klas II resin komposit nanohybrid.
3. Implikasi Klinis dan Rekomendasi
Berdasarkan temuan ini, disimpulkan bahwa dentin dalam keadaan lembab lebih baik untuk penetrasi resin komposit. Penggunaan teknik ethanol wet-bonding pada restorasi Klas II resin komposit nanohybrid direkomendasikan karena menghasilkan celah mikro yang paling minimal dibandingkan dengan water wet-bonding dan dry-bonding. Penelitian ini menyoroti pentingnya pemilihan teknik bonding yang tepat untuk meminimalisir celah mikro dan meningkatkan keberhasilan restorasi gigi. Implikasi klinisnya adalah penggunaan ethanol wet-bonding dapat meningkatkan kualitas dan daya tahan restorasi Klas II jangka panjang dengan mengurangi risiko komplikasi seperti karies sekunder dan hipersensitivitas. Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut, terutama studi in vivo, perlu dilakukan untuk memvalidasi temuan ini pada kondisi klinis yang sebenarnya.