
Pentingnya Kesehatan dan Ketersediaan Obat dalam Pembangunan Nasional
Informasi dokumen
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 480.46 KB |
Jenis dokumen | Pendahuluan Skripsi/Tesis |
- Kesehatan
- Obat
- Hak Asasi Manusia
Ringkasan
I.Permasalahan Penyalahgunaan Pil Dextro di Cirebon
Dokumen ini membahas masalah serius peredaran dan penyalahgunaan pil dextro di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pil dextro, sejenis obat batuk dengan kandungan dextromethorphan, mudah didapatkan di apotek dan warung-warung, bahkan tanpa resep dokter. Kemudahan akses dan harga yang murah menyebabkan penyalahgunaan pil dextro, sering dikonsumsi dalam dosis tinggi atau dicampur dengan alkohol, mengakibatkan overdosis dan kematian, khususnya di kalangan remaja. Data dari Polres Cirebon menunjukkan angka kematian akibat overdosis pil dextro yang mengkhawatirkan, mencapai 21 orang pada tahun 2012. Permasalahan ini menunjukkan kelemahan dalam penegakan hukum dan pengawasan peredaran obat bebas terbatas (daftar W).
1. Kemudahan Akses dan Penyalahgunaan Pil Dextro
Dokumen ini menggarisbawahi permasalahan utama yaitu kemudahan akses dan penyalahgunaan pil dextro di Cirebon. Disebutkan bahwa pil dextro, obat batuk dengan kandungan dextromethorphan, mudah diperoleh di berbagai tempat, termasuk apotek dan warung-warung kecil, bahkan tanpa resep dokter. Harga yang relatif murah semakin memperparah situasi. Akibatnya, banyak terjadi penyalahgunaan, termasuk konsumsi dalam dosis tinggi (berpuluh-puluh butir) atau dicampur dengan minuman keras dan narkoba. Hal ini berujung pada overdosis dan berbagai efek samping, bahkan kematian. Data dari Polres Cirebon menunjukkan 21 korban meninggal akibat overdosis pil dextro pada tahun 2012 saja, sebagian besar masih berusia remaja. Kemudahan akses dan penyalahgunaan pil dextro ini menjadi indikator utama permasalahan yang dibahas dalam dokumen.
2. Peran Apotek dan Penjual Non Apotek dalam Peredaran Pil Dextro
Dokumen tersebut mengidentifikasi peran apotek dan penjual non-apotek (warung, toko sembako) dalam peredaran pil dextro. Meskipun pil dextro tergolong obat bebas terbatas (daftar W), yang seharusnya hanya dijual dengan pengawasan ketat dan izin edar, kenyataannya banyak apotek dan penjual non-apotek yang menjualnya secara bebas tanpa memperhatikan aturan yang berlaku. Petani dan masyarakat umum, tanpa keahlian farmasi, juga turut serta dalam peredaran obat tersebut. Situasi ini menunjukkan lemahnya pengawasan dari pemerintah setempat dan Dinas Kesehatan, yang membiarkan pil dextro beredar secara bebas di pasaran. Minimnya pengawasan ini turut berkontribusi pada tingginya angka penyalahgunaan dan overdosis pil dextro di Cirebon.
3. Kasus Penangkapan dan Dampak Penyalahgunaan Pil Dextro
Dokumen mencatat adanya penangkapan dua nenek di Cirebon yang kedapatan mengedarkan pil dextro dan trihexyphenidyl. Meskipun sebelumnya pernah ditangkap, mereka kembali mengulangi perbuatannya. Kasus ini menggambarkan realita peredaran pil dextro yang sulit dikendalikan. Selain itu, dokumen juga menekankan dampak negatif penyalahgunaan pil dextro, bukan hanya bagi individu (overdosis, kematian), tapi juga bagi masyarakat luas. Peredaran obat ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan berpotensi merusak citra bangsa di mata internasional. Tingginya angka kematian akibat overdosis pil dextro, khususnya di kalangan remaja, merupakan dampak serius yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak.
4. Karakteristik Pil Dextro dan Potensi Bahayanya
Dokumen menjelaskan karakteristik pil dextro sebagai obat batuk antitusif yang mengandung dextromethorphan. Meskipun tergolong obat bebas terbatas, pil dextro memiliki efek samping yang berbahaya jika dikonsumsi berlebihan atau disalahgunakan. Efek samping tersebut termasuk stimulasi ringan, mudah tersinggung, euforia, halusinasi, gangguan penglihatan, hingga hilangnya koordinasi gerak tubuh. Sifat pil dextro yang mirip dengan psikotropika dan narkotika, membuat harganya relatif murah dibandingkan narkotika/psikotropika, sehingga mudah diakses dan disalahgunakan oleh pecandu. Hal ini semakin mempertegas potensi bahaya pil dextro jika tidak dikendalikan peredarannya dengan baik dan diawasi dengan ketat.
II.Aspek Hukum Penjualan Pil Dextro Ilegal
Secara hukum, penjualan pil dextro secara bebas merupakan pelanggaran serius. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi mengatur sanksi pidana bagi pelaku yang terbukti melakukan peredaran obat tanpa izin edar atau tidak memenuhi standar. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan juga mengatur hal ini. Meskipun terdapat regulasi yang mengatur obat bebas terbatas, praktik penjualan pil dextro yang tidak terkontrol terus terjadi, menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di lapangan. Kasus penangkapan dua nenek yang mengedarkan pil dextro di Cirebon menjadi contoh nyata pelanggaran ini.
1. Regulasi Terkait Penjualan Obat dan Sanksi Pidana
Penjualan pil dextro secara ilegal di Cirebon bertentangan dengan sejumlah regulasi. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi secara tegas mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran dalam pengadaan, penyimpanan, dan penjualan obat-obatan berbahaya, termasuk obat daftar W (obat bebas terbatas) tanpa izin edar. Pasal 196, 197, dan 198 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 serta Pasal 79 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan menjelaskan sanksi tersebut. Peraturan ini menegaskan bahwa penjualan obat tanpa izin dan tidak memenuhi standar merupakan tindakan pidana. Keberadaan regulasi yang kuat ini kontras dengan kenyataan peredaran pil dextro yang masih marak, menunjukkan lemahnya penegakan hukum di lapangan.
2. Status Pil Dextro sebagai Obat Bebas Terbatas Daftar W
Dokumen menjelaskan status pil dextro sebagai obat bebas terbatas (daftar W). Meskipun dapat dibeli di apotek tanpa resep dokter, peredarannya harus tetap sesuai regulasi. Pasal 4 Undang-undang Nomor 419 Tahun 1949 tentang Obat Keras (meski tahunnya perlu diperiksa kembali, kemungkinan ada kekeliruan penulisan) menyatakan bahwa hanya pihak berwenang yang boleh mengedarkan pil dextro. Namun, kenyataannya, peredaran pil dextro di Cirebon tidak terkontrol dengan baik. Pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab, seperti PBF (Pedagang Besar Farmasi), apotek, dan pedagang eceran obat, justru ikut terlibat dalam penjualan bebas pil dextro kepada masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap aturan peredaran obat bebas terbatas dan lemahnya pengawasan dari pihak berwenang.
3. Penegakan Hukum Preventif dan Represif terhadap Pelaku
Penegakan hukum terhadap penjualan pil dextro ilegal di Cirebon dapat dilakukan secara preventif dan represif. Kedua pendekatan ini dapat menerapkan sanksi administratif dan pidana. Secara umum, Pasal 204 KUHP dan Undang-undang Nomor 419 Tahun 1949 tentang Obat Keras (kembali, perlu verifikasi tahun) menjadi landasan hukum umum. Sementara itu, secara khusus, Pasal 33 Ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan No. 1148 Tahun 2011 tentang Pedagang Besar Farmasi, dan Pasal 196 jo 197 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjadi rujukan hukum. Namun, kasus penangkapan dua nenek yang mengedarkan pil dextro di Cirebon, yang sebelumnya tidak ditahan meskipun terbukti bersalah, menunjukkan bahwa penegakan hukum yang efektif masih menjadi tantangan dalam mengatasi masalah ini.
III.Penelitian tentang Penegakan Hukum Penjualan Pil Dextro
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis untuk menganalisis penegakan hukum terhadap penjualan pil dextro di wilayah hukum Polres Cirebon. Lokasi penelitian meliputi beberapa apotek, toko obat, dan warung yang menjual pil dextro secara bebas, serta instansi terkait seperti Polres Cirebon, Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, dan Balai Besar POM Jawa Barat. Metode pengumpulan data meliputi wawancara dengan aparat penegak hukum, pemilik toko obat, dan pengguna pil dextro, observasi langsung, dan studi kepustakaan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan studi hukum, memberikan masukan bagi apotek dan masyarakat tentang bahaya pil dextro, dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum terkait peredaran obat ilegal.
1. Tujuan dan Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penegakan hukum terhadap penjualan pil dextro secara bebas di wilayah hukum Polres Cirebon. Penelitian menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, yang menggabungkan analisis hukum (berdasarkan peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan terkait lainnya) dengan realita sosial di masyarakat Cirebon. Metode penelitian meliputi pengumpulan data primer (wawancara dengan berbagai pihak, observasi lapangan di apotek, toko obat, dan warung yang menjual pil dextro, serta konsumen/pecandu pil dextro) dan data sekunder (studi kepustakaan, literatur terkait, dan peraturan perundang-undangan). Lokasi penelitian difokuskan pada wilayah hukum Polres Cirebon, mencakup beberapa lokasi penjualan pil dextro dan instansi terkait seperti Polres Cirebon, Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, dan Balai Besar POM Jawa Barat. Pemilihan lokasi didasarkan pada akses peneliti terhadap informasi akurat.
2. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah hukum Polres Kabupaten Cirebon. Lokasi spesifik meliputi beberapa apotek (Apotek Afira, Apotek Sejahtera, Apotik Mitra Sehat), toko obat (Toko Obat Alvina), dan warung/kios (milik Ibu Butet dan Bapak Julkarnain) yang diduga menjual pil dextro secara bebas. Selain itu, penelitian juga melibatkan wawancara dengan aparat penegak hukum (Polres Cirebon: Kasat Narkoba Ajun Komisaris Hartono, Kabag. Operasi Narkoba Ajun Inspektur Satu Jarir Sugoro, SatReskrim Bripka Iman, SH), Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon (Kepala Dinas Hj. Triyani Judawinata, Kabag. Farmasi Bapak Uut), Balai Besar POM Jawa Barat (Seksi Layanan Informasi Konsumen Drs. Ujang Supriyatna), Kepala Desa Palimanan Timur Abdul Rahim, dan beberapa konsumen/pecandu pil dextro di wilayah Kabupaten Cirebon. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data primer dan sekunder dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan proses peredaran pil dextro, bentuk pelanggaran hukum yang terjadi, dan upaya penegakan hukum oleh aparat. Analisis difokuskan pada tiga aspek utama: 1) Proses peredaran pil dextro yang dijual bebas di masyarakat Cirebon; 2) Bentuk pelanggaran hukum terkait penjualan pil dextro bebas; dan 3) Upaya penegakan hukum dalam mengatasi penjualan pil dextro secara bebas. Dengan memaparkan fakta dari observasi dan wawancara, diharapkan dapat memberikan gambaran komprehensif tentang permasalahan dan upaya penanganannya di lapangan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang lebih efektif dalam mengatasi peredaran ilegal pil dextro.
IV.Kesimpulan dan Saran
Kesimpulannya, penyalahgunaan dan peredaran ilegal pil dextro di Cirebon merupakan masalah kesehatan dan hukum yang serius. Kelemahan pengawasan dan penegakan hukum menyebabkan mudahnya akses masyarakat terhadap obat ini, berujung pada overdosis dan kematian. Penelitian menekankan perlunya peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya pil dextro, pengawasan yang lebih ketat dari pihak berwenang, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku penjualan obat ilegal. Perlu kerjasama berbagai pihak, termasuk apotek, Dinas Kesehatan, dan Kepolisian, untuk mengatasi permasalahan peredaran pil dextro ini secara efektif.
1. Kesimpulan Umum Permasalahan Pil Dextro di Cirebon
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa peredaran dan penyalahgunaan pil dextro di Cirebon merupakan masalah serius yang berdampak pada kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Kemudahan akses, harga murah, dan lemahnya pengawasan menyebabkan tingginya angka penyalahgunaan dan overdosis, bahkan kematian, terutama di kalangan remaja. Data dari Polres Cirebon yang mencatat 21 kematian akibat overdosis pil dextro pada tahun 2012 menguatkan temuan ini. Lemahnya penegakan hukum dan pengawasan peredaran obat bebas terbatas (daftar W) juga menjadi faktor utama yang perlu ditangani. Permasalahan ini membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak untuk mencegah dampak yang lebih buruk.
2. Saran untuk Apotek Masyarakat dan Aparat Penegak Hukum
Penelitian ini memberikan beberapa saran. Bagi apotek, diharapkan lebih hati-hati dalam penyaluran dan penjualan obat, khususnya obat bebas terbatas seperti pil dextro, dengan mematuhi peraturan yang berlaku. Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran hukum dan kewaspadaan terhadap bahaya penyalahgunaan pil dextro, serta menghindari pembelian dan penggunaan obat tanpa resep dokter. Untuk aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian, penelitian ini bertujuan memberikan informasi yang dapat membantu dalam menyelesaikan kasus penjualan pil dextro secara bebas, meningkatkan kinerja kepolisian, dan meningkatkan kualitas penegakan hukum agar sesuai dengan wewenang. Kerja sama antar pihak (apotek, Dinas Kesehatan, Kepolisian) sangat penting dalam mengatasi peredaran pil dextro secara efektif dan menyeluruh.