
Pengetahuan dan Perilaku Dokter Gigi Terhadap Pencabutan Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus
Informasi dokumen
Penulis | Rizky Annisa Amris Lubis |
instructor | Shaukat Osmani Hasbi, drg, Sp. BM |
Sekolah | Fakultas Kedokteran Gigi |
Jurusan | Kedokteran Gigi |
Jenis dokumen | Skripsi |
Tempat | Medan |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 3.46 MB |
- pengetahuan dokter gigi
- diabetes mellitus
- pencabutan gigi
Ringkasan
I.Hasil Penelitian Pengetahuan dan Perilaku Dokter Gigi terhadap Pencabutan Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus di Kecamatan Medan Selayang
Penelitian ini mengevaluasi pengetahuan dan perilaku dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang terkait pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus. Hasilnya menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang definisi diabetes mellitus, tanda dan gejala, komplikasi oral (seperti penyakit periodontal dan xerostomia), waktu pencabutan gigi yang tepat, infeksi dan penyembuhan luka, pemberian anestesi lokal, dan keadaan darurat (hipoglikemia dan hiperglikemia) tergolong baik (≥75%). Namun, pengetahuan mengenai patofisiologi diabetes mellitus, klasifikasi, dan saran diet termasuk kategori cukup (60%-74%). Dari segi perilaku, responden umumnya baik dalam menanyakan riwayat medis, memperkirakan risiko operatif, dan memberikan anestesi dan obat yang tepat. Namun, perilaku dalam memeriksa kadar gula darah sebelum pencabutan, pemilihan waktu pencabutan yang tepat, pemberian profilaksis antibiotik, pemberian saran diet, dan melakukan tes skrining masih perlu ditingkatkan (<60%). Secara keseluruhan, pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap pencabutan gigi pada penderita diabetes mellitus di Medan Selayang sudah tergolong baik, tetapi perlu peningkatan di beberapa aspek untuk hasil yang optimal. Sebanyak 86,2% responden menunjukkan pengetahuan yang baik dalam kategori tertentu.
1. Pengetahuan Responden tentang Diabetes Mellitus
Penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang mengenai diabetes mellitus secara umum cukup baik. Sebanyak 62,1% responden memahami patofisiologi diabetes mellitus, yang melibatkan kerusakan autoimun sel beta pankreas atau resistensi insulin, mengakibatkan defisiensi insulin dan peningkatan kadar glukosa darah. Pemahaman tentang klasifikasi diabetes mellitus (IDDM, NIDDM, dan gestasional) juga termasuk kategori cukup, dengan 60,3% responden yang mampu mengklasifikasikannya dengan benar. Lebih lanjut, pengetahuan responden terkait tanda dan gejala diabetes mellitus, seperti poliuria, polifagia, dan polidipsia, tergolong baik. Pengetahuan mengenai komplikasi oral diabetes mellitus yang tidak terkontrol, meliputi penyakit periodontal, xerostomia, lichen planus, kehilangan gigi, dan kandidiasis, juga termasuk kategori baik. Studi lain menyebutkan prevalensi tinggi xerostomia (40-80%) dan disfungsi kelenjar saliva (24-48%) pada pasien diabetes mellitus. Pengetahuan mengenai manajemen pencabutan gigi, termasuk waktu yang tepat, pemberian anestesi lokal yang tepat (noradrenalin lebih disukai daripada adrenalin karena efek glukoneogenesis yang lebih rendah), dan pentingnya mengontrol kadar gula darah (KGD) sebelum dan sesudah prosedur, juga termasuk kategori baik. Namun, pengetahuan mengenai pemberian saran diet yang tepat pada pasien diabetes mellitus masih kurang (48,3%), menunjukkan area yang perlu ditingkatkan.
2. Perilaku Responden dalam Pencabutan Gigi Pasien Diabetes Mellitus
Analisis perilaku responden dokter gigi dalam menangani pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus menunjukkan hasil yang beragam. Menariknya, 100% responden menanyakan riwayat medis pasien sebelum pencabutan gigi, menunjukkan kepatuhan yang tinggi terhadap protokol dasar perawatan gigi. Perilaku dalam memperkirakan risiko operatif juga baik (82,8%), mencerminkan pemahaman akan peningkatan risiko pada pasien dengan kondisi sistemik seperti diabetes mellitus. Pemberian anestesi dan obat yang tepat juga termasuk kategori baik (91,4%), meskipun masih ada responden yang menggunakan anestesi dengan adrenalin, yang perlu dihindari karena potensinya memicu glukoneogenesis. Penundaan pencabutan gigi jika kadar gula darah rendah atau tidak terkontrol juga tinggi (98,3%), menunjukkan kesadaran akan pentingnya mengontrol kadar gula darah sebelum prosedur. Namun, beberapa aspek perilaku perlu perbaikan. Hanya 12,1% responden yang selalu melakukan pencabutan gigi pada waktu yang tepat, dan hanya 29,3% yang selalu melakukan tes skrining sebelum pencabutan. Pemberian saran diet sebelum dan sesudah pencabutan gigi juga rendah (41%), mencerminkan area yang perlu mendapat perhatian khusus. Meskipun demikian, 93,1% responden menunda pencabutan gigi ketika pasien dalam keadaan sakit, menunjukkan pertimbangan terhadap kondisi sistemik pasien.
II.Patofisiologi dan Klasifikasi Diabetes Mellitus
Dokumen menjelaskan patofisiologi diabetes mellitus, yang meliputi kerusakan autoimun sel beta pankreas atau resistensi insulin, menyebabkan defisiensi insulin dan peningkatan kadar gula darah. Klasifikasi diabetes mellitus meliputi IDDM (Diabetes Mellitus Tipe 1), NIDDM (Diabetes Mellitus Tipe 2), dan gestasional. Responden menunjukkan pemahaman yang cukup (60,3%) tentang klasifikasi ini.
1. Patofisiologi Diabetes Mellitus
Dokumen menjelaskan patofisiologi diabetes mellitus sebagai kondisi peningkatan kadar glukosa darah kronis yang disebabkan oleh defisiensi insulin. Proses ini dimulai dari kerusakan autoimun pada sel beta pankreas atau kerusakan reseptor insulin, yang menyebabkan defisiensi atau resistensi insulin. Akibatnya, kadar glukosa dalam darah meningkat karena glukosa dari makanan tidak terpakai secara efisien oleh jaringan perifer. Sel-sel tubuh menjadi tidak mampu menggunakan glukosa sebagai sumber energi, sehingga trigliserida dipecah menjadi asam lemak sebagai sumber energi alternatif, yang menyebabkan peningkatan keton dalam darah dan berpotensi ketoasidosis. Hiperglikemia menyebabkan glukosa diekskresikan melalui urin (poliuria), memicu dehidrasi dan rasa haus yang berlebihan (polidipsia). Kekurangan glukosa di sel-sel tubuh juga menyebabkan peningkatan rasa lapar (polifagia). Secara keseluruhan, patofisiologi ini menjelaskan mekanisme di balik gejala utama diabetes mellitus. Hanya 62,1% responden yang memahami patofisiologi ini dengan baik, menunjukkan area yang perlu ditingkatkan dalam pemahaman mereka tentang penyakit ini.
2. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Dokumen mengklasifikasikan diabetes mellitus menjadi tiga tipe utama: IDDM (Diabetes Mellitus Tipe 1), NIDDM (Diabetes Mellitus Tipe 2), dan diabetes mellitus gestasional. Diabetes Mellitus Tipe 1, atau juvenile onset diabetes, disebabkan oleh kerusakan autoimun pada sel beta pankreas, mengakibatkan defisiensi insulin absolut. Kondisi ini seringkali menyebabkan ketoasidosis dan komplikasi serius lainnya. Diabetes Mellitus Tipe 2, atau non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM), menyumbang 90-95% kasus diabetes. Pasien dengan tipe ini biasanya resisten terhadap insulin dan mengalami defisiensi insulin relatif. Diabetes gestasional ditandai dengan intoleransi glukosa yang muncul selama kehamilan. Responden dalam penelitian menunjukkan pemahaman yang cukup (60,3%) terhadap klasifikasi ini, yang berarti masih ada ruang untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang perbedaan dan implikasi klinis dari setiap tipe diabetes.
III.Komplikasi Oral Diabetes Mellitus dan Pencabutan Gigi
Dokumen menjelaskan komplikasi oral diabetes mellitus yang tidak terkontrol, termasuk penyakit periodontal, xerostomia, lichen planus, kehilangan gigi, dan kandidiasis. Studi menunjukkan prevalensi tinggi xerostomia (40-80%) dan disfungsi kelenjar saliva (24-48%) pada pasien diabetes mellitus. Risiko operatif pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus ditekankan, termasuk pentingnya mengontrol kadar gula darah (KGD) sebelum dan sesudah prosedur untuk menghindari hipoglikemia atau hiperglikemia.
1. Komplikasi Oral Diabetes Mellitus yang Tidak Terkontrol
Diabetes mellitus yang tidak terkontrol dapat menyebabkan berbagai komplikasi oral yang serius. Dokumen menyebutkan beberapa komplikasi tersebut, antara lain gingivitis dan penyakit periodontal, xerostomia (mulut kering) dan disfungsi kelenjar saliva, peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri dan jamur (kandidiasis), karies (gigi berlubang), abses periapikal, kehilangan gigi, kesulitan menggunakan protesa gigi (akibat disfungsi kelenjar saliva), gangguan pengecapan, lichen planus, dan sindrom mulut terbakar. Studi menunjukkan hubungan yang kuat antara diabetes tipe 2 dan penyakit periodontal, dengan pasien diabetes tipe 2 mengalami penyakit periodontal tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan pasien tanpa diabetes. Suatu studi di India Pima menunjukkan peningkatan kehilangan perlekatan gingiva dan kehilangan tulang alveolar pada individu di bawah 40 tahun dengan diabetes tipe 2. Kehilangan gigi juga 15 kali lebih tinggi pada penderita diabetes dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes. Xerostomia dan hipofungsi kelenjar saliva sering ditemukan pada pasien diabetes, meningkatkan risiko karies dental. Kandidiasis oral, infeksi jamur yang berhubungan dengan hiperglikemia, juga merupakan komplikasi yang umum terjadi.
2. Implikasi Komplikasi Oral terhadap Pencabutan Gigi
Komplikasi oral yang ditimbulkan oleh diabetes mellitus memiliki implikasi signifikan terhadap prosedur pencabutan gigi. Penyembuhan luka pada pasien diabetes cenderung lebih lambat karena mikroangiopati yang membuat pembuluh darah menjadi tidak efektif. Prosedur pencabutan gigi harus dilakukan dengan hati-hati untuk meminimalkan trauma dan memastikan penyembuhan yang optimal. Penjahitan luka dapat membantu mempercepat proses penyembuhan. Infeksi juga lebih mungkin terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, sehingga memerlukan pemberian profilaksis antibiotik sebelum pencabutan gigi. Respon yang lambat terhadap infeksi diduga disebabkan oleh defisiensi leukosit polimorfonuklear dan gangguan fagositosis, diapedesis, dan kemotaksis akibat hiperglikemia. Sebaliknya, infeksi orofasial dapat memperburuk kontrol diabetes, meningkatkan kebutuhan insulin. Oleh karena itu, evaluasi dan perawatan sistemik yang komprehensif sebelum pencabutan gigi sangat penting untuk meminimalisir risiko komplikasi dan memastikan keberhasilan prosedur.
IV.Prosedur Pencabutan Gigi pada Pasien Diabetes Mellitus
Bagian ini membahas prosedur yang direkomendasikan untuk pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus, termasuk pentingnya menanyakan riwayat medis, menilai risiko operatif, waktu pencabutan yang tepat (pagi hari setelah sarapan dan pengobatan), penggunaan anestesi lokal yang tepat (noradrenalin disarankan), pemberian profilaksis antibiotik jika diperlukan, dan manajemen saran diet pra dan pasca operasi. Pentingnya memantau dan mengontrol kadar gula darah (KGD) pasien sebelum prosedur ditekankan untuk memastikan KGD berada di kisaran aman (70-150 mg/dL).
1. Waktu Pencabutan Gigi yang Optimal
Untuk meminimalkan risiko hipoglikemia (syok insulin), pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus sebaiknya dilakukan di pagi hari, sekitar satu hingga satu setengah jam setelah sarapan dan setelah pasien mengonsumsi obat diabetes. Waktu ini dipilih untuk menghindari reaksi puncak pada pasien yang menggunakan injeksi insulin. Menunda pencabutan gigi hingga siang hari atau menjelang makan malam tidak disarankan karena kadar gula darah cenderung lebih rendah pada waktu tersebut, yang dapat mengganggu proses penyembuhan. Pasien juga disarankan untuk datang dalam keadaan istirahat cukup dan tidak stres untuk memaksimalkan hasil prosedur dan meminimalisir risiko komplikasi. Penelitian menunjukkan bahwa hanya 12,1% responden yang selalu mengikuti pedoman waktu pencabutan gigi yang optimal, menunjukkan perlunya peningkatan kepatuhan terhadap pedoman ini untuk memastikan keselamatan pasien dan hasil perawatan yang lebih baik.
2. Pemberian Anestesi Lokal yang Tepat
Pemberian anestesi lokal pada pasien diabetes mellitus memerlukan kehati-hatian khusus. Konsentrasi vasokonstriktor dalam anestesi harus diminimalkan. Adrenalin, meskipun sering digunakan, dapat memicu glukoneogenesis dan berinteraksi negatif dengan insulin, sehingga meningkatkan risiko hiperglikemia. Noradrenalin, dengan efek glukoneogenesis yang lebih rendah, lebih disarankan untuk digunakan pada pasien diabetes. Meskipun jumlah vasokonstriktor dalam satu ampul umumnya kecil (konsentrasi terbesar 1:100.000), tetap perlu diperhatikan untuk meminimalisir risiko. Penelitian menunjukkan bahwa 91,4% responden menggunakan anestesi yang tepat, namun masih ada yang menggunakan anestesi mengandung adrenalin, yang mungkin disebabkan oleh keterbatasan sediaan anestesi di praktik mereka. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan akses terhadap anestesi yang tepat dan pelatihan lebih lanjut untuk dokter gigi dalam hal ini.
3. Penggunaan Profilaksis Antibiotik dan Manajemen Penyembuhan Luka
Pasien diabetes mellitus memiliki risiko penyembuhan luka yang lebih lambat dan cenderung mengalami infeksi pasca pencabutan gigi. Oleh karena itu, pemberian profilaksis antibiotik mungkin diperlukan untuk mengurangi risiko infeksi. Mikroangiopati pada pasien diabetes dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi tidak efektif, memperlambat penyembuhan. Prosedur pencabutan gigi harus dilakukan dengan hati-hati dan halus untuk meminimalkan trauma jaringan. Linggir tulang harus dihaluskan untuk menghindari iritasi gingiva, dan penjahitan luka (suturing) dapat membantu mempercepat penyembuhan. Studi menunjukkan bahwa pengetahuan responden mengenai hubungan antara infeksi, penyembuhan luka, dan kebutuhan profilaksis antibiotik pada pasien diabetes mellitus tergolong baik (81%). Namun, perilaku memberikan profilaksis antibiotik bervariasi; sebanyak 36,2% responden memberikannya pada semua pasien diabetes, tanpa mempertimbangkan indikasi yang tepat.
V.Kesimpulan
Penelitian menyimpulkan bahwa pengetahuan dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang tentang pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus umumnya baik, tetapi perlu peningkatan dalam beberapa aspek, terutama terkait saran diet dan perilaku dalam melakukan tes skrining dan pemilihan waktu pencabutan yang tepat. Perlu adanya peningkatan perilaku untuk memastikan perawatan yang optimal bagi pasien dengan diabetes mellitus yang menjalani pencabutan gigi.
1. Ringkasan Pengetahuan Dokter Gigi
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan, pengetahuan responden dokter gigi di Kecamatan Medan Selayang mengenai pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus tergolong baik (≥75%). Responden menunjukkan pemahaman yang baik tentang definisi diabetes mellitus, tanda dan gejalanya, komplikasi oral yang mungkin timbul, waktu pencabutan gigi yang tepat, infeksi dan penyembuhan luka, pemberian anestesi lokal yang tepat, kadar gula darah yang aman saat pencabutan, dan keadaan darurat diabetes (hipoglikemia dan hiperglikemia). Namun, pengetahuan responden tentang patofisiologi diabetes mellitus, klasifikasi diabetes, dan pemberian obat termasuk dalam kategori cukup (60%-74%). Pengetahuan yang paling kurang adalah mengenai pemberian saran diet yang tepat pada pasien diabetes mellitus (<60%). Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun dokter gigi di Medan Selayang memiliki pemahaman yang baik tentang aspek-aspek penting dari perawatan gigi pada pasien diabetes, peningkatan pengetahuan khususnya pada aspek pemberian saran diet masih sangat diperlukan untuk memastikan perawatan yang komprehensif dan efektif.
2. Ringkasan Perilaku Dokter Gigi
Dari segi perilaku, penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar praktik dokter gigi di Medan Selayang dalam menangani pencabutan gigi pada pasien diabetes mellitus sudah baik. Responden konsisten dalam menanyakan riwayat medis pasien dan memperkirakan risiko operatif sebelum melakukan pencabutan gigi (≥75%). Pemberian anestesi dan obat yang tepat serta penundaan pencabutan jika kadar gula darah rendah atau tidak terkontrol juga menunjukkan praktik yang baik (≥75%). Namun, beberapa aspek perilaku perlu ditingkatkan. Praktik memeriksa kadar gula darah sebelum pencabutan, pemilihan waktu pencabutan yang tepat, pemberian profilaksis antibiotik yang tepat, pemberian saran diet, dan melakukan tes skrining masih termasuk kategori kurang (<60%). Hanya sebagian kecil responden yang selalu melakukan tindakan-tindakan ini, menunjukkan perlunya peningkatan praktik klinis untuk memastikan keselamatan dan keberhasilan perawatan pasien diabetes mellitus. Secara keseluruhan, meskipun terdapat praktik yang baik, masih ada celah signifikan dalam beberapa aspek perilaku yang perlu dibenahi.