Pengalaman Pasien Fraktur Terbuka dalam Penyembuhan Luka di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat

Pengalaman Pasien Fraktur Terbuka dalam Penyembuhan Luka di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat

Informasi dokumen

Penulis

Edy Pratama Putra Bangun

Sekolah

Universitas Sumatera Utara

Jurusan S1 Ilmu Keperawatan Ekstensi
Jenis dokumen Skripsi
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 4.51 MB
  • pengalaman pasien
  • fraktur terbuka
  • penyembuhan luka

Ringkasan

I.Abstrak Penelitian Pengalaman Pasien Fraktur Terbuka dalam Perawatan Luka

Penelitian kualitatif ini menggunakan metode fenomenologi untuk menggali pengalaman lima partisipan dalam mengatasi luka fraktur terbuka. Fokus penelitian pada penyembuhan luka, faktor pendorong penyembuhan luka, dan faktor penghambat penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan praktik perawatan luka fraktur terbuka yang baik dan memberikan pemahaman lebih dalam tentang pengalaman pasien. Hasil analisis menunjukkan tiga tema utama: upaya penyembuhan luka yang dilakukan pasien, faktor-faktor yang mendorong penyembuhan, dan faktor-faktor yang menghambat proses tersebut.

1. Latar Belakang Penelitian tentang Perawatan Luka Fraktur Terbuka

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka kejadian fraktur akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Data dari WHO pada tahun 2011 menunjukkan lebih dari 5,6 juta kematian akibat kecelakaan, dan sekitar 1,3 juta mengalami kecacatan fisik (Depkes RI, 2011). Fraktur ekstremitas bawah memiliki prevalensi cukup tinggi, sekitar 46,2% dari total kasus kecelakaan. Di Amerika Serikat, diperkirakan satu dari 10.000 penduduk mengalami fraktur setiap tahunnya (Armis, 2008), dengan 25% mengalami kecacatan fisik, 24% meninggal, dan sisanya mengalami kesembuhan atau gangguan psikologis berdasarkan survei Depkes RI (Profil Dinkes Sumsel, 2008). Perawatan luka yang buruk, terutama pada luka fraktur terbuka, dapat menyebabkan masalah kesehatan serius seperti infeksi. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk memahami pengalaman pasien dalam merawat luka dan meningkatkan praktik perawatan luka yang lebih baik. Penelitian ini juga menyinggung praktik pengobatan tradisional yang masih relevan dan tren masyarakat dalam kembali ke pengobatan tradisional, yang juga perlu dikaji dalam konteks perawatan luka modern. Biaya perawatan luka yang terinfeksi juga sangat signifikan; contohnya, pasien fraktur pinggul dengan dekubitus berat derajat IV yang terinfeksi membutuhkan biaya hingga £25.905 selama 180 hari perawatan (Hibbs, 1988; Morison, 2012). Kepercayaan dan praktik pengobatan tradisional juga menjadi fokus, dengan beberapa masyarakat masih mengandalkan metode tradisional, yang mungkin bertentangan dengan pedoman perawatan luka modern (Syahrun, 2012, 2013).

2. Metode Penelitian Kualitatif Fenomenologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi untuk menyelidiki pengalaman pasien fraktur terbuka dalam merawat lukanya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali secara mendalam pemahaman tentang proses penyembuhan luka, faktor-faktor yang mendukung penyembuhan, dan hambatan yang dihadapi pasien. Metode pengumpulan data utama adalah wawancara mendalam dengan lima partisipan yang memenuhi kriteria tertentu. Jumlah partisipan dipilih dengan harapan mencapai saturasi data, dimana data yang diperoleh sudah tidak memberikan informasi baru yang signifikan. Peneliti terlibat aktif dan langsung dengan partisipan selama proses wawancara untuk mendapatkan informasi yang akurat dan menyeluruh. Analisis data yang dilakukan mengidentifikasi tiga tema utama yang relevan dengan pengalaman perawatan luka pasien fraktur terbuka: upaya penyembuhan luka yang dilakukan pasien, faktor pendorong penyembuhan luka, dan faktor penghambat penyembuhan luka. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan perawatan luka fraktur terbuka dan praktik keperawatan yang lebih baik.

3. Hasil Penelitian Tiga Tema Utama Pengalaman Pasien

Analisis data mengidentifikasi tiga tema utama yang mencerminkan pengalaman pasien dalam merawat luka fraktur terbuka. Pertama, upaya penyembuhan luka meliputi berbagai tindakan yang dilakukan pasien, seperti penggunaan obat-obatan, cara merawat luka secara langsung, dan pembatasan diet. Tema kedua berfokus pada faktor pendorong penyembuhan luka, yang meliputi dukungan dari keluarga dan faktor spiritual, seperti berdoa untuk kesembuhan. Tema ketiga mengkaji faktor-faktor yang menghambat penyembuhan luka, yang mencakup berbagai hambatan yang dihadapi pasien selama proses perawatan luka. Penelitian menemukan kompleksitas pengalaman pasien, yang ditandai dengan beragam perspektif dan sudut pandang dalam memaknai fenomena penyembuhan luka. Penelitian ini juga mencatat penggunaan pengobatan tradisional seperti minyak dan jamu, serta kepercayaan masyarakat terkait makanan tertentu yang dapat memperlambat penyembuhan, seperti telur. Penggunaan minyak pengalun karo sebagai pengobatan tradisional juga dibahas, serta dampak negatif perawatan luka yang tidak tepat, seperti yang dijelaskan dalam teori Taylor (2010), yang dapat menyebabkan komplikasi seperti infeksi, perdarahan, dan dehiscence. Dukungan psikologis dari keluarga juga terbukti penting dalam mendorong penyembuhan luka (Delamater, 2006).

II.Definisi Fraktur dan Perawatan Luka

Fraktur didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang akibat trauma. Perawatan luka bergantung pada jenis dan keparahan luka, serta risiko infeksi. Prinsip umum perawatan luka meliputi pembersihan luka dengan antiseptik, irigasi dengan larutan garam, dan penutupan luka dengan kasa steril. Perawatan yang buruk dapat mengakibatkan komplikasi serius, seperti infeksi luka fraktur terbuka.

1. Definisi Fraktur

Dokumen mendefinisikan fraktur sebagai hilangnya kontinuitas tulang atau tulang rawan, baik sebagian maupun seluruhnya. Penyebab utama fraktur adalah trauma atau tenaga fisik. Besarnya kekuatan dan sudut gaya yang mengenai tulang, serta kondisi jaringan lunak di sekitarnya, akan menentukan apakah fraktur yang terjadi bersifat lengkap atau tidak lengkap (Helmi, 2012). Dokumen juga menyebutkan beberapa penyebab lain fraktur seperti tumor tulang (jinak atau ganas), infeksi osteomielitis, dan rakhitis (kekurangan vitamin D). Gejala fraktur dapat berupa deformitas pada ekstremitas, gangguan fungsi otot, pemendekan tulang, dan krepitus (bunyi derik tulang akibat gesekan fragmen tulang). Komplikasi fraktur meliputi delayed union (penyembuhan terlambat), non-union (gagal sembuh), mal-union (penyembuhan dengan deformitas), dan sindrom kompartemen (kerusakan saraf dan pembuluh darah akibat pembengkakan). Intervensi pada fraktur tertutup meliputi penilaian kerusakan jaringan lunak, pemasangan gips, dan terapi bedah (fiksasi interna atau eksterna) (Helmi, 2013).

2. Perawatan Luka Umum dan Prinsip prinsipnya

Perawatan luka bergantung pada jenis, keparahan luka, adanya perdarahan, dan risiko infeksi. Prinsip perawatan luka umum meliputi: mencuci tangan dengan sabun antiseptik, memeriksa adanya benda asing di dalam luka, membersihkan luka dengan antiseptik atau larutan garam (normal saline), mengeringkan luka dengan kasa steril, pemberian antibiotik atau antiseptik jika perlu, menutup luka dengan kasa steril, dan meninggikan posisi area luka jika terjadi perdarahan (Suriadi, 2012). Perawatan luka yang tidak tepat pada luka fraktur terbuka dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius, seperti infeksi. Dokumen menekankan pentingnya perawatan luka yang tepat untuk mencegah komplikasi dan memastikan penyembuhan yang optimal. Dokumen juga menyinggung biaya yang signifikan terkait dengan perawatan luka yang terinfeksi, memberikan contoh biaya perawatan pasien fraktur pinggul dengan dekubitus yang terinfeksi (Morison, 2012).

III.Proses Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase: inflamasi, proliferasi, dan maturasi. Fase inflamasi melibatkan pembersihan jaringan yang rusak. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi dan angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru). Fase maturasi melibatkan pembentukan jaringan parut. Nutrisi yang cukup, terutama protein, vitamin (A, C, K), dan zat besi, sangat penting untuk penyembuhan luka. Faktor-faktor seperti vaskularisasi, anemia, usia, dan temperatur juga mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka.

1. Fase Fase Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka dijelaskan melalui beberapa fase. Fase inflamasi merupakan fase awal, ditandai dengan reaksi tubuh terhadap cedera, termasuk vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan migrasi leukosit untuk membersihkan jaringan mati dan bakteri. Fase ini penting untuk membersihkan jaringan yang rusak dan mempersiapkan jalan untuk penyembuhan selanjutnya. Setelah fase inflamasi, fase proliferasi dimulai, ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi, angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), dan kontraksi luka. Fibroblast berperan penting dalam produksi kolagen, yang krusial untuk kekuatan jaringan baru. Epitelialisasi, yaitu migrasi sel epitel untuk menutup luka, juga terjadi selama fase ini. Terakhir, fase maturasi atau remodeling melibatkan reorganisasi kolagen dan penurunan vaskularitas, menghasilkan jaringan parut. Proses ini membutuhkan nutrisi yang cukup, termasuk protein untuk proliferasi fibroblast dan sintesis kolagen, karbohidrat untuk energi seluler, dan vitamin A, C, K, serta zat besi untuk berbagai fungsi penting dalam penyembuhan (Bobel, 2009).

2. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan dan keberhasilan penyembuhan luka. Vaskularisasi yang baik sangat penting karena memberikan oksigen dan nutrisi ke jaringan yang sedang memperbaiki diri. Anemia dapat memperlambat penyembuhan karena mengurangi suplai oksigen dan nutrisi. Usia juga berpengaruh, dengan individu yang lebih muda cenderung memiliki penyembuhan yang lebih cepat. Suhu luka juga memainkan peran; suhu rendah dapat menghambat aktivitas leukosit dan mitosis. Perdarahan yang signifikan dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer, mengurangi suplai darah ke luka dan memperlambat penyembuhan. Nutrisi yang cukup, terutama protein, sangat penting untuk sintesis protein dan respons imun. Defisiensi protein dapat memperlambat penyembuhan dan mengurangi kekuatan jaringan parut. Proses penuaan juga mempengaruhi penyembuhan luka karena perubahan fisiologis pada kulit dan sistem tubuh lainnya. Faktor eksternal seperti penatalaksanaan luka yang tidak tepat, teknik pembalutan yang buruk, dan pemilihan produk perawatan luka yang tidak sesuai juga dapat menghambat penyembuhan. Hipoksia (kekurangan oksigen) pada daerah luka juga dapat menghambat mitosis dan sintesis kolagen.

IV.Faktor Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Berbagai faktor mempengaruhi penyembuhan luka, termasuk vaskularisasi yang memadai, status gizi (terutama protein), usia pasien, dan adanya komplikasi seperti infeksi. Perawatan luka yang tidak tepat, penggunaan antiseptik yang berlebihan, dan defisiensi nutrisi dapat memperlambat proses penyembuhan luka. Dukungan keluarga dan aspek spiritual juga berperan penting sebagai faktor pendorong penyembuhan luka. Sebaliknya, kurangnya dukungan dan kepercayaan yang berlebihan pada pengobatan tradisional dapat menjadi faktor penghambat penyembuhan luka.

1. Faktor Faktor Sistemik yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Dokumen mengidentifikasi beberapa faktor sistemik yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka. Vaskularisasi, atau suplai darah yang cukup, sangat penting karena luka membutuhkan oksigen dan nutrisi untuk pertumbuhan dan perbaikan sel. Anemia, atau kekurangan hemoglobin dalam darah, memperlambat penyembuhan karena kurangnya pasokan protein dan oksigen untuk perbaikan sel. Usia juga berperan, dengan kecepatan perbaikan sel yang bervariasi sesuai usia, meskipun proses penuaan dapat menurunkan sistem perbaikan sel dan memperlambat penyembuhan. Suhu tubuh juga mempengaruhi, aktivitas fagositik dan mitosis terhambat pada suhu rendah (di bawah 28°C), dan pemulihan suhu tubuh membutuhkan waktu hingga 3 jam. Perdarahan yang hebat dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer untuk mempertahankan tekanan darah organ vital, sehingga mengurangi suplai darah ke luka dan memperlambat penyembuhan. Terakhir, nutrisi memegang peran krusial, khususnya protein yang dibutuhkan untuk proliferasi fibroblast, neoangiogenesis, sintesis kolagen, dan fungsi kekebalan tubuh. Defisiensi protein dapat menghambat semua proses tersebut (Bobel, 2009).

2. Faktor Faktor Lokal dan Perilaku yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Selain faktor sistemik, terdapat faktor lokal dan perilaku yang juga mempengaruhi penyembuhan luka. Daerah tubuh dengan suplai darah buruk, seperti kulit di atas tibia, lebih rentan terhadap ulkus yang sulit sembuh. Hipoksia (kekurangan oksigen) di area luka menghambat mitosis sel epitel dan fibroblast, sintesis kolagen, dan kemampuan makrofag untuk melawan bakteri. Penatalaksanaan luka yang tidak tepat, seperti teknik pembalutan yang buruk, pemilihan produk perawatan luka yang tidak sesuai, atau penggantian balutan terlalu cepat, dapat menghambat penyembuhan. Kegagalan dalam mengidentifikasi masalah yang menyebabkan keterlambatan penyembuhan juga berperan. Perilaku negatif pasien terhadap proses penyembuhan juga menjadi faktor penghambat. Penggunaan radioterapi dalam pengobatan kanker dapat menyebabkan kerusakan lokal dan memperlambat penyembuhan. Dokumen juga menyebutkan pengaruh fisiologis penuaan pada struktur dan karakteristik kulit, yang dapat mempengaruhi predisposisi terhadap cedera dan efisiensi mekanisme penyembuhan luka.

V.Temuan Penelitian Pengalaman Pasien dalam Perawatan Luka Fraktur Terbuka

Penelitian mengidentifikasi tiga tema utama terkait pengalaman pasien: upaya penyembuhan luka (termasuk pengobatan dan pembatasan diet), faktor pendorong penyembuhan (terutama dukungan keluarga dan aspek spiritual), dan faktor penghambat penyembuhan (termasuk perawatan luka yang tidak tepat dan keyakinan tradisional yang kurang ilmiah). Beberapa partisipan menggunakan obat tradisional seperti minyak pengalun karo. Penelitian menyoroti pentingnya edukasi pasien dan keluarga untuk meningkatkan praktik perawatan luka yang efektif dan mengurangi risiko komplikasi seperti infeksi luka fraktur terbuka.

1. Upaya Penyembuhan Luka yang Dilakukan Pasien

Temuan penelitian menunjukkan beragam upaya penyembuhan luka yang dilakukan pasien fraktur terbuka. Ini menjadi fokus awal wawancara, mencakup aspek pengobatan (jenis obat yang dikonsumsi), cara merawat luka secara langsung, dan pembatasan diet. Data menunjukkan penggunaan berbagai metode, termasuk pengobatan konvensional dan pengobatan tradisional. Penggunaan obat-obatan seperti minyak, yang juga termasuk dalam praktik pengobatan tradisional, dilaporkan oleh beberapa partisipan. Perlu diperhatikan bahwa beberapa praktik tradisional, seperti pantangan makanan tertentu (misalnya, telur), mungkin tidak didukung oleh bukti ilmiah modern dan bahkan dianggap tidak efektif oleh peneliti. Penggunaan minyak pengalun karo, sebagai contoh pengobatan tradisional yang umum di masyarakat, juga dicatat. Temuan ini menunjukkan kompleksitas pengalaman pasien dalam mencari kesembuhan dan menunjukkan perluasan pengetahuan tentang metode perawatan luka yang sesuai dengan bukti ilmiah.

2. Faktor Pendorong Penyembuhan Luka

Penelitian mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong penyembuhan luka pada pasien fraktur terbuka. Analisis data mengungkapkan bahwa dukungan keluarga menjadi faktor pendorong utama. Kelima partisipan merasakan dukungan signifikan dari keluarga mereka dalam proses penyembuhan. Selain dukungan keluarga, faktor spiritual juga berperan penting. Partisipan melaporkan praktik keagamaan seperti berdoa sebagai bagian dari upaya penyembuhan mereka. Pernyataan-pernyataan seperti “berdoa agar bisa sembuh, dan berdoa supaya ada mukjijat agar bisa sembuh” menunjukkan signifikansi aspek spiritual dalam proses penyembuhan. Temuan ini menunjukkan bahwa dukungan sosial dan spiritual berperan signifikan dalam motivasi dan proses penyembuhan pasien. Penelitian ini mendukung temuan Delamater (2006) yang menekankan peran penting keluarga dalam penyembuhan luka, termasuk rendahnya konflik keluarga, kedekatan antar anggota keluarga, dan komunikasi yang baik.

3. Faktor Penghambat Penyembuhan Luka

Penelitian juga mengidentifikasi berbagai faktor yang menghambat proses penyembuhan luka. Temuan menunjukkan kompleksitas pengalaman pasien, dengan berbagai hambatan yang dihadapi. Berbagai faktor penghambat tersebut dikategorikan dan dianalisis untuk memahami pengalaman pasien secara menyeluruh. Salah satu faktor penghambat yang signifikan adalah perawatan luka yang tidak tepat, yang dapat menyebabkan komplikasi seperti infeksi, perdarahan, dehiscence, dan eviscerasi (Taylor, 2010). Kepercayaan terhadap praktik pengobatan tradisional yang tidak terbukti secara ilmiah juga menjadi faktor penghambat. Contohnya, pembatasan diet tertentu, seperti pantangan makan telur yang masih diyakini sebagian masyarakat, tidak efektif dalam konteks penyembuhan luka modern dan bahkan mungkin kontraproduktif. Kesimpulannya, perawatan luka yang tidak tepat dan keyakinan tradisional yang tidak sesuai dengan bukti ilmiah modern merupakan hambatan dalam proses penyembuhan luka fraktur terbuka.

VI.Keterbatasan Penelitian dan Saran

Penelitian ini memiliki keterbatasan, terutama terkait dengan jumlah sampel yang terbatas (5 partisipan) dan kesulitan peneliti pemula dalam pengumpulan data. Saran untuk penelitian selanjutnya meliputi perluasan sampel dan pengembangan metodologi untuk mendapatkan data yang lebih komprehensif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan praktik keperawatan dan edukasi pasien terkait perawatan luka fraktur terbuka.

1. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini mengakui beberapa keterbatasan. Pertama, peneliti, sebagai peneliti pemula, mengalami kesulitan dalam memperoleh data yang mewakili seluruh aspek pengalaman partisipan terkait penyembuhan luka. Hal ini disebabkan karena kompleksitas pengalaman dan perbedaan karakteristik individu partisipan. Untuk mengatasi hal ini, peneliti melakukan kunjungan ulang untuk melengkapi data. Keterbatasan lain adalah jumlah sampel yang terbatas, hanya lima partisipan. Meskipun upaya dilakukan untuk mencapai saturasi data, keterbatasan jumlah sampel ini membatasi generalisasi temuan. Kesulitan dalam pengumpulan data yang komprehensif juga diakui, menunjukkan perlunya pengalaman lebih lanjut bagi peneliti dalam melakukan penggalian data secara efektif dan efisien untuk mendapatkan gambaran pengalaman yang lebih luas dan mendalam dari partisipan. Penelitian dengan skala yang lebih besar dan metodologi yang lebih teruji disarankan untuk mengatasi keterbatasan ini.

2. Saran untuk Pengembangan Ilmu Keperawatan dan Praktik Klinik

Penelitian ini memberikan beberapa saran untuk pengembangan ilmu keperawatan dan praktik klinik. Pertama, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pendidikan keperawatan, khususnya dalam hal edukasi pasien dan keluarga tentang perawatan luka fraktur terbuka yang benar, termasuk bagaimana mengelola makanan dan minuman yang dikonsumsi. Edukasi harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan individu. Penting untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan luka, karena pengetahuan merupakan dasar perubahan perilaku dan menentukan kemampuan dalam melakukan perawatan yang tepat (Dunning, 2009; Morison, 2002). Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan metodologi yang lebih komprehensif direkomendasikan untuk memvalidasi temuan dan memberikan pemahaman yang lebih luas tentang pengalaman pasien dalam merawat luka fraktur terbuka. Pengembangan ilmu keperawatan harus terus beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas.