Penetapan Kadar Cu pada Makanan Cokelat

Penetapan Kadar Cu pada Makanan Cokelat

Informasi dokumen

Penulis

Dian Mithami Ritonga

instructor Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.
Sekolah

Universitas Sumatera Utara, Fakultas Farmasi

Jurusan Analis Farmasi dan Makanan
Jenis dokumen Tugas Akhir
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 1.67 MB
  • Analisis Makanan
  • Spektrofotometri
  • Kadar Logam

Ringkasan

I. Penetapan Kadar Tembaga Cu pada Cokelat dengan Spektrofotometri Serapan Atom

Penelitian ini berfokus pada penetapan kadar Cu dalam cokelat menggunakan metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Tujuannya adalah untuk memastikan apakah kadar logam berat Cu pada sampel cokelat memenuhi standar SNI 01-4293-1996. Hasil penelitian menunjukkan kadar Cu sebesar 3,6 mg/kg, berada di bawah batas maksimum 15 mg/kg yang ditetapkan oleh SNI. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium pangan dan Bahan Berbahaya, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan, Jalan Williem Iskandar Pasar V barat I No.2 Medan.

1. Abstrak dan Tujuan Penelitian

Abstrak penelitian menjelaskan bahwa cokelat, sebagai makanan populer, perlu melalui pengujian kualitas, termasuk penetapan kadar tembaga (Cu). Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menentukan apakah kadar Cu pada sampel cokelat memenuhi standar yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI). Hasil analisis menunjukkan kadar Cu sebesar 3,6 mg/kg. Angka ini dibandingkan dengan batas maksimum cemaran logam berat dalam cokelat menurut SNI 01-4293-1996, yaitu 15 mg/kg. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometri Serapan Atom (SSA), yang dilakukan di laboratorium Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan. Penelitian ini menekankan pentingnya pengujian kualitas cokelat untuk memastikan keamanan pangan dan kepatuhan terhadap regulasi nasional. Metode SSA dipilih karena ketelitian dan keakuratannya dalam mengukur kadar logam dalam sampel makanan.

2. Metode Penelitian Spektrofotometri Serapan Atom SSA

Bagian ini menjelaskan secara detail metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) yang digunakan untuk menentukan kadar tembaga (Cu) dalam sampel cokelat. Penjelasan mencakup prinsip kerja SSA, yaitu penyerapan cahaya oleh atom-atom netral pada panjang gelombang spesifik untuk setiap unsur. Alat dan prosedur yang digunakan sesuai dengan standar laboratorium Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan juga dijelaskan. Dokumentasi ini penting untuk memastikan reproduksibilitas penelitian dan verifikasi hasil. Keakuratan dan presisi metode SSA ditekankan sebagai kunci keberhasilan penelitian dalam menentukan kadar Cu dalam sampel cokelat secara tepat dan terpercaya. Penggunaan metode ini didasari oleh berbagai referensi ilmiah seperti Khopkar (2002) dan Gandjar dan Rohman (2009), yang memberikan landasan teori dan praktis penggunaan SSA dalam analisis kadar logam.

3. Lokasi dan Fasilitas Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pangan dan Bahan Berbahaya, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan, yang berlokasi di Jalan Williem Iskandar Pasar V Barat I No.2 Medan. Laboratorium ini menyediakan fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan analisis Spektrofotometri Serapan Atom (SSA), termasuk alat-alat pendukung lainnya yang memastikan keakuratan hasil pengujian. Mencantumkan lokasi dan fasilitas penelitian ini penting untuk transparansi dan verifikasi data. Ketersediaan peralatan dan keahlian teknis di laboratorium tersebut memastikan kualitas penelitian dan validitas hasil yang didapat. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan merupakan lembaga pemerintah yang kredibel dalam pengujian keamanan pangan, sehingga validasi data penelitian terjamin.

4. Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar tembaga (Cu) pada sampel cokelat yang diuji adalah 3,6 mg/kg. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan batas maksimum cemaran logam berat dalam cokelat berdasarkan SNI 01-4293-1996, yaitu 15 mg/kg. Kesimpulannya, kadar Cu pada sampel cokelat yang diuji memenuhi syarat dan berada di bawah batas maksimum yang diizinkan. Pembahasan hasil penelitian ini menekankan pentingnya kepatuhan terhadap standar keamanan pangan yang berlaku di Indonesia. Data kuantitatif yang disajikan memberikan bukti empiris yang mendukung kesimpulan penelitian. Penelitian ini memberikan informasi yang berharga tentang keamanan pangan dan kualitas cokelat yang beredar di pasaran.

II. Tembaga Cu Logam Esensial dan Toksisitasnya

Tembaga (Cu) merupakan logam berat esensial, dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil untuk proses metabolisme. Namun, dalam jumlah berlebihan, Cu bersifat toksik. Penelitian ini penting karena mengkaji keberadaan Cu dalam makanan sehari-hari, khususnya cokelat, dan dampaknya terhadap kesehatan. Studi ini merujuk pada beberapa sumber, termasuk penelitian oleh Muhajirin et al. (2004) dan Arifin (2008) mengenai mineral esensial mikro.

1. Tembaga Cu sebagai Logam Esensial

Bagian ini menjelaskan peran tembaga (Cu) sebagai logam esensial bagi organisme hidup. Meskipun termasuk logam berat yang dalam jumlah berlebih bersifat toksik, Cu dibutuhkan dalam jumlah sedikit untuk proses fisiologis. Dokumen ini mengklasifikasikan mineral esensial menjadi dua kelompok: makro dan mikro. Mineral makro dibutuhkan dalam jumlah besar (kalsium, klorin, magnesium, kalium, fosforus, natrium, dan sulfur), sedangkan mineral mikro diperlukan dalam jumlah kecil, termasuk tembaga (Cu), kobalt, iodin, besi, mangan, selenium, dan seng. Sumber referensi yang dikutip untuk informasi ini adalah Muhajirin et al. (2004) dan Arifin (2008), yang memberikan pemahaman lebih lanjut tentang peran mineral esensial mikro dalam sistem biologi. Penjelasan ini memberikan konteks penting terkait studi kadar Cu dalam cokelat, menekankan pentingnya menjaga keseimbangan asupan Cu, dimana kekurangan maupun kelebihan dapat berdampak buruk bagi kesehatan.

2. Sifat dan Peran Tembaga Cu dalam Tubuh

Bagian ini lebih rinci menjelaskan sifat-sifat tembaga (Cu) dan perannya dalam tubuh manusia. Tembaga (Cu), dengan lambang kimia Cu dan nomor atom 29, dibutuhkan untuk berbagai sistem enzim oksidatif seperti enzim askorbat oksidase, sitokrom C oksidase, polifenol oksidase, dan amino oksidase. Cu juga berperan dalam pembentukan hemoglobin, kolagen, pembuluh darah, dan myelin otak. Sumber referensi yang dikutip untuk informasi ini adalah Palar (1994), yang memberikan pemahaman lebih dalam tentang toksikologi dan peran logam berat dalam tubuh. Penjelasan ini memberikan konteks penting mengenai pentingnya mengendalikan kadar Cu dalam makanan, karena kelebihan Cu dapat menyebabkan toksisitas, sedangkan kekurangannya dapat mengganggu fungsi tubuh. Penyerapan Cu diatur dalam tubuh, dimulai dari penyerapan di mukosa usus, pengikatan pada albumin dan transcuprein dalam plasma darah, hingga ke hati untuk diproses dan diekskresikan melalui empedu (Linder, 2006).

3. Toksisitas Tembaga Cu

Bagian ini membahas aspek toksisitas tembaga (Cu). Meskipun esensial, kelebihan Cu dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Toksisitas Cu baru terlihat jika kadarnya melebihi ambang batas (NAB). Contohnya, akumulasi Cu dalam jumlah tinggi pada kerang dapat menyebabkan perubahan warna otot menjadi kehijauan, yang menjadi indikator bahwa kerang tersebut tidak layak konsumsi. Sumber yang dikutip meliputi Palar (2008) dan Rochayatun (2003), yang memberikan informasi lebih lanjut tentang toksisitas logam berat dan dampaknya pada biota perairan. Tembaga (Cu) diklasifikasikan sebagai mineral mikro karena dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit; kelebihannya dapat menyebabkan keracunan (Arifin, 2008). Penjelasan ini memberikan latar belakang penting untuk memahami mengapa pengukuran kadar Cu dalam makanan, seperti cokelat dalam penelitian ini, sangat penting untuk keamanan pangan.

III. Cokelat Komposisi dan Proses Pengolahan

Cokelat, yang berasal dari biji kakao (Theobroma cacao L.), kaya akan senyawa fenolik dan antioksidan. Proses pengolahan cokelat, dari panen kakao hingga menjadi produk akhir, dijelaskan secara singkat, mencakup fermentasi, pengeringan, penyangraian, dan pencampuran dengan bahan tambahan. Kualitas dan komposisi cokelat, termasuk kandungan lemak kakao, berpengaruh pada tekstur dan sifat akhir produk. Penelitian ini mengacu pada referensi seperti Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (2004) dan Wahyudi (2008) mengenai pengolahan kakao dan lemak kakao.

1. Komposisi Cokelat dan Kandungan Bioaktif

Cokelat, sebagai produk turunan kakao (Theobroma cacao L.), kaya akan senyawa fenolik. Senyawa-senyawa ini meliputi berbagai kelompok molekul seperti katekin, epikatekin, antosianin, proantosianidin, asam fenolik, tanin terkondensasi, dan flavonoid. Sanchez (2003) memberikan informasi mengenai beragam komponen dalam kakao. Lemak kakao, komponen penting lainnya, merupakan campuran trigliserida yang terdiri dari gliserol dan tiga asam lemak bebas, termasuk lemak tak jenuh. Komposisi asam lemak bervariasi tergantung kondisi pertumbuhan dan memengaruhi tekstur cokelat. Lemak kakao bersifat plastis dan memiliki kandungan lemak padat yang tinggi (Wahyudi, 2008). Selain itu, kakao kaya akan senyawa bioaktif, terutama polifenol yang bertindak sebagai antioksidan dan antimikroba, serta memiliki potensi sebagai antioksidan alami yang dapat memodulasi sistem imun dan memiliki efek kemopreventif (Keen, 2005). Jenis kakao yang dibahas adalah Theobroma cacao L (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 2004).

2. Proses Pengolahan Kakao Menjadi Cokelat

Proses pengolahan kakao menjadi cokelat dimulai dari pemanenan buah kakao, yang kemudian dipisahkan bijinya dari kulit. Biji kakao dibersihkan dari lendir berlebihan untuk mencegah rasa asam setelah fermentasi. Pembersihan dapat dilakukan secara manual atau menggunakan mesin (Anonim, 1998). Proses selanjutnya adalah penyangraian biji kakao kering, yang menghasilkan warna, rasa, dan aroma yang diinginkan. Biji kakao yang telah disangrai disebut nib, kemudian digiling hingga menjadi adonan kental karena kandungan lemaknya yang tinggi (Anonim, 1998). Adonan kemudian dicampur dengan bahan tambahan dan diaduk hingga homogen. Proses pencetakan dan pendinginan dilakukan untuk membentuk produk cokelat akhir. Lemak kakao berperan penting dalam memadatkan cokelat dan mencegah lengketnya cokelat pada cetakan (Ketaren, 1986). Proses ini menunjukkan kompleksitas pengolahan cokelat dan bagaimana berbagai faktor mempengaruhi kualitas produk akhir.

3. Manfaat Cokelat dan Kandungan Flavonoid

Cokelat memiliki manfaat kesehatan berkat kandungan flavonoid (polifenol) yang tinggi sebagai antioksidan. Flavonoid dapat menurunkan risiko penyakit jantung, kanker, dan stroke. Selain itu, cokelat juga mengandung phenylethylamine yang menstimulasi perasaan positif (Prawoto, 2008). Biji kakao mengandung antioksidan flavonoid, berupa monomer flavan-3-ol (flavanols) seperti epicatechin dan catechin, serta oligomer flavanols yaitu procyanidin. Konsumsi makanan kaya flavonoid bermanfaat bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah (Grossman, 2008). Meskipun banyak penelitian mengenai manfaat biji kakao, khasiatnya dalam mengatasi stres oksidatif akibat stres psikososial masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Informasi ini menyoroti aspek kesehatan dan gizi dari cokelat sebagai latar belakang penting dalam konteks penelitian kadar logam berat di dalamnya.

IV. Metode Analisis Spektrofotometri Serapan Atom SSA

Metode SSA digunakan untuk menentukan kadar Cu dalam sampel cokelat. Prinsipnya berdasarkan penyerapan energi sinar oleh atom netral pada panjang gelombang tertentu. Analisis ini dilakukan sesuai prosedur laboratorium dan menggunakan instrumen SSA di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Medan. Referensi mengenai prinsip dan instrumen SSA merujuk pada Khopkar (2002) dan Gandjar & Rohman (2009).

1. Prinsip Spektrofotometri Serapan Atom SSA

Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada prinsip absorpsi cahaya oleh atom netral. Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu yang unik untuk setiap unsur. Energi cahaya yang diserap cukup untuk mengubah tingkat energi elektron dalam atom, dan transisi elektron ini bersifat spesifik untuk setiap unsur. Dengan mengukur jumlah cahaya yang diserap pada panjang gelombang spesifik, kadar unsur tersebut dalam sampel dapat ditentukan secara kuantitatif. Prinsip dasar SSA ini dijelaskan lebih lanjut oleh Khopkar (2002), yang juga menjelaskan bagaimana atom pada keadaan dasar tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi setelah menyerap energi cahaya. Kepekaan SSA yang tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), prosedur yang relatif sederhana, dan sedikit interferensi menjadikannya metode yang sesuai untuk analisis kadar logam dalam sampel makanan seperti cokelat.

2. Instrumen dan Prosedur SSA

Meskipun detail instrumen SSA tidak dijelaskan secara ekstensif, disebutkan bahwa metode ini menggunakan peralatan yang tersedia di laboratorium Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini dilakukan dengan menggunakan peralatan yang standar dan terkalibrasi dengan baik untuk memastikan akurasi dan presisi hasil pengukuran. Meskipun komponen instrumen seperti lampu katoda berongga dan detektor disebutkan, detail teknisnya tidak dijelaskan secara mendalam dalam dokumen ini. Prosedur analisis dilakukan sesuai dengan prosedur standar laboratorium, memastikan konsistensi dan reliabilitas hasil. Khopkar (2002) juga disinggung sebagai referensi yang menjelaskan tentang instrumen SSA, termasuk aspek seperti detektor dan kebutuhan suhu nyala yang tinggi (>2000 oK) yang biasanya dicapai dengan menggunakan gas pembakar dan gas pengoksida seperti udara dan nitrogen oksida (N2O). Pemilihan SSA didasarkan pada kemampuannya untuk analisis kuantitatif unsur mineral dalam jumlah sedikit.

3. Penerapan SSA dalam Penetapan Kadar Cu pada Cokelat

Penetapan kadar tembaga (Cu) pada sampel cokelat dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) di Laboratorium Pangan dan Bahan Berbahaya, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan. Proses analisis mengikuti prosedur standar laboratorium, menggunakan peralatan SSA yang sesuai. Penggunaan SSA dalam penelitian ini dibenarkan oleh referensi ilmiah Gandjar dan Rohman (2009) yang menjelaskan keunggulan SSA dalam analisis kuantitatif mineral. Hasil analisis yang didapat menunjukkan kadar Cu sebesar 3,6 mg/kg. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan nilai ambang batas yang ditetapkan oleh SNI 01-4293-1996. Penelitian ini secara spesifik menunjukkan bagaimana SSA diterapkan dalam konteks analisis keamanan pangan, khususnya dalam menentukan kadar logam berat pada sampel makanan, dan bagaimana hasil tersebut diinterpretasikan berdasarkan standar nasional.

V. Kesimpulan dan Implikasi

Hasil penetapan kadar Cu pada cokelat menunjukkan kepatuhan terhadap standar SNI yang berlaku. Namun, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengkaji kadar Cu pada berbagai jenis cokelat dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman tentang keamanan pangan dan pentingnya analisis logam berat dalam makanan.

1. Kesimpulan Penelitian

Kesimpulan utama penelitian ini adalah kadar tembaga (Cu) pada sampel cokelat yang diuji sebesar 3,6 mg/kg. Nilai ini berada di bawah batas maksimum yang diizinkan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-4293-1996, yaitu 15 mg/kg. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sampel cokelat yang diuji memenuhi persyaratan SNI terkait cemaran logam berat. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil analisis menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) yang dilakukan di laboratorium Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan. Kesesuaian kadar Cu dengan standar SNI menunjukkan bahwa sampel cokelat yang diuji aman untuk dikonsumsi berdasarkan parameter logam berat ini. Namun, penting untuk diingat bahwa kesimpulan ini hanya berlaku untuk sampel cokelat yang diuji dalam penelitian ini dan belum tentu mewakili seluruh produk cokelat yang beredar di pasaran.

2. Implikasi Penelitian

Penelitian ini memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman tentang keamanan pangan dan kualitas cokelat yang beredar di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) yang tepat, kadar logam berat, khususnya tembaga (Cu), dalam cokelat dapat ditentukan secara akurat dan dibandingkan dengan standar SNI. Implikasi pentingnya adalah penegasan akan pentingnya pengujian secara rutin untuk memastikan kualitas dan keamanan produk cokelat bagi konsumen. Penelitian ini juga dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai kadar logam berat pada berbagai jenis dan merek cokelat yang beredar di pasaran untuk memastikan keamanan pangan secara komprehensif. Penelitian lanjutan dapat mencakup jenis logam berat lain selain tembaga, serta mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi kadar logam berat dalam cokelat. Data ini dapat bermanfaat bagi produsen cokelat, pengawas keamanan pangan, dan konsumen.