
Penatalaksanaan Pneumonia pada Balita dengan Pendekatan MTBS di Puskesmas Medan Denai
Informasi dokumen
Penulis | Fitri Haniffa |
Sekolah | Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara |
Jurusan | Kesehatan Masyarakat |
Tempat | Medan |
Jenis dokumen | Skripsi |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 3.35 MB |
- Pneumonia
- Balita
- Manajemen Kesehatan
Ringkasan
I.Latar Belakang Rendahnya Penatalaksanaan Pneumonia di Medan
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya cakupan penatalaksanaan pneumonia pada balita di Kota Medan, khususnya di Puskesmas Medan Denai. Data Riskesdas 2013 menunjukkan hanya 17,3% dari perkiraan 24.474 balita penderita pneumonia di Kota Medan yang tertangani. Hal ini diperparah dengan rendahnya cakupan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), dimana di tahun 2012 hanya 22% dari perkiraan penderita yang tertangani. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS di Puskesmas Medan Denai.
1.1 Tingkat Kematian dan Kesakitan Akibat Pneumonia di Indonesia
Pneumonia merupakan penyakit umum pada anak di bawah lima tahun dan selalu masuk dalam 10 besar penyakit di fasilitas kesehatan Indonesia. Data menunjukkan penurunan cakupan penanganan pneumonia. Di Medan pada tahun 2013, dari 244.730 anak di bawah lima tahun, hanya 4.269 anak (17,3%) yang tertangani, jauh dari perkiraan 24.474 anak. Angka ini menunjukkan kebutuhan yang mendesak untuk meningkatkan penatalaksanaan pneumonia, terutama mengingat pneumonia juga menjadi masalah kesehatan mencolok di negara berkembang dan maju, dengan angka kematian dan kesakitan yang masih tinggi. Munculnya organisme nosokomial resisten antibiotik, organisme baru (seperti legionella), serta peningkatan jumlah individu dengan daya tahan tubuh lemah semakin memperparah situasi. Bayi dan balita lebih rentan karena sistem imun yang belum berkembang sempurna. Di Sumatera Utara, cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita juga rendah; pada tahun 2012, hanya 11,74% dari perkiraan kasus yang tertangani, menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya. Beberapa kabupaten/kota bahkan melaporkan nol kasus.
1.2 Gambaran Penatalaksanaan Pneumonia dengan MTBS dan IMCI di Medan
Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama telah berupaya menangani pneumonia, baik secara terpisah maupun terintegrasi melalui Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). MTBS, diadaptasi pada tahun 1997, merupakan pendekatan terintegrasi dalam penatalaksanaan penyakit pada balita (0-5 tahun). Di Kota Medan, pada tahun 2012, hanya 22% dari perkiraan kasus pneumonia pada balita yang tertangani melalui MTBS. Penelitian ini juga menyinggung IMCI (Integrated Management of Childhood Illness) sebagai pendekatan terpadu lainnya untuk penyakit anak usia 0-5 tahun. Di Puskesmas Medan Denai pada tahun 2013, dari 2.278 anak di bawah lima tahun yang berkunjung, 405 anak (26%) ditangani dengan IMCI. Perbedaan angka penanganan antara MTBS dan IMCI menunjukkan kompleksitas tantangan dalam penatalaksanaan pneumonia di Medan. Penelitian sebelumnya oleh Mardijanto dkk (2005) dan Husni dkk (2012) menunjukkan hasil yang beragam terkait implementasi MTBS di daerah lain, menunjukkan bahwa implementasi MTBS masih menghadapi berbagai tantangan dan tidak merata di seluruh Indonesia.
1.3 Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan rendahnya angka penatalaksanaan pneumonia dan implementasi MTBS yang tidak optimal di Kota Medan, penelitian kualitatif ini bertujuan untuk memahami secara lebih jelas dan mendalam penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS di Puskesmas Medan Denai. Penelitian sebelumnya, seperti oleh Mardijanto dkk (2005) menunjukkan bahwa pelaksanaan MTBS seringkali bergantung pada tenaga yang terlatih dan dukungan manajemen yang lemah. Hasil penelitian lain oleh Husni dkk (2012) di Makassar menunjukkan sebagian besar puskesmas tidak menerapkan MTBS secara optimal, yang terlihat dari aspek input, proses, dan output yang belum memenuhi kriteria. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada Puskesmas Medan Denai untuk menganalisis secara spesifik kendala dan faktor-faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS di lokasi tersebut. Data yang ada menyoroti pentingnya penelitian ini untuk menggali lebih detail permasalahan di lapangan.
II.Metodologi Penelitian Pendekatan Kualitatif di Puskesmas Medan Denai
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara mendalam dan observasi pada 6 informan di Puskesmas Medan Denai. Informan terdiri dari 1 pegawai Dinas Kesehatan Kota Medan, Kepala Puskesmas Medan Denai, Kepala Ruangan Poli Anak, 1 pengelola MTBS, dan 2 ibu balita. Analisis data menggunakan metode Miles dan Huberman. Fokus penelitian pada penatalaksanaan pneumonia dan kendala implementasi MTBS di lokasi tersebut.
2.1 Jenis Penelitian dan Lokasi
Penelitian ini bersifat kualitatif, bertujuan untuk memahami secara mendalam penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS di Puskesmas Medan Denai. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Medan Denai, Kota Medan, yang dipilih karena tingginya angka kejadian pneumonia pada balita di wilayah tersebut, dan rendahnya angka penanganan dengan metode MTBS. Penelitian kualitatif dipilih karena memungkinkan untuk menggali informasi secara detail dan menyeluruh tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi MTBS dalam penanganan pneumonia. Pendekatan kualitatif memberikan kesempatan untuk memahami konteks lokal dan perspektif berbagai pemangku kepentingan terkait dalam proses penanganan pneumonia di Puskesmas Medan Denai.
2.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi. Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali informasi lebih detail dari berbagai sumber, mencakup perspektif dan pengalaman mereka dalam proses penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS di Puskesmas Medan Denai. Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung alur pelayanan dan proses penanganan pasien pneumonia, termasuk interaksi antara tenaga kesehatan dan pasien. Kombinasi metode ini bertujuan untuk memperoleh data yang komprehensif dan valid. Keenam informan yang terpilih mewakili berbagai perspektif, mulai dari petugas Dinas Kesehatan Kota Medan, Kepala Puskesmas Medan Denai, Kepala Ruangan Poli Anak, pengelola MTBS di Puskesmas Medan Denai, dan dua orang ibu balita. Pemilihan informan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang berimbang dan representatif.
2.3 Analisis Data
Analisis data menggunakan metode Miles dan Huberman. Metode ini dipilih karena cocok untuk menganalisis data kualitatif yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi. Metode Miles dan Huberman memungkinkan peneliti untuk melakukan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan secara sistematis dan objektif. Proses analisis data ini bertujuan untuk mengidentifikasi tema, pola, dan hubungan antara berbagai faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS di Puskesmas Medan Denai. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang kendala dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi MTBS untuk penanganan pneumonia.
III.Hasil Penelitian Kendala Penatalaksanaan Pneumonia dengan MTBS
Hasil penelitian menunjukkan penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS di Puskesmas Medan Denai belum optimal. Kendala utama meliputi: kurangnya konseling, kekurangan tenaga kesehatan terlatih MTBS (hanya satu kali pelatihan pada tahun 2009 di 34 Puskesmas Kota Medan), kekurangan sarana dan prasarana (tidak ada ruangan khusus MTBS), dan minimnya pendanaan. Pengawasan dari Dinas Kesehatan Kota Medan juga belum maksimal. Meskipun MTBS bertujuan untuk memberikan pelayanan komprehensif (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), aspek promotif dan preventif, khususnya konseling, kurang diterapkan.
3.1 Ketidakoptimalan Pelaksanaan MTBS
Hasil penelitian menunjukkan penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS di Puskesmas Medan Denai belum berjalan dengan baik. Beberapa indikator utama yang menunjukkan hal ini adalah: tidak adanya pemberian konseling kepada orang tua pasien, kekurangan tenaga kesehatan terlatih MTBS sehingga tidak terbentuk tim MTBS yang ideal, kekurangan sarana, prasarana, dan peralatan yang memadai untuk mendukung penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS, dan tidak adanya pendanaan khusus untuk pelaksanaan MTBS. Kurangnya pelatihan dan sumber daya manusia yang terlatih menjadi hambatan utama. Selain itu, pengawasan dan pembinaan dari Kepala Puskesmas Medan Denai dan Dinas Kesehatan Kota Medan juga belum maksimal. Hal ini menyebabkan proses penatalaksanaan pneumonia tidak berjalan secara optimal dan terintegrasi sesuai standar MTBS. Kurangnya konseling, sebagai bagian penting dari pendekatan promotif dan preventif MTBS, juga menjadi temuan yang menonjol.
3.2 Kekurangan Tenaga Kesehatan Terlatih MTBS
Salah satu kendala utama adalah kurangnya tenaga kesehatan terlatih MTBS. Minimnya pelatihan yang diberikan, hanya satu kali pada tahun 2009 untuk 34 Puskesmas di Kota Medan, mengakibatkan kekurangan personil yang kompeten dan berpengalaman dalam menjalankan program MTBS secara efektif. Kurangnya tenaga terlatih ini juga menyebabkan tidak terbentuknya tim MTBS yang solid, sehingga setiap tahapan pelaksanaan MTBS menjadi kurang terkoordinasi. Akibatnya, pelayanan kepada pasien tidak optimal dan konsisten. Penelitian ini menunjukan kesesuaian dengan temuan Husin, dkk (2012) di Kota Makassar yang menyatakan bahwa ketidaksesuaian kriteria SDM MTBS berdampak pada kurangnya pelayanan balita sakit dengan pendekatan MTBS. Beban kerja yang berlebihan pada tenaga kesehatan yang sudah terlatih, karena mereka juga menangani program lain, turut memperburuk kondisi ini. Kondisi ini menyebabkan alur pelayanan MTBS menjadi kurang efisien dan efektif.
3.3 Keterbatasan Sarana Prasarana dan Pendanaan
Selain kekurangan tenaga terlatih, keterbatasan sarana, prasarana, dan pendanaan juga menjadi kendala signifikan. Puskesmas Medan Denai tidak memiliki ruangan khusus untuk MTBS, yang mengakibatkan proses penatalaksanaan pneumonia menjadi kurang efektif dan efisien. Meskipun alat kesehatan seperti timbangan, termometer, dan stetoskop tersedia, namun kondisi fasilitas yang kurang memadai menghambat pelaksanaan program secara optimal. Minimnya pendanaan menjadi kendala serius karena dana MTBS tidak tersedia secara khusus, sehingga harus bersaing dengan program kesehatan lainnya dari dana BOK. Keterbatasan dana ini membatasi kemampuan Puskesmas untuk melakukan perbaikan fasilitas, menambah peralatan, atau bahkan mendatangkan tenaga ahli seperti dokter spesialis untuk menangani kasus pneumonia berat. Temuan ini sejalan dengan penelitian Mardijanto dan Hasan Basri (2004) di Kabupaten Pekalongan yang menyatakan tidak adanya dana khusus untuk mendukung pelaksanaan MTBS.
IV.Tantangan Internal dan Eksternal Implementasi MTBS
Tantangan internal meliputi komitmen pimpinan Puskesmas yang kurang mendukung, kurangnya konsistensi petugas MTBS yang terlatih, dan perpindahan petugas terlatih. Tantangan eksternal meliputi keterbatasan sarana dan prasarana, minimnya pendanaan (bergantung pada dana BOK yang terbatas), dan kurangnya dukungan masyarakat. Minimnya pelatihan MTBS dan kurangnya tenaga kesehatan terlatih menjadi kendala utama dalam implementasi program ini di Puskesmas Medan Denai.
4.1 Tantangan Internal Implementasi MTBS
Beberapa tantangan internal yang menghambat pelaksanaan MTBS di Puskesmas Medan Denai diidentifikasi. Pertama, komitmen kebijakan dari pimpinan puskesmas masih kurang mendukung implementasi MTBS secara berkelanjutan. Kedua, kurangnya kepedulian petugas MTBS yang sudah terlatih untuk konsisten melaksanakan MTBS. Ketiga, pergantian petugas kesehatan terlatih MTBS akibat pensiun atau mutasi juga menjadi kendala yang signifikan. Kurangnya komitmen dan konsistensi dari internal puskesmas ini menyebabkan program MTBS tidak berjalan optimal, bahkan terhenti. Selain itu, kurangnya diseminasi informasi mengenai MTBS juga membuat tenaga kesehatan lain di puskesmas kurang memahami dan terlibat dalam program ini, padahal pelatihan seharusnya dilakukan secara berkala (2-3 tahun sekali).
4.2 Tantangan Eksternal Implementasi MTBS
Selain tantangan internal, terdapat pula tantangan eksternal yang signifikan. Keterbatasan sarana dan prasarana, khususnya kurangnya ruangan yang memadai dan privasi, menjadi kendala utama. Fasilitas yang ada dinilai kurang bagus, sehingga proses penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS tidak berjalan maksimal. Meskipun alat kesehatan tersedia, namun kondisinya terkesan jadul. Minimnya pendanaan juga menjadi tantangan besar. Dana MTBS tidak tersedia secara khusus, sehingga ketergantungan pada dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) yang terbatas menjadi kendala. Dana BOK juga harus dialokasikan untuk program promotif dan preventif lainnya, sehingga dana untuk MTBS sangat minim. Kurangnya dukungan masyarakat terhadap penerapan MTBS juga menjadi tantangan eksternal yang perlu diatasi. Kondisi balita yang rewel saat pemeriksaan, khususnya saat menghitung frekuensi napas, juga menambah waktu tunggu pasien dan memperumit proses penatalaksanaan pneumonia.
V.Kesimpulan dan Rekomendasi Pentingnya Peningkatan Penatalaksanaan Pneumonia di Medan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS di Puskesmas Medan Denai masih menghadapi berbagai kendala. Diperlukan peningkatan pelatihan bagi tenaga kesehatan, peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan pendanaan, dan pengawasan yang lebih efektif dari Dinas Kesehatan Kota Medan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi balita penderita pneumonia di Kota Medan. Pentingnya komitmen dari semua pihak untuk mencapai penatalaksanaan pneumonia yang optimal dan menyeluruh menjadi rekomendasi utama.
5.1 Kesimpulan Penelitian
Penelitian ini menyimpulkan bahwa penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS di Puskesmas Medan Denai masih menghadapi berbagai kendala. Implementasi MTBS belum optimal ditandai dengan kurangnya konseling, kekurangan tenaga terlatih dan tidak adanya tim MTBS yang solid, kekurangan sarana dan prasarana, minimnya pendanaan, serta pengawasan yang tidak maksimal dari Dinas Kesehatan Kota Medan. Meskipun MTBS dirancang untuk memberikan pelayanan komprehensif (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), kenyataannya aspek promotif dan preventif, terutama konseling, masih sangat kurang. Temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan kendala serupa pada implementasi MTBS di berbagai lokasi, menunjukkan bahwa permasalahan ini bukan isu lokal, tetapi masalah sistemik dalam implementasi program kesehatan di Indonesia. Kurangnya pelatihan dan jumlah tenaga kesehatan terlatih menjadi faktor kunci dalam ketidakoptimalan penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS di Puskesmas Medan Denai.
5.2 Rekomendasi untuk Peningkatan Penanganan Pneumonia
Berdasarkan temuan penelitian, beberapa rekomendasi diajukan untuk meningkatkan penatalaksanaan pneumonia di Puskesmas Medan Denai dan secara lebih luas di Kota Medan. Pertama, peningkatan jumlah tenaga kesehatan yang terlatih MTBS melalui pelatihan yang lebih sering dan menyeluruh. Kedua, peningkatan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk penyediaan ruangan khusus untuk MTBS. Ketiga, peningkatan pendanaan yang cukup untuk mendukung pelaksanaan MTBS secara optimal dan berkelanjutan. Keempat, peningkatan pengawasan dan pembinaan dari Dinas Kesehatan Kota Medan agar lebih efektif dalam memastikan implementasi MTBS sesuai standar. Kelima, peningkatan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pimpinan puskesmas hingga tenaga kesehatan di lapangan, untuk memastikan pelaksanaan MTBS yang konsisten dan efektif. Peningkatan komitmen ini penting untuk mewujudkan pelayanan kesehatan komprehensif yang efektif dan efisien dalam menangani kasus pneumonia pada balita. Dengan dukungan yang memadai, penatalaksanaan pneumonia di Medan dapat ditingkatkan secara signifikan.
Referensi dokumen
- Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberhasilan Pelaksanaan “Posyandu Model” (Yanuar Ardani)