
Pemanfaatan Karbon Aktif dari Biji Alpukat sebagai Adsorben dalam Pengolahan Limbah Cair
Informasi dokumen
Penulis | Nanda Maulidayanti |
Sekolah | Universitas Sumatera Utara |
Jurusan | Sarjana Farmasi |
Tempat | Medan |
Jenis dokumen | Skripsi |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 5.63 MB |
- Karbon Aktif
- Limbah Cair
- Adsorben Logam
Ringkasan
I.Abstrak Penelitian Karbon Aktif dari Biji Alpukat sebagai Adsorben Logam Berat
Penelitian ini menyelidiki pemanfaatan karbon aktif yang dibuat dari biji alpukat (Persea americana Mill.) sebagai adsorben untuk menyerap logam berat, khususnya besi (Fe) dan tembaga (Cu), dari limbah cair sawit. Proses pembuatan karbon aktif melibatkan aktivasi kimia dengan asam fosfat dan karbonisasi pada suhu 500˚C. Efektivitas adsorpsi diuji dengan memvariasikan konsentrasi karbon aktif dan diukur menggunakan spektrofotometri serapan atom.
1. Tujuan Penelitian dan Landasan Teori
Abstrak penelitian ini menjelaskan tujuan utama untuk memanfaatkan karbon aktif dari biji alpukat (Persea americana Mill.) sebagai adsorben logam berat, khususnya besi (Fe) dan tembaga (Cu), yang terdapat dalam limbah cair sawit. Penelitian ini didasari oleh fakta bahwa biji alpukat, yang umumnya terbuang sebagai limbah, memiliki potensi sebagai sumber karbon aktif. Karbon aktif dikenal sebagai adsorben yang efektif untuk logam berat. Penelitian ini juga bertujuan untuk menyelidiki pengaruh konsentrasi karbon aktif terhadap efisiensi adsorpsi logam besi dan tembaga. Dasar teoritis penelitian ini didasarkan pada sifat karbon aktif sebagai material berpori dengan luas permukaan yang besar, sehingga mampu mengadsorpsi molekul-molekul polutan, termasuk logam berat. Karakteristik biji alpukat sebagai bahan berkarbon tinggi juga dibahas, beserta metode aktivasi kimia yang digunakan untuk meningkatkan daya adsorpsi karbon aktif. Penelitian ini merujuk pada berbagai studi sebelumnya mengenai pemanfaatan berbagai bahan baku alternatif untuk pembuatan karbon aktif dan aplikasinya dalam adsorpsi logam berat. Pentingnya penelitian ini terletak pada upaya pemanfaatan limbah pertanian dan solusi ramah lingkungan dalam mengatasi masalah pencemaran logam berat di limbah cair sawit.
2. Metode Pembuatan Karbon Aktif
Bagian ini menjelaskan secara detail metode pembuatan karbon aktif dari biji alpukat. Proses pembuatan meliputi pemilihan dan pengolahan biji alpukat, aktivasi kimia menggunakan asam fosfat (H3PO4) sebagai aktivator, dan karbonisasi pada suhu 500˚C selama 4 jam. Pemilihan asam fosfat sebagai aktivator didasarkan pada studi literatur yang menunjukkan performanya yang lebih baik dibandingkan dengan HCl dan KOH dalam menghasilkan karbon aktif dengan daya serap optimal. Proses karbonisasi bertujuan untuk menghilangkan material volatil dan meningkatkan luas permukaan serta pori-pori karbon aktif. Penjelasan rinci mengenai tahapan proses, termasuk perbandingan bahan baku dan aktivator, serta kontrol suhu dan waktu, memberikan gambaran jelas mengenai metodologi yang digunakan. Penggunaan metode ini didasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya yang telah berhasil menggunakan aktivasi kimia untuk menghasilkan karbon aktif dari berbagai bahan baku. Detail teknis mengenai proses karbonisasi seperti suhu, durasi, dan jenis aktivator turut dijelaskan guna mendukung reproduksibilitas penelitian ini.
3. Prosedur Pengujian Daya Adsorpsi dan Analisis Data
Bagian ini menjelaskan prosedur pengujian daya adsorpsi karbon aktif terhadap logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dalam limbah cair sawit. Pengujian dilakukan dengan memvariasikan jumlah karbon aktif (100 mg, 200 mg, 300 mg, dan 400 mg) untuk menentukan pengaruh konsentrasi terhadap efisiensi adsorpsi. Setelah proses adsorpsi, kadar logam besi dan tembaga dalam limbah cair sawit diukur menggunakan spektrofotometri serapan atom (AAS). AAS dipilih karena kepekaannya yang tinggi dalam mendeteksi logam dalam jumlah sedikit (trace dan ultratrace). Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang spesifik untuk besi (248,3 nm) dan tembaga (324,7 nm). Prosedur analisis data meliputi perhitungan konsentrasi logam berdasarkan kurva kalibrasi AAS, perhitungan persentase adsorpsi, serta penentuan batas deteksi dan kuantifikasi metode. Validasi metode juga dilakukan dengan uji recovery untuk memastikan akurasi dan presisi pengukuran. Deskripsi lengkap mengenai prosedur ini memastikan transparansi dan reproduksibilitas hasil penelitian.
II.Bahan Baku Potensi Biji Alpukat
Meskipun biji alpukat umumnya dianggap limbah, penelitian ini menunjukkan potensi besarnya sebagai sumber karbon aktif. Kandungan pati, selulosa, dan senyawa karbon lainnya dalam biji alpukat menjadikannya bahan baku yang menjanjikan untuk pembuatan adsorben berkualitas. Studi ini berkontribusi pada upaya pemanfaatan limbah pertanian dan mengurangi dampak lingkungan.
1. Karakteristik Biji Alpukat dan Potensi Pemanfaatannya
Bagian ini membahas karakteristik biji alpukat dan mengapa biji ini dipilih sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif. Disebutkan bahwa meskipun alpukat dikenal luas dan memiliki nilai gizi tinggi, biji alpukat seringkali terbuang sebagai limbah. Namun, biji alpukat mengandung senyawa-senyawa yang berpotensi untuk diolah menjadi karbon aktif. Komposisi biji alpukat yang disebutkan meliputi pati, gula pereduksi, serat, arabinosa, pentosa, dan protein. Pati dan selulosa, sebagai polisakarida dengan massa molekul tinggi yang terdiri dari karbon, hidrogen, dan oksigen, menjadi fokus perhatian karena potensinya dalam menghasilkan karbon aktif. Studi ini menekankan potensi pemanfaatan limbah biji alpukat untuk mengatasi masalah limbah sekaligus menghasilkan produk bernilai tambah. Informasi mengenai kandungan biji alpukat berdasarkan studi Weatherby (1934) dan Marzuki et al. (2010) diperkuat dengan penjelasan mengenai kandungan senyawa karbon yang tinggi sebagai landasan pemilihan biji alpukat sebagai bahan baku karbon aktif. Hal ini sejalan dengan upaya efisiensi sumber daya dan pengurangan dampak lingkungan akibat pembuangan limbah pertanian.
2. Perbandingan dengan Bahan Baku Lain untuk Karbon Aktif
Bagian ini membandingkan biji alpukat dengan bahan baku lain yang telah digunakan dalam pembuatan karbon aktif. Beberapa contoh bahan baku lain yang disebutkan antara lain batu bara (untuk adsorben methylene blue - Saragih, 2008), limbah sagu (untuk adsorben logam timbal - Karthika et al., 2010), batang jagung (untuk adsorben logam tembaga - Suhendra, 2010), sekam padi (untuk menurunkan kadar besi dalam air sumur dan pengolahan air limbah gasifikasi - Sitanggang, 2010 & Yuliati dan Susanto, 2011), tongkol jagung (untuk menurunkan kadar besi - Simbolon, 2011), batang pisang (untuk adsorpsi logam kromium - Widihati et al., 2012), dan tempurung kelapa sawit (untuk penyerapan logam kadmium dan timbal - Gultom, 2014). Perbandingan ini menunjukkan bahwa biji alpukat merupakan alternatif bahan baku yang potensial, terutama karena ketersediaannya yang melimpah sebagai limbah pertanian. Meskipun banyak bahan lain yang telah dimanfaatkan, penelitian ini fokus pada biji alpukat karena masih kurangnya pemanfaatan dan potensinya yang belum dieksplorasi secara maksimal. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan solusi praktis untuk pengelolaan limbah pertanian.
3. Asal Usul dan Penyebaran Tanaman Alpukat
Bagian ini memberikan informasi singkat tentang asal usul dan penyebaran tanaman alpukat. Disebutkan bahwa tanaman alpukat berasal dari daerah tropis Amerika, khususnya Meksiko bagian selatan dan Amerika Tengah, berdasarkan penelitian Nikolai Ivanovich Vavilov. Tanaman ini kemudian menyebar ke berbagai negara beriklim tropis, termasuk Indonesia, diperkirakan sekitar abad ke-18. Informasi mengenai penyebaran alpukat di Indonesia, meliputi dataran rendah hingga ketinggian 1500 mdpl, juga dijelaskan. Faktor iklim dan ketersediaan air tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman alpukat. Studi ini menyoroti fakta bahwa meskipun tanaman alpukat sudah lama ada di Indonesia, pemanfaatan biji alpukat sebagai bahan baku masih kurang. Dengan demikian, penelitian ini berkontribusi pada upaya pemanfaatan sumber daya lokal yang berkelanjutan dan mengurangi dampak limbah pertanian.
III.Metode Pembuatan Karbon Aktif dan Aktivasi
Karbon aktif dibuat dari biji alpukat melalui proses karbonisasi pada suhu 500˚C selama 4 jam, menggunakan asam fosfat sebagai aktivator. Penelitian membandingkan efektivitas asam fosfat dengan aktivator lain yang telah digunakan sebelumnya (HCl dan KOH) dalam menghasilkan karbon aktif dengan daya serap optimal. Aktivasi kimia dipilih karena memberikan profil penyerapan yang lebih baik dibandingkan aktivasi fisika.
1. Proses Karbonisasi dan Aktivasi Kimia
Bagian ini menjelaskan secara detail proses pembuatan karbon aktif dari biji alpukat. Proses diawali dengan karbonisasi, yaitu pemanasan biji alpukat pada suhu 500˚C selama 4 jam. Suhu dan waktu karbonisasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan untuk menghasilkan karbon aktif dengan kualitas optimal. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan material volatil dan membentuk struktur pori pada karbon. Selain karbonisasi, proses aktivasi kimia juga dilakukan dengan menggunakan asam fosfat (H3PO4) sebagai aktivator. Penulisan menyebutkan bahwa asam fosfat dipilih karena memberikan profil penyerapan yang lebih baik dibandingkan dengan HCl dan KOH, berdasarkan penelitian sebelumnya. Aktivasi kimia dengan asam fosfat bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan dan pori-pori karbon aktif, sehingga meningkatkan daya adsorpsinya. Penjelasan rinci mengenai perbandingan jumlah bahan baku dan aktivator, serta pengaturan suhu dan waktu karbonisasi, diberikan untuk memastikan reproduksibilitas penelitian. Proses aktivasi kimia merupakan tahap krusial dalam menentukan kualitas karbon aktif yang dihasilkan.
2. Metode Aktivasi Perbandingan Aktivasi Fisika dan Kimia
Bagian ini menjelaskan dua metode umum dalam aktivasi karbon, yaitu aktivasi fisika dan aktivasi kimia. Aktivasi fisika umumnya dilakukan dengan pemanasan arang pada suhu tinggi (800-900˚C) atau dengan uap dan CO2. Aktivasi kimia, yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan bahan kimia seperti H2SO4, NaCl, HCl, NaOH, KOH, dan H3PO4. Penelitian ini secara spesifik menggunakan asam fosfat (H3PO4) sebagai aktivator, yang menurut Wulandari et al. (2014) dan Farid (2011), merupakan aktivator terbaik dibandingkan HCl dan KOH karena memberikan profil penyerapan yang lebih baik. Pemilihan metode aktivasi kimia didasarkan pada keunggulannya dalam menghasilkan karbon aktif dengan struktur pori yang lebih baik dan daya adsorpsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode aktivasi fisika. Penjelasan ini memberikan konteks ilmiah mengenai pemilihan metode aktivasi dan memberikan argumentasi yang kuat untuk pilihan yang dibuat oleh peneliti. Perbedaan antara aktivasi fisika dan kimia juga dibahas, termasuk aspek kontrol suhu dan reaksi yang terjadi pada masing-masing metode.
3. Faktor faktor yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi Karbon Aktif
Bagian ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi daya adsorpsi karbon aktif. Salah satu faktor utama adalah luas permukaan karbon aktif, yang berhubungan langsung dengan struktur pori. Semakin kecil pori-pori karbon aktif, semakin besar luas permukaan, dan semakin tinggi kecepatan adsorpsi. Untuk meningkatkan kecepatan adsorpsi, disarankan untuk menggunakan karbon aktif yang telah dihaluskan. Faktor lain yang disebutkan adalah jumlah atau dosis karbon aktif yang digunakan. Pengaruh suhu dan waktu kontak juga dijelaskan. Tidak ada aturan umum mengenai suhu optimal dalam adsorpsi, yang bergantung pada viskositas dan stabilitas termal senyawa yang diadsorpsi. Waktu kontak diperlukan untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi dan berbanding terbalik dengan jumlah karbon aktif yang digunakan. Pengadukan juga mempengaruhi waktu singgung. Pembahasan ini memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam proses adsorpsi menggunakan karbon aktif, sehingga memberikan wawasan lebih lanjut mengenai optimasi proses.
IV.Analisis Logam Berat Besi dan Tembaga dalam Limbah Cair Sawit
Penelitian ini menganalisis kandungan besi (Fe) dan tembaga (Cu) dalam limbah cair sawit sebelum dan setelah proses adsorpsi menggunakan karbon aktif dari biji alpukat. Spektrofotometri serapan atom digunakan untuk menentukan kadar logam berat secara kuantitatif. Hasil menunjukkan bahwa penambahan karbon aktif secara signifikan menurunkan kadar besi dan tembaga dalam limbah cair sawit, dengan peningkatan efisiensi seiring bertambahnya jumlah karbon aktif yang digunakan.
1. Sumber Logam Berat dalam Limbah Cair Sawit
Bagian ini menjelaskan sumber potensial logam berat, khususnya besi (Fe) dan tembaga (Cu), dalam limbah cair sawit. Disebutkan bahwa peralatan pengolahan kelapa sawit yang terbuat dari logam, serta penggunaan suhu tinggi selama proses pengolahan, dapat menyebabkan pencemaran logam berat dalam limbah cair. Logam-logam transisi seperti Fe dan Cu yang berasal dari wadah atau peralatan yang digunakan selama proses pengolahan, menjadi perhatian utama karena potensinya untuk mencemari lingkungan. Studi ini menekankan pentingnya pengelolaan limbah cair sawit untuk mencegah pencemaran lingkungan dan melindungi kesehatan manusia. Referensi dari Sembiring (2004) diperkuat dengan penjelasan mengenai dampak negatif logam berat terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Dampak ini meliputi pencemaran air, tanah, serta risiko paparan logam berat yang bersifat toksik pada manusia dan hewan.
2. Dampak Kesehatan Logam Berat Besi dan Tembaga
Bagian ini menjelaskan dampak logam berat terhadap kesehatan manusia, khususnya besi (Fe) dan tembaga (Cu). Efek toksik logam berat dapat mengganggu metabolisme tubuh dengan menghambat kerja enzim, menyebabkan alergi, dan bahkan bersifat mutagen, teratogen, atau karsinogen. Penjelasan lebih lanjut diberikan tentang mekanisme toksisitas besi (Fe). Fe dikontrol penyerapannya di usus halus, dan diabsorpsi dalam bentuk feritin, dengan bentuk fero lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk feri. Toksisitas terjadi jika terjadi kelebihan Fe (kejenuhan). Untuk tembaga (Cu), penjelasan diberikan tentang sumber alami dan antropogenik (akibat aktivitas manusia). Gejala keracunan Cu akut meliputi mual, muntah, diare, sakit perut hebat, hemolisis darah, hemoglobinuria, nefrosis, kejang, dan kematian. Keracunan kronis dapat menyebabkan penumpukan Cu di hati dan hemolisis. Referensi dari Widowati et al. (2008) dan Darmono (2010) mendukung penjelasan mengenai toksisitas Fe dan Cu.
3. Metode Analisis Spektrofotometri Serapan Atom AAS
Bagian ini menjelaskan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu spektrofotometri serapan atom (AAS). AAS digunakan untuk analisis kuantitatif unsur logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat sekelumit (ultratrace). Metode ini memberikan kadar total unsur logam dalam sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul logam. AAS dipilih karena memiliki kepekaan tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), relatif sederhana, dan interferensinya sedikit. Prinsip AAS adalah absorpsi cahaya oleh atom pada panjang gelombang tertentu, yang spesifik untuk setiap unsur. Penggunaan AAS dalam penelitian ini memungkinkan peneliti untuk mengukur kadar besi (Fe) dan tembaga (Cu) secara akurat dan presisi dalam sampel limbah cair sawit. Referensi dari Gandjar dan Rohman (2007) dan Khopkar (1985) mendukung penjelasan mengenai prinsip dan keunggulan metode AAS. Penjelasan mengenai teknik pengukuran, baik dengan nyala maupun tanpa nyala (flameless), juga dijelaskan untuk memberikan gambaran lengkap mengenai metode analisis yang digunakan.
V.Hasil dan Pembahasan Efisiensi Adsorpsi Karbon Aktif
Data menunjukkan peningkatan efisiensi adsorpsi besi (Fe) dan tembaga (Cu) seiring dengan peningkatan konsentrasi karbon aktif yang digunakan. Analisis menunjukkan persentase penyerapan logam berat yang signifikan. Penelitian juga membahas faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi adsorpsi, termasuk luas permukaan karbon aktif, waktu kontak, dan keberadaan logam lain dalam limbah cair sawit. Hasil validasi metode menunjukkan akurasi dan presisi yang baik berdasarkan nilai recovery dan RSD.
1. Pengaruh Konsentrasi Karbon Aktif terhadap Adsorpsi Logam
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan karbon aktif dari biji alpukat efektif menurunkan kadar logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dalam limbah cair sawit. Kadar awal logam besi adalah 57,5456 ± 0,4048 µg/ml dan tembaga 115,0487 ± 4,4178 ng/ml. Setelah penambahan karbon aktif 100 mg, kadar besi turun menjadi 30,4316 ± 0,7467 µg/ml dan tembaga menjadi 77,9793 ± 5,9970 ng/ml. Penurunan kadar logam terus berlanjut seiring bertambahnya jumlah karbon aktif yang ditambahkan (200 mg, 300 mg, dan 400 mg). Hal ini disebabkan karena bertambahnya luas permukaan adsorben, sehingga semakin banyak logam yang dapat diadsorpsi. Hasil ini mendukung hipotesis bahwa karbon aktif dari biji alpukat efektif sebagai adsorben logam berat dalam limbah cair sawit. Data kuantitatif mengenai persentase penyerapan logam pada berbagai konsentrasi karbon aktif diperkuat oleh referensi Besselievre (1976) yang menjelaskan hubungan antara luas permukaan adsorben dan jumlah molekul yang diadsorpsi.
2. Efisiensi Adsorpsi Besi dan Tembaga
Analisis lebih lanjut menunjukkan efisiensi adsorpsi yang berbeda antara besi dan tembaga. Dengan penambahan karbon aktif 400 mg, persentase penyerapan tembaga mencapai 100%, sementara besi hanya mencapai 61,24%. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah logam besi yang lebih tinggi dalam limbah cair sawit dibandingkan tembaga. Meskipun demikian, efisiensi adsorpsi tembaga yang mencapai 100% menunjukkan potensi karbon aktif biji alpukat dalam menghilangkan tembaga sepenuhnya dari limbah. Selain besi dan tembaga, limbah cair sawit juga mengandung logam lain seperti alumunium, fosfor, dan nitrogen. Kemungkinan karbon aktif juga menyerap logam-logam lain, karena karbon aktif tidak bekerja secara spesifik terhadap satu jenis logam saja. Hasil ini menunjukkan bahwa karbon aktif dari biji alpukat memiliki potensi aplikasi yang luas dalam pengolahan limbah cair yang mengandung berbagai jenis logam berat.
3. Validasi Metode dan Analisis Statistik
Validasi metode analisis dilakukan dengan menentukan batas deteksi dan kuantifikasi untuk besi dan tembaga. Batas deteksi untuk besi adalah 0,132952 µg/mL dan tembaga 2,28083 ng/mL, sedangkan batas kuantitasinya 0,443174 µg/mL dan 7,60278 ng/mL. Semua hasil pengukuran berada di atas batas deteksi dan kuantifikasi, kecuali pada penambahan karbon aktif 400 mg untuk tembaga yang berada di bawah batas deteksi, mengindikasikan penyerapan sempurna. Uji recovery dilakukan untuk memastikan akurasi metode, dengan hasil rata-rata 99,63% untuk besi dan 99,39% untuk tembaga, memenuhi syarat akurasi (80-120%) menurut Ermer dan McB.Miller (2005). Nilai simpangan baku relatif (RSD) untuk besi (6,07%) dan tembaga (8,23%) juga menunjukkan presisi yang baik sesuai standar Harmita (2004). Validasi ini memastikan kehandalan dan reliabilitas data yang diperoleh dalam penelitian.