
Komunikasi Interpersonal antara Guru dan Siswa Tunarungu di Sekolah Luar Biasa Idayu - Pakis
Informasi dokumen
Penulis | Dewi Puspita Sari |
instructor | Nasrullah, M.Si |
Sekolah | Universitas Muhammadiyah Malang |
Jurusan | Ilmu Komunikasi |
Jenis dokumen | Skripsi |
Tempat | Malang |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 338.85 KB |
- Komunikasi Interpersonal
- Pendidikan Khusus
- Skripsi
Ringkasan
I.Komunikasi Interpersonal Guru dengan Siswa Tunarungu
Skripsi ini meneliti komunikasi interpersonal antara guru dan siswa tunarungu di SLB Idayu-Pakis, Kabupaten Malang. Penelitian difokuskan pada bagaimana komunikasi efektif terjalin, mengingat keterbatasan komunikasi nonverbal dan verbal pada siswa tunarungu. Jumlah siswa tunarungu terdaftar di seluruh SLB Kabupaten Malang mencapai 165 orang (data Pengawas SLB Kab. Malang). SLB Idayu dipilih karena menerapkan metode pembelajaran yang menekankan hubungan guru-siswa dan terjangkau bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Observasi awal menunjukkan perkembangan pendidikan siswa di kelas B agak terlambat, menjadi dasar penelitian ini. Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif deskriptif, dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan observasi partisipatif untuk memahami penggunaan bahasa isyarat, komunikasi nonverbal lainnya, dan strategi komunikasi yang diterapkan guru.
1. Latar Belakang Penelitian
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kendala komunikasi interpersonal antara guru dan siswa tunarungu. Siswa tunarungu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara lisan, sehingga membutuhkan pendekatan khusus. Mereka mengandalkan tanda-tanda dan simbol-simbol nonverbal untuk mengekspresikan emosi dan kebutuhan, misalnya dengan memukul-mukul perut ketika lapar. Meskipun pemerintah telah meningkatkan perhatian pada pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), termasuk anak tunarungu, masih ada tantangan dalam pendidikan mereka. Guru memerlukan kemampuan khusus dalam mengajar dan berkomunikasi dengan siswa tunarungu, memerlukan intonasi dan artikulasi yang jelas, serta kontak mata yang terfokus. Observasi awal di SLB Idayu-Pakis menunjukkan keterlambatan perkembangan pendidikan pada beberapa siswa, mengarah pada fokus penelitian mengenai komunikasi interpersonal guru dan siswa tunarungu di sekolah tersebut. SLB Idayu dipilih karena metode pembelajarannya menekankan hubungan kasih sayang guru-murid dan terjangkau biayanya. Tercatat ada 165 siswa tunarungu terdaftar di seluruh SLB Kabupaten Malang.
2. Definisi Komunikasi Interpersonal dan Tuna Rungu
Skripsi ini mendefinisikan komunikasi sebagai proses interaksi untuk berhubungan dari satu pihak ke pihak lain, melibatkan penyampaian pesan secara langsung atau tidak langsung, baik lisan maupun tulisan. Komunikasi interpersonal dijelaskan sebagai pertukaran informasi antara dua orang atau lebih dengan umpan balik langsung. Mengacu pada Devito (1989) dan Effendy (2003), komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan dari satu orang ke orang lain atau kelompok kecil, dengan dampak dan peluang umpan balik segera. Tuna rungu didefinisikan sebagai gangguan pada indera pendengaran yang menyebabkan kesulitan komunikasi lisan. Aktivitas komunikasi mereka lebih bergantung pada tanda-tanda dan simbol-simbol nonverbal. Pentingnya memahami hambatan komunikasi pada siswa tunarungu dan bagaimana guru dapat mengatasi hambatan tersebut dalam proses belajar mengajar menjadi fokus utama. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana komunikasi interpersonal efektif dapat terwujud dalam konteks ini.
3. Tantangan Pendidikan dan Komunikasi Siswa Tunarungu
Bagian ini membahas tantangan dalam pendidikan siswa tunarungu. Kesulitan mereka seringkali dipandang sebagai hambatan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan hingga kemandirian dan kreativitas. Pendidikan anak tunarungu membutuhkan perhatian khusus, tetapi bukan berarti mereka tidak mampu mengikuti pendidikan. Guru dituntut memiliki kemampuan khusus dalam menyampaikan instruksi dan pengetahuan sesuai kurikulum, dengan intonasi dan artikulasi yang jelas. Keterbatasan pendengaran menyebabkan hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi, berdampak pada aspek bahasa, intelegensi, dan sosial mereka (Jahidin Jaya W, 2012). Model pembelajaran bahasa Indonesia berbantuan media audio-visual terbukti mampu meningkatkan kemampuan berbahasa siswa tunarungu SLB, meski kegiatan belajar mengajar belum sepenuhnya optimal dalam mengembangkan keterampilan berbahasa dan tata bahasa. Perbedaan antara proses belajar bahasa anak yang dapat mendengar dan anak tunarungu juga dijelaskan: anak yang dapat mendengar belajar bahasa melalui peniruan, sedangkan anak tunarungu memerlukan strategi alternatif.
4. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini berlokasi di SLB Idayu-Pakis, Kabupaten Malang. SLB Idayu dipilih karena metode pembelajarannya yang menekankan hubungan kasih sayang antara guru dan murid, serta terjangkau bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Data dari pengawas SLB Kabupaten Malang menyebutkan bahwa terdapat 165 siswa tunarungu yang terdaftar di seluruh SLB di Kabupaten Malang. Fokus penelitian diarahkan pada bagaimana komunikasi interpersonal terjalin antara guru dan siswa tunarungu di SLB Idayu, khususnya di kelas B, yang menunjukkan perkembangan pendidikan yang sedikit terlambat berdasarkan observasi awal peneliti. Penelitian ini penting karena akan memberikan gambaran tentang bagaimana strategi komunikasi efektif diterapkan di lingkungan pendidikan khusus untuk siswa tunarungu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan anak berkebutuhan khusus.
II.Tinjauan Pustaka Komunikasi dan Anak Berkebutuhan Khusus ABK
Bagian ini meninjau teori-teori relevan terkait komunikasi, khususnya komunikasi interpersonal, dan pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK), termasuk tuna rungu. Ditelaah pengertian komunikasi sebagai proses pertukaran informasi, perbedaan antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal, serta pentingnya memahami persepsi interpersonal. Studi-studi sebelumnya yang meneliti pemaknaan simbol dalam komunikasi interpersonal guru dengan siswa tunarungu dan hubungan antara kepercayaan diri dan kecemasan komunikasi pada siswa tunarungu juga dibahas. Teori penetrasi sosial dan interaksionisme simbolik menjadi kerangka teori yang digunakan untuk menganalisis data. Data dari penelitian terdahulu seperti penelitian Sarah Nurtyasrini (2011) di Universitas Padjadjaran dan Julianti Margaretha (2008) juga dikaji.
1. Komunikasi Teori dan Komponen
Bagian ini menjabarkan pengertian komunikasi secara umum sebagai proses interaksi antar manusia yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu berhubungan dengan orang lain dan lingkungan. Komunikasi merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia sejak lahir. Manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan dan berkomunikasi untuk melangsungkan kehidupannya. Komunikasi memiliki tujuan tertentu sesuai keinginan dan kepentingan pelakunya. Komponen komunikasi meliputi komunikator (penyampai pesan), pesan (pernyataan didukung lambang), komunikan (penerima pesan), media/saluran, efek/hasil, umpan balik, dan lingkungan. Diskusi juga mencakup persepsi interpersonal, yang lebih kompleks daripada persepsi objek karena melibatkan pemahaman perilaku dan motif di baliknya. Jalaluddin (2005:81) mencatat bahwa kita cenderung memilih stimuli tertentu saja dalam persepsi interpersonal, membuat proses ini lebih sulit.
2. Anak Berkebutuhan Khusus ABK dan Tantangannya
Bagian ini membahas anak berkebutuhan khusus (ABK) sebagai individu dengan kekurangan atau kelebihan fisik maupun mental, memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Mengacu pada Kuffman & Hallahan (2005:28-45), ABK membutuhkan perhatian lebih dari guru. Studi di Amerika Serikat menunjukkan hubungan antara hendaya pendengaran dan permasalahan kesehatan mental seperti skizofrenia, paranoid, psikosis afektif, dan depresi (Departemen Kesehatan AS, 1995 dalam Gregory et al., 1999:17). Inteligensi anak, menurut Piaget (1967), bergantung pada tindakannya dalam beradaptasi dengan lingkungan. Hambatan yang dihadapi anak dengan hendaya pendengaran meliputi berbagai aspek, dan pentingnya pemahaman atas hal tersebut dalam konteks komunikasi menjadi sorotan utama dalam penelitian ini.
3. Komunikasi Nonverbal dan Pemaknaan Simbol
Bagian ini menekankan pentingnya komunikasi nonverbal, bahwa pesan nonverbal relatif bebas dari penipuan dan kerancuan, karena jarang diatur komunikator secara sadar. Perasaan dan emosi lebih mudah diungkapkan lewat pesan nonverbal daripada pesan verbal. Studi lain menunjukkan bahwa pesan nonverbal, seperti bahasa tubuh, lebih mudah dipahami oleh anak tunarungu. Penelitian Sarah Nurtyasrini (2011) menunjukkan bahwa simbol dalam komunikasi interpersonal lebih mudah ditangkap anak tunarungu dalam proses belajar mengajar. Studi ini juga meneliti pemaknaan komunikasi interpersonal oleh guru anak tunarungu, proses komunikasi, dan gangguan komunikasi dalam proses belajar mengajar. Metode penelitiannya kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, menggunakan wawancara mendalam, observasi, dan studi pustaka. Hal ini menyoroti pentingnya memahami bagaimana pesan-pesan nonverbal dan simbol-simbol digunakan dalam komunikasi dengan anak tunarungu.
4. Teori Penetrasi Sosial dan Interaksionisme Simbolik
Bagian ini menjelaskan Teori Penetrasi Sosial (Altman & Taylor, 1978) yang mengidentifikasi proses peningkatan pengungkapan dan keintiman dalam hubungan. Teori ini menggambarkan perkembangan hubungan dari komunikasi superfisial ke komunikasi intim, bergerak dari lapisan dangkal ke lapisan terdalam atau pribadi. Keputusan kedekatan hubungan ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-cost analysis) dan indeks kepuasan hubungan. Kedalaman dan keluasan hubungan sama pentingnya. Penetrasi sosial adalah proses dialektis dan berputar (Littlejohn, 2009:291). Selanjutnya, tinjauan pustaka membahas Interaksionisme Simbolik, menurut Mead (Lynn H. Turner, 2008), yang menyatakan individu membentuk makna melalui komunikasi. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia, dan pentingnya makna yang sama dalam komunikasi ditekankan. Interaksionisme simbolik menekankan bahwa manusia mengembangkan simbol-simbol kompleks untuk memberi makna pada dunia, dan keluarga merupakan lingkungan pertama dalam pembentukan makna tersebut.
5. Penelitian Terdahulu dan Perbedaannya
Bagian ini membandingkan penelitian ini dengan penelitian terdahulu. Penelitian sebelumnya seringkali fokus pada aspek psikologis subjek tunarungu, seperti kepercayaan diri dan keterbukaan. Penelitian ini berbeda karena lebih fokus pada aspek komunikasi interpersonal dan bahasa nonverbal, bertujuan agar pemahaman subjek tentang hal yang dikomunikasikan tersampaikan dengan baik. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk memaparkan interaksi antar individu dengan menggunakan simbol-simbol untuk mempertegas bahasa yang diutarakan. Wawancara mendalam digunakan untuk menggali data tentang subjek, kendala, dan aktivitas. Penelitian Julianti Margaretha (2008) dan penelitian lain yang membahas kepercayaan diri dan kecemasan komunikasi interpersonal pada penyandang tunarungu juga dibahas. Perbedaan ini menunjukkan kontribusi originalitas penelitian yang dilakukan.
III.Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk menjelaskan komunikasi interpersonal antara guru dan siswa tunarungu di SLB Idayu. Teknik pengumpulan data utama meliputi wawancara mendalam dengan guru pendamping siswa tunarungu dan observasi partisipatif selama proses belajar mengajar. Data yang dikumpulkan akan dianalisis berdasarkan teori-teori yang telah dikaji dalam tinjauan pustaka, khususnya teori penetrasi sosial dan interaksionisme simbolik, untuk memahami bagaimana model pembelajaran dan strategi komunikasi efektif diterapkan dalam konteks pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK), khususnya siswa tunarungu. Penggunaan media audio-visual dalam pembelajaran juga akan menjadi fokus analisis.
1. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif untuk menggambarkan komunikasi interpersonal antara guru dan siswa tunarungu di SLB Idayu-Pakis. Penelitian kualitatif dipilih karena memungkinkan pemahaman yang mendalam tentang fenomena komunikasi dalam konteks spesifik ini. Desain penelitian deskriptif dipilih untuk menggambarkan situasi dan interaksi yang terjadi antara guru dan siswa tunarungu, dengan fokus pada bagaimana komunikasi interpersonal terjalin dan tantangan yang dihadapi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan kaya akan detail tentang komunikasi yang terjadi dalam lingkungan pendidikan khusus tersebut. Pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti untuk menggali informasi yang lebih kaya dan nuanced daripada pendekatan kuantitatif, memberikan wawasan mendalam tentang kompleksitas komunikasi dalam konteks pendidikan khusus bagi anak tunarungu.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan observasi partisipatif. Wawancara mendalam dilakukan dengan guru pendamping siswa tunarungu wicara di SLB Idayu, karena mereka dianggap paling memahami dan berinteraksi setiap hari dengan siswa. Panduan wawancara disiapkan sebelumnya untuk memastikan konsistensi dan relevansi data yang dikumpulkan. Observasi partisipatif dilakukan dengan cara peneliti terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari di SLB Idayu selama proses belajar mengajar berlangsung. Partisipasi aktif peneliti memungkinkan pengamatan yang lebih rinci dan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika komunikasi dalam setting yang sebenarnya. Penggunaan kedua teknik ini diharapkan dapat memberikan data yang triangulasi, memperkuat validitas temuan penelitian. Data yang dikumpulkan akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif untuk menghasilkan deskripsi yang akurat dan komprehensif.
3. Analisis Data dan Validitas
Setelah data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif, data tersebut direduksi dan disajikan. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti tabel, grafik, atau narasi. Peneliti akan fokus pada bagaimana komunikasi interpersonal guru dengan siswa tunarungu di SLB Idayu-Pakis terjadi, dengan merujuk pada teori-teori komunikasi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang relevan. Untuk meningkatkan validitas data dan mengurangi bias, peneliti menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi dalam penelitian ini mencakup pengecekan data dari berbagai sumber, cara, dan waktu, meliputi triangulasi sumber data dan waktu (Wiliam Wiersma, 1986). Hal ini bertujuan untuk memastikan akurasi dan kredibilitas temuan penelitian.