Hubungan Reseptor Progesteron dengan Indeks Labeling Ki-67 pada Meningioma

Hubungan Reseptor Progesteron dengan Indeks Labeling Ki-67 pada Meningioma

Informasi dokumen

Penulis

Steven Tandean

instructor Dr. dr. Rr Suzy Indharty, M.Kes, SpBS
Sekolah

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Jurusan Ilmu Bedah Saraf
Tempat Medan
Jenis dokumen Tesis
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 4.05 MB
  • Meningioma
  • Reseptor Progesteron
  • Ki-67 Labeling Index

Ringkasan

I.Latar Belakang Meningioma

Penelitian ini meneliti meningioma, sebuah tumor otak jinak yang sering terjadi, dengan prevalensi dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Fokus utama adalah hubungan antara reseptor progesteron dan tingkat mitosis (diukur dengan Ki-67) pada meningioma. Insiden meningioma meningkat seiring usia, dan faktor risiko lainnya termasuk radiasi dan genetika. Perbedaan insiden antara jenis kelamin diduga berkaitan dengan peran hormon estrogen dan progesteron.

1. Definisi dan Prevalensi Meningioma

Meningioma didefinisikan sebagai tumor jinak yang berasal dari selaput otak (meninges). Dokumen ini mencatat insiden meningioma yang tinggi, dengan prevalensi dua kali lebih banyak pada wanita daripada pria. Perbedaan ini menunjukkan kemungkinan hubungan dengan hormon estrogen dan progesteron. Di Amerika Serikat, insiden meningioma yang terkonfirmasi secara patologi diperkirakan sekitar 97,5 per 100.000 jiwa, meskipun angka ini mungkin lebih rendah dari angka sebenarnya karena beberapa kasus meningioma tidak dioperasi. Di Inggris, angka kejadiannya diperkirakan sekitar 5,3 per 100.000 jiwa dan relatif stabil selama 12 tahun. Meningioma merupakan tumor otak primer yang paling sering didiagnosis, mencapai 33,8% dari seluruh tumor otak primer. Tumor ini tumbuh dari sel arachnoid cap yang berasal dari arachnoid villi atau lapisan tengah meningens.

2. Faktor Risiko Meningioma

Beberapa faktor risiko meningioma telah diidentifikasi, termasuk usia, paparan radiasi, genetika, dan faktor hormonal. Insiden meningioma meningkat seiring bertambahnya usia, mencapai puncaknya pada usia 70 hingga 80 tahun, sementara kasus pada anak-anak sangat jarang. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa paparan radiasi merupakan faktor risiko signifikan, yang disebabkan oleh kerusakan pada gen pengatur siklus sel seperti Ki-Ras dan ERCC2. Meskipun demikian, penggunaan telepon genggam tidak menunjukkan peningkatan insiden meningioma. Sebagian besar kasus meningioma bersifat sporadis, tanpa riwayat keluarga dengan tumor otak. Mutasi gen NF2 pada kromosom 22 merupakan salah satu contoh kasus meningioma akibat warisan genetik, meskipun kasus ini relatif jarang. Insiden meningioma pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria, dengan rasio sekitar 2:1 di Amerika Serikat dan Inggris, menguatkan dugaan keterkaitan dengan faktor hormonal.

3. Reseptor Progesteron dan Ekspresinya pada Meningioma

Reseptor progesteron secara normal terdapat pada leptomeningen orang dewasa, tetapi hanya diekspresikan dalam kadar rendah. Ekspresi reseptor progesteron pada jaringan meningioma bervariasi berdasarkan jenis kelamin dan histologi meningioma. Pada meningioma derajat I, ekspresi reseptor progesteron berkisar antara 55% hingga 80%, dan secara signifikan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Jenis meningioma juga memengaruhi ekspresi reseptor progesteron; ekspresi lebih tinggi pada meningioma derajat I dibandingkan derajat II dan III. Penelitian Omulecka (2006) menunjukkan bahwa reseptor progesteron ditemukan pada 100% meningioma meningothelial, 95,2% pada transitional, 77,8% pada atypical, dan 42,2% pada fibrous. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa mitosis pada meningioma dipengaruhi oleh beberapa protein reseptor, termasuk reseptor Epidermal Growth Factor, granulin, Platelet Derived Growth Factor, Vascular Endothelial Growth Factor, Insulin Growth Factor, Fibroblast Growth Factor, dan hormon progesteron dan estrogen. Mekanisme peningkatan proliferasi sel meningioma berbeda-beda, bergantung pada jenis reseptor yang dirangsang, salah satunya melalui perangsangan sintesis DNA di nukleus sel meninges.

4. Kontroversi Hubungan Reseptor Progesteron dan Mitosis

Penelitian menunjukkan penurunan ekspresi reseptor progesteron dari derajat rendah ke tinggi, dengan meningioma yang negatif untuk reseptor progesteron cenderung lebih agresif. Meskipun demikian, penjelasan pasti mengenai hubungan ini masih belum diketahui, tetapi diduga berkaitan dengan peningkatan mitosis sel tumor. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara pewarnaan Ki-67 yang tinggi (indikator proliferasi sel) dengan status reseptor progesteron negatif. Namun, penelitian lain menunjukkan hasil yang kontroversial, yaitu tidak terdapat hubungan antara proliferasi sel dengan status reseptor progesteron. Hubungan antara reseptor progesteron dan proliferasi sel masih kontroversial dan perlu diteliti lebih lanjut, termasuk pengaruh faktor suku dan ras. Penelitian serupa belum dilakukan di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, dan pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini dapat berimplikasi pada penentuan prognosis dan penanganan meningioma di masa mendatang. Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap dengan pertumbuhan yang lambat.

II.Epidemiologi Meningioma

Meningioma merupakan tumor intrakranial jinak yang paling umum. Di Amerika Serikat, prevalensi diperkirakan 97,5 per 100.000 jiwa. Faktor risiko meliputi usia, paparan radiasi (termasuk studi mengenai dampak sinar-X gigi), faktor genetik (terutama Neurofibromatosis tipe 2 atau NF2), dan faktor hormonal. Studi ini mencatat bahwa insiden meningioma lebih tinggi pada wanita, dengan perbandingan sekitar 2:1 dibandingkan pria.

1. Prevalensi dan Frekuensi Meningioma

Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering ditemukan, diperkirakan sekitar 15-30% dari seluruh tumor primer intrakranial pada orang dewasa. Berdasarkan konfirmasi pemeriksaan histopatologi, prevalensi meningioma di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 97,5 penderita per 100.000 jiwa. Angka ini kemungkinan lebih rendah dari angka sebenarnya, karena tidak semua kasus meningioma ditangani secara pembedahan. Di Inggris, insiden meningioma diperkirakan sekitar 5,3 per 100.000 jiwa dan telah relatif stabil selama 12 tahun. Perlu diingat bahwa data prevalensi ini berasal dari studi yang telah dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris. Perbedaan prevalensi di berbagai negara bisa terjadi karena perbedaan metode deteksi dan akses terhadap layanan kesehatan.

2. Pola Pertumbuhan dan Klasifikasi Meningioma

Pola pertumbuhan meningioma dibagi menjadi dua bentuk: en masse (massa globular klasik) dan en plaque (pertumbuhan memanjang seperti karpet dengan abnormalitas tulang dan perlekatan dura yang luas). Klasifikasi histopatologi meningioma berdasarkan WHO 2007 terdiri dari 3 grade, dengan risiko kekambuhan yang meningkat seiring dengan peningkatan grade. Pemahaman tentang pola pertumbuhan dan grade sangat penting dalam menentukan strategi pengobatan dan memprediksi prognosis pasien. Klasifikasi ini membantu dalam menentukan tingkat agresivitas tumor dan perencanaan perawatan yang tepat.

3. Faktor Risiko Radiasi

Radiasi ionisasi merupakan faktor risiko yang telah terbukti menyebabkan tumor otak, termasuk meningioma. Banyak penelitian mendukung hubungan antara paparan radiasi dan meningioma. Paparan radiasi menyebabkan perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA yang tidak diperbaiki sebelum replikasi DNA, sehingga memicu proses neoplastik dan perkembangan tumor. Studi pada penyintas bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan peningkatan insiden meningioma yang signifikan. Terkait dengan radiasi non-ionisasi, penelitian meta-analisis, seperti studi INTERPHONE, tidak menemukan hubungan antara penggunaan telepon genggam dan insiden meningioma. Namun, terdapat bukti peningkatan risiko meningioma setelah paparan sinar-X gigi lebih dari enam kali antara usia 15 hingga 40 tahun. Ciri-ciri meningioma akibat paparan radiasi meliputi usia muda saat diagnosis, periode laten yang pendek, lesi multipel, rekurensi yang relatif tinggi, dan kecenderungan meningioma jenis atipikal dan anaplastik.

4. Faktor Risiko Genetik

Kebanyakan meningioma bersifat sporadis, tanpa riwayat keluarga dengan tumor otak. Sindrom genetik herediter yang memicu perkembangan meningioma relatif jarang. Neurofibromatosis tipe 2 (NF2), kelainan gen autosomal dominan yang disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom 22q12, sering dikaitkan dengan meningioma. Pada meningioma sporadis, sering ditemukan kehilangan kromosom (seperti 1p, 6q, 10, 14q, dan 18q) atau penambahan kromosom (seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q, dan 20q). Penelitian juga menyelidiki hubungan antara kelainan genetik spesifik dengan risiko meningioma, termasuk perbaikan DNA, regulasi siklus sel, detoksifikasi, dan jalur metabolisme hormon. Namun, belum ditemukan hubungan signifikan antara risiko meningioma dan variasi gen GST atau CYP450, atau dengan gen penekan tumor TP53. Peran gen-gen spesifik ini dalam perkembangan meningioma masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.

5. Faktor Risiko Hormon dan Jenis Kelamin

Insiden meningioma lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria, dengan rasio sekitar 2:1. Di Inggris, insiden pada wanita adalah 7,19 per 100.000 jiwa per tahun, sedangkan pada pria 3,05 per 100.000 jiwa per tahun. Angka serupa juga terlihat di Amerika Serikat. Perbedaan ini menunjukkan kemungkinan peran faktor hormonal, seperti estrogen dan progesteron, dalam perkembangan meningioma. Meskipun reseptor progesteron ditemukan dalam leptomeningen orang dewasa, ekspresi reseptor progesteron pada jaringan meningioma bervariasi berdasarkan jenis kelamin dan histologi. Hubungan antara faktor hormonal dan perkembangan meningioma masih menjadi topik penelitian yang aktif, dan perlu dipertimbangkan dalam konteks epidemiologi meningioma.

III.Mitosis dan Faktor Pertumbuhan pada Meningioma

Tingkat mitosis pada meningioma dipengaruhi oleh berbagai faktor pertumbuhan, termasuk reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), granulin, Platelet Derived Growth Factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Insulin Growth Factor (IGF), Fibroblast Growth Factor (FGF), dan hormon progesteron dan estrogen. Peran masing-masing faktor dalam meningkatkan proliferasi sel masih terus diteliti.

1. Faktor faktor yang Mempengaruhi Mitosis Meningioma

Mitosis pada meningioma, proses pembelahan sel yang berkontribusi pada pertumbuhan tumor, dipengaruhi oleh beberapa jenis protein growth factors. Beberapa faktor pertumbuhan yang berpengaruh meliputi reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), Granulin, Platelet Derived Growth Factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Insulin Growth Factor (IGF), dan Fibroblast Growth Factor (FGF). Selain itu, hormon progesteron dan estrogen juga berperan dalam proses ini. Mekanisme peningkatan proliferasi sel meningioma bervariasi tergantung pada jenis reseptor yang dirangsang. Salah satu mekanisme yang dijelaskan adalah melalui perangsangan sintesis DNA di nukleus sel meninges. Pemahaman yang komprehensif mengenai peran masing-masing faktor pertumbuhan ini sangat penting untuk pengembangan strategi pengobatan yang lebih efektif.

2. Peran Spesifik Beberapa Faktor Pertumbuhan

Reseptor EGF, sebuah glikoprotein ekstraselular, diduga memiliki peran dalam regulasi pembelahan sel dan pertumbuhan tumor. Ekspresi berlebihan reseptor EGF telah terbukti menstimulasi angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), proliferasi metastasis, dan kelangsungan hidup sel. Granulin, sebuah peptida dari leukosit, juga terlibat; kadar granulin dikaitkan dengan ukuran tumor dan perkembangan edema peritumoral pada meningioma intrakranial. IGF-II berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan janin normal, dan penelitian menunjukkan hubungan antara ekspresi IGF-II dengan agresivitas pertumbuhan meningioma. Protein dan mRNA dari PDGF-B diekspresikan secara luas oleh jaringan meningioma, tetapi peran fungsionalnya masih belum sepenuhnya dipahami. VEGF memediasi angiogenesis pada tumor otak, dan ekspresi VEGF dikaitkan dengan neovaskularisasi pada meningioma. VEGF diatur oleh faktor transkripsi hypoxia inducible factor-1 (HIF-1), dan PDGF-B diduga memicu produksi VEGF, yang selanjutnya meningkatkan proliferasi pembuluh darah dan pertumbuhan tumor. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk sepenuhnya memahami interaksi kompleks antara faktor-faktor pertumbuhan ini dan pertumbuhan meningioma.

3. Peran Hormon Progesteron dan Estrogen

Hormon progesteron dan estrogen juga memainkan peran penting dalam stimulasi mitosis pada meningioma. Mekanisme aksi hormon-hormon ini dalam proses proliferasi sel masih membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan kontroversi terkait keterlibatan hormon seks dalam pertumbuhan tumor, mengingat insiden meningioma dua kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi peranan spesifik hormon-hormon ini dalam mempengaruhi proses mitosis pada sel meningioma, termasuk interaksi dengan faktor pertumbuhan lainnya. Penelitian mengenai efek kemoterapi terhadap reseptor-reseptor pertumbuhan dan regulasinya dalam pertumbuhan meningioma juga perlu dilakukan secara lebih intensif.

IV.Peran Reseptor Progesteron dalam Meningioma

Ekspresi reseptor progesteron pada meningioma bervariasi tergantung pada grade dan jenis histologi tumor. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara penurunan ekspresi reseptor progesteron (dari grade rendah ke tinggi) dengan peningkatan agresivitas tumor dan peningkatan Ki-67. Namun, hubungan ini masih kontroversial. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki lebih lanjut hubungan antara reseptor progesteron dan mitosis (Ki-67) pada meningioma di Indonesia, khususnya Sumatera Utara.

1. Ekspresi Reseptor Progesteron pada Meningioma

Mayoritas meningioma mengekspresikan reseptor progesteron, meskipun kadarnya bervariasi. Pada meningens orang dewasa normal, ekspresi reseptor progesteron relatif rendah. Namun, pada meningioma, ekspresi ini dapat berbeda signifikan tergantung pada grade dan jenis histologi tumor. Pada meningioma grade I, ekspresi reseptor progesteron berkisar antara 55% hingga 80%, dan secara signifikan lebih tinggi pada wanita daripada pria. Ekspresi reseptor progesteron cenderung lebih tinggi pada meningioma derajat I dibandingkan dengan derajat II dan III. Penelitian Omulecka (2006) menunjukkan variasi ekspresi reseptor progesteron berdasarkan subtipe histopatologi: 100% pada meningothelial, 95,2% pada transitional, 77,8% pada atypical, dan 42,2% pada fibrous. Perbedaan ekspresi ini menunjukkan potensi peran reseptor progesteron dalam patogenesis dan perkembangan meningioma.

2. Hubungan Reseptor Progesteron dengan Agresivitas Tumor

Penelitian menunjukkan adanya tren penurunan ekspresi reseptor progesteron dari grade rendah ke grade tinggi meningioma. Meningioma dengan ekspresi reseptor progesteron negatif cenderung lebih agresif dibandingkan dengan yang positif. Meskipun penjelasan pasti mengenai hubungan ini masih belum jelas, hal ini diduga disebabkan oleh peningkatan mitosis sel tumor pada meningioma dengan reseptor progesteron rendah. Beberapa penelitian menunjukkan korelasi kuat antara pewarnaan Ki-67 yang tinggi (indikator proliferasi sel) dengan status reseptor progesteron negatif. Namun, temuan ini masih kontroversial, karena penelitian lain tidak menunjukkan hubungan signifikan antara proliferasi sel dan status reseptor progesteron. Studi lebih lanjut diperlukan untuk memahami mekanisme yang mendasari hubungan antara ekspresi reseptor progesteron dan perilaku biologis meningioma.

3. Kontroversi dan Penelitian Selanjutnya

Hubungan antara reseptor progesteron dan proliferasi sel pada meningioma masih menjadi topik kontroversial. Belum diketahui pasti apakah hubungan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suku dan ras. Penelitian yang serupa mengenai hubungan antara reseptor progesteron dan proliferasi sel masih belum banyak dilakukan, terutama di Indonesia, khususnya Sumatera Utara. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan mekanisme yang mendasari hubungan ini dan untuk menentukan apakah antiprogesteron dapat menjadi pengobatan yang efektif untuk meningioma atipikal dan malignan, mengingat penurunan ekspresi reseptor progesteron selama transformasi ke derajat yang lebih tinggi. Temuan-temuan terkait regulasi gen pada kromosom 22q juga perlu dikaji lebih lanjut untuk memahami peranan hormon progesteron dalam tumorigenesis meningioma. Hasil penelitian ini dapat berimplikasi penting bagi penentuan prognosis dan strategi penatalaksanaan meningioma di masa mendatang.

V.Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan total sampling dari 30 spesimen meningioma dari pasien yang menjalani operasi di RSUP H. Adam Malik Medan antara Februari 2010 dan Februari 2013. Analisis dilakukan menggunakan pewarnaan imunohistokimia untuk reseptor progesteron dan Ki-67. Data pasien yang direkam meliputi jenis kelamin, usia, lokasi tumor, grade WHO, dan jenis histopatologi.

1. Jenis Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik total sampling, artinya semua spesimen meningioma yang memenuhi kriteria inklusi digunakan. Spesimen yang digunakan berasal dari pasien meningioma intrakranial dan spinal yang menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUP H. Adam Malik Medan dari Februari 2010 hingga Februari 2013. Total sampel yang diperoleh sebanyak 30 spesimen meningioma. Kriteria inklusi meliputi hasil pemeriksaan histopatologi jaringan yang sesuai dengan gambaran meningioma. Dengan menggunakan teknik total sampling, penelitian ini berusaha untuk mencakup seluruh populasi spesimen yang tersedia pada periode waktu tersebut di rumah sakit yang bersangkutan. Hal ini memungkinkan untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif dan representatif dari karakteristik meningioma pada populasi studi.

2. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Seluruh spesimen blok parafin meningioma yang telah diwarnai dengan hematoxylin-eosin dan dikonfirmasi sebagai meningioma dikumpulkan. Data pasien dikumpulkan dari rekam medis dan asesmen departemen bedah saraf. Data yang dikumpulkan meliputi jenis kelamin, usia, lokasi tumor, grade WHO (World Health Organization), dan jenis histopatologi. Setelah pengumpulan data klinis, spesimen blok parafin kemudian diproses lebih lanjut dengan pewarnaan imunohistokimia untuk menentukan indeks labelling Ki-67 (sebagai penanda proliferasi sel) dan ekspresi reseptor progesteron. Proses ini bertujuan untuk mengukur tingkat proliferasi sel dan keberadaan reseptor progesteron pada setiap sampel meningioma. Data lengkap pasien tercantum dalam lampiran penelitian. Metode ini memastikan bahwa data yang dikumpulkan relevan dan akurat untuk menjawab rumusan masalah penelitian.

3. Lokasi Penelitian dan Periode Pengambilan Sampel

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan, sebuah rumah sakit rujukan di Sumatera Utara, Indonesia. Periode pengambilan sampel adalah selama tiga tahun, dari Februari 2010 hingga Februari 2013. Pemilihan RSUP H. Adam Malik Medan didasarkan pada ketersediaan data dan aksesibilitas spesimen meningioma. Periode pengambilan sampel yang relatif panjang (tiga tahun) bertujuan untuk memperoleh jumlah sampel yang cukup untuk analisis statistik yang memadai. Lokasi dan periode pengambilan sampel ini relevan dengan tujuan penelitian untuk mengkaji karakteristik meningioma dan hubungan reseptor progesteron dengan derajat mitosis di Indonesia, khususnya Sumatera Utara. Informasi ini penting untuk memastikan representasi geografis dan temporal dari populasi studi.

VI.Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara skor pewarnaan reseptor progesteron dan indeks labelling Ki-67. Mayoritas kasus (90%) adalah meningioma grade I. Insiden meningioma lebih tinggi pada wanita (2:1 dibandingkan pria), konsisten dengan temuan epidemiologi sebelumnya. Lokasi meningioma yang paling sering adalah konveksitas dan parasagital. Hasil ini dibandingkan dengan penelitian lain, yang sebagian menunjukkan hubungan antara reseptor progesteron dan mitosis, sementara yang lain tidak. Perbedaan ini mungkin disebabkan faktor genetik dan lingkungan yang belum teridentifikasi secara sempurna.

1. Hasil Analisis Statistik

Analisis Chi-square dilakukan untuk menentukan hubungan antara skor pewarnaan reseptor progesteron dan indeks labelling Ki-67. Hasil analisis menunjukkan nilai p = 0,642, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor pewarnaan reseptor progesteron dengan indeks proliferasi sel (Ki-67). Batasan kemaknaan yang digunakan adalah p < 0,05. Dalam analisis ini, skor positif lemah dan kuat untuk reseptor progesteron digabungkan menjadi satu kategori 'positif' karena jumlah kasus positif lemah dan kuat yang terbatas. Hasil ini menunjukkan bahwa, berdasarkan data yang dikumpulkan, tidak ada bukti yang mendukung hipotesis adanya hubungan antara tingkat ekspresi reseptor progesteron dan tingkat proliferasi sel pada meningioma dalam penelitian ini. Kesimpulan ini perlu dipertimbangkan dalam konteks keterbatasan ukuran sampel dan potensi faktor-faktor lain yang memengaruhi proliferasi sel meningioma.

2. Karakteristik Demografis dan Histopatologis Sampel

Studi ini menemukan 30 kasus meningioma di RSUP H. Adam Malik Medan selama tiga tahun penelitian, dengan usia rata-rata pasien 42,40 tahun (SD 9,77). Mayoritas kasus (perbandingan 2:1) ditemukan pada pasien perempuan. Lokasi tumor yang paling sering ditemukan adalah konveksitas dan parasagital (masing-masing 8 dan 7 kasus). Berdasarkan klasifikasi WHO, 90% kasus adalah meningioma grade I, diikuti grade II (6,7%) dan grade III (3,3%). Jenis histopatologi yang paling umum adalah meningothelial (53,3%), diikuti fibrous (13,3%) dan transitional (13,3%). Distribusi grade dan histologi ini sejalan dengan temuan epidemiologi di Amerika dan Inggris, di mana meningioma grade I dan subtipe meningothelial, fibrous, dan transitional merupakan yang paling umum ditemukan. Karakteristik demografis dan histopatologis ini memberikan konteks penting untuk interpretasi hasil analisis statistik.

3. Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya dan Implikasi

Hasil penelitian ini, yang menunjukkan tidak adanya hubungan signifikan antara reseptor progesteron dan Ki-67, berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan hubungan antara keduanya. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda antara studi, termasuk populasi studi, metode penelitian, dan karakteristik sampel. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan terbalik, di mana meningioma grade I tanpa ekspresi reseptor progesteron memiliki risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Studi ini menemukan persamaan insiden meningioma yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki (rasio 2:1), sesuai dengan temuan epidemiologi sebelumnya. Meskipun sebagian kecil meningioma grade I menunjukkan tingkat mitosis yang tinggi, sebagian besar masih memiliki gambaran histologi yang jinak. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya memahami peran reseptor progesteron dan faktor-faktor lain dalam mitosis dan perkembangan meningioma.

VII.Kesimpulan

Penelitian ini menemukan 30 kasus meningioma di RSUP H. Adam Malik Medan selama tiga tahun, dengan mayoritas pada wanita. Tidak ditemukan hubungan signifikan antara reseptor progesteron dan Ki-67 (tingkat mitosis). Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami sepenuhnya peran reseptor progesteron dalam patogenesis dan perkembangan meningioma.

1. Temuan Utama Penelitian

Penelitian ini menemukan 30 kasus meningioma di RSUP H. Adam Malik Medan dalam kurun waktu tiga tahun, dengan usia rata-rata pasien 42,40 tahun dan mayoritas (perbandingan 2:1) adalah perempuan. Lokasi meningioma yang paling sering ditemukan adalah konveksitas dan parasagital. Sebagian besar kasus (90%) diklasifikasikan sebagai grade I berdasarkan klasifikasi WHO, diikuti grade II (6,7%) dan grade III (3,3%). Jenis histopatologi yang paling banyak ditemukan adalah meningothelial. Temuan ini menunjukkan kesamaan dengan insiden meningioma di Amerika dan Inggris, di mana meningioma grade I dan subtipe meningothelial, fibrous, dan transitional merupakan yang paling umum. Hasil analisis statistik menggunakan uji Chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara skor pewarnaan reseptor progesteron dengan indeks labelling Ki-67 (p=0,642).

2. Implikasi dan Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, berdasarkan data yang dikumpulkan, tidak terdapat hubungan signifikan antara ekspresi reseptor progesteron dan tingkat mitosis (diukur dengan Ki-67) pada meningioma. Temuan ini berbeda dengan beberapa penelitian lain yang menunjukkan hubungan antara kedua variabel tersebut. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perbedaan metode penelitian dan karakteristik populasi studi. Meskipun penelitian ini tidak menemukan hubungan yang signifikan, hal ini tidak berarti bahwa reseptor progesteron tidak berperan dalam perkembangan meningioma. Penelitian lebih lanjut dengan desain yang lebih komprehensif dan ukuran sampel yang lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan ini dan mengeksplorasi faktor-faktor lain yang mungkin memengaruhi proliferasi sel meningioma, serta untuk memperjelas peran reseptor progesteron dalam patogenesis dan perkembangan meningioma.