
Gambaran Spiritual Lansia yang Menderita Penyakit Kronis di UPT Pelayanan Sosial
Informasi dokumen
Penulis | Hotliana Daely |
Sekolah | Universitas Sumatera Utara |
Jurusan | Keperawatan |
Jenis dokumen | Skripsi |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 5.70 MB |
- spiritualitas lansia
- penyakit kronis
- pelayanan sosial
Ringkasan
I.Abstrak Penelitian Gambaran Spiritualitas Lansia dengan Penyakit Kronis di Medan dan Binjai
Penelitian ini meneliti gambaran spiritual dari 64 lansia di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita di Medan dan Binjai yang menderita penyakit kronis. Menggunakan metode purposive sampling dan kuesioner skala Likert, penelitian yang dilakukan pada November-Desember 2014 ini menunjukkan bahwa 87,5% responden memiliki spiritualitas yang cukup baik, sementara 12,5% menyatakan spiritualitas mereka baik. Karakteristik responden meliputi: 51,6% laki-laki, usia dominan 60-70 tahun (57,8%), 95,3% beragama Islam, dan 59,4% tidak bersekolah. Penelitian ini menekankan pentingnya pemahaman kebutuhan spiritual lansia oleh keluarga dan petugas kesehatan agar mereka dapat menerima kondisi kesehatan mereka, bersosialisasi, dan menemukan kekuatan dari keyakinan mereka.
1. Tujuan dan Desain Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran spiritualitas lansia yang menderita penyakit kronis di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita di wilayah Binjai dan Medan. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan jumlah sampel 64 lansia. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Instrumen pengumpulan data berupa kuesioner yang disusun dengan menggunakan skala Likert. Penelitian dilakukan pada tanggal 28 November sampai 19 Desember 2014. Data karakteristik responden dan gambaran spiritualitas lansia yang menderita penyakit kronis dideskripsikan dengan analisis deskriptif untuk mengetahui frekuensi dan persentasenya. Data demografi responden meliputi jenis kelamin (51,6% laki-laki), rentang usia (57,8% berusia 60-70 tahun), agama (95,3% beragama Islam), dan pendidikan (59,4% tidak bersekolah).
2. Hasil Penelitian Gambaran Spiritualitas Lansia
Hasil penelitian menunjukkan gambaran spiritualitas lansia yang menderita penyakit kronis. Sebanyak 56 orang (87,5%) menyatakan spiritualitas mereka cukup baik, sementara 8 orang (12,5%) menyatakan spiritualitas mereka baik. Penelitian menyoroti pentingnya pemahaman kebutuhan spiritual lansia oleh keluarga dan tenaga kesehatan agar lansia dapat menerima kondisi kesehatan mereka, mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, menikmati keindahan alam, dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan kekuatan untuk menjalani kondisi tersebut. Temuan ini menjadi dasar rekomendasi bagi keluarga dan tenaga kesehatan untuk lebih memperhatikan aspek spiritual dalam perawatan lansia dengan penyakit kronis.
II.Latar Belakang Meningkatnya Jumlah Lansia dengan Penyakit Kronis
Jumlah lansia di Indonesia, khususnya Sumatera Utara dan Medan terus meningkat, sehingga meningkatkan pula risiko penyakit kronis seperti diabetes melitus, hipertensi, dan osteoarthritis. Diperkirakan 50%-80% lansia berusia ≥60 tahun menderita lebih dari satu penyakit kronis. Penelitian ini berangkat dari observasi di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita Medan dan Binjai, yang menampung 180 lansia, semuanya menderita penyakit kronis. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada spiritualitas sebagai aspek penting dalam menghadapi tantangan kesehatan pada usia lanjut.
1. Peningkatan Usia Harapan Hidup dan Populasi Lansia
Latar belakang penelitian ini didasari oleh meningkatnya usia harapan hidup dan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia. Data BPS tahun 2012 menunjukkan jumlah lansia sekitar 18,55 juta jiwa atau 7,78% dari total penduduk. Pada tahun 2014, jumlah lansia di Sumatera Utara mencapai 631.604 jiwa, dengan 77.837 jiwa berada di Medan. Peningkatan populasi lansia ini menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan, karena berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk kesehatan dan kesejahteraan.
2. Kenaikan Risiko Penyakit Kronis pada Lansia
Meningkatnya jumlah lansia berbanding lurus dengan peningkatan risiko mereka terhadap penyakit kronis. Beberapa penyakit kronis yang umum dijumpai pada lansia meliputi diabetes melitus, osteoartritis, gout, hipertensi, dan penyakit paru. Data menunjukkan bahwa sekitar 50%-80% lansia berusia 60 tahun ke atas menderita lebih dari satu penyakit kronis. Di Indonesia tahun 2008, tercatat 17 juta penderita diabetes melitus, sekitar 15 juta lansia menderita hipertensi, dan sekitar 56,2% lansia menderita penyakit rematik artritis. Kondisi ini menjadi perhatian serius karena berdampak signifikan pada kualitas hidup dan kebutuhan kesehatan lansia.
3. Observasi di UPT Pelayanan Sosial Lansia Binjai Medan
Pengamatan di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita di wilayah Binjai dan Medan menunjukkan bahwa dari 180 lansia yang tinggal di sana, semuanya mengalami penyakit kronis. Observasi ini menjadi pendorong utama dilakukannya penelitian ini. Kondisi tersebut menggambarkan permasalahan nyata di lapangan yang menunjukkan tingginya prevalensi penyakit kronis di kalangan lansia di wilayah tersebut. Hal ini menjadi dasar pemikiran pentingnya penelitian lebih lanjut untuk memahami aspek-aspek yang relevan, salah satunya adalah spiritualitas lansia dalam menghadapi penyakit kronis.
III.Kerangka Konseptual dan Definisi Spiritualitas
Penelitian ini menggunakan kerangka konseptual yang menghubungkan spiritualitas dengan kesejahteraan lansia yang menderita penyakit kronis. Spiritualitas didefinisikan sebagai hubungan transenden dengan Yang Maha Tinggi, yang memberikan kekuatan dan harapan. Penelitian ini juga menjabarkan dimensi spiritualitas meliputi hubungan dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan, serta pengaruh faktor-faktor seperti latar belakang budaya dan pengalaman hidup. Penelitian ini merujuk pada teori-teori dari Maslow, Young, dan Kozier dkk. terkait spiritualitas dan perkembangan psikososial pada lansia.
1. Definisi dan Multidimensi Spiritualitas
Bagian ini mendefinisikan spiritualitas dan menjelaskan multidimensinya. Spiritualitas dijelaskan sebagai kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, mencintai dan dicintai, serta mempertahankan keharmonisan dengan dunia luar. Spiritualitas juga dijelaskan sebagai sumber kekuatan dalam menghadapi penyakit fisik (Hamid, 2000). Konsep spiritualitas diuraikan dalam dua dimensi: dimensi vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan dimensi horizontal (hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan) (Young, 2007). Definisi lain menyebutkan spiritualitas sebagai hubungan transenden dengan Yang Maha Tinggi, sebagai dimensi integral kesehatan dan kesejahteraan, dan sebagai sumber kekuatan dan harapan (Skokan dan Bader dalam Stanley, 2008). Maslow mendefinisikan spiritualitas sebagai puncak aktualisasi diri, melampaui hierarki kebutuhan manusia.
2. Spiritualitas Menurut Berbagai Perspektif
Bagian ini memaparkan spiritualitas dari berbagai sudut pandang. Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya secara tradisional terkait dengan agama, tetapi dewasa ini dipahami lebih luas, sebagai daya pemersatu, prinsip hidup, atau hakikat hidup (Young, 2007). Elemen pokok spiritualitas mencakup hubungan dengan diri sendiri (kekuatan internal, kepercayaan diri, keselarasan diri) (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995; Young, 2007), hubungan dengan sesama (pentingnya hubungan sosial), dan hubungan dengan Tuhan. Faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas meliputi latar belakang etnis dan budaya (pengaruh tradisi agama keluarga), pengalaman hidup (baik positif maupun negatif), dan dampak penyakit kronis yang dapat menyebabkan isolasi dan perubahan kebiasaan hidup.
3. Dimensi Spiritual dan Perkembangan Spiritual
Spiritualitas diuraikan dalam tiga dimensi: psikologis (kesadaran dan identitas diri), fisik (kesadaran akan dunia), dan rohani (daya pemersatu yang mengintegrasikan dimensi lain) (Young, 2007). Perkembangan spiritual dimulai sejak dini dan mencakup perkembangan identitas, relasi yang bermakna, penghargaan terhadap alam, dan kesadaran transendental (Young, 2007). Teori Erikson tentang integritas ego versus keputusasaan pada tahap lanjut usia relevan dalam konteks perkembangan spiritual. Pada tahap ini, integrasi elemen masa lalu dan penerimaan hidup menjadi kunci untuk mencapai makna hidup dan kepuasan. Kegagalan mencapai tahap ini dapat menyebabkan perasaan hampa dan ketidakberhargaaan (Young, 2007).
IV.Metodologi Penelitian Instrumen dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan sampel 64 lansia di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita Medan dan Binjai. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner yang terdiri dari bagian demografi dan skala Likert untuk mengukur spiritualitas. Instrumen telah diuji validitas isi dan reliabilitasnya (Cronbach Alpha > 0.70). Analisis data menggunakan analisis deskriptif untuk melihat frekuensi dan persentase karakteristik responden dan gambaran spiritual mereka.
1. Desain Penelitian dan Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Jumlah sampel yang digunakan adalah 64 lansia yang menderita penyakit kronis. Pemilihan sampel purposive ini didasarkan pada ketersediaan lansia dengan kriteria tersebut di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita di wilayah Binjai dan Medan. Periode penelitian berlangsung dari tanggal 28 November hingga 19 Desember 2014. Metode ini dipilih karena memungkinkan peneliti untuk fokus pada populasi yang spesifik dan memenuhi kriteria penelitian, sehingga memudahkan pengumpulan data dan analisisnya. Keputusan untuk menggunakan purposive sampling didasari oleh keterbatasan waktu dan sumber daya, serta fokus pada karakteristik spesifik populasi.
2. Instrumen Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data utama dalam penelitian ini adalah kuesioner yang dirancang khusus oleh peneliti. Kuesioner ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah kuesioner data demografi yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, agama, status perkawinan, dan pendidikan. Bagian kedua adalah kuesioner yang menggunakan skala Likert untuk mengukur gambaran spiritual lansia yang menderita penyakit kronis. Skala Likert ini terdiri dari 20 pernyataan dengan empat pilihan jawaban (sangat tidak sering, tidak sering, sering, sangat sering), dengan skor 1 sampai 4. Skor tertinggi yang mungkin dicapai adalah 80 dan terendah adalah 20. Peneliti merancang sendiri kuesioner ini berdasarkan konsep dan tinjauan pustaka yang relevan.
3. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Sebelum digunakan untuk pengumpulan data, instrumen kuesioner diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas menggunakan uji content validity, dimana instrumen diuji oleh dosen Departemen Jiwa dan Komunitas di Fakultas Keperawatan USU dan dinyatakan valid. Uji reliabilitas dilakukan sebelum pengumpulan data pada 10 responden yang memenuhi kriteria, menggunakan teknik Cronbach Alpha. Suatu instrumen dikatakan reliabel jika memiliki koefisien reliabilitas (alpha) lebih dari 0,70. Hasil uji reliabilitas menunjukkan nilai koefisien reliabilitas gambaran spiritual lansia yang menderita penyakit kronis adalah 0,71, yang menunjukkan bahwa instrumen tersebut reliabel dan handal untuk digunakan dalam penelitian.
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik responden dan gambaran spiritualitas lansia yang menderita penyakit kronis. Analisis ini meliputi perhitungan frekuensi dan persentase dari setiap variabel yang diteliti. Dengan analisis deskriptif, peneliti dapat menyajikan data secara sistematis dan menggambarkan pola dari variabel yang diteliti, sehingga dapat diinterpretasikan dan dikaitkan dengan temuan-temuan dari penelitian sejenis. Data yang dihasilkan berupa frekuensi dan persentase dari setiap variabel yang diukur dalam kuesioner.
V.Hasil Penelitian Gambaran Spiritual Lansia dan Faktor faktor yang Berpengaruh
Hasil penelitian menunjukkan gambaran spirituallansia dengan penyakit kronis umumnya cukup baik (87,5%). Analisis lebih lanjut melihat hubungan lansia dengan diri sendiri, sesama, Tuhan, dan alam. Hasil penelitian juga membahas hubungan antara kondisi kesehatan, penerimaan diri, dan spiritualitas. Penelitian ini membandingkan temuan dengan penelitian-penelitian sebelumnya (misalnya, Widiastuti, 2007; Destariana, 2014), yang menjelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi spiritualitas lansia.
1. Gambaran Umum Spiritualitas Lansia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (87,5%) dari 64 responden lansia yang menderita penyakit kronis di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita di Binjai dan Medan memiliki gambaran spiritualitas yang cukup baik. Sisanya (12,5%) menyatakan spiritualitas mereka dalam kategori baik. Temuan ini menunjukkan tingkat spiritualitas yang relatif positif di antara populasi lansia yang diteliti. Data ini memberikan gambaran umum tentang kondisi spiritualitas lansia yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menganalisis lebih lanjut aspek-aspek spiritualitas lansia berdasarkan dimensi-dimensi yang diteliti. Temuan ini juga penting sebagai dasar pertimbangan dalam pengembangan intervensi yang dapat meningkatkan kualitas hidup lansia.
2. Hubungan dengan Alam Sekitar
Analisis terhadap hubungan lansia dengan alam sekitar menunjukkan bahwa sebagian besar responden (81,2%) memiliki hubungan yang cukup baik dengan alam. Sebanyak 14,1% memiliki hubungan yang baik, dan hanya 4,7% yang memiliki hubungan kurang baik. Keterbatasan gerak akibat penyakit kronis yang diderita sebagian besar responden diduga menjadi faktor yang memengaruhi kualitas hubungan mereka dengan alam. Teori Adelman (2004) yang menyebutkan bahwa penyakit kronis dapat menyebabkan kerusakan permanen dan penurunan fungsi tubuh, khususnya muskuloskeletal dan organ penginderaan, mendukung temuan ini. Hal ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan kondisi fisik lansia dalam upaya meningkatkan kualitas hubungan mereka dengan alam.
3. Hubungan dengan Diri Sendiri
Hasil penelitian mengenai hubungan lansia dengan diri sendiri menunjukkan bahwa mayoritas responden (60,9%) memiliki hubungan yang cukup baik, dan 35,9% memiliki hubungan yang baik. Hanya sebagian kecil (3,1%) yang memiliki hubungan kurang baik. Temuan ini sejalan dengan penelitian Astaria (2010) yang menyatakan bahwa hubungan dengan diri sendiri dipengaruhi oleh kondisi kesehatan. Penerimaan terhadap kondisi kesehatan, termasuk meyakini hikmah dari penyakit, menjadi faktor penting dalam membangun hubungan yang positif dengan diri sendiri. Teori Kozier Erb, Blains, dan Wilkinson dalam Stanley (2007) mendukung temuan ini, yang menyatakan bahwa kekuatan internal membantu lansia menyadari makna dan tujuan hidup, termasuk memandang pengalaman hidup secara positif dan optimis terhadap masa depan.
4. Hubungan dengan Sesama dan Tuhan
Pada aspek hubungan dengan sesama, mayoritas responden (60,9%) memiliki hubungan yang cukup baik, dan 35,9% memiliki hubungan yang baik. Hanya 3,1% yang memiliki hubungan kurang baik. Temuan ini berbeda dengan penelitian Widiastuti (2007) yang menunjukkan 40% lansia mengalami konflik dengan orang lain. Pandangan Hart dalam Sumiati (2009) mengenai pentingnya hubungan positif antarmanusia melalui keyakinan, rasa percaya, dan cinta kasih, relevan dalam konteks ini. Terkait hubungan dengan Tuhan, 67,2% responden memiliki hubungan yang cukup baik, dan 31,2% memiliki hubungan yang baik, sementara hanya 1,6% yang memiliki hubungan kurang baik. Hal ini sesuai dengan penelitian Destariana (2014) yang menunjukkan bahwa hubungan dengan Tuhan menjadi sumber koping bagi lansia yang mengalami kesedihan dan penyakit. Spiritualitas yang tinggi dikaitkan dengan penyesalan, tobat, dan pengampunan yang dapat mengurangi kecemasan.
VI.Kesimpulan dan Saran Pentingnya Dukungan Spiritual untuk Lansia
Penelitian ini menyimpulkan bahwa sebagian besar lansia dengan penyakit kronis di Medan dan Binjai memiliki spiritualitas yang baik. Namun, penelitian ini menekankan pentingnya dukungan dari keluarga dan petugas kesehatan dalam memahami dan memenuhi kebutuhan spiritual lansia. Saran diberikan kepada pengelola UPT agar lebih memperhatikan aspek spiritualitas dalam perawatan lansia, khususnya yang menderita penyakit kronis.
1. Kesimpulan tentang Gambaran Spiritual Lansia
Kesimpulan penelitian ini menunjukkan gambaran umum spiritualitas lansia yang menderita penyakit kronis di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan Anak Balita di Binjai dan Medan. Mayoritas responden (87,5%) memiliki tingkat spiritualitas yang cukup baik, dan sisanya (12,5%) menyatakan spiritualitas mereka baik. Temuan ini mengindikasikan bahwa meskipun menghadapi kondisi kesehatan yang menurun akibat penyakit kronis, sebagian besar lansia masih mampu mempertahankan dan bahkan menunjukkan tingkat spiritualitas yang positif. Kondisi ini menunjukkan pentingnya spiritualitas sebagai faktor pendukung dalam menghadapi tantangan kesehatan di usia lanjut.
2. Saran untuk Peningkatan Perawatan Lansia
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar keluarga dan tenaga kesehatan lebih memahami dan memperhatikan kebutuhan spiritual lansia yang menderita penyakit kronis. Pemahaman ini penting agar lansia dapat menerima kondisi kesehatannya, mampu bersosialisasi, menikmati keindahan alam sekitar, dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan kekuatan dalam menjalani kondisi tersebut. Dukungan spiritual yang baik akan membantu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan lansia. Saran juga diberikan kepada petugas pengelola dan pekerja sosial di UPT agar menciptakan lingkungan yang menghormati dan mendukung spiritualitas lansia, mengingat keterbatasan fisik yang mereka alami akibat penyakit kronis.