Dampak Merokok Terhadap Kesehatan Masyarakat di Indonesia

Dampak Merokok Terhadap Kesehatan Masyarakat di Indonesia

Informasi dokumen

Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 576.00 KB
Jenis dokumen Esai/Tugas Kuliah
  • merokok
  • kesehatan
  • perokok pasif

Ringkasan

I.Prevalensi Merokok di Indonesia dan Dampaknya

Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dengan jumlah perokok terbesar setelah China dan India. Pada 2011, jumlah perokok aktif mencapai 60 juta jiwa, mayoritas berusia produktif dan mulai merokok pada usia 15-19 tahun. Survei GATS 2011 menunjukkan prevalensi merokok pada orang dewasa sekitar 34,8% (67,4% laki-laki dan 4,5% perempuan). Asap rokok mengandung lebih dari 4000 elemen, 200 di antaranya berbahaya dan menyebabkan penyakit serius, termasuk kanker. Berdasarkan data Tobacco Control Support Center (TCSC), sekitar 239.000 orang Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat rokok (aktif dan pasif). WHO juga menyatakan bahwa penyakit akibat rokok akan menjadi pembunuh nomor satu di dunia pada tahun 2015 dan berkontribusi terhadap 10% kematian global. Asap rokok terdiri dari asap utama (25% bahan berbahaya) dan sampingan (75% bahan berbahaya), dengan perokok pasif terpapar 75% bahan berbahaya ditambah separuh asap yang dihembuskan perokok aktif. Ini menekankan pentingnya Kawasan Tanpa Rokok (KTR) untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya asap rokok.

1. Posisi Indonesia dalam Prevalensi Perokok Global

Indonesia menempati posisi ketiga dunia sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar, setelah China dan India. Data dari Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2011 menunjukkan angka perokok aktif telah mencapai 60 juta jiwa. Mayoritas perokok ini berada pada usia produktif, dengan sebagian besar memulai kebiasaan merokok di usia 15-19 tahun. Fakta ini menyoroti permasalahan serius terkait kesehatan masyarakat Indonesia dan kebutuhan mendesak untuk intervensi yang efektif dalam pencegahan dan pengendalian merokok. Angka ini menjadi perhatian serius mengingat dampaknya terhadap kesehatan dan ekonomi negara.

2. Data Survei GATS 2011 dan Prevalensi Merokok di Indonesia

Survei GATS (Global Adult Tobacco Survey) tahun 2011 memberikan gambaran lebih rinci mengenai prevalensi merokok di Indonesia. Survei tersebut menunjukan bahwa prevalensi merokok pada orang dewasa di Indonesia secara keseluruhan mencapai sekitar 34.8%. Rinciannya, prevalensi merokok pada laki-laki mencapai 67.4% dan perempuan 4.5%. Data ini menggarisbawahi perbedaan signifikan dalam kebiasaan merokok antara pria dan wanita di Indonesia. Hasil survei ini juga mencakup preferensi merokok pada remaja dan anak-anak, yang menunjukkan perlunya upaya pencegahan lebih lanjut untuk kelompok usia ini, mencegah munculnya perokok baru dan melindungi generasi muda dari bahaya rokok.

3. Dampak Kesehatan Akibat Merokok Aktif dan Pasif

Merokok menimbulkan dampak kesehatan yang sangat serius, baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif. Asap rokok mengandung sekitar 4000 elemen, dengan setidaknya 200 di antaranya terbukti berbahaya bagi kesehatan. Salah satu bahaya utama adalah peningkatan risiko terkena kanker. Data dari Tobacco Control Support Center (TCSC) menunjukkan angka kematian yang memprihatinkan, yaitu sekitar 239.000 orang Indonesia meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang disebabkan oleh rokok. WHO bahkan memprediksi bahwa penyakit yang disebabkan oleh rokok akan menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia pada tahun 2015, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Bahaya asap rokok juga meluas pada perokok pasif (AROL), yang terpapar 75% bahan berbahaya dari asap sampingan ditambah separuh asap yang dihembuskan perokok aktif.

4. Komposisi Bahaya dalam Asap Rokok

Riset lembaga internasional untuk penyakit kanker pada tahun 2004 mengungkap komposisi bahaya dalam asap rokok. Asap utama (mainstream) mengandung 25% kadar bahan berbahaya, sedangkan asap sampingan (sidestream) mengandung 75%. Perokok pasif umumnya menghirup 75% bahan berbahaya dari asap sampingan, ditambah sekitar setengah dari asap yang dihembuskan oleh perokok aktif. Racun utama dalam rokok, seperti tar, nikotin, dan karbon monoksida, menyebabkan risiko kesehatan yang jauh lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif, menegaskan pentingnya perlindungan terhadap paparan asap rokok orang lain.

II.Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok KTR di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang KTR, menetapkan area bebas rokok di fasilitas kesehatan, tempat pendidikan, tempat ibadah, transportasi umum, tempat kerja, dan tempat umum. Peraturan bersama Menteri Kesehatan dan Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011 dan No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan KTR juga telah diterbitkan, meskipun masih perlu penguatan implementasi dan sanksi. Meskipun 98% responden dalam survei BPLHD DKI Jakarta dan Swisscontact Indonesia Foundation mendukung KTR, belum semua daerah di Indonesia menerapkan kebijakan ini secara efektif. Hal ini menunjukkan pentingnya meningkatkan kesadaran akan bahaya merokok dan implementasi yang lebih ketat dari kebijakan KTR di seluruh Indonesia.

1. Undang Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok KTR

Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 115 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan landasan hukum utama dalam upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi dampak negatif merokok. Undang-undang ini menetapkan berbagai tempat sebagai Kawasan Tanpa Rokok, termasuk fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum lainnya. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak dan remaja, dari paparan asap rokok dan dampak buruknya bagi kesehatan. Namun, implementasi undang-undang ini di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan dan belum sepenuhnya efektif dalam memberikan dampak positif bagi masyarakat.

2. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Dalam Negeri tentang KTR

Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, dikeluarkan pula peraturan bersama antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri. Peraturan ini dituangkan dalam Surat Nomor 188/MENKES/PB/I/2011 dan Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan ini menekankan pentingnya pemberlakuan KTR dan sebenarnya telah menyebutkan adanya sanksi bagi pelanggar. Akan tetapi, implementasi di lapangan masih membutuhkan penguatan, termasuk petunjuk operasional yang lebih detail dan konsistensi dalam penegakan aturan. Kurangnya konsistensi ini menjadi kendala utama dalam mencapai tujuan KTR.

3. Dukungan Masyarakat dan Implementasi KTR di Daerah

Hasil Jejak Pendapat yang dilakukan oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta bersama Swisscontact Indonesia Foundation dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) menunjukkan dukungan yang tinggi dari masyarakat terhadap peraturan Kawasan Dilarang Merokok (KDM). Sebanyak 98% responden menyatakan dukungan, dan 93% menyatakan telah mengetahui peraturan daerah tersebut. Kendati demikian, implementasi kebijakan larangan merokok di tempat umum di Indonesia masih bersifat kebijakan daerah, dan belum semua daerah telah membuat dan menerapkan kebijakan ini secara efektif. Ketidaksamaan penerapan di berbagai daerah menjadi tantangan dalam menciptakan lingkungan yang konsisten bebas asap rokok di seluruh Indonesia.

4. Tujuan dan Tantangan Implementasi Kebijakan KTR

Tujuan utama dari kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah untuk melindungi individu, masyarakat, dan lingkungan dari bahaya paparan asap rokok. Hal ini meliputi penurunan angka kesakitan dan kematian akibat asap rokok, serta perubahan perilaku masyarakat menuju hidup sehat. Namun, pelaksanaan KTR di kehidupan sehari-hari masih jauh dari ideal. Perokok masih sering merokok di area umum tanpa mengindahkan aturan KTR. Keberhasilan KTR ditandai dengan tidak adanya perokok di area KTR, adanya pengawasan dan sanksi, serta pemantauan dan evaluasi yang berkelanjutan. Kurangnya pengawasan dan konsistensi penegakan hukum menjadi tantangan utama dalam mencapai tujuan KTR secara maksimal.

III.Studi Kasus Desa Bone bone Enrekang

Desa Bone-bone, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, telah menjadi contoh sukses implementasi KTR. Peraturan Desa (Perdes) No. 1 Tahun 2009 melarang merokok, penjualan, dan iklan rokok di seluruh wilayah desa. Strategi sosialisasi yang efektif melalui komunikasi interpersonal, ceramah keagamaan (berdasarkan Al-Quran dan Hadits), dan sanksi sosial berhasil mengubah perilaku masyarakat. Meskipun awalnya ada penolakan, diskusi dan penjelasan tentang bahaya merokok membuat masyarakat menerima dan menaati peraturan tersebut. Sukses Desa Bone-bone menunjukkan bahwa pendekatan berbasis masyarakat dan penggunaan nilai-nilai agama dapat menjadi strategi efektif untuk mengurangi prevalensi merokok dan menciptakan Kawasan Tanpa Rokok yang berhasil.

1. Latar Belakang Pembentukan Peraturan Desa Bebas Asap Rokok di Desa Bone bone

Desa Bone-bone, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, telah berhasil menerapkan peraturan desa (Perdes) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Kawasan Bebas Asap Rokok. Keputusan untuk membuat peraturan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran para tokoh masyarakat dan aparat desa terhadap kebiasaan merokok yang meluas, tidak hanya di kalangan dewasa, tetapi juga anak-anak usia 5-7 tahun. Selain masalah kesehatan, kebiasaan merokok juga berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat desa, karena banyak warga yang memprioritaskan pengeluaran untuk rokok, bahkan sampai menyebabkan anak-anak putus sekolah karena kekurangan biaya. Perdes ini menjadi upaya untuk melindungi kesehatan warga dan meningkatkan perekonomian desa.

2. Isi dan Sanksi Peraturan Desa Bone bone Nomor 1 Tahun 2009

Peraturan Desa Bone-bone Nomor 1 Tahun 2009 melarang seluruh masyarakat desa, termasuk pengunjung dari luar desa, untuk merokok, menjual, dan mengiklankan rokok di wilayah desa. Peraturan ini juga berlaku bagi wisatawan asing. Bagi warga desa yang melanggar aturan, dikenakan sanksi moral berupa kerja bakti tanpa upah di fasilitas umum seperti masjid, jalan umum, kantor desa, sekolah, poskesdes, dan MCK umum. Sementara bagi warga pendatang yang melanggar, akan diberi teguran terlebih dahulu. Jika teguran diabaikan, mereka akan diminta untuk meninggalkan desa. Sistem sanksi ini dirancang untuk mendorong kepatuhan dan menjaga lingkungan desa tetap bebas asap rokok.

3. Strategi Sosialisasi dan Implementasi Peraturan Desa

Pemerintah Desa Bone-bone menggunakan metode sosialisasi dan pengingat yang efektif dalam mengimplementasikan Perdes Nomor 1 Tahun 2009. Sosialisasi dilakukan secara interpersonal, langsung kepada masyarakat desa melalui berbagai kesempatan seperti pengajian, pesta, dan kegiatan gotong royong. Informasi mengenai bahaya merokok selalu disampaikan dengan landasan yang kuat, yaitu berdasarkan Al-Quran dan Hadits, mengingat mayoritas masyarakat Bone-bone beragama Islam dan taat beribadah. Strategi ini berhasil mengubah perilaku masyarakat, dan meskipun awalnya ada penolakan dari sebagian warga, diskusi dan penjelasan mengenai bahaya rokok akhirnya membuat mereka menerima dan patuh pada peraturan tersebut.

4. Tantangan dan Hambatan Implementasi serta Kesimpulan

Meskipun berhasil, implementasi Perdes Nomor 1 Tahun 2009 di Desa Bone-bone juga menghadapi tantangan. Pada awal penerapan, banyak masyarakat yang kurang setuju dan menganggap peraturan ini sebagai pengurangan hak asasi mereka, karena merokok telah menjadi kebiasaan turun temurun. Namun, berkat strategi sosialisasi yang efektif dan pendekatan yang melibatkan nilai-nilai agama, keberatan tersebut dapat diatasi. Keberhasilan Desa Bone-bone dalam menerapkan Kawasan Bebas Asap Rokok menjadi bukti bahwa dengan strategi yang tepat, perubahan perilaku merokok dapat dicapai. Keberhasilan ini menjadi contoh yang baik bagi daerah lain dalam upaya menciptakan lingkungan yang sehat dan bebas dari bahaya asap rokok.