
Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Halusinasi Pendengaran di RSJD Provsu Medan
Informasi dokumen
Penulis | Niatin Laia |
Sekolah | Universitas Sumatera Utara |
Jurusan | Keperawatan |
Jenis dokumen | Karya Tulis Ilmiah (Scientific Paper) |
Tempat | Medan |
Bahasa | Indonesian |
Format | |
Ukuran | 2.96 MB |
- Asuhan Keperawatan
- Halusinasi Pendengaran
- Gangguan Kesehatan Jiwa
Ringkasan
I.Latar Belakang dan Definisi Halusinasi Pendengaran dalam Skizofrenia
Karya tulis ilmiah ini membahas asuhan keperawatan pada Ny. N, seorang pasien skizofrenia paranoid di RSJD Provinsi Sumatera Utara Medan, yang mengalami halusinasi pendengaran sebagai masalah prioritas. Tingginya tingkat stres di masyarakat berkontribusi pada peningkatan prevalensi gangguan jiwa, termasuk skizofrenia, yang ditandai oleh gejala seperti halusinasi pendengaran. Halusinasi pendengaran merupakan persepsi palsu yang dialami klien tanpa adanya stimulus eksternal, dan sangat memengaruhi rasa aman dan kenyamanan, mengganggu kebutuhan dasar manusia (Maslow). Studi menunjukkan prevalensi gangguan jiwa di Indonesia cukup tinggi (Bahar dkk, 1995; Hamid, 2000).
1. Peningkatan Stres dan Prevalensi Gangguan Jiwa
Latar belakang menjabarkan meningkatnya persaingan dan tuntutan hidup yang menyebabkan stres tinggi di masyarakat. Stres yang tidak tertanggulangi dengan mekanisme koping yang memadai dapat berujung pada penyakit fisik dan mental (Rasmun, 2004). Data prevalensi gangguan jiwa di Indonesia, yang mencapai 18,5% menurut studi Bahar dkk (1995), menunjukkan bahwa dari 1000 penduduk, sedikitnya 185 orang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Studi lain (Hamid, 2000) bahkan memperkirakan angka tersebut berkisar antara 20-60 per 1000 penduduk. Hal ini menyoroti pentingnya perhatian terhadap kesehatan mental, khususnya masalah seperti skizofrenia dan halusinasi pendengaran yang sering terjadi.
2. Skizofrenia dan Halusinasi Pendengaran
Skizofrenia, termasuk tipe katatonik dengan gejala gaduh gelisah, negativisme, dan 'command automatism', merupakan gangguan jiwa berat yang banyak ditemukan. Pada laki-laki, skizofrenia umumnya muncul pada usia 16-25 tahun, sedangkan pada perempuan, usia 25-30 tahun. Halusinasi pendengaran, sebagai fokus utama studi kasus, sangat memengaruhi rasa aman dan nyaman individu, mengganggu kebutuhan dasar manusia akan rasa aman, baik secara fisiologis maupun psikologis, seperti yang dijelaskan dalam teori Maslow. Halusinasi didefinisikan sebagai persepsi palsu tanpa rangsangan eksternal, merupakan gangguan atau perubahan persepsi (Maramis, 2005), dan halusinasi pendengaran khususnya sangat memengaruhi kehidupan pasien.
3. Faktor Sosial Budaya dan Psikodinamika Halusinasi
Faktor sosial budaya, seperti kemiskinan, konflik sosial, isolasi sosial, dan hubungan interpersonal yang tidak harmonis, berkontribusi pada stres dan kecemasan, yang dapat memicu gangguan orientasi realita, termasuk skizofrenia. Gangguan orientasi realita ditandai oleh penolakan, kekerasan, mudah kecewa, putus asa, kecemasan tinggi, dan koping destruktif. Teori psikodinamika menjelaskan halusinasi sebagai manifestasi isi alam bawah sadar yang muncul ke alam sadar sebagai respons terhadap konflik psikologis dan kebutuhan yang tidak terpenuhi. Halusinasi, dalam perspektif ini, merupakan gambaran keinginan dan ketakutan yang dialami klien. Respon neurobiologis maladaptif, ditunjukkan oleh penelitian pencitraan otak yang menunjukkan keterlibatan area frontal dan temporal otak dalam perkembangan skizofrenia, juga dibahas sebagai faktor penyebab.
4. Dimensi Halusinasi dan Respon Klien
Rawlins dan Heacock (1993) menganalisis halusinasi melalui lima dimensi: fisik (kelelahan, penggunaan obat, demam, dll.), psikis (isi alam bawah sadar), pemicu (gizi buruk, lingkungan bermusuhan, gangguan hubungan interpersonal), sosial (kecenderungan menyendiri, penggunaan halusinasi untuk memenuhi kebutuhan sosial), dan intelektual (penurunan fungsi ego). Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, gelisah, perilaku merusak diri, dan kesulitan membedakan realita. Halusinasi pada awalnya mungkin merupakan usaha ego untuk melawan impuls yang menekan, namun kemudian dapat menguasai klien dan mengontrol perilakunya. Pemahaman atas dimensi-dimensi ini krusial untuk perencanaan intervensi keperawatan yang efektif.
II.Pengkajian dan Diagnosa Keperawatan Halusinasi Pendengaran
Pengkajian Ny. N meliputi riwayat penyakit (mengalami gangguan perilaku seperti menangis tanpa sebab, dll. selama ±3 bulan), keluhan utama (suara-suara aneh yang mengganggu), serta aspek psikologis (gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri, identitas diri). Diagnosa keperawatan utama adalah halusinasi pendengaran. Gejala-gejala halusinasi pendengaran dijelaskan berdasarkan lima dimensi (Rawlins dan Heacock, 1993): fisik, psikis, pemicu, sosial, dan intelektual. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan holistik dalam asuhan keperawatan jiwa.
1. Riwayat Penyakit dan Keluhan Utama Ny. N
Pengkajian dimulai dengan riwayat penyakit Ny. N yang menunjukkan gangguan perilaku seperti menangis tanpa sebab, tertawa sendiri, dan perilaku impulsif (melompat ke sungai) selama kurang lebih 3 bulan. Keluarga telah mencoba pengobatan tradisional tanpa hasil. Keluhan utama Ny. N adalah suara-suara aneh yang mengganggu. Pengamatan terhadap Ny. N menunjukkan kurangnya kontak mata dan kegelisahan saat mengingat suara-suara tersebut. Diagnosa medis pasien adalah Skizofrenia Paranoid, yang mengindikasikan adanya halusinasi dan delusi sebagai gejala utama. Riwayat ini penting untuk memahami perjalanan penyakit dan perkembangan halusinasi pendengaran yang dialami.
2. Aspek Psikologis Ny. N
Pengkajian mencakup aspek psikologis Ny. N yang meliputi gambaran diri (positif, merasa tidak memiliki kekurangan), ideal diri (ingin pulang dan berguna bagi keluarga), peran diri (anak, belum bekerja), identitas diri (anak keempat dari sembilan bersaudara, pendidikan SMA kelas 2), dan harga diri (merasa tidak layak, menjadi beban keluarga). Interaksi selama wawancara menunjukkan Ny. N kooperatif tetapi kurang kontak mata. Persepsi Ny. N terganggu oleh halusinasi pendengaran, sementara proses berpikir dan isi pikiran (fobia) dinilai normal. Informasi ini memberikan gambaran holistik kondisi psikologis pasien yang relevan dengan halusinasi pendengaran dan rencana perawatan.
3. Pengkajian Fisik dan Aktivitas Sehari hari
Pengkajian fisik meliputi personal hygiene yang baik (kebersihan tubuh, gigi dan mulut, kuku). Tidak ada masalah dalam pola makan dan minum. Informasi ini menunjukkan bahwa kondisi fisik Ny. N secara umum baik, meskipun kesehatan mentalnya terganggu oleh halusinasi pendengaran. Aspek pola kegiatan dan aktivitas sehari-hari dikaji untuk melihat bagaimana halusinasi mempengaruhi fungsi sosial dan rutinitas harian Ny. N. Identifikasi respon klien terhadap halusinasi dengan metode wawancara (S) dan observasi (O) turut dilakukan untuk melengkapi data pengkajian.
4. Diagnosa Keperawatan Halusinasi Pendengaran
Berdasarkan pengkajian, diagnosa keperawatan utama adalah halusinasi pendengaran. Masalah ini diidentifikasi sebagai prioritas utama karena dampaknya yang signifikan terhadap kualitas hidup Ny. N. Tujuan utama perawatan adalah mengontrol halusinasi yang dialami, dengan tujuan khusus seperti membangun hubungan saling percaya, mengobservasi perilaku terkait halusinasi, dan mengklarifikasi pengalaman halusinasi. Penting untuk memahami bahwa halusinasi pendengaran adalah gejala utama, dan intervensi keperawatan harus diarahkan untuk mengelola gejala tersebut dan meningkatkan kemampuan coping pasien.
III.Perencanaan dan Implementasi Intervensi Keperawatan
Perencanaan intervensi keperawatan difokuskan pada pengendalian halusinasi pendengaran. Intervensi meliputi membangun hubungan saling percaya menggunakan teknik komunikasi terapeutik, observasi perilaku klien, dan pemantauan penggunaan obat. Tujuannya adalah agar klien dapat mengontrol halusinasi pendengaran dan meningkatkan kualitas hidup. Keterlibatan keluarga dalam proses perawatan juga ditekankan.
1. Tujuan Perencanaan Intervensi
Perencanaan intervensi keperawatan bertujuan untuk membantu Ny. N mengontrol halusinasi pendengaran yang dialaminya. Tujuan utama ini dijabarkan menjadi beberapa tujuan khusus. Tujuan khusus tersebut mencakup membangun hubungan saling percaya dengan Ny. N melalui komunikasi terapeutik yang efektif. Hal ini meliputi penyampaian sapaan yang ramah, perkenalan diri perawat, dan penjelasan tujuan interaksi. Perawat perlu menunjukkan sikap empati, menerima Ny. N apa adanya, menepati janji, dan memberikan perhatian pada kebutuhan dasar Ny. N. Pendekatan yang holistik dan berfokus pada pasien sangat penting untuk keberhasilan intervensi.
2. Observasi dan Interaksi dengan Klien Selama Halusinasi
Perencanaan mencakup observasi perilaku Ny. N yang terkait dengan halusinasi (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, pengecapan). Jika Ny. N sedang mengalami halusinasi, perawat akan membangun hubungan saling percaya dengan cara menunjukkan bahwa perawat percaya pada pengalaman Ny. N dan membantu Ny. N untuk menghadapi halusinasi tersebut. Perawat akan mendorong Ny. N untuk mengatakan pada dirinya sendiri bahwa halusinasi itu tidak nyata, mencari dukungan dari orang lain (perawat, teman, keluarga), dan memahami bahwa perawat akan membantunya. Strategi ini menekankan dukungan dan validasi pengalaman pasien, sekaligus strategi koping yang rasional.
3. Intervensi Saat Klien Tidak Mengalami Halusinasi
Ketika Ny. N tidak mengalami halusinasi, perawat akan melakukan klarifikasi tentang pengalaman halusinasinya, mendiskusikan isi, waktu, dan frekuensi halusinasi. Perawat akan melakukan kontak yang sering dan singkat secara bertahap untuk membangun kepercayaan. Pemantauan penggunaan obat juga penting, termasuk memberikan pujian jika Ny. N mengkonsumsi obat dengan benar, mendiskusikan konsekuensi penghentian obat tanpa konsultasi dokter, dan menganjurkan konsultasi jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Pendekatan ini menekankan pentingnya konsistensi dan kolaborasi dalam manajemen pengobatan.
4. Implementasi dan Evaluasi Intervensi
Implementasi intervensi melibatkan membangun jadwal kegiatan harian untuk Ny. N, meliputi berbincang-bincang dengan orang lain, dan melatih kemampuan Ny. N dalam mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dirinya. Evaluasi dilakukan dengan observasi dan wawancara untuk melihat perubahan perilaku dan frekuensi halusinasi. Pujian diberikan untuk kemajuan yang dicapai. Keberhasilan intervensi diukur berdasarkan berkurangnya frekuensi dan durasi halusinasi pendengaran. Pendekatan ini menekankan pada evaluasi yang berkelanjutan dan penyesuaian intervensi berdasarkan respon pasien.
IV.Kesimpulan dan Implikasi Asuhan Keperawatan Jiwa
Asuhan keperawatan jiwa yang komprehensif, meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi, sangat penting dalam mengatasi halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia. Pendekatan holistik, termasuk komunikasi terapeutik dan keterlibatan keluarga, memberikan hasil optimal dengan berkurangnya frekuensi dan durasi halusinasi pendengaran. Perawat harus memahami teori dan praktik keperawatan jiwa untuk memberikan asuhan keperawatan yang efektif.
1. Kesimpulan tentang Halusinasi Pendengaran dan Intervensi Keperawatan
Kesimpulan utama menekankan bahwa halusinasi pendengaran merupakan gangguan orientasi realita yang berpotensi merugikan klien, orang lain, dan lingkungan sekitarnya jika tidak ditangani. Intervensi keperawatan yang efektif melibatkan komunikasi terapeutik, pendekatan individu dan kelompok, serta keterlibatan keluarga. Pendekatan asuhan keperawatan yang komprehensif, mencakup pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi, menunjukkan hasil optimal berupa berkurangnya frekuensi dan durasi halusinasi. Keberhasilan intervensi bergantung pada penerapan prinsip-prinsip keperawatan jiwa yang tepat dan terukur.
2. Implikasi bagi Perawat
Studi ini menggarisbawahi pentingnya pemahaman teori dan praktik asuhan keperawatan jiwa bagi perawat. Perawat harus memiliki kompetensi dalam pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi keperawatan pada klien dengan halusinasi pendengaran. Kemampuan untuk menerapkan teknik komunikasi terapeutik dan berkolaborasi dengan keluarga pasien sangat penting. Pentingnya pendekatan holistik dalam asuhan keperawatan jiwa untuk mencapai hasil yang optimal dalam perawatan pasien dengan halusinasi pendengaran ditekankan. Perawat harus terus mengembangkan kompetensi dan pengetahuan di bidang ini untuk memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas.
V.Informasi Tambahan
Karya ilmiah ini dilakukan di RSJD Provinsi Sumatera Utara Medan. Pembimbing: Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep dan Ibu Wardiah Daulay, S.Kep, M.Kep. Dekan Fakultas Keperawatan: Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes.
1. Lokasi Studi dan Tim Pembimbing
Studi kasus ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara (RSJD Provsu) Medan. Informasi ini penting karena memberikan konteks geografis dan institusional penelitian. Penelitian ini dibimbing oleh Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep, dan Ibu Wardiah Daulay, S.Kep, M.Kep, yang berperan sebagai dosen pembimbing dan penguji. Dekan Fakultas Keperawatan, Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes, juga disebutkan sebagai pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian karya tulis ilmiah ini. Informasi ini memberikan kredibilitas dan transparansi mengenai proses penelitian.
2. Pihak Pihak yang Terlibat
Selain dosen pembimbing dan penguji, beberapa pihak lain juga disebutkan memberikan bantuan dalam penyelesaian karya tulis ini. Mereka termasuk Direktur RSJD Provinsi Sumatera Utara Medan, Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan (Ibu Erniyati, S.Kp, MNS dan Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS), Ketua Prodi DIII Keperawatan (Ibu Nur Afi Darti, S.Kp, M.Kep), dan Sekretaris Program DIII Keperawatan (Bapak Mula Tarigan). Daftar ini menunjukkan adanya dukungan institusional dan kolaborasi yang luas dalam penyelesaian penelitian ini. Mencantumkan pihak-pihak yang terlibat ini menunjukkan adanya dukungan sistematis dalam pelaksanaan penelitian.