Asuhan Keperawatan pada Klien Tuberkulosis Paru dengan Fokus pada Kebutuhan Dasar Oksigenasi

Asuhan Keperawatan pada Klien Tuberkulosis Paru dengan Fokus pada Kebutuhan Dasar Oksigenasi

Informasi dokumen

Penulis

Sri Silva Meiyanthi Lubis

instructor Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS
Sekolah

Universitas Sumatera Utara

Jurusan Keperawatan
Jenis dokumen Karya Tulis Ilmiah (KTI)
Tempat Medan
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 2.77 MB
  • Asuhan Keperawatan
  • Kebutuhan Dasar Oksigenasi
  • Tuberkulosis Paru

Ringkasan

I.Latar Belakang dan Rumusan Masalah Tuberkulosis Paru TB Paru

Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini membahas asuhan keperawatan pada kasus TB Paru di Kelurahan Harjosari, Medan Amplas. Data dari Puskesmas menunjukkan TB Paru sebagai masalah kesehatan signifikan di wilayah tersebut. KTI ini difokuskan pada masalah kebutuhan dasar oksigenasi pada pasien TB Paru, mengingat pentingnya oksigen untuk metabolisme sel dan dampak TB Paru terhadap fungsi pernapasan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis dan memberikan solusi dalam penatalaksanaan keperawatan TB Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course Chemotherapy), serta edukasi kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

1. Latar Belakang Tuberkulosis Paru TB Paru

Bagian latar belakang menjelaskan pentingnya oksigen bagi kelangsungan hidup manusia, mengacu pada teori Maslow tentang kebutuhan dasar. Disebutkan bahwa manusia hanya mampu bertahan hidup tanpa oksigen selama 4-5 menit. Selanjutnya dibahas prevalensi penyakit TB, khususnya TB Paru, yang menyerang kelompok usia produktif dari kalangan sosioekonomi rendah. Data dari periode 1995-1998 menunjukkan cakupan pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course Chemotherapy) hanya mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%, jauh lebih rendah dibandingkan sebelum era DOTS (56% cakupan dengan 40-60% angka kesembuhan). Permasalahan resistensi kuman TB terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) akibat pengobatan yang tidak teratur juga diangkat. Data WHO menyebutkan tingginya angka kematian akibat TB di Indonesia (175.000 kematian dan 450.000 kasus TB Paru per tahun), dan di Kelurahan Harjosari, Medan Amplas, TB Paru menempati urutan ke-7 dari 10 penyakit terbanyak berdasarkan survei Puskesmas. Kondisi ini menjadi dasar penelitian mengenai asuhan keperawatan dengan prioritas masalah kebutuhan dasar oksigenasi pada klien TB Paru di komunitas tersebut.

2. Rumusan Masalah dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah penelitian difokuskan pada bagaimana asuhan keperawatan dapat mengatasi masalah kebutuhan dasar oksigenasi pada klien TB Paru di Kelurahan Harjosari, Medan Amplas. KTI ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan yang komprehensif dalam menangani kasus TB Paru, khususnya dalam konteks kebutuhan oksigenasi. Manfaat penulisan KTI ini antara lain untuk memperkaya konsep dan teori asuhan keperawatan terkait kebutuhan dasar oksigenasi pada klien TB Paru di komunitas, memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan keperawatan, dan diharapkan dapat menjadi referensi bagi mahasiswa keperawatan dalam menangani kasus serupa. Secara implisit, rumusan masalah juga mencakup evaluasi efektivitas intervensi keperawatan terhadap kebutuhan oksigenasi pasien dan bagaimana strategi DOTS diterapkan dalam konteks asuhan keperawatan komunitas. Penulisan ini juga bertujuan untuk memberikan edukasi dan pemahaman yang lebih baik mengenai penanganan TB Paru.

II.Pengelolaan Kasus TB Paru dan Peran Puskesmas

Puskesmas berperan vital dalam pengelolaan TB Paru di Indonesia, khususnya dalam implementasi strategi DOTS. KTI ini meninjau peran Puskesmas dalam mendeteksi, merawat, dan memantau pasien TB Paru, termasuk pengawasan minum obat (PMO) dan pencatatan pelaporan kasus. Keterlibatan PMO, yang dapat berupa petugas kesehatan, keluarga, atau tokoh masyarakat, sangat penting untuk keberhasilan pengobatan TB Paru. Strategi DOTS yang meliputi penemuan kasus, pengobatan standar, pengawasan pengobatan, dan pencatatan pelaporan, dijelaskan sebagai strategi efektif dan ekonomis dalam penanggulangan TB Paru di Indonesia. Keberhasilan program Indonesia Sehat 2010 juga dipengaruhi oleh efektifitas program TB Paru di tingkat komunitas.

1. Pelayanan Kesehatan Masyarakat dan Peran Puskesmas

Dokumen ini menjelaskan peran Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan terdepan di masyarakat, dengan misi memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu. Mengutip Muninjaya (1999), Puskesmas berperan sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan yang membina dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam wilayah kerjanya. Puskesmas menjadi titik utama akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, termasuk dalam penanganan kasus-kasus penyakit menular seperti Tuberkulosis (TB) Paru. Oleh karena itu, keberhasilan program kesehatan di tingkat masyarakat, seperti program Indonesia Sehat 2010, sangat bergantung pada kinerja dan jangkauan Puskesmas dalam memberikan layanan kesehatan yang komprehensif dan merata kepada seluruh penduduk di wilayah kerjanya. Puskesmas juga berperan penting dalam hal pencegahan penyakit dan promosi kesehatan, memastikan akses masyarakat terhadap informasi dan layanan kesehatan yang tepat dan terjangkau. Efisiensi dan efektivitas pelayanan Puskesmas sangat penting dalam memastikan keberhasilan penanggulangan penyakit di tingkat komunitas.

2. Tujuan dan Fungsi Pokok Puskesmas dalam Penanggulangan TB Paru

Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 128/MENKES/SK/II/2004, tujuan Puskesmas adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat, guna mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010. Dalam konteks penanggulangan TB Paru, Puskesmas memiliki peran penting dalam mencapai tujuan tersebut. Fungsi pokok Puskesmas, sebagaimana tercantum dalam Kepmenkes tersebut, meliputi tiga aspek utama: sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama. Sebagai pusat penggerak, Puskesmas menggerakkan dan memantau pembangunan lintas sektor yang mendukung kesehatan. Sebagai pusat pemberdayaan, Puskesmas mendorong kemandirian masyarakat dalam menjaga kesehatan. Terakhir, sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama, Puskesmas memberikan pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat, mencakup pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan kesehatan. Semua fungsi ini krusial dalam penanggulangan TB Paru, mulai dari pencegahan, deteksi dini, pengobatan, hingga pemantauan pasca-pengobatan. Oleh karena itu, Puskesmas memegang peran sentral dalam keberhasilan program DOTS untuk pemberantasan TB Paru di Indonesia.

3. Strategi DOTS dan Peran Pengawas Minum Obat PMO

Dokumen ini menjelaskan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course Chemotherapy) sebagai strategi penanggulangan TB yang efektif dan ekonomis, direkomendasikan oleh WHO sejak 1995. Bank Dunia juga menyatakan DOTS sebagai intervensi kesehatan yang paling efektif. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen: penemuan kasus, pengobatan standar, pengawasan pengobatan, pencatatan dan pelaporan, serta dukungan logistik. Salah satu komponen penting dalam strategi DOTS adalah pengawasan minum obat (PMO). PMO berperan memastikan pasien mengonsumsi obat secara teratur, meningkatkan kepatuhan pengobatan, dan meningkatkan peluang kesembuhan. PMO dapat berasal dari tenaga kesehatan, keluarga, atau tokoh masyarakat yang dipercaya pasien dan petugas kesehatan. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baik merupakan bagian dari sistem surveilans penyakit TB, yang memungkinkan pemantauan kemajuan pengobatan, pemeriksaan tindak lanjut, dan penetapan status kesembuhan atau penyelesaian pengobatan. Sistem ini penting untuk mengevaluasi efektivitas program dan memastikan keberhasilan strategi DOTS dalam menekan angka kejadian TB di masyarakat.

III.Konsep Dasar Asuhan Keperawatan pada Pasien TB Paru

Bagian ini menjelaskan konsep dasar oksigenasi, peran sistem pernapasan dan kardiovaskuler, serta sistem hematologi dalam memenuhi kebutuhan oksigen tubuh. TB Paru, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, menyerang sistem pernapasan, menyebabkan gejala seperti batuk, dahak, sesak napas, dan nyeri dada. Pemeriksaan seperti kultur sputum dan foto toraks penting untuk diagnosis. Pengobatan TB Paru melibatkan terapi obat antituberkulosis (OAT) jangka pendek (6 bulan) atau jangka panjang (1,5-2 tahun) sesuai dengan strategi DOTS. Keterlambatan pengobatan dapat menyebabkan resistensi obat.

1. Konsep Dasar Oksigenasi

Bagian ini menjelaskan pentingnya oksigen untuk metabolisme sel dan jaringan tubuh. Oksigen diperoleh dari atmosfer melalui proses pernapasan. Pemenuhan kebutuhan oksigen bergantung pada sistem pernapasan, kardiovaskuler, dan hematologi yang adekuat. Proses oksigenasi dimulai dari pengambilan oksigen di atmosfer, melalui hidung atau mulut, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, hingga alveoli untuk pertukaran gas. Inspirasi melibatkan kontraksi otot diafragma dan interkostal eksterna, sementara ekspirasi merupakan proses pasif pada pernapasan normal. Sistem kardiovaskuler berperan dalam transportasi oksigen melalui aliran darah, yang bergantung pada fungsi jantung normal. Hemoglobin dalam sel darah merah mengikat oksigen, dan saturasi hemoglobin menunjukkan persentase hemoglobin yang mengandung oksigen. Tekanan parsial oksigen, pH darah, suhu, dan aktivitas metabolisme memengaruhi ikatan hemoglobin dengan oksigen. Pemahaman konsep oksigenasi sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan pernapasan, seperti yang terjadi pada pasien TB Paru.

2. Tuberkulosis Paru TB Paru Patofisiologi Gejala dan Pengobatan

Tuberkulosis paru (TB Paru) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang masuk melalui saluran pernapasan, pencernaan, atau luka terbuka. Sebagian besar infeksi TB terjadi melalui udara, melalui inhalasi droplet dari penderita yang terinfeksi (Price, Sylvia A, 1995). Gejala respiratorik TB Paru meliputi batuk lebih dari 3 minggu dengan sputum, sesak napas, nyeri dada, dan kadang batuk darah. Diagnosis TB Paru dilakukan melalui kultur sputum, pemeriksaan Ziehl-Neelsen, tes kulit Mantoux, foto toraks, dan pemeriksaan fungsi paru. Pengobatan TB Paru awalnya melibatkan pengobatan jangka panjang (1,5-2 tahun) dengan suntikan streptomisin, INH, dan etambutol. Saat ini, pengobatan jangka pendek (6 bulan) dengan OAT (obat anti tuberkulosis) seperti rifampisin, pirazinamid, dan INH lebih umum digunakan. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course Chemotherapy) telah terbukti efektif dan ekonomis dalam penanggulangan TB, dengan studi cost-benefit WHO menunjukkan penghematan signifikan.

IV.Pengkajian dan Perencanaan Asuhan Keperawatan

KTI ini memaparkan proses pengkajian pasien TB Paru, meliputi data subjektif (keluhan pasien) dan data objektif (pemeriksaan fisik, tanda vital). Contoh kasus Tn. R (44 tahun, tukang becak) dengan gejala khas TB Paru dijelaskan untuk menggambarkan proses pengkajian. Berdasarkan pengkajian, dirumuskan diagnosa keperawatan prioritas, antara lain gangguan bersihan jalan napas, gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, dan risiko penularan. Perencanaan asuhan keperawatan kemudian disusun untuk mengatasi masalah tersebut, meliputi intervensi dan evaluasi.

1. Pengkajian Pasien TB Paru

Proses pengkajian dilakukan secara lengkap dan sistematis untuk mengidentifikasi masalah kesehatan pasien, baik fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual (Bambang, 2009). Pengumpulan data meliputi data inti (biodata pasien: nama, tanggal lahir, jenis kelamin, status pernikahan, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, alamat), data subjektif (keluhan pasien), dan data objektif. Data subjektif diperoleh melalui wawancara, misalnya keluhan batuk, dahak, sesak napas, nyeri dada, demam, keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat badan. Data objektif didapatkan dari pengamatan dan pemeriksaan fisik seperti pemeriksaan tanda-tanda vital, pemeriksaan hidung, mulut, integumen, toraks, dan paru. Riwayat terapi yang telah dijalani pasien juga dikumpulkan. Contoh kasus Tn. R (44 tahun, tukang becak) yang mengalami batuk lebih dari 30 hari dengan sputum, sesak napas, nyeri dada, dan batuk darah, serta demam, keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat badan, dijelaskan untuk menggambarkan proses pengkajian. Informasi mengenai kondisi tempat tinggal dan riwayat kesehatan keluarga juga dikumpulkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kondisi pasien.

2. Perencanaan Asuhan Keperawatan

Setelah pengkajian, masalah kesehatan dan keperawatan dirumuskan. Perawat menentukan prioritas masalah (Bambang, 2009). Berdasarkan analisis data, dirumuskan diagnosa keperawatan prioritas. Dalam contoh kasus Tn. R, diagnosa keperawatan prioritas meliputi gangguan bersihan jalan napas tidak efektif (karena penumpukan sputum, sesak napas, dan suara wheezing), gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (karena penurunan nafsu makan, kelemahan, dan bibir kering). Rencana keperawatan kemudian disusun untuk mengatasi masalah tersebut, meliputi intervensi yang tepat dan sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah ditetapkan. Tujuan rencana keperawatan adalah terpenuhinya kebutuhan klien. Rencana tersebut juga mencakup tindakan untuk mencegah penularan (misalnya, anjuran penggunaan alat pelindung diri) serta memberikan penyuluhan kesehatan tentang TBC, mencakup definisi, penyebab, tanda dan gejala, dan cara penularan. Perencanaan ini harus mencakup elemen-elemen yang terstruktur dan sistematis agar intervensi dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

V.Kesimpulan dan Saran

KTI ini menyimpulkan bahwa asuhan keperawatan komprehensif yang terintegrasi dengan strategi DOTS efektif dalam meningkatkan oksigenasi dan mengatasi masalah pada pasien TB Paru. Pentingnya pendidikan kesehatan untuk pasien dan keluarga ditekankan agar pasien dapat mandiri dalam perawatan setelah masa pengobatan. Saran yang diberikan meliputi perlunya intervensi tepat dan edukasi kesehatan yang efektif untuk memastikan keberhasilan pengobatan dan pencegahan penularan TB Paru di komunitas. Studi ini merekomendasikan peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan primer untuk penanggulangan TB Paru di Indonesia.

1. Kesimpulan Asuhan Keperawatan TB Paru

Kesimpulan dari KTI ini menyatakan bahwa asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, analisis data, rumusan masalah, perencanaan, dan implementasi pada klien dengan prioritas masalah kebutuhan dasar oksigenasi akibat TB Paru di komunitas telah dilakukan sesuai prosedur. Setelah dilakukan asuhan keperawatan dan pendidikan kesehatan, kebutuhan oksigenasi klien mengalami perbaikan. Perbaikan ditandai dengan berkurangnya sesak napas, bunyi napas yang kembali normal, dan bersihan jalan napas yang mendekati efektif. Perbaikan fungsi pernapasan ini sangat penting karena organ pernapasan vital untuk kelangsungan hidup, menunjang metabolisme sel agar aktivitas tubuh dapat dilakukan secara adekuat. Studi kasus ini menunjukkan bahwa pendekatan asuhan keperawatan yang komprehensif dapat memberikan dampak positif pada kondisi pasien TB Paru, khususnya dalam memenuhi kebutuhan oksigenasi mereka. Keberhasilan intervensi keperawatan ini juga menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam memberikan asuhan pasien dengan penyakit kronis seperti TB Paru.

2. Saran untuk Perbaikan Asuhan Keperawatan TB Paru

KTI ini memberikan saran agar perawat melaksanakan intervensi asuhan keperawatan dengan tepat dan sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Hal ini penting untuk memastikan efektivitas dan keamanan perawatan. Selain itu, ditekankan pentingnya edukasi kesehatan agar pasien memahami dan mampu menerapkan perawatan yang telah diberikan, bahkan setelah tidak ada lagi pendampingan dari perawat. Pengetahuan dan kemampuan pasien untuk melakukan perawatan mandiri sangat penting dalam keberhasilan jangka panjang pengobatan TB Paru. Saran ini menekankan perlunya peningkatan kualitas dan konsistensi dalam pemberian asuhan keperawatan TB Paru agar dapat mencapai hasil optimal dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Keterlibatan aktif pasien dan keluarga dalam proses perawatan juga perlu diperhatikan, serta pentingnya pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk mengukur efektivitas intervensi keperawatan yang telah dilakukan.