Analisis Nyeri Orofasial Akibat Traumatik Neuroma

Analisis Nyeri Orofasial Akibat Traumatik Neuroma

Informasi dokumen

Penulis

Maryati Hasyim Aryo

Sekolah

Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran Gigi

Jurusan Kedokteran Gigi
Tempat Medan
Jenis dokumen Skripsi
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 3.02 MB
  • Nyeri Orofasial
  • Traumatik Neuroma
  • Kedokteran Gigi

Ringkasan

I.Definisi dan Klasifikasi Nyeri Orofasial

Dokumen ini membahas nyeri orofasial, didefinisikan sebagai rasa sakit dan disfungsi yang memengaruhi transmisi sensorik dan motorik dalam sistem saraf trigeminal, terutama di area oral-fasial. Nyeri orofasial diklasifikasikan berdasarkan kondisi fisik (nyeri somatik dan nyeri neuropatik) dan psikologis menurut Okeson (1995). Nyeri neuropatik, sering dikaitkan dengan kerusakan saraf perifer, seperti neuroma traumatik, menjadi fokus utama. Sebuah penelitian oleh Lipton menunjukan 22% penduduk AS mengalami nyeri orofasial lebih dari sekali dalam enam bulan.

1. Definisi Nyeri Orofasial

Nyeri orofasial didefinisikan sebagai suatu kondisi yang meliputi rasa sakit dan disfungsi. Kondisi ini mempengaruhi transmisi sensorik dan motorik di sistem saraf trigeminal, yang manifestasinya terlihat di area oral-fasial. Namun, perlu ditekankan bahwa definisi ini tidak membatasi nyeri orofasial hanya pada area oral-fasial, atau hanya nyeri dengan trigger point di area tersebut. Definisi ini mencakup spektrum yang lebih luas dari gangguan nyeri yang melibatkan struktur dan fungsi saraf di wajah dan rongga mulut. Penting untuk memahami bahwa nyeri orofasial merupakan keluhan umum yang memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia dan sering terjadi pada masyarakat umum. Sebuah penelitian oleh Lipton yang melibatkan 45.711 rumah tangga di AS mengungkapkan bahwa 22% penduduk mengalami nyeri orofasial lebih dari satu kali dalam periode enam bulan. Ini menunjukkan prevalensi yang signifikan dari kondisi ini dan pentingnya pemahaman yang komprehensif tentang etiologi dan patofisiologinya.

2. Klasifikasi Nyeri Orofasial menurut Okeson 1995

Menurut klasifikasi Okeson (1995), nyeri orofasial, yang termasuk dalam sistem stomatognatik, dikategorikan dalam dua sumbu. Sumbu I mendeskripsikan kondisi fisik yang mendasari nyeri, sementara sumbu II menggambarkan aspek psikologis yang dapat berkontribusi atau memodifikasi pengalaman nyeri. Pada sumbu I, kondisi fisik dibagi menjadi nyeri somatik dan nyeri neuropatik. Nyeri somatik muncul dari kerusakan atau stimulasi jaringan somatik, sementara nyeri neuropatik disebabkan oleh kerusakan atau perubahan pada jalur nyeri itu sendiri, seringkali terkait dengan cedera saraf perifer. Cedera saraf perifer ini bisa diakibatkan oleh pembedahan atau trauma, dengan neuroma sebagai salah satu contohnya. Klasifikasi ini memberikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami kompleksitas nyeri orofasial, karena mengakui kontribusi faktor-faktor fisik dan psikologis dalam pengalaman nyeri pasien. Pemahaman yang komprehensif mengenai kedua sumbu ini penting untuk diagnosis dan perencanaan pengobatan yang efektif.

3. Jenis jenis Nyeri Orofasial Berdasarkan Kondisi Fisik

Dalam konteks kondisi fisik (sumbu I klasifikasi Okeson), nyeri orofasial dibagi menjadi dua kategori utama: nyeri somatik dan nyeri neuropatik. Nyeri somatik, yang dapat berupa nyeri superfisial (tajam, tiba-tiba, atau lambat dengan sensasi terbakar) atau nyeri dalam (muskuloskeletal atau viseral), berasal dari kerusakan atau stimulasi pada jaringan tubuh. Trauma, gesekan, atau suhu ekstrem dapat memicu nyeri somatik superfisial. Sedangkan nyeri neuropatik, yang merupakan fokus utama dari banyak bagian dokumen ini, berasal dari kerusakan atau disfungsi pada sistem saraf itu sendiri. Ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti trauma, kompresi saraf, keracunan, atau gangguan metabolik. Nyeri neuropatik seringkali ditandai dengan sensasi abnormal seperti parestesia (rasa kesemutan atau terbakar) dan seringkali diperburuk oleh gerakan atau sentuhan. Neuroma traumatik, yang disebabkan oleh cedera saraf perifer pasca trauma atau pembedahan, merupakan contoh klasik dari nyeri neuropatik. Penting untuk membedakan antara nyeri somatik dan neuropatik, karena pendekatan pengobatan untuk kedua jenis nyeri ini dapat berbeda secara signifikan.

II.Mekanisme Nyeri Orofasial

Mekanisme nyeri melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi diawali oleh stimulasi nosiseptor oleh berbagai stimulus (mekanis, termal, kimia). Transmisi impuls nyeri melalui serabut saraf A-delta (nyeri cepat, tajam) dan serabut saraf C (nyeri lambat, tumpul). Modulasi nyeri terjadi di sistem saraf pusat, termasuk teori gerbang kontrol (gate control theory) yang menjelaskan bagaimana serabut saraf A-beta dapat menghambat transmisi nyeri. Persepsi nyeri terjadi di korteks serebral.

1. Proses Terjadinya Nyeri Transduksi Transmisi Modulasi dan Persepsi

Mekanisme nyeri orofasial melibatkan empat proses utama: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi merupakan tahap awal di mana nosiseptor di perifer tubuh dirangsang oleh berbagai stimulus, seperti faktor biologis, mekanis, listrik, termal, dan radiasi. Stimulus ini mengaktifkan nosiseptor yang kemudian melepaskan berbagai substansi kimia seperti asetilkolin, histamin, serotonin, prostaglandin, dan bradikinin. Tahap transmisi melibatkan penghantaran impuls nyeri melalui serabut saraf aferen menuju sistem saraf pusat. Terdapat dua jenis serabut saraf utama yang terlibat dalam transmisi nyeri: serabut A-delta (bermielin, menghantarkan nyeri cepat dan tajam) dan serabut C (tidak bermielin, menghantarkan nyeri lambat dan tumpul). Modulasi nyeri merupakan proses pengaturan aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur transmisi nosiseptor. Proses ini melibatkan sistem neural kompleks, termasuk sistem desenden dari otak yang dapat memodulasi impuls nyeri di sumsum tulang belakang. Persepsi nyeri, tahap terakhir, terjadi di korteks serebral, di mana impuls nyeri diinterpretasikan sebagai pengalaman nyeri yang disadari.

2. Teori Gerbang Kontrol Gate Control Theory

Teori gerbang kontrol, yang dikemukakan oleh Melzack dan Wall (1965), menjelaskan mekanisme nyeri pada medula spinalis. Teori ini berpendapat bahwa transmisi impuls nyeri dapat dihambat atau difasilitasi oleh interaksi antara serabut nyeri berdiameter kecil (A-delta dan C) dan serabut taktil A-beta. Apabila impuls yang dibawa serabut nyeri berdiameter kecil lebih besar daripada impuls yang dibawa serabut taktil A-beta, maka 'gerbang' akan terbuka, memungkinkan impuls nyeri mencapai otak. Sebaliknya, jika impuls dari serabut taktil mendominasi, 'gerbang' akan menutup, menghambat transmisi impuls nyeri. Teori ini menjelaskan mengapa teknik seperti pijat dapat mengurangi intensitas dan durasi nyeri, karena stimulasi taktil dapat mengaktifkan serabut A-beta, yang pada gilirannya menghambat transmisi impuls nyeri melalui 'gerbang' di sumsum tulang belakang. Teori ini menekankan peran modulasi sentral dalam persepsi nyeri dan perlu dipertimbangkan dalam memahami dan mengelola nyeri orofasial.

3. Perjalanan Nyeri dan Struktur yang Terlibat

Untuk memahami proses terjadinya nyeri, pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi sistem persarafan sangat penting. Impuls saraf dari struktur orofasial, termasuk kulit, mukosa, pulpa dentin, periodonsium, periosteum, dan kapsul sendi temporomandibular, berjalan ke sistem saraf pusat melalui saraf trigeminus, fasialis, glossofaringeus, dan segmen servikalis. Faktor fisik (tekanan, regangan, perubahan pH) dan faktor kimia (histamin, serotonin, asam laktat) dapat merangsang reseptor nyeri. Reseptor nyeri, atau nosiseptor, adalah ujung saraf bebas yang tersebar luas di seluruh tubuh. Setelah impuls nyeri dihantarkan ke sumsum tulang belakang, impuls tersebut kemudian diteruskan ke berbagai area otak, termasuk medula oblongata, formasi retikuler, mesensefalon, thalamus, dan akhirnya korteks serebri, di mana impuls nyeri diinterpretasikan dan diproses. Pemahaman mengenai perjalanan nyeri ini penting dalam mengembangkan strategi pengobatan yang tepat sasaran.

III.Pengobatan Nyeri Orofasial

Berbagai metode pengobatan nyeri orofasial dibahas, termasuk analgesik (opiat dan adjuvan), stimulasi kutaneus (kompres dingin), akupuntur, akupresur, psikoterapi, dan teknik distraksi. Cordotomy, sebuah prosedur bedah, dijelaskan sebagai pilihan untuk nyeri yang parah.

1. Analgesik Opiat dan Adjuvan

Pengobatan nyeri orofasial dapat melibatkan penggunaan analgesik. Analgesik opiat dibagi menjadi tiga kelompok: agonist, partial agonist, dan agonist-antagonist. Opiat bekerja dengan mengikat reseptor opiat pada neuron eferen, menghentikan impuls nyeri di sumsum tulang belakang sebelum mencapai korteks. Analgesik adjuvan, yang dikembangkan bukan untuk efek analgesik primer, juga dapat digunakan. Obat-obatan seperti sedatif ringan (misalnya, diazepam) dapat membantu mengurangi spasme otot dan kecemasan, meningkatkan kualitas tidur pasien. Antidepresan, seperti amitriptilin hidroklorida, dapat mengurangi gangguan nyeri dan mengatasi depresi yang mungkin menyertai nyeri kronis. Pemilihan jenis analgesik dan kombinasi yang tepat harus mempertimbangkan jenis nyeri, keparahannya, dan kondisi pasien secara keseluruhan. Penggunaan analgesik harus dipantau dengan hati-hati untuk efek samping dan potensi adiksi.

2. Terapi Non Farmakologis Stimulasi Kutaneus Akupuntur Akupresur Distraksi dan Psikoterapi

Selain analgesik, berbagai terapi non-farmakologis dapat digunakan untuk mengelola nyeri orofasial. Stimulasi kutaneus, sesuai dengan teori gerbang kontrol, merangsang serabut saraf perifer (A-beta) untuk menutup 'gerbang' nyeri dan menghambat transmisi impuls nyeri ke otak. Teknik ini dapat melibatkan kompres dingin, balsem analgetik, atau stimulasi kontralateral. Akupuntur dan akupresur, berdasarkan prinsip pengobatan tradisional Cina, menstimulasi titik-titik spesifik pada tubuh untuk melepaskan endorfin dan mengurangi nyeri. Distraksi, yaitu pengalihan perhatian pasien dari nyeri, dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri dan meningkatkan toleransi. Namun, efeknya bersifat sementara, dan nyeri dapat kembali setelah distraksi berakhir. Psikoterapi, terutama untuk pasien dengan gangguan kontrol nyeri, depresi, atau riwayat masalah psikiatri, dapat membantu memodifikasi persepsi dan respon terhadap nyeri. Metode ini dapat melibatkan pendekatan kognitif-behavioral atau teknik relaksasi seperti hipnosis.

3. Prosedur Bedah Cordotomy

Dalam kasus nyeri orofasial yang sangat parah dan tidak responsif terhadap terapi lain, cordotomy dapat menjadi pilihan pengobatan. Cordotomy melibatkan insisi traktus anterolateral dari sumsum tulang belakang untuk menginterupsi transmisi nyeri. Prosedur ini seringkali digunakan untuk mengatasi nyeri pada bagian abdomen atau kaki, termasuk nyeri yang disebabkan oleh kanker stadium terminal. Namun, karena kesulitan dalam mengisolasi saraf yang merespon nyeri pada bagian tubuh atas, cordotomy jarang digunakan untuk nyeri orofasial. Keputusan untuk melakukan cordotomy harus dipertimbangkan dengan cermat, mengingat sifat invasifnya dan potensi risiko komplikasi. Penggunaan cordotomy untuk nyeri orofasial terbatas dan biasanya hanya dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir setelah terapi non-invasif telah dicoba tanpa hasil yang memuaskan.

IV.Etiologi dan Patofisiologi Neuroma Traumatik pada Nyeri Sendi Temporomandibular TMJ

Neuroma traumatik disebabkan oleh trauma saraf perifer, seringkali akibat prosedur bedah atau kecelakaan. Pada nyeri sendi temporomandibular (TMJ), trauma (makro dan mikrotrauma, seperti bruxism dan clenching) dan faktor psikologis berperan dalam patofisiologi. Pergeseran diskus artikularis dan inflamasi neurogenik juga dibahas sebagai mekanisme kunci. Gejala klinis neuroma traumatik meliputi rasa sakit menusuk, terbakar, atau parestesia. Evaluasi pasca operasi untuk pasien dengan nyeri TMJ yang mengalami neuroma traumatik memerlukan pendekatan multidisiplin.

1. Etiologi Neuroma Traumatik

Neuroma traumatik, seperti namanya, disebabkan oleh trauma pada saraf perifer. Trauma ini dapat berupa cedera saraf yang signifikan (transeksi) atau cedera yang lebih ringan. Cedera saraf mengakibatkan peradangan dan pembentukan jaringan parut di area yang cedera, yang dapat mengganggu pertumbuhan akson reparatif. Dalam rongga mulut, trauma dapat terjadi karena berbagai prosedur bedah seperti ekstraksi gigi, suntikan anestesi lokal, atau kecelakaan. Transeksi saraf sensorik menyebabkan peradangan dan jaringan parut yang menghambat regenerasi saraf. Jika saraf terpotong, neuroma amputasi dapat berkembang di ujung saraf. Jika saraf terluka di sepanjang sisinya, neuroma lateral dapat terbentuk. Neuroma traumatik seringkali dijumpai setelah cedera saraf perifer pada saraf kranial, somatik, dan otonom. Pada nyeri wajah, neuroma traumatik ditandai dengan riwayat operasi dan nyeri dengan karakteristik menusuk, terbakar, atau parestesia. Gangguan sensorik berkorelasi dengan ukuran batang saraf dan dapat berupa parestesia atau anestesia.

2. Patofisiologi Nyeri Sendi Temporomandibular TMJ dan Neuroma Traumatik

Nyeri pada sendi temporomandibular (TMJ) merupakan gejala klinis yang subjektif, bervariasi antar individu. Nyeri orofasial mencakup masalah di sekitar jaringan mulut dan wajah, termasuk otot-otot mastikasi dan sendi TMJ. Nyeri sendi TMJ sering dikaitkan dengan trauma dan disfungsi, diikuti oleh inflamasi. Trauma pada TMJ dapat berupa makrotrauma (misalnya, pukulan pada wajah) atau mikrotrauma berulang (misalnya, bruxism dan clenching). Mikrotrauma dapat menyebabkan perubahan struktural secara bertahap pada diskus artikularis dan prosesus kondilaris. Patofisiologi nyeri TMJ melibatkan interaksi antara prosesus kondilaris dan diskus artikularis, yang stabilitasnya bergantung pada perlekatan diskus dan gerakan resiprokal lapisan superior zona bilaminar. Kerusakan atau degenerasi pada zona bilaminar akibat trauma dapat mengganggu stabilitas sendi, menyebabkan pergeseran diskus dan menimbulkan klik sendi. Kondisi ini dapat berlanjut menjadi closed lock, baik akut maupun kronis, yang ditandai dengan pergeseran diskus anterior yang menetap dan nyeri hebat. Pelepasan neuropeptida, seperti prostaglandin (PGE2), berkontribusi pada inflamasi dan perubahan degeneratif pada sendi.

3. Hubungan Neuroma Traumatik dengan Nyeri Pasca Operasi TMJ

Pasien yang menjalani operasi TMJ dapat mengalami nyeri pasca operasi yang parah, yang mungkin disebabkan oleh neuroma traumatik. Rasa sakit tekan dan tajam di daerah preaurikular mengindikasikan lesi neurogenik. Nyeri juga dapat berasal dari jaringan lunak atau organ di dekatnya, seperti myositis otot masseter, infeksi kelenjar getah bening, parotitis, infeksi pasca operasi, hematoma, abses jahitan, atau tumor. Tekanan pada area yang dicurigai memprovokasi rasa sakit yang dihasilkan oleh serabut myelin kecil yang mengirimkan informasi nosiseptif. Evaluasi menyeluruh pasca operasi oleh tim TMJ multidisiplin sangat penting untuk diagnosis dan pengobatan yang tepat. Tim ini harus mencakup spesialis TMJ non-bedah, ahli farmakologi, psikolog, dan terapis fisik. Pendekatan multidisiplin memastikan manajemen nyeri yang komprehensif, dengan mempertimbangkan faktor fisik dan psikologis.

V.Kesimpulan

Dokumen ini menyimpulkan bahwa nyeri orofasial, termasuk nyeri TMJ, merupakan kondisi kompleks dengan berbagai etiologi, termasuk neuroma traumatik. Pengobatan memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan aspek fisik dan psikologis nyeri. Trauma, disfungsi sendi, dan faktor psikologis seringkali saling terkait dalam perkembangan nyeri orofasial.

1. Ringkasan Nyeri Orofasial

Dokumen ini menjelaskan nyeri orofasial sebagai suatu kondisi yang kompleks melibatkan rasa sakit dan disfungsi yang mempengaruhi transmisi sensorik dan motorik di sistem saraf trigeminal, terutama di area oral-fasial. Meskipun demikian, definisi tersebut mencakup juga nyeri dengan titik pemicu (trigger point) di area oral-fasial dan bukan hanya nyeri yang terfokus di area tersebut. Nyeri orofasial merupakan masalah kesehatan yang umum dan kompleks yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Prevalensi yang tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh studi Lipton yang menemukan 22% penduduk AS mengalami nyeri orofasial lebih dari sekali dalam enam bulan, menekankan pentingnya memahami dan mengelola kondisi ini secara efektif. Kesimpulannya, pendekatan komprehensif yang mempertimbangkan faktor fisik dan psikologis sangat penting dalam diagnosis dan pengobatan nyeri orofasial.

2. Neuroma Traumatik dan Nyeri Sendi Temporomandibular TMJ

Neuroma traumatik, yang sering terjadi setelah cedera saraf perifer, merupakan salah satu penyebab nyeri orofasial yang dibahas dalam dokumen ini. Pada pasien dengan riwayat operasi TMJ, nyeri tekan yang tajam di area preaurikular menunjukkan lesi neurogenik, dan neuroma traumatik merupakan salah satu kemungkinan penyebabnya. Nyeri sendi temporomandibular (TMJ) seringkali dihubungkan dengan trauma dan disfungsi, yang diikuti oleh inflamasi. Oleh karena itu, diagnosis dan pengobatan nyeri orofasial, terutama yang terkait dengan TMJ dan neuroma traumatik, memerlukan evaluasi menyeluruh dan pendekatan multidisiplin yang melibatkan spesialis TMJ non-bedah, ahli farmakologi, psikolog, dan dukungan terapi fisik untuk hasil yang optimal. Kesimpulannya, evaluasi dan perawatan yang komprehensif sangat penting untuk pasien dengan masalah ini.