Tatanan Sosial dan Proses Demokratisasi di Myanmar

Tatanan Sosial dan Proses Demokratisasi di Myanmar

Informasi dokumen

Penulis

Tidak Tersebut Secara Jelas Dalam Teks

Sekolah

Universitas Veteran, Jakarta (mungkin, berdasarkan referensi skripsi)

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional (mungkin, berdasarkan referensi skripsi)
Tempat Jakarta (mungkin)
Jenis dokumen Skripsi atau Karya Tulis Ilmiah (mungkin)
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 267.29 KB
  • Demokrasi
  • Myanmar
  • Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Ringkasan

I.Latar Belakang Masalah Transisi Politik Myanmar dari Junta Militer Menuju Demokrasi

Skripsi ini membahas perkembangan demokrasi di Myanmar setelah pemerintahan junta militer. Myanmar, negara di Asia Tenggara, lama mengalami periode represif di bawah pemerintahan militer sejak kudeta 1962 oleh Jenderal Ne Win. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), perdagangan narkotika, kerja paksa, dan pelanggaran demokrasi, terutama terhadap etnis Rohingya, menjadi perhatian internasional. Tekanan internasional, termasuk embargo dan sanksi, diberlakukan setelah insiden berdarah 1988 dan pembatalan hasil pemilu 1990 yang dimenangkan oleh Aung San Suu Kyi, penerima Nobel Perdamaian 1991. Aung San Suu Kyi menjadi tokoh kunci oposisi yang memperjuangkan demokratisasi Myanmar. Pada 2003, pemerintah Myanmar menjanjikan “road map to democracy”, namun transisi menuju demokrasi berjalan lambat dan kompleks.

1. Pemerintahan Junta Militer dan Pelanggaran HAM

Bagian ini menjelaskan konteks pemerintahan junta militer di Myanmar sejak kudeta 1962 oleh Jenderal Ne Win, yang mengakhiri pemerintahan Perdana Menteri U Nu. Pemerintahan junta militer, yang awalnya bernama State Law and Order Restoration Council (SLORC) dan kemudian berganti nama menjadi State Peace and Development Council (SPDC) pada 17 November 1997, ditandai dengan sistem pemerintahan yang represif dan tertutup terhadap dunia internasional. Myanmar sering menjadi sorotan internasional karena berbagai pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, perdagangan narkotika, kerja paksa, pelanggaran demokrasi, dan pengusiran etnis Rohingya. Negara ini menerapkan kebijakan yang sangat restriktif, membatasi interaksi dengan dunia luar dan menekan berbagai bentuk oposisi.

2. Tekanan Internasional dan Embargo

Tragedi pembunuhan lebih dari 100 demonstran yang menuntut penggantian sistem pemerintahan menjadi sistem demokrasi dan pembubaran pemerintahan junta militer pada tahun 1988, menjadi titik balik yang memperkuat tekanan internasional terhadap Myanmar. Pembatalan sepihak hasil pemilu tahun 1990-an yang dimenangkan oleh Partai NLD (Partai Demokrasi) pimpinan Aung San Suu Kyi, pemenang Nobel Perdamaian 1991, semakin memperburuk situasi. Negara-negara pro-demokrasi, seperti AS dan beberapa negara Eropa dan Asia, memberikan tekanan berupa pemutusan hubungan bilateral, embargo, pelarangan investasi, dan resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang diajukan Amerika Serikat pada Januari 2007 untuk membawa pemerintah militer Myanmar ke Dewan Keamanan PBB. Tekanan ini bertujuan untuk menegakkan HAM dan demokrasi di Myanmar.

3. Pembubaran Junta Militer dan Pembentukan Pemerintahan Baru

Pada tahun 2011, pemerintahan junta militer pimpinan Jenderal Senior Than Shwe dibubarkan, dan SPDC, partai politik yang sejak 1988 menjadi penggerak kekuasaan junta militer, juga dibubarkan. Myanmar membentuk pemerintahan baru, Republik Kesatuan Myanmar (Republic of the Union of Myanmar), berdasarkan konstitusi yang disahkan pada tahun 2008. Konstitusi ini terdiri dari 15 bab dan 457 pasal, mengatur berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk pengaturan dasar negara, bentuk negara, kepala negara, legislatif, eksekutif, yudikatif, pertahanan warga negara, pemilihan umum, dan lambang negara. Meskipun terjadi perubahan, masalah pelanggaran HAM dan proses demokratisasi masih menjadi isu krusial.

4. Perkembangan Politik Terkini dan Peran Aung San Suu Kyi

Perkembangan politik selanjutnya meliputi pemilu sela April 2013 yang dimenangkan Aung San Suu Kyi, membawanya ke kursi parlemen. Myanmar juga menjabat sebagai ketua ASEAN pada tahun 2014, dengan Presiden Thein Sein memimpin dengan tema “Bergerak maju dalam persatuan di sebuah komunitas makmur dan damai”. Meskipun telah terjadi reformasi politik yang menyebabkan pencabutan sebagian besar sanksi internasional, keketuaan Myanmar di ASEAN tetap diwarnai dengan keprihatinan atas pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas. Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Myanmar pada masa itu membahas masalah etnis Rohingya dan mendorong rekonsiliasi antar etnis, serta upaya menarik investasi Indonesia di Myanmar. Peralihan sistem pemerintahan dari junta militer ke sistem demokrasi menjadi isu internasional yang signifikan.

5. Penelitian Terdahulu dan Tujuan Penelitian

Skripsi ini merujuk pada beberapa penelitian terdahulu, seperti penelitian Amalia Nurrahmah (2011) tentang peran ASEAN dalam proses demokratisasi di Myanmar, Awani Irewati (2007) tentang Myanmar dan matinya penegakan demokrasi, dan Muhammad Adian Firnas (2003) tentang prospek demokrasi di Myanmar. Penelitian-penelitian ini memiliki kesamaan dalam membahas proses demokratisasi di Myanmar, namun penelitian ini lebih menekankan pada perspektif politik menuju perkembangan demokrasi pasca pemerintahan junta militer. Penelitian ini bertujuan untuk memperluas kajian ilmu hubungan internasional yang fokus pada negara yang mengalami reformasi demokrasi dari sistem pemerintahan junta militer dan menjadi referensi bagi mahasiswa dan kalangan lain.

II.Landasan Teori Konsep Demokrasi Kudeta Militer dan Hubungan Sipil Militer

Penelitian ini menggunakan beberapa konsep kunci: Demokrasi, dikaji melalui perspektif Dahl (dimensi kontes dan partisipasi) dan Fukuyama (“End of History”). Kudeta militer dan pretorianisme dibahas sebagai faktor penghambat demokrasi. Konsep hubungan sipil-militer dan supremasi sipil penting untuk memahami transisi kekuasaan di Myanmar. Penelitian ini juga menelaah proses demokratisasi, termasuk tahapan liberalisasi dan transisi, serta konsolidasi demokrasi menurut Linz dan Stephen (masyarakat sipil, politik, hukum, negara, dan ekonomi).

1. Konsep Demokrasi

Bagian ini membahas konsep demokrasi dari berbagai perspektif. Penulis mengutip Robert Dahl yang mengemukakan dua dimensi demokrasi, yaitu kontes dan partisipasi, yang meliputi kebebasan sipil dan politik seperti kebebasan berbicara, menerbitkan, berkumpul, dan berorganisasi. Konsep demokrasi menurut Fukuyama dalam teorinya “End of History” dijelaskan sebagai pemerintahan berdasarkan rakyat dengan unsur liberalisme. Selain itu, dijelaskan pula beberapa indikator untuk menilai sistem pemerintahan yang demokratis, seperti kontrol terhadap negara, pembagian kekuasaan (mengutip John Locke dan trias politika), pemilihan umum yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu, peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, kebebasan pers, dan peran partai politik. Tahapan perkembangan demokrasi, meliputi liberalisasi (pengenduran kontrol, perlindungan hukum, toleransi oposisi) dan transisi (perubahan dari rezim otoriter ke demokratis), juga dijelaskan. Definisi demokratisasi menurut Sorensen dan Gill juga diuraikan, menekankan proses peralihan sistem politik dari non-demokratis ke arah demokratis.

2. Kudeta Militer dan Pretorianisme

Kudeta didefinisikan sebagai gerakan penyusupan untuk mengganti pemerintahan yang sedang berkuasa. Pretorianisme dijelaskan sebagai kondisi militer yang tidak terspesialisasi, cenderung melakukan intervensi politik dengan dominasi kelompok. Kedua konsep ini dihubungkan sebagai aspek negatif dalam konteks demokrasi. Hampir semua kudeta dilakukan oleh militer, yang dalam sistem demokrasi seharusnya tidak terlibat politik kecuali purnawirawan. Myanmar, dengan sejarah pemerintahan junta militer yang represif, menjadi contoh nyata dari campur tangan militer dalam politik, disertai pelanggaran HAM dan demokrasi.

3. Hubungan Sipil Militer

Untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis, penataan hubungan sipil-militer sangat penting. Kontrol terhadap militer sebagai aparatur negara harus sepenuhnya dipegang oleh pemerintahan sipil, mengacu pada konsep supremasi sipil atas militer (civilian supremacy upon the military). Samuel Huntington menjelaskan dua konsep kontrol sipil terhadap militer, yaitu kontrol sipil objektif (pengakuan otonomi militer profesional) dan kontrol sipil subjektif (pengingkaran independensi militer). Kontrol sipil objektif lebih kondusif menciptakan supremasi sipil dan hubungan sipil-militer yang sehat, berbeda dengan kontrol sipil subjektif yang dapat menciptakan hubungan yang tidak sehat.

III.Metodologi Penelitian Pendekatan Prediktif dan Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode prediktif dengan proyeksi model kecenderungan, berdasarkan studi pustaka (library research). Data dikumpulkan dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, dan artikel yang relevan untuk memprediksi prospek perkembangan demokrasi di Myanmar pasca pemerintahan junta militer. Fokus penelitian berada pada dinamika politik Myanmar, transisi menuju sistem pemerintahan demokrasi, dan peran Aung San Suu Kyi.

1. Tipe Penelitian Pendekatan Prediktif

Penelitian ini menggunakan pendekatan prediktif dengan tipe proyeksi model kecenderungan. Penulis menjelaskan bahwa metode deskriptif menjawab pertanyaan 'siapa', 'apa', 'dimana', 'kapan', atau 'berapa', sedangkan metode eksplanatif menjawab pertanyaan 'mengapa'. Penelitian prediktif, menurut Mohtar Mas’oed, menjawab pertanyaan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Pendekatan proyeksi model kecenderungan dalam penelitian ini melibatkan seleksi unsur-unsur pokok yang relevan, memperhatikan data yang ada, dan mengekstrapolasikan kecenderungan yang tampak pada data tersebut. Dengan demikian, peneliti akan mencari data sebelumnya yang relevan dan menjadikannya rujukan untuk memprediksi perkembangan demokrasi Myanmar di masa depan berdasarkan data yang diperoleh.

2. Teknik Pengumpulan Data Studi Pustaka

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (Library Research). Studi pustaka ini bertujuan untuk mendokumentasikan berbagai bahan penelitian yang bersifat empiris (penelitian praktis dari peneliti terdahulu) dan kajian teoritis dari para ahli yang relevan. Data dikumpulkan dari berbagai literatur, seperti buku, e-book, jurnal, majalah, dan surat kabar yang berkaitan dengan kajian yang diteliti. Data-data tersebut kemudian digunakan sebagai referensi untuk mendukung penelitian ini. Penelitian difokuskan pada politik dalam sistem pemerintahan junta militer, transisi sistem pemerintahan menuju demokrasi, kemunculan dan peran Aung San Suu Kyi, perkembangan demokrasi negara Myanmar, dan masa depan politik pemerintahan Myanmar.

IV.Kesimpulan dan Implikasi Peran ASEAN dan Tantangan Demokratisasi Myanmar

Penelitian ini meneliti bagaimana ASEAN melalui soft diplomacy dan keterlibatan konstruktif (constructive engagement) berkontribusi dalam proses demokratisasi Myanmar. Meskipun telah terjadi pergantian pemerintahan dari junta militer ke pemerintahan sipil dan Aung San Suu Kyi memperoleh posisi di parlemen, tantangan dalam konsolidasi demokrasi masih signifikan. Faktor-faktor seperti pergolakan etnis (terutama isu Rohingya), ekonomi yang lemah, dan pengaruh militer terus mempengaruhi perjalanan politik Myanmar menuju demokrasi yang penuh.

1. Peran ASEAN dalam Demokratisasi Myanmar

Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN memainkan peran penting dalam proses demokratisasi Myanmar melalui pendekatan soft diplomacy. ASEAN menyelesaikan masalah secara persuasif dengan mempromosikan demokrasi tanpa menggunakan kekuatan militer atau embargo untuk mengisolasi Myanmar. Hal ini sesuai dengan prinsip non-intervensi ASEAN yang dijamin dalam Piagam PBB, yaitu tidak ikut campur tangan (non-interference) dalam urusan domestik negara berdaulat. Pendekatan soft diplomacy ASEAN, khususnya constructive engagement (keterlibatan konstruktif) atau ASEAN’s Way, membantu menyelesaikan persoalan internal Myanmar tanpa kekerasan. Penelitian Amalia Nurrahmah (2011) juga mendukung hal ini, menjelaskan pendekatan soft diplomacy ASEAN yang tidak mendukung pemerintahan militeristik dan berupaya membantu Myanmar menjunjung tinggi HAM dan menerapkan demokrasi.

2. Tantangan dan Prospek Demokrasi Myanmar

Meskipun telah terjadi perubahan signifikan, perjalanan menuju demokrasi di Myanmar masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Harapan rakyat Myanmar atas demokrasi, yang diperjuangkan oleh Aung San Suu Kyi, masih jauh dari realisasi. Pergolakan politik yang kompleks, bukan hanya dimulai sejak kudeta militer tahun 1962, tetapi juga berakar jauh sebelum kemerdekaan Myanmar tahun 1948 dari Inggris. Strategi penjajah Jepang dan Inggris yang memanfaatkan perbedaan etnis menghambat persatuan nasional. Penelitian Awani Irewati (2007) menekankan sulitnya penegakan demokrasi di Myanmar, mencakup pergolakan antar kelompok etnis, kekuasaan junta militer, sanksi internasional, dan konflik perbatasan. Penelitian Muhammad Adian Firnas (2003) juga mencatat prospek demokrasi di Myanmar yang sulit dan lambat, dengan keterlibatan militer yang terus menggagalkan upaya demokratisasi. Perkembangan Myanmar menuju negara demokratis masih berjalan setengah hati, dengan militer yang berupaya mempertahankan dan memperkuat kekuasaannya.

Referensi dokumen

  • Pengertian Budaya Demokrasi (Dea Anandya)
  • Pemilu Legislatif Myanmar, Suu Kyi Jadi Wakil Rakyat (Tidak Disebutkan)
  • Burma ambil alih kepemimpinan ASEAN (Tidak Disebutkan)