Sistem Hukum dan Hak Asasi Narapidana di Indonesia

Sistem Hukum dan Hak Asasi Narapidana di Indonesia

Informasi dokumen

Sekolah

Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)

Jurusan Hukum
Tempat Purwokerto
Jenis dokumen Esai/Makalah
Bahasa Indonesian
Format | PDF
Ukuran 1.02 MB
  • Hukum
  • Hak Asasi Manusia
  • Pemasyarakatan

Ringkasan

I.Hukum Pidana dan Pembebasan Bersyarat

Dokumen ini membahas hukum pidana di Indonesia, khususnya terkait pembebasan bersyarat (PB) bagi narapidana. Dijelaskan bahwa hukum pidana terdiri dari hukum pidana materiil (substansi), formil (prosedur), dan pelaksana pidana. Hak Asasi Manusia (HAM) tetap melekat pada narapidana, termasuk hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 (dan revisinya PP No. 28 Tahun 2006) mengatur syarat dan tata cara pembebasan bersyarat.

1. Definisi Hukum Pidana menurut Hans Kelsen dan Pembagiannya

Bagian ini mengawali dengan menjelaskan pandangan Hans Kelsen tentang hukum sebagai suatu sistem tata aturan yang mengatur perilaku manusia. Hukum bukan hanya satu aturan tunggal, melainkan seperangkat aturan yang terintegrasi. Penjelasan ini kemudian dikaitkan dengan hukum pidana yang dibagi menjadi tiga bidang utama: hukum pidana materiil (substansi atau ketentuan-ketentuan hukum pidana), hukum pidana formil (hukum acara pidana dan penerapan hukum materiil), dan hukum pelaksana pidana (pelaksanaan pidana berdasarkan putusan hakim). Bagian ini membangun dasar pemahaman tentang kerangka hukum pidana yang akan dibahas lebih lanjut, terutama mengenai aspek pelaksanaan pidana dan hak-hak narapidana di dalamnya. Konsep sistem hukum yang terpadu menjadi landasan penting untuk memahami bagaimana setiap bagian hukum pidana saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain dalam konteks pemberian sanksi dan proses pemasyarakatan.

2. Hak Asasi Manusia HAM Narapidana dan Pembebasan Bersyarat

Dokumen menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk mereka yang telah kehilangan kemerdekaannya sebagai narapidana. HAM merupakan hak dasar yang melekat pada setiap individu, sebuah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penjelasan ini kemudian diarahkan pada hak-hak narapidana, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan hak narapidana untuk mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembebasan bersyarat disebut sebagai salah satu hak tersebut, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 dan perubahannya (PP No. 28 Tahun 2006) tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Ini menunjukkan adanya landasan hukum yang kuat untuk memberikan pembebasan bersyarat kepada narapidana yang memenuhi syarat.

3. Pembebasan Bersyarat sebagai Hadiah Negara dan Upaya Pembinaan

Pembebasan bersyarat dijelaskan sebagai suatu bentuk hadiah dari negara kepada narapidana, yang memungkinkan mereka untuk bebas lebih awal sebelum masa pidana berakhir. Lebih dari sekadar hadiah, pembebasan bersyarat juga dipandang sebagai tujuan mulia pemerintah untuk membantu narapidana berinteraksi kembali dengan masyarakat setelah menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan (lapas). Proses pembebasan bersyarat berfungsi sebagai kontrol sosial, mengubah persepsi negatif masyarakat terhadap narapidana, dan membantu mereka kembali berintegrasi ke dalam masyarakat. Pembebasan bersyarat ini dilihat sebagai bagian dari proses pembinaan yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dan bukan hanya sebagai hukuman belaka. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan rehabilitatif dan reintegratif dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.

II.Pembebasan Bersyarat untuk Tindak Pidana Korupsi

Fokus utama dokumen ini adalah pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi. Diskusi mengenai kasus Hartati Murdaya, terpidana kasus suap yang mendapat pembebasan bersyarat, memicu perdebatan tentang keadilan dan efek jera. Hibnu Nugroho, pengamat hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, mempertanyakan keputusan tersebut, terutama terkait dengan kebijakan remisi dan politik hukum pemerintah dalam penanganan korupsi di Indonesia. Ia menekankan pentingnya efek jera bagi pelaku tipikor.

1. Kasus Hartati Murdaya dan Perdebatan Keadilan

Bagian ini membahas kasus pembebasan bersyarat Hartati Murdaya, terpidana kasus suap kepada Bupati Buol, Arman Batalipu, senilai Rp 3 miliar terkait izin usaha perkebunan. Hartati ditahan sejak 12 September 2012 dan seharusnya bebas akhir 2015. Namun, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin memberikan pembebasan bersyarat karena Hartati telah menjalani dua pertiga masa pidana. Kasus ini menjadi sorotan karena memicu perdebatan publik mengenai keadilan dan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Hibnu Nugroho, pengamat hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, mempertanyakan keputusan tersebut, menganggapnya bertentangan dengan rasa keadilan, terutama karena Hartati tidak pernah mendapatkan remisi. Ia berpendapat bahwa pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk pelaku tipikor seharusnya dikecualikan, mengingat kondisi Indonesia yang disebut 'darurat korupsi'. Pernyataan ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan tentang penafsiran keadilan dan efektivitas hukuman dalam konteks korupsi.

2. Politik Hukum dan Pembatasan Remisi untuk Tipikor

Hibnu Nugroho mengungkapkan bahwa permasalahan pembebasan bersyarat Hartati Murdaya berbenturan dengan politik hukum pemerintah. Ia membandingkan dengan kebijakan pembatasan remisi bagi pelaku tipikor yang bertujuan untuk memberikan efek jera. Meskipun pembatasan remisi dianggap melanggar hak narapidana, Hibnu Nugroho menyatakan setuju dengan kebijakan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya dilema antara penegakan hukum yang konsisten dan perlindungan hak asasi manusia bagi narapidana. Pernyataan bahwa pembebasan bersyarat untuk kasus korupsi bisa bertentangan dengan rasa keadilan, sementara kasus pidana umum tetap memiliki hak untuk pembebasan bersyarat menunjukkan kompleksitas permasalahan dan pertimbangan politik hukum yang melatarbelakanginya. Perbedaan perlakuan ini menunjukkan adanya pertimbangan khusus untuk tindak pidana korupsi mengingat dampaknya yang signifikan terhadap kehidupan bernegara.

3. Persepsi Masyarakat terhadap Narapidana dan Tanggung Jawab Negara

Dokumen ini menyoroti persepsi masyarakat tentang narapidana sebagai individu jahat yang layak menerima hukuman. Negara memiliki tanggung jawab penuh terhadap perilaku warga negara yang menyimpang dari hukum, dan lembaga pemasyarakatan berperan penting dalam pembinaan dan perbaikan perilaku tersebut. Lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial akibat tindak pidana. Persepsi masyarakat ini perlu dipertimbangkan dalam konteks pemberian pembebasan bersyarat, karena keberhasilan reintegrasi narapidana sangat bergantung pada penerimaan masyarakat. Oleh karena itu, pembebasan bersyarat tidak hanya sekadar pembebasan fisik, tetapi juga proses sosial yang kompleks yang melibatkan narapidana, lembaga pemasyarakatan, dan masyarakat. Ini menunjukan adanya aspek sosial yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pembebasan bersyarat, khususnya bagi narapidana kasus korupsi yang memiliki potensi citra negatif di mata masyarakat.

III.Teori Pemidanaan dan Pembinaan Narapidana

Dokumen menjelaskan tiga teori pemidanaan: absolut (pembalasan), relatif (pencegahan), dan gabungan. Tujuan pembinaan narapidana, sesuai Muladi, adalah memperbaiki kerusakan individual dan sosial akibat tindak pidana. Pembebasan bersyarat merupakan salah satu metode pembinaan yang bertujuan mengembalikan narapidana ke masyarakat dan merupakan evaluasi dari pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Persyaratan pembebasan bersyarat meliputi syarat subtantif dan administratif.

1. Tiga Teori Tujuan Pemidanaan

Dokumen ini membahas tiga teori tujuan pemidanaan dalam hukum pidana: Teori Absolut (pembalasan), Teori Relatif (pencegahan/prevensi), dan Teori Gabungan. Teori Absolut berfokus pada pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan, di mana hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi atas tindakan melanggar hukum. Teori Relatif menekankan pada pencegahan kejahatan di masa mendatang melalui hukuman, dengan tujuan menegakkan ketertiban hukum di masyarakat. Teori Gabungan memadukan unsur pembalasan dan pencegahan, sehingga hukuman tidak hanya sebagai pembalasan, tetapi juga sebagai alat untuk menjaga ketertiban masyarakat. Penjelasan ketiga teori ini memberikan pemahaman yang komprehensif tentang berbagai perspektif dalam penentuan tujuan pemidanaan dan bagaimana setiap teori memiliki pertimbangan yang berbeda-beda.

2. Tujuan Pembinaan Narapidana dan Pembebasan Bersyarat

Tujuan pemidanaan, menurut Muladi, adalah memperbaiki kerusakan individual dan sosial akibat tindak pidana. Pembebasan bersyarat diposisikan sebagai salah satu metode pembinaan narapidana, yang memungkinkan mereka kembali ke masyarakat sebelum masa pidana berakhir. Tujuannya adalah agar narapidana dapat berinteraksi dengan masyarakat dan diterima kembali. Pembebasan bersyarat juga merupakan evaluasi dari hasil pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas). Narapidana yang memenuhi persyaratan subtantif dan administratif berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Pembinaan narapidana tidak hanya berfokus pada hukuman, melainkan juga pada upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi narapidana setelah menjalani masa hukuman. Ini menekankan aspek pentingnya pembinaan dan rehabilitasi dalam sistem peradilan pidana.

3. Macam macam Metode Pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan

Dokumen secara singkat menyebutkan berbagai metode pembinaan dalam sistem pemasyarakatan, baik di dalam maupun di luar lembaga pemasyarakatan. Pembebasan bersyarat merupakan salah satu contoh metode pembinaan yang diberikan kepada narapidana. Pembebasan bersyarat bertujuan agar narapidana bisa berinteraksi dengan masyarakat dan diterima kembali setelah menjalani masa pembinaan di dalam lapas. Pembinaan ini menjadi evaluasi hasil pembinaan di dalam lapas dan diberikan kepada narapidana yang memenuhi persyaratan subtantif dan administratif. Penjelasan ini menunjukkan bahwa pembebasan bersyarat merupakan bagian integral dari sistem pembinaan yang lebih luas dalam konteks pemasyarakatan di Indonesia, menekankan pentingnya proses reintegrasi sosial bagi narapidana.

IV.Penelitian Syarat dan Tata Cara Pembebasan Bersyarat di Lapas Kelas II B Jombang

Bagian ini merinci penelitian tentang syarat dan tata cara mendapatkan hak pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi di Lapas Kelas II B Jombang. Penelitian dilakukan pada Juni 2014 dengan metode yuridis sosiologis, menggunakan data primer (wawancara dengan Kepala Seksi Bina Pendidikan dan Giat Kerja, Bapak Affandi, A.Md. I.P., S.H., MH) dan data sekunder (studi pustaka dan dokumen). Penelitian ini bertujuan untuk memahami syarat dan tata cara pembebasan bersyarat, serta faktor-faktor pendukungnya, di Lapas tersebut, khususnya untuk kasus tindak pidana korupsi.

1. Tujuan Penelitian dan Rumusan Masalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat dan tata cara mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi di Lapas Kelas II B Jombang, serta faktor-faktor pendukungnya. Rumusan masalah penelitian difokuskan pada tiga hal: pertama, syarat mendapatkan hak pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi di Lapas Kelas II B Jombang; kedua, tata cara mendapatkan hak pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi di Lapas tersebut; dan ketiga, faktor-faktor pendukung syarat dan tata cara mendapatkan hak pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi di lokasi yang sama. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman yang lebih komprehensif tentang pelaksanaan pembebasan bersyarat khususnya untuk kasus korupsi di Lapas Kelas II B Jombang, serta memberikan masukan bagi aparat penegak hukum dan praktisi hukum.

2. Lokasi dan Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Lapas Kelas II B Jombang selama satu bulan pada Juni 2014. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Jombang merupakan kota yang berkembang dengan potensi tindak pidana korupsi. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis (socio legal research), yang menggabungkan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan peraturan perundang-undangan seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 dan perubahannya (PP No. 28 Tahun 2006) tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, serta literatur lainnya. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan Kepala Seksi Bina Pendidikan dan Giat Kerja Lapas Kelas II B Jombang, Bapak Affandi, A.Md. I.P., S.H., MH, studi dokumen, dan peraturan perundang-undangan yang relevan. Metode ini dipilih untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan komprehensif tentang permasalahan yang diteliti.

3. Sumber dan Metode Pengumpulan Data

Sumber data penelitian terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari Lapas Kelas II B Jombang melalui wawancara dengan Bapak Affandi, A.Md. I.P., S.H., MH, dan studi dokumen terkait pembebasan bersyarat, khususnya kasus N. A. A. B., S.Pd Bin Durakim. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, meliputi buku-buku ilmiah tentang hukum penitensier, penologi, dan pemasyarakatan (misalnya karya C. Djisman Samosir, Dr. Marlina, Drs P.A.F. Lamintang, dan Petrus Irwan), serta peraturan perundang-undangan yang relevan. Data tersier berupa ensiklopedia, jurnal hukum, kamus hukum, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia juga digunakan sebagai pelengkap. Metode pengumpulan data meliputi wawancara, studi dokumen, dan studi pustaka. Penggunaan berbagai sumber data dan metode ini bertujuan untuk memastikan validitas dan reliabilitas temuan penelitian terkait syarat dan tata cara pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi di Lapas Kelas II B Jombang.